• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM

A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

1. Otonomi Daerah di Era Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:39

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat

staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang- undang.

II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah.

39 Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.

Pada era kemerdekaan (1945-1965) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu:

Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.40

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).

Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau

pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.41

Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.42

Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan.

Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undang- undang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun

41 KND yang belum dipilih melalui pemilu ini tidak dapat berjalan sendiri, tetapi dipimpin oleh Kepala Daerah (bukan anggota) sehingga tidak punya hak suara. Meskipun kondisi tersebut tidak ideal bagi suatu badan legislatif, tapi realitas ini dapat dimengerti demi kelancaran pemerintahan daerah pada masa itu.

1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD).

Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok- pokok pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditegaskan bahwa daerah dalam Negara Republik Indonesia tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa, nagari, marga, gampong dan sebagainya yang disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri). Masing-masing daerah tersebut dinamakan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III.

Secara yuridis-fungsional pemerintahan atau wilayah hukum penyelenggaraan administrasi pemerintahan, wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintahan pusat, wilayah provinsi sebagai wilayah hukum pemerintahan provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten (kota besar), dan wilayah kabupaten (kota besar) dibagi atas wilayah yang disebut desa, nagari, marga dan lain-lain.

Tingkatan daerah swatantra dilatar belakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum tentang empat persoalan penting. Persoalan pertama mengenai apakah suatu urusan adalah urusan pusat atau urusan daerah, Kedua mengenai keberagaman kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak kongruen dengan urusan hukum adat, Ketiga mengenai Kepala Daerah yang harus dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan, tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah, Keempat mengenai pengawasan,

maksudnya bahwa Pemerintah Pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya.43

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah bersifat kolegial, dimana masalah pemerintahan tidak lagi diputuskan secara tunggal oleh BPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah, akan tetapi diputuskan oleh DPRD dan DPD.

Pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan DPD, dimana para anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-anggota daerah yang diangkat oleh Presiden untuk Provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kabupaten (kota besar) atau oleh Kepala Daerah Provinsi untuk desa.

Aturan tersebut ditujukan demi tegaknya kedaulatan rakyat dan berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, selain itu agar dualisme pemerintahan daerah seperti dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak terjadi lagi dimana pemerintah daerah yang berdasarkan BPRD dan pemerintah daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri termasuk posisi kepala daerah sebagai pimpinan BPRD.44

Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak

43 Memori Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ad.1, ad. 2, ad. 3, dan ad. 4. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.401

medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD.

Menurut Amarah Muslimin:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengandung prinsip:

a. Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan daerah luar bisa disatukan, atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia;

b. Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, dan tingkatan terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbeda-beda bagi daerah-daerah;

c. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah; dan

d. Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis

(collegial bestuur) atas dasar permusyawaratan.45

Bila kita lihat secara eksplisit terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mencakup hampir seluruh segi desentralisasi, baik desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal, walaupun desentralisasi tersebut pengaturannya tidak di jabarkan secara langsung sehingga membingungkan daerah dalam pelaksanaannya.

45 Amarah Muslimin, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, (Jakarta : Jembatan, 1960). hlm.50

Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Hatta dan Menteri Dalam Negeri Anak Agung Gede Agung, undang-undang pemerintahan daerah itu coba digulirkan, namun hanya terbatas di daerah eks RI. Bentuknya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang dan Perpu pembentukan daerah otonom provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1950), Provinsi Yogyakarta (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950), Provinsi Jawa Tengah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950), Provinsi Jawa Barat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950), Provinsi Sumatera Selatan (Perpu Nomor 3 Tahun 1950), dan Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 5 Tahun 1950).46

Pada tahun 1950 terjadi pergantian konstitusi UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara umum UUDS 1950 itu sendiri masih kental dipengaruhi paham liberalisme. Pada masa ini diberlakukan 2 (dua) peraturan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur (Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku).

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an.

Terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun secara substansial masih mempertahankan format pemerintahan lokal yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, antara lain tingkatan daerah otonom masih tetap tiga lapis yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III, Pemerintah Daerah masih tetap terdiri dari DPRD dan DPD, sumber pendapatan daerah masih tetap, sistem pengawasan preventif dan represif oleh pemerintahan atasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah bawahan dan beberapa hal lainnya.

