ABSTRAK
Ingat gandrung, ingat Banyuwangi. Inilah yang diinginkan oleh Pemerintah kota Banyuwangi ketika menjadikan gandrung sebagai ikon kota tersebut di tahun 2002. Sepanjang sejarahnya, sebagai sebuah tarian, gandrung mengalami perubahan tidak hanya dari segi penari (yang awalnyaditarikan oleh laki-laki lalu diganti perempuan), gerakan, namun juga soal wacananya.Gandrung yang awal mulanya ditarikan sebagai bagian dari ritual kemudian dikriminalisasikan seiring dengan pengasosiannya dengan PKI pasca 1965. Saat itu, menari gandrung seakan-akan sama dengan berbuat maksiat.
Penelitian ini digagas untuk melihat secara lebih rinci dan mendalam bagaimana penari gandrung memaknai kegandrungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, berikut bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang bermain di sekeliling mereka. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang gandrung yang sudah cukup senior: Temu, Darti, dan Mudaiyah. Selain narasumber utama tersebut, penelitian ini juga melibatkan beberapa narasumber sekunder yang terdiri dari 3 orang gandrung yang masih yunior: Mia, Viroh, dan Reni. Ketiganya merupakan anak asuh Temu. Informan lain yang juga diwawancarai terdiri dari penikmat gandrung,
Dari hasil analisa deskriptif yang dilakukan terlihat bahwa seiring rekonstruksi baru Kabupaten Banyuwangi perempuan penari gandrung juga mengalami rekonstruksi, pencitraan perempuan maksiat tergeser menjadi perempuan tradisi. Di satu sisi hal yang menguntungkan, tetapi di sisi lain terlihat kerentanan perempuan penari gandrung ini sebagai subjek yang tidak punya posisi tawar. Identitas mereka dibuat oleh pemerintah sesuai kebutuhan.
ABSTRACT
Remember Gandrung, Remember Banyuwangi. This jargon was declared by Banyuwangi local authority while constructing Gandrung as an icon of the city at 2002. During its history, Gandrung has changed. The transformation was happen, not only from the subjects/dancer, who was male then replaced by female, but its parts of gestures and the discourses. Gandrung was related with a kind of ritual. Then, it was criminalized after it was related with PKI (Indonesia Communist Party) after 1965. In that time, doing Gandrung dance is was like an immoral.
This research was taken to look up deeper and detail how the Gandrung dancers are making meaning with the gandrung in their daily lives, included how they negotiates with powers which played around them. Informants of this research are three Junior Gandrung dancers. They are Mia, Viroh, and Reni. Three of them are the pupils of Temu. The other informants are the peoples who are enjoying Gandrung.
Three description analysis shows that new reconstruction of Banyuwangi Regency, the Gandrung dancer also reconstructed. The image of immoral women was replaced by the image of traditional women. This new construction was benefited but in the other hand, there is a weakness point that those dancer have no bargaining power. Their identity has been constructed for authority needs.
KONSTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN PENARI GANDRUNG
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M,Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh
Yovita Triwiludjeng 096322012
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Tesis
Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung
Oleh
Yovita Triwiludjeng
096322012
Telah disetujui oleh
Dr.Katrin Bandel
---
---Pembimbing 1 Tanggal 6 November 2014
Dr.G.Budi Subanar, SJ
---
Tesis
Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung
Oleh
Yovita Triwiludjeng 096322012
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua : Dr. G. Budi Subanar, S.J ...
Sekretaris / Moderator: Dr. Baskara T. Wardaya, S.J ...
Anggota : 1. Dr. Katrin Bandel ...
2. Dr. St. Sunardi…...
Yogyakarta, 6 November 2014
Direktur Program Pascasarjana
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya, mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Yovita
Triwiludjeng (NIM 096322012), menyatakan bahwa tesis dengan judul:
Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung,
ini merupakan hasil karya penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian,
peminjaman / pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya
pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai aturan yang berlaku, sebagai
mana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 6 November 2014
Yang Membuat Pernyataan
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswi Universitas Sanata Dharma
Nama :Yovita Triwiludjeng
Nim :096322021
Demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :
Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada)
Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk
pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di
internet atau media lai untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari
saya atau memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di :Yogyakarta
PadaTanggal : 6 November 2014
Yang membuat pernyataan:
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Gusti Allah yang setia menemani peziarahan saya
khususnya selama menimba ilmu di IRB. Sempat terpikir, saya tidak akan bisa
menyelesaikan program ini karena keterbatasan dari dalam diri dan dari luar.
Ternyata saya bisa. Ini semua berkat; Mbak Katrin Bandel dan Romo Budi
Subanar, beliau berdua Guru dan pembimbing paling sabar yang pernah saya
punyai. Pak St.Sunardi, Rm.Baskara, Rm.Haryatmoko, Pak George dan
PakBudiawan, terimakasih untuk semua ilmu pengetahuan, pengalaman dan
semangat yang diberikan.
Terimakasih buat Vita dan Eli yang memberi tumpangan selama saya di
Yogya. Lucia, yang setia menemani dan menjadi editor paling setia. Leo yang
meminjamkan Laptop saat Laptop saya rusak, Herlina, Fairuz, Iwan, Abed, Anes,
Mei, Probo, Rhino dan Agus teman seperjalanan. Kalimat dari kalian,“Ayo mbak
pasti bisa”, mampu menjaga api dalam diri saya untuk menyelesaikan tulisan yang
masih jauh dari sempurna ini. Beribu terimakasih teman-teman
Mbak Dessy, yang setia mengingatkan urusan administrasi, MasMul, yang
membuat ruang belajar kita menjadi selalu nyaman.
Teman-teman komunitas FCJ Baciro yang dengan sangat terbuka
menerima saya untuk tinggal bersama selama satus etengah tahun. Teman-teman
Komunitas Bandung; Sr, Nance, RSCJ, Sr.Geradette, RSCJ, atas dukungan moral
dan finansial, para novis yang rajin mendoakansaya agar saya cepat lulus.
Komunitas Lenteng; Sr,Nancy Murphy, RSCJ, para postulant, Sr.Lusni, RSCJ dan
aspiran. Sr.Inoue Chizoue, RSCJ, tak terbilang kemurahan hati yang suster
berikan untuk mendukung proses belajar. Komunitas Kebon Nanas, komunitas
yang sering saya tinggalkan karena urusan tesis ini, Sr.Hortencia, RSCJ dan
adik-adik aspiran, terimaksih untuk pengertian kalian selama ini.
Dan orang-orang yang kusayang: Ibu, mbak Endah,Mas Edhi,Tutur,
Wiwid dan para keponakanku yang selalu menjadi alasan ku untuk pulang dan
menyukuri segala yang ada pada diriku sekarangini.
Semoga tesis yang jauh dari sempurna ini berguna bagi siapa saja yang
membutuhkannya.
ABSTRAK
Ingat gandrung, ingat Banyuwangi. Inilah yang diinginkan oleh Pemerintah kota Banyuwangi ketika menjadikan gandrung sebagai ikon kota tersebut di tahun 2002. Sepanjang sejarahnya, sebagai sebuah tarian, gandrung mengalami perubahan tidak hanya dari segi penari (yang awalnyaditarikan oleh laki-laki lalu diganti perempuan), gerakan, namun juga soal wacananya.Gandrung yang awal mulanya ditarikan sebagai bagian dari ritual kemudian dikriminalisasikan seiring dengan pengasosiannya dengan PKI pasca 1965. Saat itu, menari gandrung seakan-akan sama dengan berbuat maksiat.
Penelitian ini digagas untuk melihat secara lebih rinci dan mendalam bagaimana penari gandrung memaknai kegandrungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, berikut bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang bermain di sekeliling mereka. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang gandrung yang sudah cukup senior: Temu, Darti, dan Mudaiyah. Selain narasumber utama tersebut, penelitian ini juga melibatkan beberapa narasumber sekunder yang terdiri dari 3 orang gandrung yang masih yunior: Mia, Viroh, dan Reni. Ketiganya merupakan anak asuh Temu. Informan lain yang juga diwawancarai terdiri dari penikmat gandrung,
Dari hasil analisa deskriptif yang dilakukan terlihat bahwa seiring rekonstruksi baru Kabupaten Banyuwangi perempuan penari gandrung juga mengalami rekonstruksi, pencitraan perempuan maksiat tergeser menjadi perempuan tradisi. Di satu sisi hal yang menguntungkan, tetapi di sisi lain terlihat kerentanan perempuan penari gandrung ini sebagai subjek yang tidak punya posisi tawar. Identitas mereka dibuat oleh pemerintah sesuai kebutuhan.
