• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Using di Kemiren

BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN

B. SEKILAS GAMBARAN BUMI BLAMBANGAN

2. Orang Using di Kemiren

Bagi orang Jawa Kulon maupun Bali, orang Osing dikenal eksklusif, suka menyendiri dan enggan bergaul. Mereka dikenal sebagai orang-orang pemarah tanpa nalar, tukang santet, serta pemalas. Julukan, stereotipe dan stigma tersebut sudah menjadi hal yang begitu biasa, bahkan banyak orang tua yang menasehati anak atau kerabatnya agar berhati-hati jika berkawan atau berkenalan dengan orang Using.

Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh ibu Nur, bahwa orang Using terkenal malas dan kasar. Dalam perbincangan dengan Ibu Nur itu, ia bercerita bahwa sedang terjadi sebuah perdebatan pada koran setempat mengenai satu lagu berbahasa Osing yang kata-katanya seronok serta merujuk pada kelamin perempuan.

Namun ketika saya konfirmasi berita ini kepada Pak Pur,37 ia hanya tersenyumdan dengan santai berkata “Ya maklum yang membuat lagu itu seniman jalanan”. Nampaknya memang ada keraguan dalam diri orang Using sendiri. Mungkin karena posisi mereka selama ini yang terjepit sehingga tidak memiliki suara yang benar-benar mewakili diri mereka.38Hal ini seperti diperlihatkan secara

37

Penduduk Kemiren asli, termasuk tokoh Osing ,seorang petani yang cukup berhasil mengembangkan jenis padi lokal juga pencinta gandrung.

38

jelas oleh Ibu Nur yang seperti mengafirmasi stereotipe negatif di seputar orang Using. Ketika itu saya masih ingat betul nada suara Ibu Nur ketika bercerita tentang orang Using atau apapun yang berkaitan dengan Using. Nada suaranya begitu negatif, bahkan terkesan melecehkan.

Jika ingin melihat dan bertemu langsung dengan orang Using, desa Kemiren adalah tempat yang tepat untuk dituju. Satu-satunya desa yang dipandang sebagai “masih murni Using” adalah desa Kemiren. Desa ini berada di kecamatan Glagah (kira-kira 5 km arah Barat kota Banyuwangi). Sejak 1993 desa ini telah ditetapkan sebagai “Desa Using” yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan ‘keusingan’.

Area wisata Budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar Budaya Osing. Desa yang berada diketinggian 144 m diatas permukaan laut ini memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26º. Kondisi ini membuat desa Kemiren amat sejuk serta amat menarik untuk dikunjungi, apalagi pemandangan alamnya amat indah dan menawan.

Desa Kemiren memanjang hingga 3 km yang kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari arah Barat ke Timur. Ditengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 meter yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi Timur dan keperkebunan/pemandian kalibendo di sebelah Barat.Pada siang hari, terutama pada hari libur, jalan yang membelah desa Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Kalibendomaupun ke lokasi wisata “Desa Using”.

Sebagian besar penduduk Kemiren memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka telah lama mengenal pendidikan baik pesantren maupun sekolah- sekolah umum. Untuk menempuh sekolah diatas SD, para penduduk Kemiren harus keluar desa dan pergi ke ibu kota Kecamatan atau di Kota Banyuwangi39.

Dengan membayar 25 ribu rupiah saya diantar oleh ojek dari terminal Karangmente ke rumah Bapak Purwanto. Kedatangan saya itu disambut bunyi- bunyian yang berasal dari alat musik bambu. Bunyi-bunyian itu diperdengarkan dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi di depanrumah seorang warga. Tidak kurang 10 rumah dari situ terdengar kembali lagu daerah berbahasa Using. Dan begitu seterusnya.

Ketika itu saya tiba di desa Kemiren sekitar jam 9 pagi sehingga tidak mengherankan suasana desa terlihat begitu sepi. Minim sekali aktifitas manusia di desa saat itu. Saya menduga anak-anak sedang pergi kesekolah serta para orang tua sedang pergi ke sawah atau bekerja di kebun.

Kemiren adalah salah satu tujuan wisatawan lokal, nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dengan tersedianya sejumlah penginapan sederhana yang memang diperuntukan bagi para tamu yang datang dari dalam dan luar negeri. Sejumlah keluarga Kemiren pun membuka pintu rumah mereka untuk dijadikan penginapan bagi para tamu tersebut. Para wisawatan ini datang ke Kemiren memang berniat untuk merasai kehidupan penduduk yang sarat dengan budaya lokal.

Desa Kemiren memang istimewa. Keistimewaannya itu telah membuatnya mendapat sebutan sebagai desa wisata. Menjadi istimewa karena Kemiren adalah

39

salah satu desa pemukiman orang-orang suku Using yang sangat hidup tradisinya. Di desa ini pula tinggal dua orang penari Gandrung yang belum tertandingi popularitasnya.

Orang Using menyebut diri sebagai penduduk asli Banyuwangi. Yang membedakan mereka dari orang-orang Banyuwangi pendatang adalah gaya mereka bicara. Beberapa kata yang sempat saya catat saat bersama mereka, misalnya: gerimis menjadigerigis,saikimenjadisaikai,isunadalah sebutan untuk saya,ikumenjadiikau, begitu menjadibedigaudantelumenjaditelau.

