• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN

D. WACANA SEPUTAR GANDRUNG

1. Pendidikan

“Menjadi gandrung tidak perlu pintar dan berpendidikan”. Hal ini sering diungkapkan oleh dua narasumber yaitu Mudaiyah dan Temu. Karir

menggandrung mereka memang terhitung berhasil, walaupun keduanya tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.

Dari ketiga gandrung yang saya wawancarai secara mendalam, hanya Darti yang lulus sekolah dasar.Alasan pertama karena tidak ada biaya sekolah, kedua ia menganggap dirinya tidak pintar, serta yang ketigakeinginannya menjadi penari gandrung mengalahkan semangat bersekolah. Kurangnya pendidikan dan pengalaman di luar panggung gandrung membuat mereka seringkalijadi ‘permainan’ pihak lain.

Pada tahun 1980-an Temu menerima tawaran rekaman. Sebut saja Zamroni, seorang broker asal Banyuwangi. Dengan bujuk rayu dia meminta Temu untuk membantu bisnis rekaman yang dijalaninya. Ternyata bisnis itu memberi keuntungan banyak bagi para produser, broker hingga ke distributor. Hampir semua albumnya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.

Album Disco Etnic 2000 misalnya yang di produseri oleh Sandi Record tahun 2003 terhitung cukup sukses. Sebanyak 50.000 keping CD terjual dan sekitar 4.000 keping kaset pita laris terjual. Lagu Kangen Banyuwangi yang dinyanyikannya menjadi andalan.49

Meskipun demikian, setiap hari Temu masih harus berpikir keras apa yang bisa dimakan besok. Sehingga mau tidak mau menjadi buruh sawah.Baginya yang penting ada beras yang bisa dimakan keesokan harinya. Padahal kalau dihitung-hitung, keuntungan yang didapat oleh pihak produser 200 kali lipat

sekitar Rp.350.000.000. Jumlah yang luar biasa banyak jika diterima oleh si penyanyi. Sementara upah yang diterima si Tinah hanya 1,5 juta rupiah.50

Kasus tersebut kerap dialami Temu, tetapi dirinya tidak mampu berbuat banyak. Tidak pernah ada perjanjian tertulis atau kontrak, kalaupun ada itu hanya mengatur masalah hak dan kewajiban. Itupun hanya perjanjian produser dengan broker.

Dyah Larasati51, ternyata juga mengenal satu nama yang sama yaitu gandrung Temu.Kami berdua dalam waktu yang berbeda pernah datang kerumahnya di desa Kemiren. Dari Dyah, saya mengetahui bahwa rekaman lagu- lagu Osing yang dinyanyikan sudah sampai ke teman-temannya di Amerika dan Eropa. Mbak Dyah –demikian saya memanggilnya- sebelumnya mengira kehidupan Temu jauh lebih baik karena royalty yang cukup lumayan dari hasil rekamannya. Namun ternyata apa yang ia bayangkan amat jauh dari kenyataan.Ia amat menyayangkan tidak ada pihak yang bersedia mengakomodir persoalan “penipuan” tersebut.

Terbayang sejumlah uang royalti yang seharusnya diterima Temu setiap tahunnya. Tapi ternyata kemiskinan tetap menggelayuti hidupnya. Tidak sepeserpun keuntungan diterimanya, karena memang tidak ada perjanjian apapun sebelumnya.Peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika gandrung cukup mempunyai pengetahuan tentangsegala sesuatu yang berkaitan dengan profesinya.

Memang di jaman Mudaiyah dan Temu, para penari gandrung tidak bersekolah. Namun sekarang, menggandrung adalah salah satu jalan untuk

50

“Pertarungan Identitas”.Dalam Etnografi Gandrung.Desantara 2008.Hal.115 51

Dyah adalah seorang profesor seni di salah satu Universitas di Amerika Serika. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di IRB.

memenuhi biaya sekolah. Sebut saja Intan seorang gandrung yang masih kuliah di salah satu universitas swasta di Banyuwangi. Intan membiayai kuliahnya sendiri dari hasil nggandrung. Bagi Intan, tidak sulit membagi waktu antara kuliah serta nggandrung, karena tawaran hanya datangseminggu dua kali.52Selebihnya waktu bisa diatur sendiri. Meskipun banyak temannya yang mengolok-olok, tapi Intan terus menari untuk membayar kuliahnya bahkan bisa membantu kebutuhan ekonomi orang tuanya.