ABSTRACT
Remember Gandrung, Remember Banyuwangi. This jargon was declared by Banyuwangi local authority while constructing Gandrung as an icon of the city at 2002. During its history, Gandrung has changed. The transformation was happen, not only from the subjects/dancer, who was male then replaced by female, but its parts of gestures and the discourses. Gandrung was related with a kind of ritual. Then, it was criminalized after it was related with PKI (Indonesia Communist Party) after 1965. In that time, doing Gandrung dance is was like an immoral.
This research was taken to look up deeper and detail how the Gandrung dancers are making meaning with the gandrung in their daily lives, included how they negotiates with powers which played around them. Informants of this research are three Junior Gandrung dancers. They are Mia, Viroh, and Reni. Three of them are the pupils of Temu. The other informants are the peoples who are enjoying Gandrung.
Three description analysis shows that new reconstruction of Banyuwangi Regency, the Gandrung dancer also reconstructed. The image of immoral women was replaced by the image of traditional women. This new construction was benefited but in the other hand, there is a weakness point that those dancer have no bargaining power. Their identity has been constructed for authority needs.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN... ii
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG TESIS... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
DAFTAR ISI... x
BAB1 PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TEMA PENELITIAN ... 5
C. RUMUSAN MASALAH... 5
D. TUJUAN PENELITIAN ... 5
E. MANFAAT PENELITIAN... 5
F. TINJAUAN PUSTAKA... 6
G. KERANGKA TEORITIS ... 8
H. METODE PENELITIAN ... 10
1. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian………... 11
2. TeknikPegumpulan Data ... 11
3.Teknik Pengolahan Data ... 11
I. SKEMA PENULISAN... 12
BAB II SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI ... 13
B. AWAL MULA GANDRUNG ... 13
C. GANDRUNG SEMI; GANDRUNG PEREMPUAN PERTAMA DI BANYUWANGI... 16
D. PENGARUH PEMBUKAAN PERKEBUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GANDRUNG... 19
F. GANDRUNG SEBAGAI KOMODITAS PARIWISATA ... 21
G. PEREMPUAN GANDRUNG DIMASA SEKARANG... 23
H. KESIMPULAN... 25
BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN ... 27
A.PENDAHULUAN ... 27
B.SEKILAS GAMBARAN BUMI BLAMBANGAN... 27
1. Keragaman di Bumi Blambangan ... 29
2. Orang Using di Kemiren ... 32
C.PROFIL GANDRUNG DI KEMIREN ... 38
1. Gandrung Darti... 38
2. Gandrung Temu ... 41
3. Gandrung Mudaiyah... 45
D.WACANA SEPUTAR GANDRUNG... 49
1. Pendidikan... 49
2. Praktik Olah Tubuh Penari Gandrung... 54
3.Pertunjukan Gandrung Terop... 57
4.Gandrung Sang Idola... 64
E.MENGGANDRUNG DEMI UANG DAN TRADISI... 65
F.PEREMPUAN PENARI GANDRUNG DI MATA MASYARAKAT ... 67
BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS GANDRUNG ... 72
A.PENDAHULUAN ... 72
B.SEBAGAI MASKOT PARIWISATA BANYUWANGI... 72
C.LAMBANG KEMAKSIATAN ... 76
D.GANDRUNG BANYUWANGI SAAT INI ... 79
F.USAHA MENENTANG IMAJI NEGATIF ... 79
1. Gerak Tari Tangar ... 79
2. Kluncing... 80
3. Pembuktian Tidak Adanya Pelanggaran Moral ... 81
4.Penyuluhan ... 84
5.Pendampingan ... 84
G. KESIMPULAN... 86
BAB V PENUTUP... 88
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-lah yang memunculkan ketertarikan saya
terhadap seni tradisi khususnya tari. Saya membaca novel ini ketika masih duduk
di bangku SMP. Dari umur belasan tahun sampai sekarang masuk kepala empat,
saya sering terbayang-bayang dengan apa yang diceritakan di dalam novel ini.
Novel ini menyentuh perasaan dan pikiran saya, terutama menyangkut tentang
pergulatan tokoh Srintil sebagai seorang penari ronggeng.
Novel karangan Ahmad Tohari1 ini ditulis dengan latar belakang
masyarakat tradisi di Banyumas. Masyarakat di sana mempunyai tradisi tari
ronggeng yang dibanggakan. Tradisi tersebut merupakan warisan dari sang
leluhur, Ki Senca Menggala. Tidak sembarang orang dapat menjadi ahli waris
tradisi satu ini. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi penerus.
Orang terpilih itu adalah seorang gadis cilik yatim piatu, Srintil. Sebelum
diberi kesempatan manggung, Srintil dilatih oleh seorang dukun ronggeng,
Kertareja. Srintil dan Kertareja saling membutuhkan satu sama lain. Eksistensi
Kertareja sebagai dukun ronggeng ‘terselamatkan’ karena kehadiran Srintil.
Sementara, Srintil dapat mewujudkan impiannya menjadi ronggeng dengan
bantuan dari Kertareja. Akan tetapi, posisi Srintil terlihat lebih rentan. Srintil
1
sepertinya tidak punya daya tawar terhadap apa-apa yang sudah ‘digariskan’
untuknya. Apa yang disyaratkan oleh Kertareja, semua diikuti. Atas nama tradisi,
semua dikorbankan.
Srintil kembali menjadi ‘korban’ ketika sebuah partai politik datang dan
mempergunakan tubuhnya sebagai alat propaganda. Srintil yang polos hanya terus
menari. Ia tidak mengerti soal politik atau propaganda. Tetapi kepolosannya itu
tidak mencegahnya untuk tidak ditangkap. Srintil tetap ditangkap karena dianggap
sebagai bagian dari partai politik yang telah memanfaatkan tariannnya itu.
Kisah Srintil ini adalah kisah klasik yang menjadi gambaran tentang
bagaimana nasib dan kisah hidup perempuan penari tradisi di bumi Nusantara ini.
Sebagian gandrung di Banyuwangi juga pernah mengalami nasib yang serupa.
Gandrung yang tumbuh di tengah komunitas Using ini, di masa-masa 1965 dan
sesudahnya, dilarang dipertunjukkan oleh pemerintah. Sebagaimana digambarkan
oleh antropolog, Bakst2
“The women who practiced and performed this dance were marked as communists and many of them were imprisoned and murdered as a result,”
Sama halnya dengan Srintil, mereka juga tidak tahu-menahu tentang
pengasosiasian diri mereka dengan ideologi tertentu. Mengutip uangkapan Diyah
Larasati, yang diwawancarai Bakst, menjelaskan:
“It’s not about what the dance is about; I think it’s more about the political categorization that is so powerful within Indonesian political consciousness at that time, who belonged to what group.”3
Pentas gandrung memang tidak pernah sepi dari konflik kepentingan.
Anoegrajekti menulis, di masa Orde Baru, gandrung sering dipakai di dalam
2
Bakst, lauren Grace.2009. “Displaces female narratives: the embodied diaspora of Indonesia dance practice, hal:5 (http://www.hollidence.com/lauren/displaces%20%20narratives.pdf,13Juni 2013)
3
kampanye-kampanye partai politik.4 Penggunaan gandrung di pentas politik
didudukkan bukan lagi sebagai ‘kesenian rakyat’, akan tetapi sebagai bagian dari
kelokalan yang membentuk imaji tentang keanekaragaman budaya nasional.
Tahun 2002, tepatnya tanggal 31 Desember, Bupati Banyuwangi periode
2000 – 2005, Samsul Hadi, mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya
menetapkan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi.5 Penetapan itu
memicu kontroversi di tengah masyarakat Banyuwangi. Pemilihan gandrung
sebagai maskot dinilai sebagai bagian dari politik etnis.6 Samsul Hadi yang kala
itu menjabat merupakan putra ‘asli’ Using. Maka, pemaskotan gandrung dianggap
sebagai proyek ‘Using-isasi’ Banyuwangi. Sementara itu, di sisi lain, kalangan
agamawan menilai pemaskotan gandrung tidak sesuai dengan nilai-nilai
ke-Islam-an yke-Islam-ang dike-Islam-anut oleh mayoritas masyarakat Bke-Islam-anyuwke-Islam-angi. Gke-Islam-andrung disamakke-Islam-an
dengan “ladang maksiat”.7
Tidak bisa dipungkiri bahwa seni gandrung memang dilingkari oleh
stereotipe negatif. Dalam pentas gandrung memang terjadi interaksi yang cukup
intens antara penari gandrung perempuan dengan penontonnya yang mayoritas
laki-laki. Di dalam pertunjukan gandrung ada satu tahapan yang dinamakan paju,
ketikaaudienslaki-laki diberi kesempatan untuk menari dengan gandrung. Lelaki
yang ikut menari ini dinamakan pemaju.Sementara gandrung menari dengan
gerakan yang erotis, pemaju menari dengan provokatif dengan gerakan seperti
4
Anoegrajekti, Novi. 2011.” Gandrung Banyuwangi: Kontestasi dan representasi identitas Using.” Jurnal Humaniora. Vol. 23 No. 1, hal: 27
5
Dariharto.” Kesenian Gandrung Banyuwangi.” Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 36 (tanpa keterangan tahun)
6
Anoegrajekti, Novi dan Bisri Effendy. 2007. “Penari gandrung dan gerak sosial Banyuwangi” dalam Srinthil. Kajian Perempuan Desantara: Depok, hal: 10
hendak mencium atau menyentuh tubuh gandrung. Inilah salah satu sebab
mengapa gandrung ditanggapi secara negatif.
