• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 KERANGKA PEMIKIRAN

PADA KELUARGA CERAI DAN UTUH

Lisnani Sukaidawati, Diah Krisnatuti, Ratna Megawangi

Abstraks

Keluarga adalah institusi penting dalam pembentukan konsep diri. Konsep diri dibentuk oleh interaksi di dalam keluarga melalui pengasuhan. Ibu memainkan peran penting dalam pembentukan konsep diri melalui gaya pengasuhan. Ketika remaja konsep diri dipengaruhi oleh peran teman sebaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya pengasuhan penerimaan-penolakan dan kelekatan teman sebaya dengan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Penarikan contoh menggunakan teknik purposive dan random sampling yang terdiri dari 79 remaja keluarga cerai dan 79 remaja keluarga utuh yang berusia 12-16 tahun dan tinggal bersama ibu. Penelitian dilakukan di 6 SMP di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal Kota Bogor pada bulan Juni sampai dengan Desember 2013. Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada konsep diri remaja keluaga cerai dan utuh, kecuali pada dimensi relasi lawan jenis. Tidak terdapat perbedaan pada gaya pengasuhan, hampir tigaperempat remaja KC dan lebih dari tigaperempat remaja KU memiliki pengasuhan penerimaan dengan kategori tinggi. Kurang dari tigaperempat remaja KC dan lebih dari separuh remaja KU memiliki kelekatan dengan teman sebaya dengan kategori secure. Gaya pengasuhan penerimaan, pengabaian dan tidak sayang serta kelekatan teman sebaya berpengaruh terhadap konsep diri remaja. Sedangkan status kawin ibu tidak berpengaruh terhadap konsep diri remaja jika dikontrol oleh usia remaja, usia ibu, pekerjaan ibu dan penghasilan perkapita.

Kata kunci: gaya pengasuhan, pengasuhan penerimaan-penolakan, konsep diri remja, kelekatan teman sebaya

The Acceptance-Rejection Parenting Style, Peer Attachment And Adolescences’ Self Concept on Divorced and Intact Families

Abstract

Family is an important institution in the formation of self-concept. The concept of self-formed from the interaction with families through parenting in childhood. The mother plays important role in the formation of self concept through parenting style. When adolescence period self-concept is influenced by the role of peers. This study was aimed to analyze the influence of parenting style acceptance-rejection and peer attachment on adolescents‟ self-concept on divorced and intact families. It used purposive and random sampling consisted 79 adolescents from divorced families and 79 from intact family aged 12-16 years old and lived only with mother. The study was conducted in six secondary schools in the District of West Bogor and Tanah Sareal from June until December 2013. The results showed that there were no differences in adolescents‟ self- concept of divorced and intact families, except dimension opposite/same sex relationships. There was no difference in parenting style, nearly three-quarters of adolescents from divorced and more than three-quarters of adolescents from intact have acceptance parenting style with high category. Less than three-quarters of adolescents from divorced family and more than half of adolescents from intact family have secure attachment with peers. The affect were appeared on acceptance, and undifferentiated parenting style to adolescents‟ self concept. Attachment with peers were influenced on

adolescents‟ self-concept, while married mothers status did not affect on adolescents‟ self-concept when controlled by adolescents‟ age, mothers‟ age, occupation, and income per capita.

Keyword : adolescence, self-concept, parental acceptance rejection, divorced family, peer attacment.

Pendahuluan

Lembaga pernikahan adalah institusi terbaik untuk membesarkan dan mengasuh anak. Bagi keluarga utuh pernikahan memungkinkan pembagian tugas dan penggunaan sumber daya bersama. Pernikahan bagi keluarga utuh memberikan keintiman, komitmen, persahabatan, dan kesempatan untuk pertumbuhan emosional dan merupakan sumber identitas dan harga diri. Dalam budaya timur pernikahan yang harmonis penting bagi kepuasan spiritual dan mengembangkan keturunan (Papalia et al 2001; Santrok 2002). Saat ini terdapat kecenderungan perceraian dianggap sebagai salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada orangtua terkait permasalahan dengan pasangan. Bagi anak perceraian merugikan anak karena menurunkankan kualitas pengasuhan dengan berkurangnya afeksi, kasih sayang dan kebersamaan yang biasanya didapat anak dari kedua orangtuanya.

