• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

2. Pemisahan Puncak dalam Kromatografi

Tujuan utama pada kromatografi adalah pemisahan suatu campuran. Ada dua parameter yang digunakan untuk menilai kualitas pemisahan pada kromatografi, yaitu banyaknya pelebaran puncak (efisiensi) dan tingkat pemisahan puncak yang berdekatan (Gandjar dan Rohman, 2010). Kualitas pemisahan dengan kromatografi kolom dapat dikontrol dengan melakukan serangkaian uji kesesuaian sistem yang meliputi efisiensi kolom, resolusi atau daya pisah, simetrisitas puncak, dan faktor retensi atau kapasitas kolom (Rohman, 2009).

Ada tiga faktor mendasar dalam KCKT, yaitu: retensi, selektifitas, dan efisiensi. Ketiga faktor ini mengendalikan pemisahan (resolusi) dari analit. Kemudian akan dibahas persamaan van Deemter dan menunjukkan bagaimana diameter partikel bahan pengepakan dan laju alir mempengaruhi efisiensi kolom (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 4 menunjukkan kromatogram yang khas, yang mencakup sumbu waktu, titik injeksi, dan puncak analit. Waktu antara titik injeksi sampel dan analit mencapai detektor disebut waktu retensi (tR). Waktu retensi komponen yang tidak tertahan (sering ditandai oleh baseline pertama yang disebabkan oleh elusi sampel pelarut) disebut waktu void (t0). Waktu kosong berhubungan dengan volume kosong kolom (V0), yang merupakan parameter penting yang akan diuraikan kemudian. Puncak juga memiliki lebar (Wb) dan tinggi (h). Ketinggian atau daerah di bawah puncak sebanding dengan konsentrasi atau jumlah komponen tertentu dalam sampel. Waktu retensi digunakan untuk identifikasi puncak yang tergantung pada laju aliran, dimensi kolom, dan parameter lainnya. (Ahuja and Dong, 2005).

Sebuah istilah yang lebih mendasar yang mengukur tingkat retensi analit adalah faktor kapasitas atau faktor retensi (k’), dihitung dengan waktu retensi bersih (t’R, waktu retensi dikurang waktu kosong). Faktor kapasitas mengukur berapa kali analit tertahan relatif terhadap komponen yang tidak tertahan (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 4 . Kromatogram yang menunjukkan waktu retensi (tR), waktu kosong (t0), lebar dasar puncak (Wb), dan tinggi puncak (h) (Ahuja and Dong, 2005)

Nilai k’ nol berarti bahwa komponen tersebut tidak tertahan dan terelusi dengan pelarut. Nilai k’ 1 berarti bahwa komponen sedikit ditahan oleh kolom sementara k’ nilai 20 berarti bahwa komponen sangat dipertahankan dan menghabiskan banyak waktu berinteraksi dengan fase diam. Dalam kebanyakan

tes, analit terelusi dengan k’ antara 1 dan 20 sehingga memiliki kesempatan yang cukup untuk berinteraksi dengan fase diam yang mengakibatkan migrasi yang berbeda. Puncak yang terelusi pada di k’ yang besar (> 20) bermasalah karena jangka waktu panjang dan sensitifitas kecil yang dapat mengakibatkan puncak yang lebar (Ahuja and Dong, 2005).

Pada KCKT fase terbalik digunakan fase diam hidrofobik seperti C-18 dan fase gerak yang hidrofilik seperti campuran metanol dan air), partisi yang terjadi dianalogikan seperti ekstraksi cair-cair dua fase dalam corong pisah antara larutan non-polar (misalnya heksan) dan larutan polar (misalnya air). Pada KCKT fase terbalik, waktu retensi dipengaruhi oleh kekuatan atau polaritas fase gerak (Ahuja and Dong, 2005).

Selektifitas (∝) atau faktor pemisahan adalah ukuran retensi diferensial dua analit. Selektifitas didefinisikan sebagai rasio dari faktor kapasitas (k’) dari dua puncak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Selektivitas harus > 1,0 untuk pemisahan puncak. Selektivitas tergantung pada sifat dari fase diam dan komposisi fase gerak (Ahuja and Dong, 2005). Menurut Snyder, Kirkland, and Glajch (2012) nilai k’ harus memenuhi 0,5 < k’ < 20. Perhitungan selektifitas.

∝=

Jika nilai k’ menjadi lebih kecil (terelusi lebih awal) maka resolusi

menjadi lebih buruk. Ketika k’ dibuat lebih besar, resolusi meningkat. Jika ∝ meningkat, Rs akan meningkat juga. Nilai N dipengaruhi oleh kecepatan alir, panjang kolom, dan ukuran partikel (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012).

Perhitungan k’ dengan rumus.