Interaksi yang intens antara penari gandrung dan penonton ini sering
dibaca oleh sejumlah peneliti seni pertunjukan sebagai pelecehan dan eksploitasi
terhadap perempuan. Padahal penari gandrung punya siasat, disebut tangar,8
untuk dapat mengelak dari pemaju-pemaju yang nakal. Sesungguhnya gandrung
tidak memperlihatkan perempuan yang tersubordinasi sepenuhnya oleh laki-laki,
tapi perempuan yang selalu memiliki strategi untuk mengelak dari laki-laki yang
hendak menguasainya:
“tari berpasangan sebenarnya lebih memperlihatkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan penari laki-laki yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol [...] Sekilas dari sudut gerak dan volume tari memang mengesankan dominasi kekuasaan oleh penari laki-laki, tetapi jika ditengok lebih dalam dan detail ternyata penari perempuan juga memperlihatkan hal yang sebaliknya, ia mampu menunjukkan ‘kekuasaan’nya atas penari laki-laki [...]”9
Dari pengantar yang sudah saya ceritakan panjang lebar di atas, saya
kemudian semakin tertarik untuk menguliti lebih dalam tentang berbagai
pengalaman serta keseharian para penari gandrung ini, maka saya yakin akan
mendapatkan banyak gambaran tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan para
penari gandrung serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada
akhirnya saya bias memberikan gambaran kepada dunia luar dan memberi
padangan kepada dunia luar bahwa apa yang digambarkan selama ini oleh
masyarakat luas tentang seputar kehidupan para penari ini sangatlah tidak tepat.
8
Gerakan kreatif untuk menghindar dan penolakan untuk disentuh dalam gandrung 9
B. Tema Penelitian
Dalam penelitian ini saya akan fokus pada pengalaman penari gandrung,
bagaimana mereka memposisikan dirinya ditengah wacana-wacana seputar
gandrung yang beredar.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengalaman sehari-hari perempuan penari gandrung di desa
Kemiren?
2. Apa posisi gandung dalam konstruksi identitas Banyuwangi, dan
bagaimana wacana itu membentuk identitas dan pengalaman penari
gandrung?
D. Tujuan Penelitian
1. Mengurai wacana-wacana yang berpengaruh dalam pembentukan identitas
para penari gandrung;
2. Melihat cara penari gandrung menyikapi dan menegosiasikan
wacana-wacana yang membentuk identitas diri mereka.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang
problematika gandrung karena menyorot dari dua sisi: sisi sosial dan sisi
individual gandrung. Penelitian ini memberi ‘suara’ pada penari gandrung,
khususnya gandrung terop (gandrung tradisi) yang termarginalkan secara
F.Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap kehidupan masyarakat Using telah dilakukan oleh
sejumlah peneliti di Indonesia. Hampir semua aspek yang berkaitan dengan suku
Using telah dibahas. Salah satu peneliti yang banyak mengulik tentang gandrung
adalah Novi Anoegrajekti. Dalam salah satu esai berjudulGandrung Banyuwangi:
Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama Memperebutkan Representasi Identitas
Using, ia membahas gandrung sebagai obyek yang diperebutkan oleh tiga
kekuatan besar: pasar, agama, dan tradisi.
Berdasarkan keterangan Anoegrajekti, pertarungan antara pasar, agama,
dan tradisi dalam mengkonstruksi identitas gandrung meningkat pada periode
2000 – 2005.10 Pasar, yang disebut Anoegrajekti sebagai kekuatan yang lebih
dominan, mengkonstruksi gandrung sebagai semata-mata hiburan. Pementasan
gandrung yang digerakkan oleh kekuatan pasar tidak memiliki aturan baku,
melainkan “pentas terbuka, komersial, dan penuh alkohol”.11
Sementara itu, birokrasi dan elit budayawan Using yang tergabung dalam
Dewan Kesenian Blambangan berusaha melakukan pembakuan terhadap
gandrung dalam rangka apa yang disebut sebagai ‘konservasi seni tradisi’.
Gandrung dikonstruksi seperti apa yang dibayangkan di masa lalu, yaitu:
“[...] mengikuti pembabakan (Jejer, Paju, Seblang-seblang), menyanyikan lagu-lagu Osing terutama yang bermuatan historis dan heroisme (lagu Gandrung dan lagu Banyuwangen), menyajikan tari Ukir dan Prapatan yang berbeda dari tari Jawa dan Bali, mengalunkan musik yang bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih dari minuman keras.”12
Salah satu upaya yang ditempuh Pemerintah Daerah Banyuwangi bersama
dengan Dewan Kesenian Blambangan untuk ‘mengembalikan orisinalitas tradisi’
10
Anoegrajekti, Novi. Op.cit. hal: 26 11
Ibid., hal: 33 12
itu yakni dengan membuat aturan baku dalam pementasan gandrung yang
kemudian disosialisasikan melalui pelatihan gandrung secara reguler. Dengan
begitu, gandrung yang dicetak akan sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.13
Di tengah-tengah kedua kekuatan itu, kaum santri yang berada di seputar
Banyuwangi, ikut bersuara. Kaum Santri atau mereka-mereka yang berada di
pesantren atau para alumnus pesantren, mendesak supaya pementasan gandrung
ditiadakan karena dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Ada pula yang
meminta supaya pementasan gandrung di-Islam-kan. Maksudnya antara lain,
“tidak erotis, tanpa tari berpasangan, memakai pakaian tertutup, dan bersih dari
minuman keras.”14
Penelitian Anoegrajekti, yang tidak terbatas pada satu tulisan itu saja, kaya
akan data yang bisa dipakai dalam mengembangkan penelitian ini, antar lain
artikel-artikelnya yang banyak ditulis dalam Media Perempuan Multikultural
“SRINTIL”. Akan tetapi, penelitian ini memiliki pemahaman yang berbeda dari
yang diajukan Anoegrajekti. Anoegrajekti melihat kekuatan pasar, agama, dan
tradisi sebagai terpisah satu sama lain. Ia membayangkan tiga kekuatan itu berada
dalam sebuah arena pertarungan, dengan kekuatan pasar keluar sebagai
pemenang.
Sementara, penelitian ini lebih melihat pada pengalaman hidup sehari-hari
perempuan penari gandrung. Saya memotret dan mengamati interaksi sosial
perempuan penari gandrung di rumah maupun dipentas gandrung.
13
Ibid., hal: 31 – 32 14
G. Kerangka Teoretis
Konsep identitas dalam penelitian ini dipahami dalam kerangka
non-esensialis. Identitas sebagai sebuah proses ketimbang sesuatu yang tetap. Identitas
tidak sekaku apa yang tertulis di kartu pengenal. Seperti yang ditulis Hall:
“[...] not ‘who we are’ or ‘where we come from’, so much as what we might become, how we have been represented and how that bears on how we might represent ourselves”.15
Dalam buku Identity, Community, culture and Difference, Stuart Hall
menekankan konsep identitas pada cultural identity, karena menurutnya identitas
adalah sebuah produksi yang tak pernah selesai melainkan selalu berada dalam
proses (Hall,1990:22).
Identitas terkait dengan masa lalu namun tidak terikat secara esensialis
dengan masa lalu. Identitas seorang imigran misalnya, akan terkait dengan
keberadaannya sebagai migran namun eksistensinya tidak terbatas pada
identitasnya sebagai imigran (being) melainkan pada proses becoming. Proses ini
berkaitan dengan masa depan, karena identitasnya bukanlah sebuah proses yang
sudah selesai.
Teori Representasi: salah satu makna yang terkandung dalam kata
representasi adalah:to represent atau menghadirkan kembali sesuatu danto stand
inatau untuk mewakili sesuatu (Hall.2001:15).
“Representasi berkaitan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Representasi sendiri merupakan sistem yang memiliki proses.”(Hall.2003:17)
Identitas berkaitan erat dengan diri seseorang atau komunitas, menyangkut
individu atau kelompok. Menurut Barker, Identitas dibedakan menjadiself identity
15
dan social identity. Pembedaan ini didasarkan dari sudut pandang melihat
identitas. Bagaimana seseorang atau sekelompok melihat dirinya adalah self
identity, sementara bagaimana konstruksi msyarakat melihat mereka adalah social
identity. Identitas seseorang atau kelompok ditentukan berdasarkan kesamaan dan
perbedaan, mengenai diri pribadi dan sosial.
