• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM

A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

3. Otonomi Daerah di Era Reformasi

Reformasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1998 mengakibatkan lengsernya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Euforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, ikut menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat di daerah-daerah, khususnya elit- elit politik daerah untuk menuntut hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, yang selama masa orde baru selalu

dikekang dan diekploitasi oleh Pemerintah Pusat. Isu yang dikembangkan oleh elit-elit politik daerah adalah pembagian kekuasaan/kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk perimbangan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang selama masa orde baru di monopoli pemerintah pusat.

Ketika reformasi dicetuskan, salah satu tuntutan penting reformasi yang disuarakan oleh masyarakat di daerah adalah agar terselenggaranya otonomi daerah secara komprehensif menyentuh rasa keadilan, terutama menyangkut aspek politik, pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini oleh berbagai kalangan dan para pakar pemerintahan, politik, dan ekonomi dianggap sebagai masalah utama ketidakpuasan sebagian besar rakyat di daerah. Manifestasi terselenggaranya otonomi daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan masyarakat di daerah, baik menyangkut aspek administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.60

Reformasi bidang politik dan pemerintahan daerah telah melahirkan agenda dan kesepakatan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Tap MPR inilah yang menjadi semangat dan landasan awal pengaturan pemerintahan daerah setelah reformasi, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota.

Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya “raja-raja kecil” di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah,

Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur dalam mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, yang mengakibatkan kesulitan besar dalam keterpaduan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah.

2. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya.

3. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi.

Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawab

penyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Tidak adanya hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah yang di pilih oleh DPRD, serta kesalahan persepsi para Pejabat daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah, mengakibatkan timbulnya raja-raja kecil yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa memikirkan tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat kelemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sekaligus untuk menyesuaikan pengaturan pemerintahan daerah terhadap Amandemen UUD 1945,61 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain soal hubungan antara pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah, dan pemberhentian Kepala Daerah.

61 UD 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama yang ditetapkan tanggal 19 Oktober 1999 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999, Perubahan Kedua yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Perubahan Ketiga yang ditetapkan tanggal 9 November 2001 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001, Perubahan Keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sifat hubungan hierarkis dihidupkan kembali yang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditiadakan. Dengan dihidupkannya hubungan hierarkis, diharapkan Gubernur dapat mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pula dalam Pasal 24 ayat (5), dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam proses pelantikan, Gubernur memiliki fungsi yang cukup penting, dimana Gubernur mengajukan pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih yang diusulkan DPRD untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 109).

Terhadap pemberhentian Kepala Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemberhentian Kepala Daerah dilakukan melalui prosedur “impeachment” ke Mahkamah Agung. Apabila DPRD menganggap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat diusulkan pemberhentiannya dengan terlebih dahulu diajukan Ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana DPRD dapat memutuskan pemberhentian Kepala Daerah dalam hal melanggar aturan yang telah ditentukan dengan disahkan oleh Presiden (Pasal 49).

B. Bentuk-Bentuk Otonomi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 18 UUD 1945 menyatakan:

Ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Perkataan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, kabupaten dan kota pada ayat (1) menunjukkan pembagian dan susunan daerah-daerah. Sedangkan perkataan mengatur dan mengurus sendiri pada ayat (2) menunjukkan adanya otonomi, dimana otonomi berasal dari perkataan “auto”

dan “nomos”. Auto atau “oto” berarti sendiri sedangkan “nomos” berarti mengatur, sehingga otonomi sama maknanya mengatur rumah tangga sendiri.62 Dari kedua hal tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya bentuk otonomi yang diberlakukan secara umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain bentuk otonomi umum yang diberlakukan pada sebagian besar daerah (wilayah) Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga diatur bentuk otonomi lain, yaitu bentuk otonomi istimewa dan bentuk otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B UUD 1945, dimana Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

62 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.424

Bentuk otonomi istimewa dan otonomi khusus telah diberlakukan di beberapa daerah, antara lain Yogyakarta dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh dengan Otonomi Khusus Aceh, dan Papua dengan Otonomi Khusus Papua. Selain itu Aceh juga mendapatkan status Istimewa dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Status daerah khusus dan daerah istimewa masih menjadi pertanyaan hingga saat ini, dikarenakan tidak adanya kriteria dalam UUD 1945 yang menjadi dasar suatu daerah diberikan status daerah khusus atau daerah istimewa. Keadaan demikian seakan menghambat daerah-daerah untuk mendapatkan status daerah istimewa atau daerah khusus, dan bahkan menimbulkan keinginan bagi daerah- daerah untuk mencari dan menentukan kriteria sendiri agar daerahnya dapat dijadikan daerah istimewa atau daerah khusus.

Keinginan daerah-daerah tertentu untuk mendapatkan status khusus telah didengungkan, seperti halnya provinsi riau dan Bali. Di Bali kegiatan seminar dan diskusi yang membahas otonomi khusus Provinsi Bali sudah sering dilakukan, bahkan DPRD Provinsi Bali telah membentuk Pansus yang bertugas menyusun Naskah Akademis dan draft rancangan undang-undangnya.

Untuk itu, perlu kiranya dibangun pemikiran-pemikiran bagi penentuan kriteria daerah otonomi khusus dan otonomi istimewa, sehingga tidak membingungkan dan menimbulkan kecemburuan bagi daerah, serta tidak

menimbulkan anggapan bahwa untuk mendapatkan status otonomi khusus harus melalui pemberontakan bersenjata.

UUD 1945 tidak mengatur lembaga negara mana yang berwenang melakukan tafsiran (advisory opinion) terhadap ketentuan UUD yang dirasa kurang jelas. Berhubung adanya kekosongan norma (limten van normen/vacuum of norm) tentang lembaga negara yang berwenang menafsirkan UUD, maka tafsiran atas kekhususan atau keistimewaan itu akan dilakukan oleh Pemerintah dan pada akhirnya oleh DPRD melalui mekanisme pengajuan Rancangan Undang-Undang.

Mengingat bahwa keputusan akhir berada ditangan DPR sebagai lembaga politik, tentunya diharapkan spirit politis yang ada pada lembaga tersebut dapat diadaptasikan pada terwujudnya sebuah undang-undang otonomi khusus atau otonomi istimewa yang adil dan obyektif, dan bukan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik yang sempit. Dalam kaitan ini, perlu di ingat etika politik dan hukum dalam sebuah adagium “politc legibus non leges politic adaptande” atau

“politic are to adapted to the law and not the law adapted to politic”.63