BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN
F. PEREMPUAN PENARI GANDRUNG DI MATA
Sub bab ini akan membicarakan tentang bagaimana tanggapan sejumlah masyarakat, khususnya masyarakat Banyuwangi, lebih khusus lagi masyarakat Kemiren, terhadap para perempuan penari Gandrung. Pembicaraan pada bab ini akan memfokuskan pada pengalaman keseharian perempuan penari Gandrung, terutama para penari Gandrung di Kemiren yang telah menjadi narasumber saya.
Sekarang ini begitu banyak stigma negatif di sekitar gandrung. Banyak yang menganggap gandrung senior hanya menuruti keinginan pemaju saja hanya untuk uangrepenanyang lebih banyak.
Salah satu informan saya mengatakan bahwa “Gandrung sekarang kehilangan wibawa sebagai tarian tradisi”.67 Ia mengatakan bahwa gandrung muda sekarang ini tidak semuanya bisa menyanyikan gending dengan bagus, sehingga kurang bisa menggerakkan emosi, terutama kalau menyanyikan lagu- lagu khas gandrung.
67
Hasil obrolan dengan seorang laki-laki disalah satu warung nasi di terminal Sasak Perot,tanggal 9 Mei 2011
Program pelatihan gandrung yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Blambangan selama ini dianggap cukup berhasil dalam hal kuantitas. Akan tetapi dalam hal kualitas, diakui masih jauh dari harapan. Bagi Sauni,68 kemampuan gerak tubuh atau menari bisa dipelajari bila dibandingkan dengankemampuan mengolah suara.69 Kemampuan olah suara adalah hal yang amat penting bagi gandrung. Ini adalah salah satu ciri khas gandrung.Sauni, mengungkapan kegelisahannya terhadap gandrung-gandrung muda sekarang yang tidak pandai menyanyi. Oleh karena itu salah satu mimpinya adalah mendirikan sekolah khusus gandrung. Di sekolah itu nantinya setiap orang akan dilatih ketrampilanmenari, olah suara serta sopan santun.
Tamu atau pemaju yang menonton gandrung umumnya datang dari berbagai kalangan masyarakat dengan perbedaan latar belakang pendidikan serta ekonomi. Namun di arena gandrung, perbedaan status sosial tidak berlaku. Setiap orang punya kesempatan untuk menari dengan gandrung pujaan.Bagi Dadang,70 lokasi pementasan yang jauh bukan halangan untuk melihat dan menari bersama gandrung idola. Menurutnya saat menari bersama gandrung, semua beban hidup hilang.Yang ada hanya kegembiraan.
Bagi Dadang yang berprofesi sebagai sopir, pekerjaannya adalah hal yang amat melelahkan. Tetapi rasa lelah hilang pada saat paju bersama gandrung. Apalagi kalau si gandrung sanggup mengimbangi aksi pajunya yang kelihatan agresif dan cendrung menyerang. Perempuan penari gandrung adalah partner yang cocok untuk memperlihatkan kemampuannya menari dan bersenang-senang.
68
Pegawai DKB, pemilik sanggar Sekar Jagad sekaligus pelatih gandrung 69
Seorang praktisi sekaligus pegawai Dewan Kesenian Blambangan 70
Tradisi meminum minuman keras di arena gandrung rupanya sudah ada sejak jaman gandrung lanang. Bedanya, sekarang inisorotan masyarakat terhadap minuman keras di arena gandrung sangatlah negatif. Hal ini disebabkan oleh perkelahian antar pemaju yang mabuk. Citra negatif terhadap gandrung tidak mempengaruhi Dadang untuk meninggalkan arena gandrung. Baginya, tidak ada yang salah dengan gandrung. Rasa cemburu dari para istri dan pacar terhadap gandrung dianggap hal wajar. Minuman keras di meja-meja para tamu juga hal biasa, meskipun menurut Purwanto,71 ada atau tidaknya minuman keras tergantung dari pemilik pesta. Karena tuan rumah berhak mengatakan tidak pada orang-orang yang sengaja membawa minuman keras ke arena gandrung sebagai dagangan. Maka tanpa seijin empunya rumah, bir tidak mungkinakan ada.
Gandrung Banyuwangi bagi Ibu Nur72, adalah kesenian rakyat yang mati segan hidup pun tak mau. Ia mengkritik cara berpakaian gandrung yang dianggapnya pakaian setengah telanjang. Menurutnya, gandrung sebaiknya menggunakanstockingdan tutup kepala, namun banyak orang penggilai gandrung tidak setuju.
Menurutnya sekarang sudah banyak orang sadar pada nilai-nilai moral agama, sehingga banyak orang enggan memanggil gandrung untuk mengisi acara pesta keluarga. Apalagi, menurut ibu Nur kasus kawin cerai dalam hidup para gandrung sering terjadi. Inilah yang membuat stigma negatif di seputar gandrung makin menjadi. Hal tersebut disetujui oleh Temu. Menurut Temu, begitulah tingkah polah para gandrung generasi muda sekarang ini. Dikatakannya, mereka
71
Penggemar gandrung 72
berganti-ganti suami seperti ganti baju. Hal ini berbeda dengan gandrung di jamannya yang setia pada pasangannya.
G. Kesimpulan
Pluralitas masyarakat di Bumi Blambangan adalah realitas yang ada sejak jaman gandrung Semi. Keberagaman inilah yang membuat seni tradisi gandrung mengalami perubahan dari jaman ke jaman.Mobilitas penduduk serta arus global juga menjadi salah satu faktor perubahan itu.
Keniscayaan akan seni gandrung yang berubah ini juga diimbangi dengan permintaan pasar yang begitu deras mendera. Inilah yang membuat gandrung tidak hanya ditarikan untuk alasan kepuasan batin atau pelestarian tradisi. Tidak bisa dipungkiri, uang telah menjadi salah satu alasan para gandrung ini menari. Tanpa motivasi uang, jarang yang ingin repot-repot menggandrung, apalagi banyak penggandrung yang tingkat ekonominya jauh dari cukup. Oleh karena itu, ketika permintaan pasar akan gandrung meningkat, berkah yang melimpah pun akan mengalir kepada para penari gandrung ini.
Semakin besar pasar masuk dalam ranah tradisi gandrung, semakin tinggi pula komersialisasi pada seni gandrung. Kondisi ini lah yang membuat gandrung harus beradaptasi dengan jaman. Para penari gandrungnya pun pada umumnya menyadari bahwa mereka harus memiliki kemampuan self control. Mereka harusmampu melindungi diri sendiri dari godaan-godaan para tamu dan pemaju yang hendak mempermainkan atau sekedar memanfaatkan para penari gandrung ini.
Satu hal yang bisa disimpulkan adalah nasib penari gandrung, salah satunya, memang berada di tangan masyarakat yang memberi penilaian terhadap kesenian ini. Keberadaan gandrung hingga kini sering menjadi polemik. Berbagai perdebatan terjadi diantara beberapa orang atau kelompok yang memiliki persepsi berbeda tentang keberadaan gandrung. Dan seringkali perempuan penari gandrung ini dijadikan obyek oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai pelestari budaya.
Selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana perempuan penari gandrung ini mempertahankan profesi mereka di tengah tarik menarik wacana seputar gandrung. Serta bagaimana proses negosiasi para perempuan penari gandrung ini di tengah realitamasyarakat Banyuwangi yang menstigma mereka secara negatif.