Kathryn Woodward, mengatakan bahwa konstruksi identitas diambil dari
pemaknaan atas perbedaan: “identity is constructed in relation to other terms of
others”.Dalam pengertian ini identitas merupakan hubungan yang bersifat oposisi
biner dengan yang lain. Identitas seseorang dapat terkonstruksi atau
dikonstruksikan melalui keberadaan yang lain. Bukan hanya individu yang
penting, melainkan kaitan antara individu dengan komunitas atau orang-orang lain
juga memegang peranan.
Identitas lebih banyak terkonstruksi dalam hubungannya dengan yang lain
dan dengan perbedaan daripada dalam hubungan dengan diri sendiri. Identitas
seringkali diidentifikasikan oleh orang lain dan dikontraskan dengan orang
lain.Dalam pengertian ini, individu diletakan dalam konteks masyarakat. Tidak
hanya dirinya yang menjadi pokok, namun juga posisinya dimasyarakat.
Stuart Hall mengatakan dalam Identity and Diaspora (1990:222-237)
bahwa kita harus melihat identitas sebagai proses produksi yang tak pernah
selesai. Ia selalu berada dalam proses dan selalu berada bersamaan dengan
representasi. Terutama ketika timbul permasalahan mengenai identitas budaya
(cultural identity). Di satu sisi, identitas budaya berkaitan dengan budaya asal
Artinya, berbagai latar pengetahuan, pengalaman keseharian, serta berbagai hal
yang dibagi bersama dalam sebuah konteks budaya.
Hall menjelaskan juga mengenai identitas budaya sebagai konstruksi yang
tak pernah selesai sangat erat hubungannya dengan masalalu yang akan datang . It
is a matter of ‘becoming’ as well as of ‘being’ It is belongs to the future as much
as to the past.
Hall, menjelaskan posisi identitas dalam pengertian esensialis dan non
esensialis. Pandangan non–esensialis melihat identitas sebagai sesuatu yang
dikonstruksi dan terkonstruksi (construted and being constructed) subjek dan
lingkungan memiliki peranan yang sama penting dalam konsep identitas. Konsep
identitas sebagai suatu proses yang terus berlanjut dan karenanya harus dipandang
dengan cara non-esensialis, inilah yang akan dipakai dalam penelitian ini..
Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan
bagaimana orang itu berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam satu
lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dalam lingkup lain (being
positioned). Hal ini terkait erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas
budaya. Perbedaan dan persamaan ini ada dalam cakupan identitas budaya.
Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai sesuatu hal yang selalu berubah dan
titak tetap, oleh karena itu seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring
dengan kehidupannya.
H. Metode Penelitian
Subyek yang dipilih adalah penari gandrung yang berdomisili di
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tepatnya di Desa Kemiren. Subyek
gandrung yang diwawancarai secara mendalam terdiri dari Temu, Darti dan
Mudaiyah. Ditambah Mia, Viroh dan Reni16 (mereka bertiga adalah anak asuh
Temu). Darto (sopir angkutan desa sekaligus penggemar gandrung), Bpk.Mucklis
(suami gandrung Darti, pegawai di DKB), Bapak Sauni (pemilik sanggar Sekar
Jagad, pelatih tari gandrung dan pegawai DKB), Purwanto (Penggemar gandrung,
pemilik penginapan dan termasuk tokoh Osing), Dayat dan Rahman (petani,
pemain musik angklung sawah dan pernah ikut membantai orang-orang yang
dianggap PKI), Ibu Suci (Pembuat kostum gandrung dan pernah rekaman
lagu-lagu gandrung), Pak Jo, (kluncing/pemain musik). Ibu Nur (perempuan yang saya
temui di jalan yang banyak memberi informasi tentang orang-orang Osing)
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Observasi lapangan: mengamati proses interaksi penari gandrung
baik ketika pertunjukan maupun di keseharian;
b. Wawancara mendalam dengan setiap informan;
c. Mempelajari teks yang terkait dengan tari tradisi dan gandrung
pada khususnya yang bersumber dari koran, majalah, buku, hasil
penelitian (thesis maupun disertasi), foto, dan film.
3. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, bersifat deskriptif,
dengan membuat catatan etnografis berdasar hasil observasi lapangan. Kedua,
16
melakukan pemetaan data berdasarkan hasil wawancara dipadukan dengan data
sekunder dari berbagai sumber. Pemetaan dilakukan sesuai kebutuhan, hanya yang
terkait dengan tema tulisan. Ketiga, analisa data dengan menggunakan teori dalam
kerangka penelitian kemudian dijelaskan dalam bentuk deskriptif interpretatif.
I. Skema Penulisan
Bab satu: berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka dan metode pengambilan dan
pengolahan data.
Bab dua: membahas tentang sejarah gandrung. Penulis banyak
menggunakan data pustaka dan memanfaatkan hasil penelitian dan tulisan orang
lain yang berfokus pada penari seni tradisi, penggemar dan pemerhati gandrung.
Bab tiga: memaparkan hasil temuan lapangan yang saya koleksi selama di
Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di desa Kemiren dan desa Oleh Sari. Berbagai
temuan lapangan yang akan menjawab berbagai masalah yang sudah saya
rumuskan di atas.
Bab empat: adalah bab analisa yang akan meramu berbagai temuan
lapangan, data literatur, serta teori dan konsep yang telah saya pilih sehingga
dapat menjawab segala kegelisahan saya.
BAB II
SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI
A.Pendahuluan
Jika membicarakan sejarah gandrung di Banyuwangi, maka akan
ditemukan beberapa versi, tergantung siapa yang berbicara serta kepentingannya.
Dalam tulisan ini, saya akan menyertakan beberapa aliran pendapat itu tanpa
berusaha menghakimi mana yang paling benar. Bab ini dibuka dengan menelusuri
awal mula munculnya gandrung di daerah Banyuwangi.
Bila ditilik dari sejarahnya, gandrung pertama kali ditarikan oleh laki-laki,
baru di penghujung abad 19, gandrung mulai ditarikan oleh perempuan.
Gandrung17. Semi tercatat sebagai gandrung perempuan pertama di Banyuwangi.
Dalam kesempatan ini saya akan membahas gandrung Semi secara agak
mendalam karena di masa gandrung Semi inilah terjadi beberapa perubahan dalam
gandrung. Perubahan itu diantaranya terkait dengan, adanya tari berpasangan, dan
musik pengiring yang lebih beragam, gamelan salahsatunya.
Selanjutnya, saya akan membahas dengan menyoroti masa sekarang
dimana gandrung mendapat tantangan ‘baru’ dari masyarakatnya sendiri. Antara
lain terkait dengan sebutan sebagai ‘perempuan murahan’.
B. Awal Mula Gandrung
17
Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Banyuwangi, disebutkan bahwa gandrung berasal dari sebuah kesenian bernama
“juru I angin”. Kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit. “Juru I angin”
merupakan tarian istana di mana “seorang wanita menari sambil menyanyi dengan
sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang ‘buyut’, yaitu seorang pria tua
yang berfungsi sebagai panakawan”.18
Tarian “juru I angin” dianggap sebagai cikal-bakal tarian gandrung sebab:
“penari gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu
melawak”.19Jika bersandar pada satu alasan itu saja, tentu asumsi bahwa gandrung
mengekor dari tradisi “juru I angin” kurang kuat. Dariharto mengakui hal itu. Ia
mencoba memperkuat argumennya dengan meminjam pernyataan Drs. Sri
Soeyatmi Satari bahwa daerah-daerah yang berada di pinggiran kerajaan, pola
kebudayaan dan tradisinya mengekor ke pusat.Akhirnya disimpulkan, karena
Blambangan adalah ‘pinggiran Majapahit’ maka ia akan meniru kebudayaan
Majapahit.20
Sebenarnya tidak terlalu penting apakah argumen di atas valid atau tidak,
yang menarik yaitu adanya usaha untuk mendudukkan gandrung sebagai seni
kraton. Pemahaman ini berbeda dari cara PKI dulu merumuskannya. Gandrung
dipakai sebagai lambang seni rakyat. Sampai disini, kita melihat bagaimana usaha
konstruksi dan rekonstruksi terhadap gandrung yang berkebalikan satu sama lain.
Ningrat versus rakyat jelata.