Upaya menghidupi tradisi sengaja dilakukan oleh para orang tua di desa Kemiren. Misalnya latihan seni barongan serta angklung sawah adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Kemiren seminggu sekali. Kegiatan keagamaan juga dilakukan antara lain membaca Quran bersama yang diikuti oleh laki-laki segala usia, dilakasanakan setiap hari Rabu malam yang mereka sebut sebagaiReboan.

Menurut Pak Purwanto, kegiatan ini mulai banyak diikuti oleh orang- orang muda.Reboan adalah salah satu ruang belajar dan latihan bagi orang-orang muda Osing untuk menghidupi tradisi Kemiren. Upaya para orang tua Kemiren ini adalah dalam kerangka mewariskan kesenian tradisional yang menjadi identitas ‘keosingan’.

Melalui kesenian barongan maupun Reboan, anak-anak muda Kemiren ditanamkan kecintaan terhadap kesenian lokal mereka sendiri. Melalui latihan rutin dan kemudiandisertakan dalam pementasan pesta khitanan, perkawinan ataupun panen raya, para orang muda ini diajak untuk semakin mengenali diri mereka sebagai orang Osing. Namun ada satu hal yang bagi saya sungguh

menarik. Dua jenis kesenian ini anggotanya seluruhnya adalah laki-laki. Para perempuan muda tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kesenian itu. Yang dapat para perempuan ini lakukan adalah menonton kesenian tersebut40.

Orang Osing di Kemiren adalah sekelompok masyarakat agraris. Sawahdan ladang adalah sumber rejeki mereka. Hasil pertanian terbesar adalah padi. Selain padi, tanah Kemiren menghasilkan jagung, kacang tanah, dan kedelai. Selain itu ada perkebunan pemerintah dan swasta seperti PTP XXVI dan PTP XXIX yang menghasilkan karet, coklat, teh, kepala, kapuk dan cengkeh. Selain pertanian, perikanan juga menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Banyuwangi. Di sektor perdagangan, nilai ekspor terbesar didapat dari hasil pertanian serta perikanan41.

Biasanya selepas bekerja di sawah, beberapa dari mereka akan istirahat sembari minum kopi dan ngobrol santai dengan dua atau tiga orang diantara mereka. Pembicaraan yang terjadi adalah pembicaraan ringan seputar apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka membicarakan apa saja yang terjadi saat mereka bekerja atau issue-issueaktual di dunia. Tidak jarang mereka melepas lelah sambil bermain angklung atau alat musik tradisional milik mereka sendiri. Oleh karena itu, merupakan hal yang biasa jika siang hari datang terutama sehabis makan siang, terdengar suara alat musik angklung sedang dimainkan di beberapa penjuru Desa Kemiren.

Selain mengandalkan pertanian, Orang Using di Desa Kemiren juga memiliki sumber mata pencahariaan pada sektor industri. Salah satunya adalah pada industri batu bata. Di desa ini terdapat pabrik batu bata rumahan.

40

Hasil wawancara dan pengamatan tanggal 5 Mei 2011 41

Yang bekerja ditempat ini bukan hanya laki-laki. Banyak sekali perempuan Kemiren terutama ibu-ibu muda atau setengah baya yang bekerja di pabrik ini. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di pabrik batu bata, alasannya sangat sederhana, mereka butuh uang tambahan untuk belanja serta jajan untuk anak-anak mereka yang masih sekolah.

Para perempuan ini akan bekerja di pabrik setelah urusan rumah tangga mereka selesai. Misalnya menyiapkan makan untuk anak dan suami atau membereskan rumah serta sejumlah pekerjaan domestik lainnya. Jika urusan domestik selesai, biasanya sekitar pukul 8 atau 9, para perempuan ini akan pergi ke pabrik untuk bekerja mencetak bata. Menjelang siang, sekitar pukul 11 mereka kembali ke rumah untuk beristirahat. Selepas istirahat, mereka bisa kembali bekerja atau tetap tinggal di rumah. Selain itu mereka juga bisa melanjutkan kegiatan lainnya, seperti pengajian, atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan tetangga.

Upah yang diterima para perempuan ini sungguh tidak banyak. Mereka menerima upah berdasarkan jumlah batu bata yang berhasil mereka cetak. Padahal harga batu bata tiap satuannya adalah 50 rupiah.42 Sebuah upah yang sangat kecil mengingat pekerjaan para perempuan ini cukup berat.

Selama dua minggu bersama orang Using, saya melihat kesetiaan merekapada pekerjaan, baik sebagai petani ataupun pembuat batu bata. Saya tidak atau belum melihat perempuan yang duduk dan santai-santai apalagi nonton sinetron, seperti kebanyakan ibu-ibu di Jakarta. Para ibu di Jakarta ini biasanya nonton sinetron atau variety show sembarimemasak, atau menyetrika.

42

Sementara itu ibu-ibu di Kemiren sehabis melakukan pekerjaan rumah, biasanya ngobrol dengan tetangga. Ada juga yang sambil mencabut uban, atau mungkin sambil mencari kutu.Aktivitas sosial seperti inipun hanya terlihat sekitar jam 11an. Perempuan kemiren sejauh pengamatan saya adalah perempuan pekerja keras. Jauh dari gambaran yang saya dengar dari Ibu Nur tentang kemalasan orang-orang Using yang setelah bekerja, mendapat uang lalu menghabiskan hari itu juga.

Dokumen terkait