Jika mendengar kehidupan para gandrung yang menjadi narasumber dalam tulisan ini, pendidikan tampaknya memang tidak terlalu penting ketika itu. Gandrung ternama seperti Temu, Mudaiyah dan Darti, tidak terlalu mementingkan pendidikan formal. Karena kemungkinan besar orientasi pada masa itu lebih pada memenuhi ekonomi dan bukan pendidikan. Sebaliknya,gandrung sekarang paling rendah pendidikan mereka adalah Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pada tahun 60-an, belajar gandrung dibayar dengan tenaga. Ketika belajar gandrung Mudaiyah tidak mengeluarkan sepeserpun. Ia harus membayar dengan tenaga, misalnya dengan membersihkan rumah si guru atau melakukan pekerjaan rumah lainnya.

Berbeda dengan gandrung Mudaiyah, gandrung Darti adalah keturunan Mbah Semi. Sejak kecil kalau mendengar musik gandrung atau musik apapun, secara otomatis tubuhnya menarikan gerakan gandrung. “Kegilaan” pada gandrung ini membuat dirinya tidak tertarik untuk belajar, sehingga baginya, bisa membaca dan menulis sudah amat cukup. Sejak kecil, banyak yang yakin kepada

52

Darti bahwa ia akan menjadi gandrung terkenal. Hal ini juga memperkuat niatnya untuk tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.

Diakui oleh para gandrung bahwa profesi ini menawarkan uang dan popularitas. Pertama-tama yang harus diraih adalah popularitas. Setiap gandrung memiliki cara berbeda untuk mendapatkan yang satu ini. Sikap ramah, menahan marah jika ada yang mengganggu, adalah salah satu kekhasan individu penari. Misalnya seperti yang di lakukan oleh gandrung Mudaiyah. Kelincahan menjadi ciri khasnya.53 Sementara gandrung Temu memiliki suara indah dan sampai hari ini belum ada gandrung yang memiliki suara melebihi keindahan suaranya.54 Menurut para gandrung, bersamaan dengan popularitas akan datang tawaran pentas dan uang. Dan ketika itu, ditahun 60-an para gandrung ini masih sering pentas. Sehingga mereka tidak perlu kuatir akan kehabisan uang. Pada waktu itu, gandrung memang kesenian tradisi yang amat populer. Hampir seminggu dua kali para penari ini mendapat tawaran untuk pentas.

Tetapi sekarang ini masyarakat memiliki banyak pilihan hiburan. Gandrung pun mulai menjadi nomor sekian untuk mengisi acara pesta serta syukuran. Tawaran mentas menjadi tidak rutin, sementara kehidupan terus berjalan.

Berbeda dengan gandrung Temu yang kehidupannya memprihatinkan. Kalau tidak ada tawaran pentas gandrung, untuk kebutuhan hidup setiap harinya, ia harus ‘gali lobang tutup lobang’55. Sebegitu memprihatinkannya kehidupan Temu, membuat banyak orang menaruh belas kasih kepadanya dan memberi

53

Diungkapkan pada saat wawancara dengan yang bersangkutan pada tanggal 10 Mei 2011 54

Berdasarkan wawancara dengan pak Pur, dan dikuatkan oleh beberapa orang penonton yang saya temui.

55

bantuan berupa makanan atau uang. Bahkan ada himbauan dari seorang kerabat Temu, yang ditujukan kepada para pewawancara untuk memberi uang setiap kali selesai wawancara. Dan bagi para siswa SMA yang belajar gandrung kepadanya, paling tidak setiap kali Dating memberi urunan sebesar Rp.5000 /orang.

Dibanding berbagai kisah hidup para gandrung senior, saya melihat ada semacam kesan dari para gandrung muda sekarang ini untuk tidak hanya menggantungkan diri pada keahlian menggandrung, tetapi lebih kreatif dengan bergabung bersama kelompok nyanyi atau kelompok kesenian lainnya. Selain itu, pendidikan harus terus dijalankan bahkan hingga keperguruan tinggi.

Dokumen terkait