�′ =

Gambar 5 . Pengaruh k’, , dan N pada pemisahan (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012) Salah satu karakteristik sistem kromatografi yang paling penting adalah efisiensi atau jumlah lempeng teoritis atau N (Rohman, 2009). Sebagian kromatogram memiliki puncak yang cenderung berbentuk Gaussian dan melebar, di mana Wb menjadi lebih besar dengan bertambahnya tR. Hal ini disebabkan oleh efek pelebaran pita dalam kolom, dan merupakan dasar untuk semua proses

kromatografi. Jumlah lempeng (N) adalah ukuran kuantitatif dari efisiensi kolom (Ahuja and Dong, 2005). Persamaan untuk menghitung N.

� = ,

/ �

Konsep lempeng secara tradisional berasal dari proses penyulingan di industri menggunakan kolom yang distilasi terdiri dari beberapa lempeng di mana cairan kondensasi berada dalam kesetimbangan dengan uap yang naik. Dengan demikian, semakin panjang kolom distilasi akan memiliki lebih banyak lempeng atau terjadinya equilibrium. Demikian pula dalam kromatografi, tinggi setara lempeng teoritis atau HETP (height equivalent theoretical plate) sama dengan panjang kolom (L) dibagi dengan jumlah lempeng teoritis (N) (Ahuja and Dong, 2005). HETP merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan sampai terjadinya satu kali kesetimbangan molekul analit dalam fase gerak dan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2010). HETP dihitung dengan rumus.

���� =

Nilai N yang tinggi disarankan untuk pemisahan yang baik yang nilainya sebanding dengan semakin panjangnya kolom (L) dan semakin kecilnya nilai H. Istilah H merupakan tinggi setara lempeng teoritis atau HETP (height equivalent theoretical plate) (Rohman, 2009). Kolom yang baik akan mempunyai bilangan lempeng yang tinggi dan nilai HETP yang rendah. Ukuran partikel berpengaruh terhadap nilai H. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi bilangan lempeng teoritis (Rohman, 2009).

Dalam sistem kromatografi, diharapkan memiliki bilangan lempeng (N) yang tinggi yang menunjukkan efisiensi kolom yang tinggi. Beberapa parameter yang dapat meningkatkan efisiensi kolom pada kromatografi cair, antara lain ukuran partikel fase diam kecil, lapisan fase diam tipis, bentuk fase diam teratur, temperatur tinggi, lapisan fase diam merata, ukuran partikel fase diam sama, serta koefisien difusi yang tinggi pada fase diam dan fase gerak (Watson, 2003). Menurut WHO, nilai N hendaknya 2000 (cit., Yin, 2011).

Kolom yang efisien akan mempunyai resolusi yang baik. Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode kromatografi digambarkan dalam kromatogram yang dihasilkan. Untuk hasil pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksimal dan lebar puncak yang berhubungan (Ahuja and Dong, 2005).

Dalam KCKT, resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi dua puncak yang saling berdekatan ∆ = ) dibagi dengan rata-rata lebar puncak (� + � .

Rumus unntuk menghitung resolusi adalah sebagai berikut. � = 2∆+ �

Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 karena akan memberikan pemisahan puncak yang baik (base line resolution) (Ahuja and Dong, 2005).

Sesuai persamaan di atas, resolusi yang besar akan tercapai jika perbedaan waktu retensi analit cukup besar dan lebar puncak analit dengan analit yang lainnya adalah sekecil mungkin. Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan tersebut, resolusi komponen-komponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi relatif pada sistem kromatografi tertentu dan lebar puncak (Ahuja and Dong, 2005).

Pada kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak Gaussian dengan simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar puncak cenderung mengalami fronting atau tailing. Seperti ditunjukkan dalam gambar 6,

tailing factor (Tf) seperti yang didefinisikan oleh USP merupakan ukuran puncak asimetri. Dalam perhitungan ini, lebar puncak dihitung pada 5% puncak tinggi (W0.05) (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 6 . Diagram yang menunjukkkan perhitungan tailing factor (Tf) serta diagram yang menunujukkan fronting dan tailing (Ahuja and Dong, 2005)

Kebanyakan puncak memiliki nilai tailing factor antara 0,9 dan 1,4; dengan nilai 1,0 mengindikasikan puncak yang simetris sempurna. Puncak yang

tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau interaksi kuat lainnya analit dengan fase diam, sedangkan puncak fronting dapat disebabkan oleh kolom yang

Dong, 2005). Menurut WHO, nilai tailing factor yang masih memenuhi kriteria penerimaan adalah 2 (cit., Yin, 2011).