18
Dariharto. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 5 (tanpa keterangan tahun)
19 Ibid. 20
Pertunjukan gandrung sendiri mulai berkembang di tanah Blambangan
kira-kira sekitar tahun 1890. Ketika itu, penarinya adalah laki-laki berusia 7
sampai 16 tahun. Gandrung laki-laki mengenakan kostum perempuan, dan mereka
dikenal dengan sebutan gandrung lanang (gandrung laki-laki). Diduga, tingkah
laku dan kostum gandrung lanang yang feminin itu sudah merupakan fenomena
yang umum pada masa itu, hal sama serupa terjadi pada Ludruk, Reyog Ponorogo,
Ketoprak, Mendu (dari kepulauan tujuh, kepulauan Riau serta Kalimantan Barat),
Mamanda (Kalimantan Barat), Dulmuluk (Sumatra Selatan) serta Gambus
(Jombang-Mojokerto) yang semuanya itu menampilkan laki-laki dengan peran
perempuan.
Pada masa itu pertunjukan gandrung dilakukan dari desa ke desa dengan
menerima upah berupa beras serta uang. Alat musik yang digunakan pun sangat
sederhana, hanya berupa kenong, biola, gong besar serta kluncing (besi jenis
kuningan berbentuk segi tiga).
Gandrung Druning adalah gandrung lanang pertama yang sempat dicatat.
Tapi sepertinya gandrung Marsan lebih melegenda, diduga karena Marsan
satu-satunya gandrung yang bertahan hingga usia 40 tahun sementara yang lainnya
hanya sampai usia 16 tahun.
Kira-kira tahun 1895, tercatat perempuan gandrung pertama yang berasal
dari Seblang.21 Merunut ke belakang, pada tahun 1850, diketahui desa Cungking
21
Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upcara magis untuk
dan sekitarnya dihidupi oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kedekatan
masyarakat dengan alam, membentuk hidup mereka yang terintegrasi dalam satu
kesenian Seblang. Kesenian yang menjadi wujud rasa syukur masyarakat
pendukungnya ini dipenuhi dengan unsur-unsur magis. Hingga hari ini, kesenian
Seblang masih bisa ditemukan di desa Bakungan dan Olehsari.
Secara fungsional, Seblang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana
penyembuhan bagi orang sakit. Menurut cerita, orang desa biasa bernazar jika
orang yang mereka kasihi sembuh dari sakit. Misal, kalau anaknya sembuh dari
sakit maka ia akan menanggap gandrung. Selain itu, kesenian seblang juga dapat
ditampilkan saat acara bersih desa.
Hingga kini, gandrung dan seblang adalah dua kesenian yang saling
melengkapi. Ketika masyarakat ingin melakukan upacara syukur akan berkah
yang mereka terima dalam hidup dan desa mereka, masyarakat setempat biasanya
akan mengundang para penari gandrung serta menanggap kesenian seblang.
Seblang sebagai media untuk mengucap syukur dan gandrung sebagai media
untuk menghibur dan membuat suasana semakin meriah.
C. Gandrung Semi: Gandrung Perempuan Pertama di Banyuwangi
Semi dikenal sebagai gandrung perempuan pertama. Menurut cerita, Semi
kecil mengalami sakit berkepanjangan dan tidak menemukan obat yang cocok
untuknya. Midah, ibu Semi bernazar “kadung sira mari, sun dadeaken seblang,
kadung sira sing mari ya using”(“kalau kamu sembuh akan kujadikan seblang,
tapi kalau tidak sembuh ya, tidak”)22.
22
Berselang beberapa waktu Semi kecil sembuh dari sakitnya. Maka Midah
memenuhi janjinya dengan menjadikan Semi sebagai seblang. Sebelumnya, semi
kecil sudah sering menonton pertunjukan gandrung lanang. Pada saat bermain
dengan teman-temannya Semi kecil dengan luwesnya menirukan gerakan tari
gandrung.Karena keluwesannya Semi berhasil memikat hati masyarakat. Ia pun
didaulat menjadi gandrung perempuan pertama. Sayangnya tidak diketahui kapan
tepatnya Semi menjadi gandrung.
Semi
(Gandrung perempuan pertama-foto repro koleksi pribadi)
Semi bukanlah asli Banyuwangi. Ibunya Berasal dari Semarang. Orang
Banyuwangi menyebutnya Jawa Kulonan. Sementara bapak Semi berasal dari
Ponorogo, bernama Midin.23
Hijrahnya Raminah (yang dikenal dengan sebutan mak Midah) dari
Semarang ke daerah Jawa Timur tidak lepas dari situasi perubahan ekonomi
politik Belanda yang berkaitan dengan pembukaan perkebunan baru dan tenaga
kerja. Ini terjadi di Jawa dan sekitarnya, kira-kira tahun 1850-1900. Konon
kebijakan Belanda tersebut cenderung menyesengsarakan rakyat. Akibatnya,
23
untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak yang keluar dari kampung
halaman, termasuk Raminah.24
Dari perkawinannya, Midin dan Raminah dikarunia delapan orang anak.
Dari delapan orang anak itu yang menjadi gandrung adalah Semi,Suyati,Misti dan
Midah. Meskipun hanya empat orang menjadi gandrung, namun dikemudian hari
beberapa cucu Raminah ikut menjadi gandrung. Semi akhirnya menikah dengan
Sutomo dan dikaruniai 14 orang anak. Salah seorang anak Semi kemudian
mengikuti jejak Semi menjadi gandrung, anak itu bernama Suwanah, yaitu anak
Semi yang paling akhir. Semi kecil menghabiskan waktu dengan bermain di area
persawahan yang kering bersama teman-temannya. Ketika itu, saat musim kering
datang area persawahan biasa dipakai untuk pentas kesenian rakyat. Dari sekian
banyak teman-temannya, Semi yang tampak paling luwes saat menari.
Keluwesannya menggerakan tubuh dibarengi dengan suaranya yang bagus serta
kemampuannya menyanyikan gending-gending seblang membuatnya menjadi
gandrung yang dikagumi. Yang paling mengagumkan adalah segala
kemampuannya itu ia pelajari secara otodidak.
Dengan kemampuannya itu Semi akhirnya menjadi gandrung terkenal.
Bersama dua saudarinya Miati dan Suyati, mereka berkeliling dari satu desa ke
desa lain untuk mengadakan pertunjukan. Ini pulalah yang membuat namanya
semakin dikenal. Bahkan pada akhirnya Semi menggantikan peran Drungin
seorang gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Salah satu alasan Drungin
tergantikan adalah lebih pada alasan estetik, keindahan serta keharmonisan.25
24
Setiawan Sigit Budhi,“Aslinya Banyuwngi itu tidak ada” dalam “SRINTIL” Penari Gandrung dan gerak Sosial Banyuwngi.Eds.012.2007. Hal 53
25
D. Pengaruh Pembukaan Perkebunan Terhadap Perkembangan Gandrung Bersamaan dengan kehadiran gandrung perempuan, area perkebunan milik
kolonial Belanda pun mulai dibuka. Pembukaan perkebunan itu pun membuat
kebutuhan akan infrastruktur, utamanya jalan, meningkat. Untuk mengakomodir
hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuka jalan tembus
Banyuwangi-Jember. Pembukaan jalan ini mengakibatkan mengalirnya arus
migrasi dari berbagai tempat di wilayah sekitar Banyuwangi, termasuk Bali, yang
hanya dibatasi oleh selat pendek. Arus migrasi ini juga terjadi dari Sulawesi
Selatan (Bugis dan Mandar) yang ditempuh melalui pelayaran laut.
Dalam konteks perubahan sosial budaya seperti itulah Semi lahir sebagai
penari gandrung. Agak sulit mencari hubungan yang pasti antara Semi yang
berada di Cungking (Selatan Banyuwangi), Banyuwangi, dengan pusat
perkebunan yang teletak di bagian Barat wilayah Banyuwangi.Tetapi dua
pertimbangan berikut mungkin dapat menjembatani keterkaitan tidak langsung
tersebut.
Pertama,migrasi sebagai akibat dari terbukanya Banyuwangi yang diawali
oleh perkebunan kopi di Glenmore, telah meluas hampir diseluruh wilayah daerah
itu. Akibatnya, tenaga kerja yang menjadi tenaga di perkebunan, jauh lebih sedikit
dibanding migran yang datang untuk mencarikehidupan yang lebih layak, seperti
yang dilakukan oleh Raminah dan Midin (orang tua Semi) yang datang ke daerah
Blambangan dan membuka sawah sendiri.
Kedua, munculnya Semi sebagai penari gandrung segera disusul oleh
perubahan-perubahan teks pertunjukan (struktur dari tari-nyanyi) serta alat musik
yang terkenal hingga saat ini tidak dikenal pada jaman gandrung lanang.Gandrung
lanang hanya mementaskan tari dan nyanyi tunggal, bersifat tontonan serta tidak
melibatkan audiens ke dalam pentas.