Konsep diri adalah aspek penting dalam perkembangan remaja, karena akan berpengaruh terhadap pemikiran dan perilaku, serta proses pendidikan dalam pencapaian prestasi belajar. Konsep diri merupakan pandangan terhadap diri sendiri yang meliputi dimensi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri. Berbeda dengan kepribadian, konsep diri bukanlah faktor bawaan, tetapi berkembang dalam diri seseorang melalui pengalaman, kemudian dipelajari, serta adanya interaksi dengan orang lain (Calhoun dan Cocella 1990). Tidak semua orang dalam lingkungan memiliki pengaruh di dalam interaksi dengan remaja, ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan remaja. Ketika kecil orang-orang penting itu adalah keluarga; orangtua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal serumah Mead (1934) yang diacu dalam Rakhmat (2011) menyebutnya significant others. Ketika remaja orang-orang penting ini semakin bertambah jumlahnya seiring dengan perkembangan dan minat remaja pada lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan peran teman-teman sebaya.

Konsep diri di dalam keluarga, pertama kali terbentuk dari interaksi antara figur-figur pengasuh utama dalam proses pengasuhan. Ibu adalah figur utama dan pertama dalam pengasuhan, ekspresi kasih sayang yang dilakukan ibu melalui gaya pengasuhannya kepada anak melalui kehangatan dalam kata-kata, senyuman, pujian, penghargaan, dan pelukan menyebabkan anak memandang dirinya secara positif. Sebaliknya jika anak diperlakukan dengan cemoohan, hardikan, dan perilaku-perilaku lain yang memperlihatkan penolakan (rejection), anak akan memandang dirinya secara negatif. Dari sinilah konsep diri anak terbentuk, apakah akan memiliki konsep diri negatif ataukah positif. Kasih sayang dan kehangatan dari orangtua penting dalam membangun konsep diri (Cournoyer et al 2005).

Pada kenyataannya tidak semua orangtua mampu menyediakan lingkungan pengasuhan yang menyenangkan dan mendukung perkembangan anak dan remaja.

Peristiwa yang terjadi di dalam keluarga ikut memengaruhi kemampuan tersebut. Ketidakhadiran salah satu orangtua dapat meningkatkan tekanan atau stres dalam pengasuhan (Turner 2006) yang dapat menimbulkan gangguan pada konsep diri ibu. Umumnya setelah terjadi perceraian, ibu memiliki peran ganda, sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi anak-anaknya (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Tanggungjawab tugas ibu sebagai pencari nafkah cenderung menyita waktu sehingga pola hubungan ibu dan anak menjadi kurang optimal.

Pola hubungan ibu dan anak mencerminkan gaya pengasuhan yang dilakukan oleh ibu. Menurut DeMause yang diacu oleh Gottman dan DeClaire (1999) pengasuhan adalah suatu proses melatih, membimbing, mengajari, dan membantu penyesuaian diri anak dengan lingkungannya. Karena itu orangtua berperan penting dalam memfasilitasi anak sukses dalam beradaptasi, mengembangkan keterampilan dan sumber daya demi tercapainya tugas perkembangan sebagai sarana untuk mengelola tantangan hidup di masa depan. Sedangkan menurut Rohner (1975) gaya pengasuhan kehangatan tercermin dari pemberian kehangatan dan kasih sayang yang dilakukan orangtua kepada anak. Anak yang diasuh oleh orangtua yang menerapkan pengasuhan kehangatan (warmth), dapat menghindarkan anak dari perilaku bermusuhan, agresi, dan perilaku negatif lainnya. Rohner (1986) membagi gaya pengasuhan kehangatan menjadi dua kategori, yaitu gaya pengasuhan penerimaan dan gaya pengasuhan penolakan. Adapun gaya pengasuhan penerimaan dicirikan dengan adanya curahan kasih sayang yang ditunjukkan oleh orangtua kepada anak baik secara fisik maupun verbal, misalnya dalam bentuk pujian, penghargaan, dan dukungan terhadap kemajuan anak. Sedangkan gaya pengasuhan penolakan merupakan orangtua yang tidak suka, tidak setuju, mengabaikan keberadaan atau bahkan membenci anak, sehingga anak merasa tidak disayang dan tidak diinginkan. Rohner (1975) mengatakan anak yang mendapatkan penolakan dari orangtua secara signifikan menunjukkan sikap yang lebih bermusuhan dan agresif dibandingkan anak yang mendapatkan pengasuhan penerimaan. Pengasuhan penolakan (kekerasan, pengabaian, dan perasaan tidak sayang) yang diberikan ibu diduga berhubungan dengan penilaian anak terhadap dirinya yang cenderung negatif dan merasa tidak mampu. Anak yang merasa ditolak, diabaikan, dan tidak merasa disayang cenderung memiliki perasaan kesal dan marah pada orangtua. Anak cenderung menilai diri secara lebih negatif, menarik diri, dan merasa diri rendah. Jika anak atau remaja berpikir dan merasa diri cerdas, mampu, menyenangkan, serta dapat diandalkan mereka cenderung menjadi remaja yang percaya diri dan lebih mampu berprestasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hadley et al (2008), menurutnya konsep diri pada setiap dimensi berhubungan dengan perilaku dan pencapaian pada perkembangan dimensi tersebut.

Di sisi lain perceraian dan kondisi keluarga yang tidak lengkap menyebabkan ikatan keluarga dan suasana keluarga tidak lagi dapat memberikan rasa aman kepada anak, sehingga anak akan mencari perlindungan di tempat lain, tempat lain ini adalah teman sebaya atau teman dekat (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Ketika memasuki usia remaja, pengaruh teman sebaya menjadi lebih kuat (Papalia 2007). Masa remaja sering ditafsirkan sebagi masa pencarian identitas diri, menurut Santrock (2007) dalam periode pencarian identitas ini remaja membentuk konsep dirinya. Di dalam memahami konsep dirinya, remaja akan mulai mendekatkan diri pada teman-teman yang memiliki rentang usia yang sebaya dengan dirinya. Kelompok teman sebaya dapat membantu anak untuk

menemukan gambaran diri remaja sehingga remaja dapat menilai dan mengevaluasi dirinya. Menurut Boyce dan Rose (2002) bagi remaja yang berasal dari keluarga cerai teman sebaya menjadi sumber dukungan sosial yang membantu remaja untuk mengembangkan berbagai keterampilannya. Hubungan antara remaja dengan kelompok teman sebayanya memberikan umpan balik bagi remaja bagaimana seharusnya bersikap dan mengevaluasi diri dan orang lain (Santrock 2007) yang dapat memberikan masukan dalam pengembangan konsep dirinya. Berdasarkan pemaparan di atas, menjadi penting dan menarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan gaya pengasuhan ibu, kelekatan teman sebaya dengan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis hubungan antara gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dengan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah; (1) mengidentifikasi perbedaan gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dan konsep diri remaja; (2) menganalisis hubungan gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, dengan konsep diri remaja; (3) menganalisis pengaruh gaya pengasuhan, dan kelekatan teman sebaya terhadap konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode survey. Studi dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2013 di wilayah Kota Bogor. Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 12-14 tahun yang tinggal bersama ibu. Contoh diambil dari 3 SMP di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan 3 SMP lainnya diambil dari wilayah Kecamatan Tanah Sareal. Penarikan contoh remaja dari keluarga cerai menggunakan teknik purposive sampling berdasarkan status perkawinan orangtua siswa, kesediaan orangtua untuk terlibat dalam penelitian, dan kesediaan menerima kunjungan rumah sebanyak 79 orang. Penarikan contoh remaja keluarga utuh menggunakan teknik random sampling berdasarkan kerangka sampling yang tersedia dalam bentuk daftar nama siswa dan kelas di masing-masing sekolah sebanyak 79 orang. Sehingga total contoh dalam penelitian ini berjumlah 158 orang yang terdiri dari 79 orang remaja keluarga cerai (KC) dan 79 orang remaja keluarga utuh (KU).

