• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 KERANGKA PEMIKIRAN

7 PEMBAHASAN UMUM

Keluarga adalah unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan negara (Puspitawati, 2013). Adapun tujuan pembentukan keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar-anggota keluarga, serta antarkeluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Puspitawati 2013). Sayangnya kondisi serasi, selaras, dan seimbang dalam keluarga seringkali tidak dapat dicapai dengan mudah. Menurut perspektif sosial-konflik, hubungan dalam keluarga juga kerap diwarnai dengan konflik. Jika setiap individu didalam keluarga cenderung memenuhi kepentingan pribadi (self-interest), maka konflik akan selalu mewarnai kehidupan keluarga (Megawangi 2005). Meskipun menurut pandangan sosial konflik, tidak adanya konflik dalam keluarga mengisyaratkan kondisi stagnan, tidak bertumbuh, tidak memiliki fleksibilitas, dan menggambarkan kondisi yang harus diwaspadai. Namun tetap diperlukan strategi-strategi penanganan yang adaptif yang dapat memberikan hasil terciptanya keseimbangan, atau haemostasis, kondisi equal, harmoni dalam mengatasi permasalahan yang terjadi dalam keluarga.

Dalam menyelesaikan konflik terkadang pilihan perceraian menjadi solusi altenatif yang terakhir dari konflik yang tak dapat dihindarkan. Padahal perceraian sering kali menimbulkan masalah baru, dan menempatkan anggota keluarga yang terlibat didalamnya kembali berada dalam situasi konflik, tidak nyaman dan tidak bahagia karena berbagai tekanan (stres) sebagai konsekuensi berubahnya struktur di dalam kelu arga. Menurut Mahren (1988) yang diacu oleh Goldsmith (1996) bagi keluarga cerai anak sering kali menjadi sumber stres keluarga yang utama, keberadaan anak dalam keluarga akan menimbulkan beban fisik dan mental. Hal ini disebabkan upaya pengasuhan anak semakin kompleks dengan tidak adanya figur ayah di rumah sehingga ibu dituntut untuk menjalankan dua peran sekaligus, sebagai pengasuh dan sebagai pencari nafkah. Kondisi tersebut menempatkan ibu pada situasi yang rentan terhadap stress, selain itu perceraian merupakan salah satu stressor dalam keluarga dan berdampak terhadap kesehatan mental ibu (Nair & Murray 2005). Ibu yang stres cenderung melakukan praktek pengasuhan yang negatif yang dicirikan sebagai gaya pengasuhan penolakan. Menurut Bern (1997) gaya pengasuhan menunjukkan pola-pola perilaku yang digunakan orang tua dalam berinteraksi dengan anak dan berdampak pada perilaku anak dan remaja.

Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan pada konsep diri ibu dan remaja keluarga cerai dan utuh, bahkan pada beberapa dimensi konsep diri ibu dan remaja keluarga cerai cenderung lebih positif. Tidak ditemukan perbedaan pada gaya pengasuhan dan kelekatan teman sebaya. Hal ini disebabkan peristiwa perceraian yang dialami oleh ibu dan remaja telah terjadi selama rata-rata lebih dari enam tahun. Diperkirakan keluarga dan remaja telah mampu melewati masa- masa krisis dan melakukan adaptasi dengan baik. Sejalan dengan pernyataan Lawler (2000) yang menyatakan bahwa periode dua tahun pertama pasca

perceraian adalah waktu yang penting. Jika orangtua bekerjasama dengan anak, maka proses adaptasi dan pemulihan akan berjalan dengan sukses. Selain itu para ahli menemukan bahwa dukungan dari kerabat dan teman, hubungan positif antara wali dan mantan pasangannya, pengasuhan demokratis, sumber daya keuangan, dan kecakapan remaja pada saat perceraian adalah faktor penting yang menentukan keberhasilan remaja beradaptasi dengan perceraian orang tuanya (Santrock 2003).