Adegan jejer,paju dan seblang-seblang, yang diasumsikan oleh pemerhati
gandrung Banyuwangi, diadopsi dari ritual seblang.Termasuk nyanyian-nyanyian
yang disajikan dalam seluruh pertunjukan itu. Pertunjukan ini merupakan sebuah
ritual yang dikembangkan dari ritus yang sebelumnya dibawa oleh migran dari
Bali dan Jawa untuk keperluan yang sama dalam upacara bersih desa, serta minta
hujan.
Paju atau tari berpasangan dengan melibatkan penonton laki-laki,
kemungkinan besar diadopsi Semidari kesenian Jawa yaitu Tayub. Kesenian
Tayub diperkirakan berkembang jauh sebelum abad 20, saat dimana Semi mulai
menapaki karirnya sebagai penari gandrung.Tidak ada catatan sedikitpun
bagaimana proses adopsi Semi terhadap tari berpasangan itu. Bisa jadi Semi
menghadapi struktur sosial baru serta warga masyarakat yang plural dengan
berbagai keinginan serta tuntutan yang berbeda. Akhirnya pertunjukan gandrung
dimasa Semi, mau tidak mau disajikan kepada audiens baru yaitu para migran.
Sebuah karakter masyarakat migran yang plural serta hampir semuanya adalah
pekerja. Sangat mungkin tarian berpasangan ini digunakan sebagai ruang hiburan
semata.
Semi juga melantunkan lagu-lagu Jawa-Bali, bahkan lagu-lagu khusus
yang dipersembahkan untuk kaum santri. Perubahan lain yang terjadi di masa
Semi adalah jenis alat musik,perpaduan alat musik Jawa dan Bali yang di dukung
digunakan hanya kendang dan gong. Seperti pada perubahan struktur pertunjukan
dan lagu-lagu, perubahan corak musik dan peralatannya itu membuktikan fase
baru dalam kesenian gandrung. Dibukanya perkebunan dan datangnya migran dari
sekitar Banyuwangi adalah penanda masuknya arus modernitas serta globalisasi.
E. Gandrung Sebagai komoditi Pariwisata
Dalam rangka menciptakan kekhasan daerah berkaitan dengan promosi
pariwisata, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan
patung gandrung yang dipajang ditempat strategis hampir di setiap sudut kota dan
desa. Surat Keputusan Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002
menyatakan;
“Bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan dibidang kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di Kabupaten Banyuwangi”.26
Surat keputusan ini seperti memberi penegasan bahwa selain menciptakan
Banyuwangi kota pariwisata yang layak dikunjungi sekaligus menciptakan
sebuah representasi kedaerahan yang khas Banyuwangi.
Posisi gandrung sebagai tanda daerah Banyuwangi tersebut mengalahkan
tanda yang sudah berumur puluhan tahun, yakni patung ular berkepala gatot kaca,
yang terpajang dibanyak tempat di kota dan desa di Banyuwangi. Tanda ini sudah
tersosialisasi ke dalam kehidupan masyarakat dan menjadi aksesoris di atas pigura
gong gandrung.Identifikasi gandrung bagi pariwisata daerah Banyuwangi menjadi
26
sorotan publik, diperdebatkan, dikritik serta melulu dipersoalkan. Bahkan para
wakil rakyat di DPRD Banyuwangi yang didominasi non-Osing mempersoalkan
hal itu sebagai politik etnis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk
Banyuwangi. Sebuah daerah yang masyarakatnya begitu beragam serta plural.
Padahal sejatinya, gandrung adalah kesenian tradisional khas Osing, yang
merupakan salah satu kelompok etnik di daerah itu.
Anggota DPRD dari fraksi PPP menolak pemaskotan gandrung dari sudut
agama. Mereka menolak hal itu karena gandrung dipandang bertentangan dengan
agama Islam yang dipeluk mayoritas orang Banyuwangi. Selain karena
pemaskotan ini dianggap tidak sesuai dengan pluralitas penduduk Banyuwangi
yang majemuk dari segi etnis.27
Oleh banyak orang, gandrung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
politik tertentu diluar dirinya. Dalam konteks pemaskotan ini, selain kemungkinan
kepentingan representasi identitas, gandrung juga dimanfaatkan sebagai komoditi
pariwisata yang selalu disebut dapat menambah pendapatan daerah. Sebagai
daerah yang berdampingan dengan Bali, Banyuwangi tergolong lebih maju dalam
hal pariwisata dibanding daerah-daerah sekitarnya seperti Jember, Bondowoso,
dan Situbondo.28. Tidak mengherankan jika Banyuwangi telah ditetapkan menjadi
kota wisata. Jika mengunjungi Banyuwangi, nuansa Banyuwangi-anserta
ke-gandrung-an dapat dirasakan serta dinikmati lewat musik serta lagu-lagu yang
terdengar di bis-bis antar kota.
27
Ibid. hal.77l 28
F. Perempuan Gandrung di Masa Sekarang
Di antara hiruk pikuk perdebatan di kalangan elite politik, budayawan,
intelektual dan orang biasa, seorang perempuan penari gandrung juga sibuk
berdiskusi dengan kehidupannya sehari-hari. Diantara cacimaki dan sanjungan,
eksistensi perempuan penari gandrung masih tetap hidup dan masih menjadi
pilihan banyak perempuan untuk meniti karir.
Pada jaman pasca Semi banyak perempuan ingin menjadi gandrung karena
profesi ini dianggap cukup menjanjikan, terutama dari segi ekonomis. Namun
tidak pada jaman ini. Sejak beredarnya isu-isu negatif seputar gandrung, jarang
orang mau menggeluti gandrung, khususnya para gandrung yang menjadi nara
sumber saya. Kakak beradik Darti dan Wiwik adalah dua dari sekian gandrung
yang saat itu hingga kini memilih seni tradisi gandrung sebagai profesi karena
limpahan tradisi keluarga. Sementara, Temu, Reni dan Viroh, memilih gandrung
karena popularitas dan uang yang mudah didapat.
Tidak banyak yang bisa benar-benar sukses menjadi penari gandrung.
Rupanya sukses menjadi gandrung bukan hanya bakat yang melekat sejak lahir.
Banyak orang meyakini bahwa menjadi gandrung yang digemari oleh banyak
orang memerlukan ritual-ritual khusus untuk memuluskan jalan menjadi
primadona. Berbagai macam ritual sebagai salah satu unsur magic,sampai saat ini
ternyata masih banyak dilakukan agar seorang gandrung menjadi terkenal.
Pengakuan terhadap eksistensi seorang gandrung menjadi penting untuk
audiens, ritual pengukuhan disebut meras.29 Penilaian masyarakat apakah ‘para
pendatang baru’ pantas disejajarkan dengan gandrung lain yang lebih senior, juga
sangat ditentukan oleh kelihaian menari dan kemerduan suaranya.
Usaha mempercantik diri melalui alat-alat kecantikan yang sudah dibubuhi
mantra memang diakui oleh sebagian gandrung. Bahkan ada sabuk yang diselipi
oleh razab (mantra tulisan) serta susuk yang dimasukan kedalam bagian tubuh
supaya terlihat menarik. Semua ini dilakukan semata-mata untuk terlihat cantik
dan memukau penonton. Ada kesadaran bahwa menjadi gandrung bukanlah peran
asal jadi dan dimainkan secara sembarangan. Beban sebagai penari tradisi
membuat gandrung harus hati-hati agar tidak menyimpang dari yang diwarisinya.
Meskipun begitu, tampilan mereka juga tidak selalu mulus, seperti dialami
Tinah.Pada saat pentas tiba-tiba tangannya tidak dapat digerakan dan untuk
beberapa saat tidak dapat menari, lalu dia menuturkan ,“Namanya juga panggung,
persaingan pasti ada, ya untuk menjatuhkan teman bisa saja memakai cara-cara
yang begitu (magic).Sejak hari itu saya juga punya pegangan supaya tidak ada
orang yang mengganggu saya lagi”.30
Persaingan antara penari gandrung bukan hanya sebatas pada order yang
diterima dan gandrung siapa mengajak gandrung siapa, tetapi juga urusan
persaingan gandrung tua dan muda. Menanggapi soal persaingan tua-muda, Mud,
berujar
“Saya sudah ndak perduli, kalau gandrung tua mau bersaing dengan gandrung muda, orang pasti cari gandrung yang lebih muda”.31
29
Upacara yang dilakukan terhadap penari gandrung yang dianggp layak manggung dan mendapat bayaran.
30
wawancara tanggal 9 Mei 2011 di rumah Temu. 31
Gandrung tua seperti Darti dan Temu, merasa unggul dalam hal
pengalaman pentas.Mereka menjadi guru buat yang muda, dan suara indah
mereka belum ada yang mengalahkan, bahkan gandrung muda sekalipun.
Sementara gandrung muda, banggaakan kelincahan geraknya, “seperti kijang”,
dan kepandaian mereka memadukan berbagai jenis alat musik pengiring. Dengan
kemampuan ini, suasana pentas gandrung pun akan menjadi lebih hidup,32
G. Kesimpulan
Gandrung Banyuwangi yang berkembangdi Bumi Blambangan diduga
berasal dari kerajaan Majapahit, yang dibawa oleh pejabat kerajaan yang
memberontak dan lari untuk kemudian membuka lahan baru. Di Bumi
Blambangan inilah mereka memulai satu pemerintahan baru dan membangun
tatanan sosial yang baru, keturunan mereka inilah yang disebut orang Using.
Gandrung, merupakan tarian yang menurut sejarah juga diadopsi dari keraton
Majapahit.
Kesenian gandrung tidak bisa melepaskan diri dari perubahan sosial pada
setiap jamannya. Pembukaan lahan perkebunan baru membawa perubahan yang
cukup mendasar.Para pendatang dan orang-orang perkebunan ‘memaksa’
terjadinya perubahan pada tatanan sosial penduduk asli Using, yang secara tidak
langsung akan berpengaruh pada kesenian ini.
Gandrung Semi adalah salah satu pencetus yang menjadi titik balik dari
berubahnya kesenian gandrung. Lewat gandrung Semi, gandrung lanang berganti
menjadi gandrung perempuan.Peristiwa ini menandai, betapa penduduk
Banyuwangi khususnya Using, memiliki karakeristik terbuka dan bersahabat.
Datanganya migran dari Jawa, Madura, Sulawesi dan Bali telah menandai
masuknya era globalisasi ke tanah Balmbangan.
Bergeser pada pemaskotan gandrung, sebagian besar politisi, budayawan
dan kelompok agama menganggapnya sebagai bentuk politik yang menggunakan
identitas ke-Using-an. Sebuah identitas dari Suku Using yang dianggap sebagai
suku asli Banyuwangi. Identifikasi ini kemudian melahirkan pro dan kontra.
Banyak yang melihat dari berbagai sudut pandang sesuai kepentingan
masing-masing.Kaum agamawan menyinggung soal gandrung yang tidak Islami,
sementara itu wakil rakyat yang duduk di DPRD menganggap tidak adil jika
gandrung yang hanya mewakili etnis Osing diangkat sebagai maskot kota, karena
yang perlu diangkat adalah tentang pluralitas di Banyuwangi.
Namun apakah tarik menarik gandrung Banyuwangi dirisaukan penari
gandrung sendiri? Apa pengaruh perdebatan itu bagi hidup mereka
sendiri?Ataukah tampil sebagai gandrung professional menjadi lebih penting bagi
BAB III
GANDRUNG: REALITAS DAN KEBERAGAMAN
A. Pendahuluan
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang realitas gandrung beserta
keberagamannya, bab ini akan menceritakan kondisi sosial
masyarakatBanyuwangi serta profil sejumlah perempuan penari gandrung. Bab ini
ditujukan untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah ke satu: apa saja
wacana seputar gandrung yang ada dimasyarakat Banyuwangi? Ada tiga bagian
yang akan dibahas, yakni:
Pertama, pendeskripsian tentang daerah Banyuwangi. Pembahasan
berfokus pada dinamika kehidupan sosial dan budaya di Bumi Blambangan.
Dalam kerangka memberi gambaran lingkungan sosial di Banyuwangi berkaitan
dengan keberagaman. Kedua,pemaparan tentang profil sejumlah penari gandrung
serta interaksi antara gandrung dengan masyarakat sekitar arena pertunjukan,
khususnya pemaju dan lingkungan tetangga tempat tinggal gandrung. Ketiga,
membahas wacana seputar gandrung serta perempuan penarinya dari para
pendatang dan masyarakat asli Using. Keempat, ditutup dengan kesimpulan isi
pembahasan serta gambaran singkat sebagai pengantar ke bab berikutnya.
B. Sekilas Gambaran Bumi Blambangan
Pada bab II dijelaskan, bahwa pembukaan perkebunan baru oleh
ke Tanah Blambangan.33Transportasi kereta api mempermudah hijrahnya orang
Jawa dan orang-orang Madura datang dengan menggunakan kapal-kapal nelayan.
Maka tidak heran jika mayoritas orang Madura menguasai daerah pantai dan
orang Jawa menguasai perkebunan.
Di bagian selatan Banyuwangi ada Kampung Mandar. Menurut cerita,
sejak awal abad 17-an mereka telah datang ke Banyuwangikarena urusan dagang.
Banyuwangi yang secara geografis amat strategis serta didukung oleh pelabuhan
yang memadai, membuatnya menjadi jalur perekonomian dan pertemuan antar
suku bangsa serta beragam jenis barang dagangan. Oleh karena itu keberagaman
bukan hal baru bagi masyarakat Banyuwangi.34
Kehadiranpara pendatang ini memberi pengaruh besar terhadap
perekonomian di Banyuwangi, keuletan para pendatang membuahkan sukses
dalam hal ekonomi mapun pendidikan. Sektor ekonomi banyak dikuasai oleh para
pendatang dari Jawa, Bali maupun Keturunan Cina. Dinamika mereka lebih
terlihat jelas di kota kabupaten, jalan serta pasar. Perkantoran di kota Banyuwangi
pun hampir dipenuhi oleh orang-orang non Using.
Pada kenyataanya, ditengah keberagaman dan dinamika kehidupan sosial
penduduk Kota Banyuwangi, ada orang-orang dari suku “Using” yang mengklaim
diri sebagai yang empunya Banyuwangi. Orang-orang ini tinggal
dikantong-kantong Osing yang tersebar di beberapa Desa seperti: 1) Glagah; 2) Kemiren; 3)
Cungking; serta 4)OlehSari. Mereka punya gaya bahawa tersendiri yang berbeda
dari bahasa Jawa Kulonan.
33
Mereka disebut orang Jawa kulonan oleh masyarakat Osing 34
1. Keragaman di Bumi Blambangan
Dalam perjalanan menuju ke bumi Blambangan, saya bertemu dengan
ragam manusia serta mengalami berbagai kisah yang memberi gambaran kepada
saya akan bumi Blambangan ini.
Salah satu pengalaman itu adalah ketika saya berada dalam bis antar kota
Yogyakarta – Banyuwangi. Ketika itu saya duduk bersebelahan dengan seorang
ibu bernama Nurani. Ketika bis mulai begerak meninggalkan terminal Giwangan
saya membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dan bertanya tujuan
perjalanan Ibu Nur. Ibu Nurani langsung merespon dan balik bertanya darimana
dan kemana tujuan saya. Kami pun mulai berbincang.
Ibu Nur bercerita bahwa kakek dan nenek buyutnya berasal dari
Solo-Jawa Tengah, karena alasan perbaikanekonomi, maka beberapa anak-anaknya
hijrah ke Banyuwangi. Rupanya, keberuntungan berada dipihak mereka. Segala
usaha yang dilakukan oleh keluarga mendatangkan uang dan kesejahteraan.
Akhirnya karena kesejahteraan yang telah tercapai itu, hampir semua keluarga bu
Nur pindah ke Banyuwangi, dan telah tinggal di Banyuwangi hingga saat ini.
Bu Nur sendiri adalah seorang Guru di SMA Islam Jajag. Begitu juga
Bapak dan adiknya, mereka adalah guru-guru yang telah mengabdikan hidup pada
profesi itu dengan sepenuh hati. Baginya, profesi guru adalah hal yang turun
temurun dan merupakan sebuah pengabdian. Sementara itu, suami bu Nur adalah
seorang petani sayur, yang juga keturunan orang Jawa.
Saya dan Bu Nurani pun terus berbincang sampai akhirnya kami tiba di
kota Banyuwangi. Di salah satu sudut terminal Tanjungwangi ketika itu, saya
para pekerja toko mulai membuka toko. Mereka menyapu lantai kemudian
membersihkan barang dagangan yang digantung dengan kemoceng.
Sementara itu di pinggir terminal lainnya, pedagang buah serta oleh-oleh
menata barang dagangan mereka. Barang-barang yang mereka jual itudiantaranya
seperti rengginang, dodol, kerupuk, kue kelapa, kacang goreng pasir, kerupuk
warna –warni besar (setahu saya kerupuk itu adalah kerupuk khas Madura) serta
beragam buah-buahan.
Suasana Terminal Tanjungwangi saat itu terlihat sepi penumpang. Satu
dua orang menunggu bis, entah berdiri diluar bis atau sambil duduk didalam.
Sepertinya ini memang khas terminal-terminal kecil di daerah.Sibuk tetapi sepi
(itu kesan saya pada saat diterminal Tanjungwangi). Jika saya membandingkan
dengan Jakarta, tentu jauh berbeda. Di Jakarta, dalam hitungan detik saja, bis dan
angkot pasti sudah penuh. Bahkan tidak jarang calon penumpang harus berlari-lari
mengejar bis. Dan kalau sampai ketinggalan, penumpang harus menunggu lagi.