Data karakteristik keluarga dan remaja diperoleh melalui wawancara, sedangkan data gaya pengasuhan dikumpulkan melalui self report dengan menggunakan alat bantu kuesioner Rohner (1986) Parental Accetance Rejection Questionaire (PARQ); data kelekatan teman sebaya menggunakan alat bantu kuesioner Greenberg (1987) Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA); adapun data konsep diri remaja dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu kuesioner Self Description Questionaire (SDQ) II yang diadaptasi dari Marsh (1992) sebanyak 39 item dengan validitas dan reliabiltas α 0,911. Data yang diperoleh kemudian dianalisis, masing-masing pertanyaan diberi skor. Total skor ditransformasikan ke dalam bentuk indeks, dan dikategorikan menjadi dua dengan

cut off point 60 persen. Kategori negatif jika persentase total skor ≤ (60%), dan positif jika persentase total skor > (60%). Data rasio dan interval di analisa dengan uji korelasi Pearson. Data nominal dan ordinal dianalisa menggunakan korelasi Spearman. Data kategorik dianalisis dengan uji chi square, sedangkan uji independent sample t test dilakukan untuk melihat perbedaan karakteristik remaja dan keluarga, gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Uji pengaruh dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsep diri remaja. Seluruh variabel yang berbeda nyata antara dua kelompok seperti usia remaja, usia ibu, lama pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan perkapita dimasukkan ke dalam regresi sebagai variabel kontrol.

Hasil Karateristik Keluarga dan Remaja

Terdapat perbedaan signifikan (p<0,01) antara rata-rata usia remaja, usia ibu dan pendapatan per kapita (Tabel 9). Remaja KC berusia 12,53 tahun dan remaja KU 13,53 tahun. Sedangkan rata-rata usia ibu KC 42,56 tahun dan ibu KU 39,86 tahun. Adapun pendapatan per kapita, ibu KC memiliki pendapatan sebesar Rp 833.420 dan keluarga utuh sebesar Rp 1.143.030. Ibu KC rata-rata telah bercerai selama 74,26 bulan atau 6 tahun 2 bulan 26 hari.

Tabel 9. Nilai rataan dan standar deviasi karakteristik keluarga dan remaja berdasaran status kawin

Keterangan: *p≤0,05 **P≤0,01

Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan

Menurut Rohner (1986) gaya pengasuhan orangtua berdasarkan dimensi kehangatan diklasifikasikan menjadi dua dimensi utama, yaitu gaya pengasuhan penerimaan (acceptance) dan gaya pengasuhan penolakan (rejection).

Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan skor rataan dimensi gaya pengasuhan dan status kawin

Gaya Pengasuhan Keluarga Cerai Keluarga Utuh

Dimensi Rataan±SD Rataan±SD p-value

Penerimaan 76,75±13,08 78,77±9,20 0,31

Kekerasan 46,41±10,44 45,36±11,33 0,54

Pengabaian 43,01±9,78 41,16±8,68 0,23

Tidak Sayang 36,01±8,40 34,90±7,94 0,46

Keterangan: *p≤0,1 **p≤0,05

Keluarga Cerai Keluarga Utuh

Rataan±SD Rataan±SD p value

Usia remaja (tahun) 13,53± 0,71 12,53±0,67 ,000**

Urutan lahir 2, 05± 1,35 1,89±1,15 ,413

Usia ibu (tahun) 42,56± 6,50 39,86±4,80 ,004**

Lama pendidikan ibu (tahun) 11,55 ± 3,51 11,74±3,91 ,746

Jumlah anak (orang) 2,61± 1,42 2,60±1,20 ,902

Besar keluarga (orang) 4,51± 2,14 4,84±1,30 ,284

Pendapatan per kapita (Rp 000) 833,42±949,02 1 143,03,±1 167,86 ,007** Usia pertama menikah (tahun) 22,41± 4,21 22,68 ± 3,73 ,539

Pengasuhan penerimaan dicirikan dengan perilaku penerimaan atau memberikan perhatian (affection) yang dilakukan ibu kepada anaknya, sedangkan pengasuhan penolakan merupakan pengasuhan yang dicirikan dengan perilaku agresi/kekerasan (hostility), pengabaian (neglect), dan perasaan tidak sayang (undifferentiated). Sebaran remaja berdasarkan gaya pengasuhan lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 1. Data yang diperoleh dalam penelitian (Tabel 10) menunjukkan rata-rata skor pengasuhan penerimaan remaja KC lebih rendah dibandingkan remaja KU, gaya pengasuhan penolakan yang meliputi pengasuhan kekerasan, pengabaian dan tidak sayang lebih tinggi dibandingkan remaja KU, namun demikian hasil uji beda t tes menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada semua gaya pengasuhan.

Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan kategori gaya pengasuhan dan status kawin

Gaya Pengasuhan Status Kawin

Keluarga Cerai Keluarga Utuh Chi

square p-value n % n % Penerimaan Tinggi 59 74,7 66 83,5 0,17 Penerimaan Rendah 20 25,3 13 16,5 Penolakan Tinggi 1 1,3 0 0 0,50 Penolakan Rendah 78 98,7 79 100 Jumlah 158 100 158 100 Keterangan: *p≤0,1 **p≤0,05

Hasil pengkategorian dan uji kai kuadrat pada dimensi gaya pengasuhan penerimaan penolakan (Tabel 11) menunjukkan bahwa hampir tigaperempat (74,7%) remaja KC dan lebih dari tigaperempat (83,5%) remaja KU menerima pengasuhan penerimaan dengan kategori tinggi. Tidak terdapat perbedaan pada proporsi gaya pengasuhan diantara kedua kelompok remaja.

Kelekatan Teman Sebaya

Kelekatan antara remaja dengan teman sebaya terbentuk sejak awal remaja berinteraksi dengan teman sebaya. Armsden dan Greenberg (1987) menyatakan kelekatan remaja dengan teman sebaya dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu kepercayaan (trust), komunikasi (communication) dan pengasingan/alienasi (alienation).

Tabel 12. Nilai rataan, dan p-value contoh berdasarkan dimensi kelekatan teman sebaya dan status

kawin

Variabel Rataan±SD Kelekatan Teman sebaya

Dimensi Keluarga Cerai Keluarga Utuh P-value

Komunikasi 72,82±15,45 67,68±18,79 0,062*

Alienasi 56,74±12,86 54,76±13,62 0,351

Kepercayaan 71,11±14,39 67,37±14,06 0,102

Total kelekatan teman

sebaya 42,95±7,05 41,38±7,17 0,168

Keterangan : *p≤0,1 **p≤0,05

Berdasarkan data (Tabel 12) rata-rata remaja KC memiliki skor kelekatan pada teman sebaya lebih tinggi pada semua dimensi termasuk total kelekatan dibandingkan remaja KU, bahkan pada dimensi komunikasi terdapat

perbedaan signifikan pada taraf p≤0,1. Hal ini menunjukkan bahwa remaja KC lebih sering berkomunikasi dengan teman sebayanya dibandingkan remaja KU. Namun demikian hasil uji t test pada total kelekatan teman sebaya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Adapun sebaran remaja KC dan KU berdasarkan jawaban item pernyataan setuju dan tidak setuju dapat dilihat pada lampiran 5.

Guarnieri (2010) dalam penelitiannya menggunakan klasifikasi attachment menjadi tiga kategori yaitu secure, ambivalent, dan avoidant. Selanjutnya Critenden (1988) yang diacu oleh Guarnieri (2010) menambahkan satu kategori yaitu: ambivalent/avoidant dan Main (1985) menggunakan istilah disorganized. Vivona (200) dan Reese (2008) mengembangkan kategori tersebut menjadi: secure apabila alienasi negatif, komunikasi dan kepercayaan positif; ambivalent memiliki empat model: (1) apabila kepercayaan positif, komunikasi dan alienasi negatif, (2) apabila kepercayaan dan alienasi positif,sedangkan komunikasi negatif, (3) apabila komunikasi dan alienasi positif dan kepercayaan negatif, (4) apabila alienasi dan kepercayaan negatif dan komunikasi positif; avoidance, apabila komunikasi dan kepercayaan negatif dan alienasi positif; dan sebagai tambahan disorganized apabila semua dimensi positif atau negatif. Penelitian ini hanya menggunakan dua kategori secure dan insecure, adapun kategori ambivalent, avoidance dan disorganized disatukan ke dalam kategorikelekatan insecure.

Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan kategori kelekatan teman sebaya dan status kawin

Variabel Kelekatan Teman Sebaya

Secure Insecure OR Status

Kawin n % n % Total % (95%CI) Chi-Squarep-value Cerai 57 72,2 22 27,9 79 100 0,622 0,283- 1,367 0,23 Utuh 43 54,4 36 45,6 79 100 Keterangan : *p≤0,1 **p≤0,05

Berdasarkan hasil pengkategorian kelekatan (Tabel 13) menunjukkan, hampir tigaperempat (72,2%) remaja KC dan lebih dari separuh (54,4%) remaja KU memiliki kelekatan yang secure. Kurang dari sepertiga (27,9%) remaja KC dan kurang dari separuh remaja KU termasuk dalam kategori kelekatan insecure. Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=0,23, artinya tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan pada kelekatan teman sebaya. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=0,622 artinya remaja KC memiliki peluang 0,622 kali untuk memiliki kelekatan teman sebaya yang secure. Kategori kelekatan teman sebaya lebih rinci disajikan pada lampiran 6.

Konsep Diri Remaja

Menurut Mars (1992) konsep diri terbagi dalam tiga area; akademik, non akademik, dan self esteem yang berasal dari Rosenberg (1980). Dari ketiga area ini Marsh membagi menjadi 11 dimensi untuk remaja yaitu: matematika (MAT), penampilan fisik (PAP), global diri (GEN), kejujuran (HON), kemampuan fisik (PAB), verbal (VB), hubungan pertemanan (PER), relasi orangtua (PAR), sekolah (SCH), relasi lawan jenis (OSR) dan relasi teman sejenis (SSR). Dalam penelitian ini

dua dimensi terakhir digabungkan menjadi dimensi relasi teman sama/lawan jenis (OSSR).

Berdasarkan kategori (Tabel 14) dan proporsi remaja KC (79,7%) yang memiliki konsep diri positif lebih banyak dibandingkan remaja KU (77,2%). Proporsi terbanyak dengan kategori negatif pada remaja KC terdapat pada dimensi GEN, sedangkan pada remaja KU terdapat pada dimensi MAT. Proporsi terbesar dengan kategori positif baik pada remaja KC maupun KU terdapat pada dimensi PAR. Terdapat perbedaan siginifikan hanya pada konsep diri dimensi OSSR, remaja KC memiliki proporsi lebih banyak dibandingkan remaja KU. Sebaran remaja KC dan KU berdasarkan rataan per dimensi secara detil dapat dilihat di lampiran 7 dan 8.

Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin Konsep Diri Remaja Keluarga Cerai Keluarga Utuh Dimensi Positif

(%) Negatif (%) Positif (%) Negatif (%) P value Math (MAT) 32,9 67,1 40,5 59,5 0,87 Physical Appearance (PAP) 59,5 40,5 59,5 40,5 0,87 General Self (GEN) 29,1 70,9 73,4 26,6 0,86 Honesty (HON) 82,3 17,7 81,0 19,0 0,47 PhysicalAbilities (PAB) 38,0 62,0 40,5 59,5 0,59 Verbal (VB) 46,8 53,2 44,3 55,7 0,44 Peer Relationships (PER) 65,8 34,2 51,9 48,1 0,29 Parent Relationships (PAR) 91,1 8,9 92,4 7,6 0,77 School (SCH) 68,4 31,6 63,3 36,7 0,71 Opposite Sex Relationships

(OSSR) 62,0 38,0 51,9 48,1 0,01** Total Self Concept (TSC) 79,7 20,3 77,2 22,8 0,37

Keterangan: *p≤0,05 **p≤0,01

Hubungan Gaya Pengasuhan, Kelekatan Teman Sebaya, dan Konsep Diri Remaja

Data (Tabel 15) menunjukkan, gaya pengasuhan penerimaan berhubungan positif signifikan dengan konsep diri remaja, sedangkan gaya pengasuhan kekerasan, pengabaian dan tidak sayang berhubungan negatif. Hal ini menunjukkan semakin tinggi gaya pengasuhan penolakan semakin negatif konsep diri remaja. Gaya pengasuhan penerimaan berhubungan positif dengan kelekatan teman sebaya dimensi komunikasi dan kepercayaan, dan berhubungan negatif dengan dimensi alienasi. Artinya semakin tinggi penerimaan orangtua, semakin tinggi kelekatan komunikasi dan kepercayaan remaja dengan teman sebaya, dan sebaliknya semakin rendah alienasinya dengan teman. Semua dimensi gaya pengasuhan penolakan berhubungan positif dengan dimensi alienasi. Pengasuhan pengabaian berhubungan negatif dengan dimensi komunikasi.

Sementara itu kelekatan teman sebaya dimensi alienasi berhubungan negatif dengan konsep diri remaja. Hal ini berarti semakin tinggi remaja mengalami alienasi semakin negatif konsep dirinya. Status kawin tidak berhubungan dengan gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya maupun dengan konsep diri remaja.

Tabel 15. Koefisisen korelasi gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri contoh Var 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1,000 2 -,329* 1,000 3 -,708** ,395** 1,00 4 -,366** ,678** ,511** 1,000 5 ,346** -,328** -,259** -,428** 1,000 6 ,245** -,056 -,197* -,100 ,-185 1,000 7 -,356** ,202* ,360** ,259** -,323** -,338** 1,000 8 ,226** -,014 -,206 -,048 ,139 ,780** -,323** 1,000 9 ,025 -,059 -,086 -,041 -,066 -,148 ,112 -,144 1,000 Keterangan: *p≤0,1 **p≤0,05

1=Penerimaan 2=Kekerasan 3=Pengabaian 4=Tidak Sayang; 5=Konsep diri remaja; 6=Komunikasi 7=Alienasi 8=Kepercayaan; 9=Status kawin

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Konsep Diri Remaja

Model variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsep diri remaja yang disusun dalam penelitian ini (Tabel 16) menghasilkan nilai Adjusted R-Square 0,268. Model regresi menjelaskan bahwa 26,8 persen variabel-variabel dalam model yang memengaruhi konsep diri remaja. Sisanya sebesar 73,2 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Tabel 16. Hasil analisis regresi linear berganda variabel-variabel yang memengaruhi konsep diri contoh berdasarkan status kawin

Model Unstandarized Coefficients Standarized Coefficients

1 Variabel B Std. Error Beta Sig.

Konstanta 112,641 20,623 ,000 Status Kawin (Dummy) Cerai=0;Utuh=1 ,809 2,596 ,036 ,756 Jenis kelamin -1,871 1,678 -,082 ,267 Usia remaja -,685 1,684 -,045 ,546 Urutan lahir 1,162 1,450 ,129 ,424 Usia ibu -,402 ,257 -,212 ,120 Lama pendidikan ibu ,527 ,332 ,172 ,115 Pekerjaan ibu 1,874 1,824 ,083 ,306 Jumlah anak ,286 1,194 ,033 ,811 Besar keluarga -,419 ,557 -,066 ,453 Penghasian per kapita ,001 ,001 ,052 ,559

Usia ibu pertama

menikah ,037 ,302 ,014 ,901 Lama perceraian ,053 ,022 ,253 ,015 Gaya Pengasuhan: Penerimaan ,428 ,115 ,292 ,000** Kekerasan -,199 ,190 -,108 ,297 Tidak sayang -,687 ,402 -,179 ,090* Kelekatan Teman Sebaya ,136 ,070 ,144 ,054* Sig.F (p) ,000** Adjusted R-Square 0, 268 R-Square 0, 343

Keterangan: *p≤0,05 **p≤0,01 a. Dependent Variable: Konsep diri remaja

Hasil uji regresi linear berganda (Tabel 16) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan penerimaan memengaruhi konsep diri remaja ;(p<0,01) secara positif;

demikian juga gaya pengasuhan tidak sayang (p≤0,1); adapun kelekatan teman sebaya berpengaruh positif (p≤0,1) terhadap konsep diri remaja.

Pembahasan

Konsep diri adalah gambaran seseorang tentang diri sendiri (Wiloughby et al 1996). Gambaran tersebut menurut Fitts (1971) mencerminkan pandangan positif atau negatif seorang remaja mengenai dirinya yang dipelajari secara bertahap dan terus menerus dari respon balik ketika berinteraksi dengan keluarga ketika kecil,

Dokumen terkait