• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh

3. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang

Seperti halnya otonomi istimewa, Otonomi khusus merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan (mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri) dengan pemberian hak-hak khusus yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.

Menurut Kausar AS:

Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.66

65 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya diberikan kepada 2 (dua) daerah, yaitu Provinsi Aceh dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Provinsi Papua dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Adanya hak-hak khusus, membedakan sistem pemerintahan daerah yang dijalankan dibandingkan daerah lainnya. Perbedaan tersebut antara lain, seperti di Aceh di bentuk lembaga peradilan sendiri yang bernama Mahkamah Syari’ah, adanya Lembaga Wali Nanggroe67 yang merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat, adanya Lembaga Mukim untuk penyelesaian adat di desa yang membawahi sekurangnya 3 (tiga) desa, adanya partai politik lokal, Pemerintah Aceh dapat mengadakan hubungan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri,68 keikutsertaan Pemerintahan Aceh dalam persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh, Pendanaan Pelaksanaan otonomi khusus, tambahan dana perimbangan dan hak-hak lain-lainnya.

Bila ditinjau pemberian otonomi khusus terhadap Provinsi Aceh dan Provinsi Papua, terdapat perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi

67 Rancangan Qanun (perda) Lembaga ini masih dalam pembahasan yang sengit, dimana elit- elit politik lokal menginginkan Wali Nanggroe tidak hanya sebagai pemimpin adat tetapi juga lembaga yang dapat memberhentikan Gubernur dan membubarkan Parlemen. Hal ini di tentang keras oleh pihak Eksekutif karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

68 Dalam hal Pemerintah Aceh melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, dalam naskah kerja sama dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

khusus tersebut, dimana sifat otonomi khusus untuk Papua didasarkan pada konsekuensi politis yang lebih merupakan tindakan sepihak dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, sedangkan untuk Aceh konsekuensi politis diberikan berdasarkan kesepakatan dari Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (Finlandia).

Perolehan otonomi khusus dalam konteks internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara pada 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain;

2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing; dan 3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.69

Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya, hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan

identitasnya. Salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai sarana penyelesaian konflik.

Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum, berdasarkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayaan terhadap demokrasi, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.

Adanya otonomi dalam suatu negara (a self governing intra state region) sebagai mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self government.

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh

1. Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam Konsep Negara Kesatuan

Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian otonomi, dimana dikembangkan berbagai peraturan (rules) yang mengatur mekanisme keseimbangan antara otonomi pada satu sisi dan kesatuan bangsa dalam sisi yang lain. Didalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada prinsipnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Namun,

dikarenakan sistem pemerintahan di Indonesia menganut prinsip desentralisasi kekuasaan, maka terdapat tugas-tugas tertentu bahkan tugas-tugas istimewa dan khusus yang diurus oleh pemerintahan lokal sendiri. Hal ini pada dasarnya akan menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.

Menurut Mahfud MD:

Negara Kesatuan adalah negara yang kekuasaannya di pencar ke daerah- daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti daerah-daerah otonom mendapat hak yang datang dari, dan diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan konstitusi dan undang-undang.70

Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengemukakan “oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat” maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga……….”. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan tidak mentolerir adanya negara dalam negara, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tidak ada mutu rancang bangun suatu pemerintahan daerah yang memiliki sifat-sifat sebagai suatu negara sendiri.

Dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (11/7/2006), secara bulat seluruh fraksi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (RUU PA) menjadi Undang-Undang. Dengan persetujuan itu, “berakhir” sudah tarik-menarik perumusan substansi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Banyak

kalangan berpendapat, persetujuan RUU Pemerintahan Aceh menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia . Bagi Provinsi Aceh sendiri, penyelesaian RUU Pemerintahan Aceh memberi tantangan dalam membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan seluruh masyarakat Aceh.

Meski memberi harapan untuk membangun kehidupan lebih baik, ada kalangan tidak puas dengan substansi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sebagian ketidakpuasan itu dipicu kekhawatiran, Undang-Undang Pemerintahan Aceh akan meluruhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dirunut, salah satu isu sentral yang mencuat terkait negara kesatuan saat itu, ada pendapat hasil perundingan Helsinki akan menjadi jalan kemerdekaan bagi Aceh. Contoh yang sering dikemukakan, hasil perundingan Helsinki tidak eksplisit menyebut UUD 1945 dan NKRI.71

Kecemasan itu menjadi catatan khusus penyusun RUU Pemerintahan Aceh, sehingga perlu tepat dirumuskan posisi Aceh dalam NKRI. Hasil rumusan RUU Pemerintahan Aceh terbaca dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 2, yaitu:

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasar UUD 1945.

Pasal 1 angka 4 RUU Pemerintahan Aceh menguatkan rumusan itu:

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasar UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing- masing”.

Jika dibaca cermat, rumusan Pasal 1 angka 2 dan angka 4 RUU Pemerintahan Aceh merupakan titik temu antara prinsip negara kesatuan dan hasil perundingan Helsinki. Frasa terbuka “bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat” dikunci dengan frasa “sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945″.

Tidak hanya terbatas pada meletakkan otonomi khusus Provinsi Aceh dalam bingkai NKRI, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh menggariskan, Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, kewenangan pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan bidang agama.

Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran otonomi khusus Provinsi Aceh akan meruntuhkan NKRI. Apalagi, UUD 1945 melandasi pelaksanaan prinsip desentralisasi yang tidak simetris (asymetrical decentralization) antara satu daerah dengan daerah lain. Prinsip itu ditemukan dalam Pasal 18 UUD 1945.

Adanya bentuk otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah mengandung pengertian diterapkannya sistem federal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Aceh pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kekhususan daerah Aceh sebagai sub sistem pemerintahan secara nasional.

Konsekuensi logis otonomi khusus dalam Negara Kesatuan berarti sebagai sub sistem dalam sistem pemerintahan nasional dengan pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dimana adanya bentuk pengawasan (controlling) dan keselarasan pembangunan yang diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai satu kesatuan organisasi (badan hukum publik) yang tunggal.

2. Sejarah Otonomi Khusus Provinsi Aceh.

Secara garis besar, Provinsi Aceh terdiri dari 23 (dua puluh tiga) Kabupaten/Kota, dengan titik koordinat 2 – 6 Lintang Utara dan 95 – 98 Bujur Timur dengan luas wilayah + 57.365,57 KM dan jumlah penduduk 4.384.077 (empat juta tiga ratus delapan puluh empat ribu tujuh puluh tujuh) jiwa. Daerah Aceh mempunyai batas-batas :

a. sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka;

b. sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; c. sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan

d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.72

Sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh dibumi nusantara, memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di daerah Aceh telah mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkesinambungan dalam menyikapi kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sebuah semboyan kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh, yakni “Adat bak po teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana“ yang bila diartikan “ Adat dari Sultan (pemimpin), Hukum dari Ulama, Peraturan dari Putri Pahang (mahkamah Rakyat), Diplomasi dan etika dari Panglima”.73 Hal ini masih dapat diartikulasikan dalam persfpektif modern bernegara serta mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggungjawab dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, di Aceh terbentuk gerakan perlawanan menghadapi tentara Belanda (membonceng sekutu) yang ingin berkuasa kembali di Republik Indonesia, yaitu dengan menghimpun segala organisasi berbasis kekuatan rakyat, untuk dilatih sebagai pasukan keamanan guna mengantisipasi pasukan Belanda yang akan masuk ke Aceh dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh sebagai Gubernur militer di Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

72 Aceh Dalam Angka 2008, Pemerintah Aceh. 73 Muhammad Umar, Peradaban Aceh, JKMA, hlm.76

Disebabkan Aceh tidak dapat diduduki Belanda, maka keberadaan Negara Republik Indonesia masih diakui oleh dunia Internasional. Pada awalnya setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Republik Indonesia tahun 1949, Aceh adalah sebagai salah satu Provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi pada tahun 1950 Provinsi Aceh disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara dan dijadikan Keresidenan Aceh.

Bagi pejuang Aceh, dengan dijadikannya Aceh sebagai Karesidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa kepada pemerintah Republik Indonesia dan juga pelaksanaan Syariat Islam yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh Pemerintah Pusat. Maka pada tahun 1953 dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh mengumumkan bahwa Aceh sebagai Negara Bagian dari Republik Indonesia, yaitu Negara Bahagian Aceh, dengan nama Darul Islam (DI) dan tentaranya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) yang dikenal dengan pemberontakan DI-TII.74

Pada tahun 1959, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk melakukan perundingan dengan Tengku Muhammad Daod Bereueh yang terkenal dengan nama MISI HARDI. Perundingan tersebut mengambil kesepakatan, antara lain: 1. Aceh diberikan keistimewaan di bidang Agama dan menjalankan Syariat

Islam;

2. Keistimewaan di bidang Pendidikan;dan

3. Keistimewaan di bidang adat istiadat.75

Setelah perundingan selesai dan dibentuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh, namun pelaksanaan ketiga hak istimewa yang dijanjikan tidak pernah diwujudkan oleh Pemerintah Pusat. Keadaan tersebut menimbulkan kekecewaan kembali bagi masyarakat dan para pejuang Aceh.

Selain itu, pada tahun 1967 di Lhok Seumawe (Aceh Utara) ditemukan ladang gas alam (LNG) yang kemudian dikelola oleh PT. Arun. Sejak itu pula timbul masalah baru karena para pekerja PT. Arun didominasi oleh pekerja dari luar Aceh, dengan alasan orang Aceh belum siap sumber daya manusianya yang menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat Aceh. Kedua hal tersebut kembali menimbulkan pergolakan di Aceh dengan di proklamirkan berdirinya Negara Aceh Merdeka (AM) oleh Muhammad Hasan Tiro pada tahun 1976.

Untuk mengantisipasi pemberontakan Aceh Merdeka, pemerintah Republik Indonesia memberlakukan operasi militer di tiga Kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Melihat sistem pelaksanaan operasi militer tersebut telah banyak menelan korban di pihak Aceh Merdeka, maka sistem perjuangan dirubah menjadi sistem gerilya dan nama Aceh Merdeka di rubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Akhirnya pada tahun 1999, Pemerintah mengambil solusi politik dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan di Aceh dengan melaksanakan penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdasarkan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.76 Keistimewaan yang diberikan terhadap 4 (empat) bidang, yaitu bidang Agama dan menjalankan syari’at Islam, Bidang Pendidikan, Bidang Adat Istiadat dan Peran ulama.

Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang kurang memberikan kehidupan didalam keadilan atau keadilan dalam kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi dan gerakan pemberontakan dibawah bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberontakan GAM tidak berakhir dikarenakan Pemerintah mengambil solusi politik sepihak tanpa melakukan perundingan. Pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka kembali diantisipasi oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyaknya korban berjatuhan dipihak GAM dan masyarakat tidak berdosa.

Puncak reaksi masyarakat Aceh dilakukan dengan mengajukan tuntutan reperendum77 pada tanggal 28 November 1999 di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang dihadiri jutaan masyarakat dari berbagai pelosok dalam wilayah Aceh, dengan tuntutan pelaksanaan referendum untuk menentukan Aceh sebagai bagian Negara Republik Indonesia atau berpisah dari Negara Republik Indonesia.78

76 Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 77 Referendum dimotori oleh Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA). 78 Muhammad Umar, op. cit, hlm.65

Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap keinginan referendum dari masyarakat Aceh, memaksa pemerintah mengambil salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh dengan mengeluarkan Undang- Undang Nomor 18 tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.79

Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik di Aceh. Walaupun Undang-Undang Otonomi Khusus sudah disahkan namun api perjuangan para pejuang Aceh di bawah bendera GAM tidak serta merta padam dan terus berlanjut, dikarenakan sekali lagi Pemerintah mengambil solusi politik sepihak yang merendahkan martabat para pejuang Aceh.

Puncak kehancuran dan hikmah bagi Aceh adalah dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang meluluh lantakkan bumi Aceh. Kejadian tersebut, memberikan hikmah dan hidayah kepada pihak Pemerintah dan GAM untuk melakukan perdamaian dengan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Helsinky (Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Atas Nota Kesepahaman tersebut, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh.

79 Penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

a. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada sistem terpusat (sentralisasi) dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran-pemikiran baru untuk menyuarakan perubahan, yang selama masa orde baru hak mengeluarkan pendapat dikekang oleh rezim Soeharto dengan kekuatan militer.

Terbukanya kesempatan menyuarakan aspirasi memunculkan pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi dalam menyuarakan perubahan, baik melalui jalur politik maupun gerakan perlawanan dengan mempergunakan kekuatan bersenjata (separatis).

Kondisi demikian memaksa pemerintah untuk mengambil langkah- langkah politik dalam menyelesaikan konflik yang timbul di Provinsi Aceh, yaitu:

a. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1999 telah mengamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, antara lain memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh. b. Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 telah

dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945, antara lain Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

c. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000 telah merekomendasikan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001.

Berlandaskan hal tersebut, maka Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Hal mendasar dari Undang-Undang ini sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan dan mengaplikasikan syariat Islam.

Undang-Undang otonomi khusus Provinsi Aceh menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten (Sagoe) dan Kota (Banda) secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan, dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, dengan susunan daerah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten (Sagoe) dan Kota (Banda), Kecamatan (Sagoe Cut), Mukim80, dan Gampong (Pasal 2).

80 Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong (desa) yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

Skema 1

Susunan Daerah Aceh

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Kabupaten (sagoe)/Kota (banda)

Kecamatan (sagoe cut)

Mukim

Gampong

Selain itu dibentuknya lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe

yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 10), serta dibentuknya Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan Nasional (Pasal 25).

Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan Provinsi Aceh, oleh pemerintah diberikan sumber keuangan termasuk tambahan penerimaan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, yaitu tambahan penerimaan dari hasil sumber daya alam (setelah dikurangi pajak)

kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan (Sagoe Cut) yang dipimpin oleh Imum Mukim.

sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun. Mulai tahun kesembilan menjadi 35% (tiga puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas alam (Pasal 4 ayat (4).

b. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006.

Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Provinsi Aceh secara berkelanjutan.81

Metode pendekatan penyelesaian konflik yang berbeda sebagai dasar dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, sangat berpengaruh terhadap sisi-sisi pengaturan kewenangan yang diberikan dalam pelaksanaan otonomi khusus. Solusi politik yang diambil secara sepihak oleh pemerintah dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 memberikan kekuasaan penuh bagi pemerintah untuk mengatur dan menentukan kewenangan khusus yang akan diberikan.

Berbeda halnya dengan solusi politik yang mendasari dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, di mana solusi politik diambil