Pola ini akan terjadi terus, hingga jam-jam sibuk selesai.
Ketika berada di terminal itu, saya mendengar percakapan orang-orang
yang hilir mudik dengan berbagai logat yang khas. Beragam logat yang
bercampur baur itu diantaranya bisa saya kenali sebagai logat Madura, Jawa,
Surabaya, dan Bali. Tidak hanya logat-logat itu, beragam wajah dari beberapa
suku bangsa di Nusantara, salah satunya orang-orang keturunan China cukup
mudah sayakenali.
Terminal memang tempat yang sangat pas untuk melihat dinamika suatu
kota. Di terminal itu pula, geliat kehidupan kota yang bersangkutan bisa direka
berbagai hal di seputarnya, saya kemudian memutuskan untuk pergi ke
perpustakaan Kabupaten.
Di perpustakaan itu saya bertemu ragam manusia bumi Blambangan yang
begitu menarik. Orang-orang yang saya temui di perpustaakaan itu, mulai dari
petugas penerima tamu hingga penjaga perpustakaan serta beberapa yang lainnya,
adalah orang-orang keturunan Jawa. Kebetulan, mereka semua adalah pegawai
pemerintah, tepatnya karyawan Dewan Kesenian Blambangan.
Tampaknya bumi Blambangan memang dipenuhi oleh para pendatang.
Selain hal ini begitu terlihat di terminal, juga perpustakaan kota kabupaten, ketika
saya pergi ke warnet (warung internet), toko buku, serta makan di warung nasi
terdekat, nuansa keragaman manusia juga begitu terasa. Penjaga warnet, para
petugas toko buku serta ibu penjual nasi adalah orang-orang yang nenek
moyangnya berasal dari luar Banyuwangi dan mereka sendiri lahir dan besar di
Banyuwangi. Mereka umumnya berasal dari Jawa, Mandar, Madura, serta
orang-orang Keturunan Cina.
Kemudian, dari berbagai pengalaman bertemu itu, saya mulai
bertanya-tanya di mana penduduk asli tinggal dan beraktifitas? Menurut sejumlah literatur
dan narasi dari sejumlah orang di bumi Blambangan, penduduk asli di bumi ini
adalah orang Osing.
Pigeaud (scholte, 1927) menyatakan bahwa orang Using adalah:
“Penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan wongkulonan”.35 Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang disebut orang Using36.
35
Pendatang yang datang dari Jawa tengah dan sekitarnya dan orang Jawa timur, selain dari Bumi Blambangan.
36
Kutipan dari Pigeaud ini adalah penegas akan kesadaran dari orang-orang
Osing ini. Orang-orang ini merasa beradadalam posisi terjepit dan selalu
memperoleh tekanan struktural maupun kultural ditengah-tengah kehidupan dua
kebudayaan besar, Jawa-Bali. Mereka selama ini seperti tidak punya posisi yang
menguntungkan di hadapan orang Bali dan Jawa.
2. Orang Using di Kemiren
Bagi orang Jawa Kulon maupun Bali, orang Osing dikenal eksklusif, suka
menyendiri dan enggan bergaul. Mereka dikenal sebagai orang-orang pemarah
tanpa nalar, tukang santet, serta pemalas. Julukan, stereotipe dan stigma tersebut
sudah menjadi hal yang begitu biasa, bahkan banyak orang tua yang menasehati
anak atau kerabatnya agar berhati-hati jika berkawan atau berkenalan dengan
orang Using.
Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh ibu Nur, bahwa orang Using
terkenal malas dan kasar. Dalam perbincangan dengan Ibu Nur itu, ia bercerita
bahwa sedang terjadi sebuah perdebatan pada koran setempat mengenai satu lagu
berbahasa Osing yang kata-katanya seronok serta merujuk pada kelamin
perempuan.
Namun ketika saya konfirmasi berita ini kepada Pak Pur,37 ia hanya
tersenyumdan dengan santai berkata “Ya maklum yang membuat lagu itu seniman
jalanan”. Nampaknya memang ada keraguan dalam diri orang Using sendiri.
Mungkin karena posisi mereka selama ini yang terjepit sehingga tidak memiliki
suara yang benar-benar mewakili diri mereka.38Hal ini seperti diperlihatkan secara
37
Penduduk Kemiren asli, termasuk tokoh Osing ,seorang petani yang cukup berhasil mengembangkan jenis padi lokal juga pencinta gandrung.
38
jelas oleh Ibu Nur yang seperti mengafirmasi stereotipe negatif di seputar orang
Using. Ketika itu saya masih ingat betul nada suara Ibu Nur ketika bercerita
tentang orang Using atau apapun yang berkaitan dengan Using. Nada suaranya
begitu negatif, bahkan terkesan melecehkan.
Jika ingin melihat dan bertemu langsung dengan orang Using, desa
Kemiren adalah tempat yang tepat untuk dituju. Satu-satunya desa yang
dipandang sebagai “masih murni Using” adalah desa Kemiren. Desa ini berada di
kecamatan Glagah (kira-kira 5 km arah Barat kota Banyuwangi). Sejak 1993 desa
ini telah ditetapkan sebagai “Desa Using” yang sekaligus dijadikan cagar budaya
untuk melestarikan ‘keusingan’.
Area wisata Budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa
desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar Budaya Osing. Desa
yang berada diketinggian 144 m diatas permukaan laut ini memiliki suhu udara
rata-rata berkisar 22-26º. Kondisi ini membuat desa Kemiren amat sejuk serta
amat menarik untuk dikunjungi, apalagi pemandangan alamnya amat indah dan
menawan.
Desa Kemiren memanjang hingga 3 km yang kedua sisinya dibatasi oleh
dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari arah Barat ke Timur.
Ditengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 meter yang menghubungkan desa ini ke
kota Banyuwangi di sisi Timur dan keperkebunan/pemandian kalibendo di sebelah
Barat.Pada siang hari, terutama pada hari libur, jalan yang membelah desa
Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke
Sebagian besar penduduk Kemiren memiliki mata pencaharian sebagai
petani. Mereka telah lama mengenal pendidikan baik pesantren maupun
sekolah-sekolah umum. Untuk menempuh sekolah-sekolah diatas SD, para penduduk Kemiren
harus keluar desa dan pergi ke ibu kota Kecamatan atau di Kota Banyuwangi39.
Dengan membayar 25 ribu rupiah saya diantar oleh ojek dari terminal
Karangmente ke rumah Bapak Purwanto. Kedatangan saya itu disambut
bunyi-bunyian yang berasal dari alat musik bambu. Bunyi-bunyi-bunyian itu diperdengarkan
dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi di depanrumah seorang warga.
Tidak kurang 10 rumah dari situ terdengar kembali lagu daerah berbahasa Using.
Dan begitu seterusnya.
Ketika itu saya tiba di desa Kemiren sekitar jam 9 pagi sehingga tidak
mengherankan suasana desa terlihat begitu sepi. Minim sekali aktifitas manusia di
desa saat itu. Saya menduga anak-anak sedang pergi kesekolah serta para orang
tua sedang pergi ke sawah atau bekerja di kebun.
Kemiren adalah salah satu tujuan wisatawan lokal, nasional maupun
internasional. Hal ini terbukti dengan tersedianya sejumlah penginapan sederhana
yang memang diperuntukan bagi para tamu yang datang dari dalam dan luar
negeri. Sejumlah keluarga Kemiren pun membuka pintu rumah mereka untuk
dijadikan penginapan bagi para tamu tersebut. Para wisawatan ini datang ke
Kemiren memang berniat untuk merasai kehidupan penduduk yang sarat dengan
budaya lokal.
Desa Kemiren memang istimewa. Keistimewaannya itu telah membuatnya
mendapat sebutan sebagai desa wisata. Menjadi istimewa karena Kemiren adalah
39
salah satu desa pemukiman orang-orang suku Using yang sangat hidup tradisinya.
Di desa ini pula tinggal dua orang penari Gandrung yang belum tertandingi
popularitasnya.
Orang Using menyebut diri sebagai penduduk asli Banyuwangi. Yang
membedakan mereka dari orang-orang Banyuwangi pendatang adalah gaya
mereka bicara. Beberapa kata yang sempat saya catat saat bersama mereka,
misalnya: gerimis menjadigerigis,saikimenjadisaikai,isunadalah sebutan untuk
saya,ikumenjadiikau, begitu menjadibedigaudantelumenjaditelau.
Upaya menghidupi tradisi sengaja dilakukan oleh para orang tua di desa
Kemiren. Misalnya latihan seni barongan serta angklung sawah adalah kegia