Secara khusus penelitian ini menunjukkan gaya pengasuhan penolakan yang terdiri dari pengasuhan pengabaian, kekerasan dan tidak sayang berhubungan positif dengan stabilitas emosi ibu, selanjutnya stabilitas emosi ibu berhubungan positif dengan konsep diri remaja. Artinya semakin stabil emosi ibu semakin ibu menerapkan gaya pengasuhan penerimaan. Pengasuhan penerimaan ibu berpengaruh positif terhadap konsep diri remaja. Hasil ini sejalan dengan penelitian Lila et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pengasuhan penerimaan ayah dan ibu berhubungan positif dengan perkembangan anak. Salah satu aspek perkembangan anak dan remaja adalah konsep diri. Penelitian lain menyatakan bahwa gaya pengasuhan yang menunjukkan penerimaan orangtua (demokratis dan permisif) dapat menjadi predictor baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap konsep diri fisik anak (Aldhafri 2011). Sedangkan anak dan remaja yang memiliki gangguan emosi ditemukan memiliki konsep diri yang rendah (Wei dan Marder 2012). Penelitian yang dilakukan Cournoyer (2005) menunjukkan terdapat hubungan positif antara pengasuhan yang dipenuhi kasih sayang dengan konsep diri positif. Konsep diri sering dihubungkan dengan berbagai aspek yang dicapai oleh seseorang. Dalam hal ini remaja dengan konsep diri positif berhubungan dengan berbagai perkembangan termasuk hubungan dengan teman sebaya dan kebahagiaan.

Di sisi lain faktor karakteristik keluarga turut memberikan kontribusi positif, ibu dengan pendidikan tinggi akan memiliki pekerjaan yang lebih baik, pekerjaan yang baik memungkinkan ibu memiliki penghasilan yang baik pula. Penelitian ini menemukan bahwa konsep diri ibu keluarga cerai cenderung lebih positif pada beberapa dimensi, meskipun tidak ada perbedaan nyata pada total konsep diri ibu. Hal ini diduga berhubungan dengan karakteristik keluarga cerai pada penelitian ini yang memiliki usia lebih tua, dan hampir tiga perempat dari ibu keluarga cerai adalah ibu bekerja. Penelitian pada ibu bekerja yang dilakukan oleh Pish-ghadam (2013) menemukan perempuan berusia 20-45 tahun yang bekerja memiliki self esteem lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja, hal ini dikarenakan bekerja meningkatkan kepuasan hidup dan menguatkan self esteem.

Pada konsep diri remaja keluarga cerai memiliki kecenderungan lebih positif dibandingkan keluarga utuh, hal ini menjelaskan bahwa pada remaja dampak perceraian tidak selalu memberikan pengaruh negatif pada konsep dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Amato (2000) yang menemukan bahwa efek perceraian berbeda-beda tergantung usia anak dan lama perceraian orangtua. Remaja pada penelitian ini telah mengalami perceraian orangtuanya rata-rata selama lebih dari enam tahun. Sehingga efek perceraian tidak terlihat, hal ini diduga remaja telah melakukan adaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Majzob dan Mansor (2012) menemukan bahwa persepsi remaja terhadap perceraian bisa negatif dan bisa juga positif, reaksi negatif lebih dikarenakan ketakutan remaja akan penilaian negatif dan

mendapatkan ejekan dari teman-teman sebaya sehingga remaja bereaksi dengan menyalahkan diri sendiri.

Penelitian juga menemukan lama pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan perkapita ibu berhubungan dengan konsep diri ibu, dan konsep diri ibu berhubungan positif dengan konsep diri remaja. Ibu yang berpendidikan akan lebih memiliki perhatian terhadap perkembangan akademis remaja di sekolah, dan ibu dengan pendidikan yang baik biasanya memiliki pekerjaan yang baik, yang memungkinkan ibu memiliki penghasilan yang baik. Ibu dengan penghasilan yang baik memiliki sikap yang lebih hangat dan menunjukkan sikap penerimaan pada remaja. Penelitian Kamble (2009) menemukan bahwa pendidikan ibu dan pekerjaan ibu berhubungan dengan kehangatan yang ditunjukkan ibu dan dukungannya terhadap pencapaian akademik remaja di sekolah. Ditemukan hubungan positif antara pendidikan ibu dan konsep diri remaja pada penelitian Rogers et al (2009) asalkan tidak disertai oleh academic pressure, dan maternal restrictive (Leung et al 2004). Selain itu usia pertama ibu menikah berhubungan dengan konsep diri remaja. Hal ini menunjukkan semakin matang usia ibu ketika menikah semakin stabil emosi ibu dan semakin ibu memiliki kesiapan dalam menjadi orangtua. Kestabilan emosi berhubungan positif dengan konsep diri ibu dan konsep diri ibu berhubungan positif dengan konsep diri remaja.

8 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait