• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS DALAM

C. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah Aceh untuk mengelola dana otonomi khusus yang secara khusus dialokasikan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Aceh. Dana otonomi khusus, oleh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berdasarkan Pasal 183 ayat (4) diadministrasikan kepada Pemerintah Provinsi Aceh, dimana diberikannya keleluasaan bagi Provinsi Aceh guna mengatur, menetapkan, mengendalikan dan mengambil kebijakan terkait pengelolaan dana otonomi khusus yang diatur dalam Qanun Aceh.

Berdasarkan amanah tersebut, Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan berupa Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Secara umum, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, baik berupa perencanaan pengalokasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pertanggungjawaban dan pelaporan.

1. Perencanaan Pengalokasian

Perencanaan merupakan titik awal dari suatu siklus manajemen anggaran. Dasar untuk melakukan perencanaan keuangan adalah perencanaan strategis keuangan yang menetapkan tujuan dan sasaran utama dari penggunaan alokasi anggaran dengan menentukan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan sehingga dapat terealisasinya sasaran yang diinginkan.

Menurut Robert Bacal:

Perencanaan kinerja merupakan bagian terpenting manajemen kinerja. Perencanaan melihat masa depan untuk memaksimalkan kinerja yang akan datang dan bukannya menganalisis kinerja yang lalu. Perencanaan kinerja merupakan proses merencanakan apa yang harus dilakukan dalam setahun mendatang, mendefenisikan bagaimana

kinerja harus diukur, mengidentifikasi dan merencanakan mengatasi hambatan.84

Sedangkan menurut Solly Lubis:

Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran, pemilihan dan penentuan secara matang kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang dan pengambilan keputusan tentang bagaimana, kapan, dan oleh siapa perencanaan tersebut dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.85

Perencanaan kinerja merupakan proses mendesain program/kegiatan apa yang harus dilakukan dari sumber alokasi dana yang disediakan. Untuk melakukan kegiatan tersebut, dibutuhkan penyediaan sumber daya yang profesional dan penentuan tujuan serta sasaran yang akan dicapai dari penggunaan anggaran yang dialokasikan, sehingga proses pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan..

Tujuan diberikannya dana otonomi khusus bagi Provinsi Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, adalah untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari penggunaan dana otonomi khusus adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari dana otonomi khusus merupakan acuan dasar dari perencanaan pengalokasian penggunaan

84 Robert Bacal, Performance Management, (McGraw-Hill Companies, Inc, New York, 1999) hal.54

anggaran. Oleh karena itu, setiap penyusunan program kegiatan yang diusulkan oleh Kabupaten/Kota harus mengacu kepada tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dari penggunaan dana otonomi khusus.

Pengalokasian dana otonomi khusus Provinsi Aceh dibagi sebesar 40% bagi Provinsi dan 60% bagi Kabupaten/Kota. Dari 60% dana untuk pembangunan Kabupaten/Kota, dibagi lagi antar Kabupaten/Kota setiap tahun dengan menggunakan formula yang memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar Kabupaten/Kota, 30% ditentukan oleh jumlah penduduk, 30% ditentukan oleh luas wilayah, 30% ditentukan oleh indeks pembangunan manusia (IPM), dan 10% ditentukan oleh indeks kemahalan konstruksi (IKK).

Pembagian alokasi dana otonomi khusus 40% bagi Provinsi dan 60% bagi Kabupaten/Kota masih belum proporsional, karena bagian 60% harus dibagi untuk 23 (dua puluh tiga) Kabupaten/Kota yang menyebabkan kesenjangan fiskal (fiscal gap) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, 40% bagian Provinsi juga di pergunakan bagi pembangunan Kabupaten dan Kota, karena wilayah pemerintah Provinsi Aceh mencakup seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Aceh.

Untuk itu, perlu kiranya dibangun pemikiran bagi pembagian dana otonomi khusus yang lebih proporsional dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh dengan pembagian alokasi dana otonomi khusus sebesar 30% bagi Provinsi dan 70% bagi Kabupaten dan Kota.

Gambar 2

Alokasi dana otonomi khusus

Kab/Kota 60% Provinsi 40%

Berdasarkan alokasi formula, Gubernur menetapkan pagu anggaran yang dijadikan sebagai dasar bagi Kabupaten/Kota untuk menyusun program kegiatan yang dibutuhkan. Dalam menetapkan pagu anggaran, Pemerintah Aceh wajib menyiapkan data dan informasi yang diperlukan berupa data yang valid dan akurat dari Badan Pusat Statistik.

Alokasi dana otonomi khusus bagi Kabupaten/Kota tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi dalam bentuk pagu anggaran. Hal ini berarti, tidak diberikannya kewenangan bagi Kabupaten/Kota untuk melaksanakan program/kegiatan dari dana otonomi khusus. Kabupaten/Kota hanya diberikan kewenangan untuk menyusun program/kegiatan yang dibutuhkan berdasarkan besaran pagu anggaran yang telah ditetapkan, sedangkan pelaksanaanya dijalankan oleh Pemerintah Provinsi. Besaran alokasi dana otonomi khusus Provinsi Aceh dapat dilihat data dibawah ini.

Tabel 1

Alokasi Dana Otonomi Khusus Tahun 2008 dan 2009 (dalam Milyar)

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA TAHUN 2008 TAHUN 2009

PROVINSI ACEH 1.412 1.491,31

KABUPATEN ACEH BARAT 93,59 97,11

KABUPATEN ACEH BESAR 98,30 111,36

KABUPATEN ACEH SELATAN 115,93 102,80

KABUPATEN ACEH SINGKIL 89,39 80,32

KABUPATEN ACEH TENGAH 114,21 101,78

KABUPATEN ACEH TENGGARA 102,22 96,92

KABUPATEN ACEH TIMUR 157,52 154,12

KABUPATEN ACEH UTARA 100,71 127,88

KABUPATEN BIREUEN 91,79 111,76

KABUPATEN PIDIE 93,33 101,17

KABUPATEN SIMEULUE 89,92 83,25

KOTA BANDA ACEH 52,08 92,20

KOTA SABANG 45,69 72,12

KOTA LANGSA 62,26 82,80

KOTA LHOKSEUMAWE 61,93 92,54

KABUPATEN NAGAN RAYA 118,88 98,80

KABUPATEN ACEH JAYA 110,06 88,47

KABUPATEN ACEH BARAT DAYA 78,30 88,32

KABUPATEN GAYO LUES 151,30 97,02

KABUPATEN ACEH TAMIANG 94,27 104

KABUPATEN BENER MERIAH 77,39 84,83

KABUPATEN PIDIE JAYA 55,09 83,80

KABUPATEN SUBUSSALAM 63,85 81,61

JUMLAH 3.530 3.728

Dari pagu anggaran yang telah ditetapkan, Kabupaten/Kota menyusun rencana program/kegiatan berdasarkan RPJP, RPJM, dan RKPA/RKPK dengan persetujuan DPRK disertai rincian anggaran dan dokumen pendukung lainnya yang diusulkan kepada Pemerintah Aceh selambat-lambatnya pada bulan Mei tahun anggaran berjalan, guna dikaji dan disetujui oleh Pemerintah Aceh. Dalam pengusulan program/kegiatan dari alokasi dana otonomi khusus, Kabupaten/Kota dapat memprioritaskan Program/kegiatan yang bersifat tahun jamak atau program kegiatan berkelanjutan yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun melalui persetujuan DPRK.

Rencana program/kegiatan yang telah disusun dan diusulkan oleh Kabupaten/Kota untuk dibiayai dari dana otonomi khusus, dikaji dalam suatu Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) Provinsi Aceh melalui Tim Koordinasi Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus. Tim Koordinasi bertugas untuk mengaktualisasi formula perhitungan pengalokasian dana termasuk pendataan, menyusun kriteria dan persyaratan seleksi program/kegiatan, menilai kesesuaian program/kegiatan, menyediakan bantuan teknis kepada Kabupaten/Kota dalam penyiapan usulan program/kegiatan. Dalam hal, Kabupaten/Kota tidak dapat menyampaikan usulan program dan kegiatan yang memenuhi kriteria dan persyaratan seleksi, Pemerintah Aceh berkewajiban membantu menyusun program dan kegiatan untuk dilaksanakan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan program kegiatan dari dana otonomi khusus merupakan tindakan lanjutan dari proses perencanaan program kegiatan yang telah disusun dan disepakati bersama antara Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan besaran alokasi dana otonomi khusus yang tersedia. Terhadap proses pelaksanaan program kegiatan dari dana otonomi khusus, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 dilaksanakan sepenuhnya (sentralisasi) oleh Provinsi Aceh. Hal ini berarti kewenangan pelaksanaan dana otonomi khusus berada pada Provinsi Aceh.

Sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh didasarkan pada Pasal 183 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dimana pengelolaan dana otonomi khusus diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh. Adanya kata diadministrasikan, berarti diberikannya kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengatur, menetapkan, mengendalikan dan mengambil kebijakan terkait pengelolaan dana otonomi khusus.

Dari hal tersebut, Provinsi Aceh diberikan kewenangan untuk mengelola secara penuh (sentralisasi) atau menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada Kabupaten/Kota, dikarenakan secara aturan keuangan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2003), Pengguna anggaran dapat melimpahkan kewenangannya kepada kuasa pengguna anggaran untuk memudahkan dan mengefektifkan jalannya pelaksanaan anggaran keuangan.

Namun bila ditinjau dari Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008, sentralisasi merupakan pilihan yang dijalankan oleh Provinsi Aceh.

Sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh mendapat kritikan dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kabupaten/Kota (FKKA) dengan mengusulkan perubahan pengelolaan dana otonomi khusus, antara lain:

1. Pemerintah Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif) bersepakat, mengusulkan Kepada Gubernur Aceh dan DPR Aceh agar sesegera mungkin melakukan perubahan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian TDBHD Migas dan OTSUS, sehingga lebih mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Aceh diseluruh Kabupaten/Kota.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif) bersepakat, mengusulkan dan menuntut agar Dana Otonomi Khusus yang menjadi bagian Kabupaten dan Kota setiap tahun anggaran agar ditransfer menjadi pendapatan atau penerimaan dalam APBK APBD masing-masing Kabupaten dan Kota.

3. Pemerintah Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif) bersepakat, mengusulkan dan menuntut pada Pemerintahan Aceh agar sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA-Tahunan) dari pagu anggaran TDBH Migas dan Otsus masing-masing Kabupaten dan Kota hendaknya dikembalikan kepada masing-masing Kabupaten dan Kota yang bersangkutan tanpa mengurangi hak atau jumlah anggaran TDBH Migas dan Otsus tahun berikutnya yang telah ditetapkan.

4. Untuk merumuskan dan mengkomunikasikan kesepakatan, usulan dan tuntutan Pemerintah Kabupaten dan Kota, dengan persetujuan bersama kami membentuk Tim Teknis.

5. Koordinator Forum KKA dengan Tim Teknis meminta waktu kepada Gubernur dan DPR Aceh untuk dapat terlaksananya pertemuan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh.86

Adapun yang menjadi dasar tuntutan dari Forum KKA sebagaimana tercantum dalam paragraf 2 Muqadimah usulan Pemerintah Kabupaten dan

86 Surat Forum KKA Nomor : 257/FKKA/DPF/2009 dan Usulan Pemerintah Kabupaten dan Kota yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Daerah Kabupaten dan Kota serta Ketua DPRK.

Kota “ Bahwa pengalaman pelaksanaan pembangunan tahun 2008 dan 2009, khususnya pada kegiatan pembangunan yang didanai dengan anggaran yang bersumber dari TDBH Migas dan dari dana Otsus tahun 2008 dan 2009, telah memperlihatkan secara nyata belum mampu mempercepat terwujudkan kesejahteraan di Aceh atau di Kabupaten/Kota sebagaimana mestinya. Salah satu tolak ukurnya adalah kenyataan relisasi fisik dan keuangan pada akhir tahun 2008 dan 2009 pada umumnya dibawah target yang direncanakan.

Salah satu maksud dari pelaksanaan otonomi daerah adalah mempermudah proses pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan akan berjalan dengan efektif dan efesien apabila pemberian pelayanan didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Selain itu Kabupaten/Kota lebih mengetahui situasi dan kondisi wilayahnya masing-masing, sehingga akan lebih memudahkan dalam mengatasi hambatan dan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya. Untuk itu, perlu kiranya dibangun pemikiran pelimpahan wewenang pengelolaan dana otonomi khusus yang pada dasarnya ditujukan untuk peningkatan pelayanan terhadap masyarakat (public service)

kepada Kabupaten dan Kota agar pengelolaan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan efektif dan efesien.

3. Pengawasan

Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran keuangan daerah bukan merupakan satu tahapan sendiri dari siklus APBD. Pengawasan terhadap

pelaksanaan APBD mengikuti semua tahap dari siklus APBD, dimana pengawasan menghendaki bahwa pelaksanaan APBD dilakukan sesuai dengan rencana, aturan permainan, dan tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan.

Menurut Bohari, pada umumnya pengawasan bertujuan untuk:

1. Menjaga agar rencana dalam realisasinya tetap terarah pada tujuan dan sasaran yang telah ditentukan;

2. Menjaga agar pelaksanaannya tetap sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan (peraturan yang berlaku);

3. Menjaga agar tugas itu dijalankan berdaya guna sesuai dengan tujuan dan sasaran;

4. Melakukan usaha-usaha untuk mengatasi hambatan, mengendalikan penyimpangan-penyimpangan, serta akibat- akibatnya.87

Pengawasan atas pengelolaan dana otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Pasal 16 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 dilakukan oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), dimana DPRA melakukan pengawasan terhadap kegiatan perencanaan pengalokasian, pelaksanaan dan pertanggungjawaban dari penggunaan dana otonomi khusus.

Menurut Pasal 42 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dikemukakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap:

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lain; 2. Pelaksanaan Peraturan dan Keputusan Kepala Daerah; 3. Pelaksanaan APBD;

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah;

5. Pelaksanaan kerjasama internasional di daerah.

Pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD bersifat pengawasan politik yang lebih bersifat kebijakan strategis, bukan pengawasan teknis maupun administratif. Dalam hal pelaksanaan pengawasan dana otonomi khusus oleh DPRD, dilakukan melalui 3 (tiga) bentuk pengawasan, yaitu: 1. Melalui Panitia Anggaran dalam proses perencanaan penggunaan

anggaran. Panitia Anggaran termasuk salah satu alat kelengkapan dewan yang bersifat tetap dan berperan dalam menentukan jumlah dan proporsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, terutama berkaitan dengan biaya pembangunan dan skala prioritas pembangunan daerah;

2. Melalui Komisi-Komisi DPRD dalam proses pelaksanaan dana otonomi khusus. Pengawasan dilakukan oleh komisi-komisi berdasarkan bidang tugas masing-masing. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan berdasarkan kasus yang terjadi dan selanjutnya hasil pengawasan disampaikan dalam bentuk Rekomendasi kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti.

3. Melalui Rapat Paripurna dalam proses pertanggungjawaban pengelolaan dana otonomi khusus. DPRD berdasarkan Pasal 42 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai tugas dan wewenang untuk meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

Selain DPRD, masih ada institusi pengawasan lainnya, yaitu: 1. Satuan Pengawas Internal (SPI) seperti Inspektorat Daerah; dan

2. Satuan pengawas eksternal (SPE) seperti BPK, BPKP, Akuntan Publik dan lain sebagainya.

4. Pertanggungjawaban dan Pelaporan.

Pertanggungjawaban dan pelaporan pengelolaan dana otonomi khusus oleh Pemerintah Aceh kepada Pemerintah berdasarkan Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2006, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pertanggungjawaban dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara internal dan eksternal.

Secara internal, pertanggungjawaban dan pelaporan dilakukan secara bertingkat. Pertanggungjawaban dan pelaporan dimulai dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dimana SKPD selaku Pengguna Anggaran menyampaikan laporan realisasi pengelolaan keuangan secara periodik kepada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) yang terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca dan catatan atas laporan keuangan. Selanjutnya BPKD menyusun laporan realisasi pengelolaan keuangan daerah dengan cara menggabungkan seluruh laporan realisasi pengelolaan keuangan SKPD untuk disampaikan kepada Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah melalui Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah.

Skema 2

Mekanisme Pertanggungjawaban dan Pelaporan Keuangan Daerah Secara Internal

SKPD BPKD Sekretaris Daerah Kepala Daerah

Secara eksternal untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah, Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD berupa Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD yang terdiri:

a. Laporan perhitungan APBD; b. Nota perhitungan APBD; c. Laporan Aliran Kas d. Neraca Daerah.

Dilihat dari siklus anggaran, pertanggungjawaban merupakan siklus yang terakhir, dan selama bagian siklus anggaran ini belum ditutup oleh Perhitungan Anggaran Daerah (PAD), maka secara teoritis berarti bahwa siklus anggaran belum selesai dilaksanakan. Hal ini berarti pula bahwa pemerintah belum mempertanggungjawabkan otorisasi yang diberikan oleh badan legislatif kepadanya.

Selesainya pembuatan Perhitungan Anggaran Daerah tidak berarti selesainya pertanggungjawaban pemerintah atas otorisasi yang diberikan oleh rakyat melalui DPR. Melainkan hal tersebut merupakan bagian awal dari proses pertanggungjawaban Pemerintah, dimana Pemerintah diwajibkan mengirimkan Perhitungan anggaran yang telah disusun kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan membubuhi Perhitungan Anggaran tersebut dengan suatu keterangan tentang pendapatnya, disertai pemberitahuan tentang keberatan-keberatan dan teguran-teguran yang disebabkan oleh pemeriksaan, juga yang mengenai bukti pertanggungjawaban yang disertakan, untuk dalam waktu empat bulan setelah diterima, dimana perlu dikirimkan kembali kepada Pemerintah untuk dijawab dan diperbaiki.

Setelah pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan selesai, maka Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang menetapkan perhitungan penutup (slot van rekening) diajukan oleh Pemerintah kepada DPRD untuk disepakati dan disetujui bersama. Sebelum ditandatangani, Perda Pertanggungjawaban Keuangan Daerah terlebih dahulu disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan evaluasi. Persetujuan atas Pertanggungjawaban Keuangan Daerah terhadap Perda mengakhiri siklus suatu anggaran.