Beberapa perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 antara lain:

a. Sistem pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan sebelumnya dimana diangkat oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diajukan oleh DPRD.

b. Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintahan daerah secara bertahap dihilangkan, dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan menerbitkan Undang-Undang pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks NIT/negara bagian lainnya.

c. Kedudukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi alat pusat dan sekaligus alat daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja. Konsekuensinya, diberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD, juga berhak menahan dijalankannya keputusan DPRD dan DPD.

d. Otonomi materiil yang dianut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diubah menjadi otonomi riil. Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan pemerintahan menurut bakat, kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari waktu ke waktu. Bahkan, kepada pemerintah daerah dapat diberikan tugas pembantuan.

e. Di daerah-daerah, selain ada lembaga-lembaga DPRD, DPD dan Kepala Daerah (collegial bestuur) yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan menjalankan tugas medebewind, juga terdapat penguasa lain

(pamong praja) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum.47

Menurut Soetarjo, Undang-Undang ini mencerminkan negara serikat atau bonstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di pihak lain membentuk negara federasi.48

Pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 pada dasarnya sudah cukup baik, hanya sayangnya tidak diberlakukan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah pusat, dikarenakan keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah- daerah otonom sehingga menimbulkan berbagai konflik dalam sistem pemerintahan.

Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masing-masing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya mengakibatkan koordinasi tidak berjalan dengan baik

.

47 Djohermansyah Djohan, dikutip Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.147

48 Soetarjo Kartohadikusumo, Kedudukan Pamong Praja, Majalah Swatantra, dikutip Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.403

d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960

Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960.

Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangan- kewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin.49 Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal).

Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi kepencapaian stabilitas dan efesiensi pemerintahan di daerah. Kedua Penpres ini merubah asas-asas pemerintahan

daerah dari arah desentralisasi ke sentralisasi. Prajudi menyebutkan, kedua penpres ini memakai sistem “dualisme fungsional” yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah.50

Penetapan Presiden (penpres) Nomor 6 Tahun 1959 bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi. Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah dapat exist sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional.51

Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menimbulkan reaksi hebat dikalangan partai-partai politik, karena kekuasaan mereka dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipreteli. Penpres tersebut oleh partai-partai politik dinilai sebagai suatu langkah mundur penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia karena telah menggusur demokrasi pemerintahan dengan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan daerah.52 Dikatakan demikian karena:

a. Pemilihan Kepala Daerah tidak di pilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi diajukan oleh DPRD kepada Presiden. Bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat Kepala Daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD.

50 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.404 51 Ibid. hlm.404

b. Pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat bukan kepada DPRD selaku wakil rakyat (Kedaulatan tidak lagi berada ditangan rakyat).

c. Kepala Daerah dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD. d. Kedudukan Kepala Daerah selaku alat pusat sekaligus alat daerah

sehingga memungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah selaku penguasa tunggal.

Bila dilihat dari sisi bobot kekuasaan, terlihat jelas dalam pelaksanaan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan kembali dipegang oleh pemerintah pusat, berbeda dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 di mana bobot kekuasaan lebih pada pemerintahan daerah.

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS53 mengeluarkan TAP No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Tahapan Pertama 1961-1969. Salah satu isinya mangamanatkan untuk membentuk satu Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan demokrasi terpimpin dalam rangka

53 MPRS di bentuk Presiden Soekarno dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 yang keanggotaannya terdiri dari semua anggota DPR-GR ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965.

Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut, Presiden Soekarno menetapkan Keppres Nomor 514 Tahun 1961 (diubah dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1961) membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan tugas memberikan usul kepada pemerintah tentang pokok-pokok pengaturan pemerintahan daerah.54 Atas tugas tersebut, Panitia Negara menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang akhirnya dapat disetujui oleh DPR-GR dan ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1965.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah terdiri dari IX Bab dan 90 Pasal. Undang-Undang ini menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959, bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuan- ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 tahun 1960 seluruhnya diadopsi kedalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.55

54 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.154

55 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Jakarta, 2003. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.405

Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas

landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom.

Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain: a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner

yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7- pasal 9).

b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-pasal 73)

c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan (pasal 55).