Efektivitas pemisahan (Rs) dalam analisis HPLC tergantung pada kedua faktor termodinamika (retensi dan selektifitas) dan faktor kinetika (lebar puncak dan efisiensi kolom). Hubungan resolusi untuk parameter lain dapat dinyatakan agak kuantitatif dalam persamaan resolusi: � = + + ∝− + √�4

Retensi Selektifitas Efisiensi (Ahuja and Dong, 2005). Dari persamaan resolusi tersebut menunjukkan bahwa Rs dikendalikan oleh retensi, selektifitas, dan efisiensi. Untuk memaksimalkan Rs, k’ harus relatif besar. Selektifitas dipengaruhi oleh kondisi kolom dan fase gerak. Jumlah lempeng (N) dimaksimalkan dengan menggunakan kolom panjang atau menggunakan kolom yang dikemas dengan partikel yang lebih kecil. Strategi untuk meningkatkan resolusi adalah menemukan kekuatan pelarut yang mengelusi semua zat antara k’ 1 dan 20 dan untuk memisahkan semua analit dengan memvariasikan pelarut organik dan pengubah fase gerak lainnya. Jika cara ini tidak berhasil, fase diam berbeda bisa dicoba (Ahuja and Dong, 2005).

Fenomena pelebaran pita dalam proses kromatografi gas pertama kali dipelajari oleh van Deemter pada tahun 1950 dan menghasilkan persamaan van Deemter, menghubungkan HETP atau tinggi piring dengan kecepatan aliran linear (V).

Gambar 7 . Kurva persamaan van Deemter yang menunjukkan hubungan antara HETP lawan kecepatan linear rata-rata (Ahuja and Dong, 2005)

Gambar 7 menunjukkan bagaimana kurva van Deemter adalah kurva yang berasal dari tiga istilah terpisah (A, B/V, dan CV) yang pada gilirannya dikendalikan oleh faktor-faktor seperti ukuran partikel (dp), dan koefisien difusi (Dm).

Istilah A merupakan "difusi eddy atau multi-path effect" dan sebanding dengan (dp). B merupakan "difusi longitudinal" dan sebanding dengan (Dm). Istilah C merupakan "resistensi terhadap transfer massa" dan sebanding dengan (d2p/Dm). Persamaan van Deemter adalah yang paling terkenal dan muncul untuk menjelaskan konsep pelebaran pita di HPLC meskipun dikembangkan untuk kromatografi gas (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 8 . Kurva persamaan van Deemter dengan tiga kolom kemas ukuran partikel 10, 5, dan 3 µm (Ahuja and Dong, 2005)

Gambar 8 menunjukkan percobaan van Deemter kurva untuk tiga kolom kemas dengan ukuran partikel 10, 5, dan 3 µm. Gambar tersebut menunjukkan bahwa dp yang kecil menghasilkan HETP yang lebih rendah (atau kolom partikel kecil memiliki efisiensi lebih per satuan panjang) karena istilah A sebanding dengan dp (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 9 menunjukkan hubungan linear log k’ vs % konten pelarut organik untuk tiga pelarut organik yang umum digunakan pada KCKT fase terbalik. THF lebih kuat daripada ACN, yang juga lebih kuat daripada MeOH pada KCKT fase terbalik (Ahuja and Dong, 2005).

Gambar 9 . Hubungan log k’ vs % organic solvent modifier untuk metanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran (Ahuja and Dong, 2005)

Berikut penyebab terjadinya pelebaran pita akan dibahas satu per satu. a. Difusi Eddy. Penyebab difusi Eddy adalah karena kolom diisi dengan partikel

fase diam yang kecil. Fase gerak membawa analit yang melewati kolom sebagian akan terelusi terlebih dahulu meninggalkan yang lainnya karena melewati jalur yang lurus di dalam kolom. Analit lain terelusi setelah itu karena harus melewati beberapa penghalang di sepanjang kolom (Meyer, 2004).

Gambar 10 . Difusi Eddy (Meyer, 2004)

b. Distribusi aliran. Fase gerak mengalir diantara partikel fase diam. Aliran akan lebih cepat pada bagian celah antara dua partikel daripada yang dekat dengan partikel (Meyer, 2004).

Gambar 11 . Distribusi aliran (Meyer, 2004)

c. Difusi longitudinal. Analit dalam fase gerak menyebar ke segala arah dengan difusi. Difusi terjadi dengan arah yang sama atau berlawanan dengan aliran fase gerak (Watson, 2003).

Gambar 12 . Pelebaran pita oleh difusi longitudinal (Meyer, 2004)

d. Transfer massa. Fenomena ini terjadi karena adanya pori pada partikel fase diam. Fase gerak dapat masuk ke dalam pori dan kemudian molekul analit masuk ke dalam pori yang dapat menyebabkan lamanya waktu yang diperlukan analit tersebut untuk terelusi sehingga menyebabkan terjadinya pelebaran pita (Meyer, 2004).

Gambar 13 . Transfer massa. Atas = Struktur pori partikel fase diam; Bawah = Transfer massa antara fase gerak dan fase diam (Meyer, 2004)

Dokumen terkait