• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai dan Utuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai dan Utuh"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSEP DIRI DAN GAYA PENGASUHAN IBU,

SERTA KELEKATAN TEMAN SEBAYA TERHADAP

KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA

CERAI DAN UTUH

LISNANI SUKAIDAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konsep Diri Ibu, Gaya Pengasuhan, Kelekatan Teman Sebaya, dan Konsep Diri Remaja Pada Keluarga Cerai dan Utuh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

LISNANI SUAKAIDAWATI. Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai dan Utuh. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan RATNA MEGAWANGI.

Konsep diri adalah persepsi fisik, sosial, dan psikologis tentang diri seseorang yang berasal dari pengalaman-pengalaman interaksi dengan orang lain. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak, dan ibu adalah figur utama dan pertama dalam pembentukan konsep diri melalui pengasuhan. Pada saat remaja, teman berperan dalam pembentukan konsep diri melalui interaksi dan kelekatan dengan teman sebaya. Sayangnya tidak semua keluarga mampu menyediakan lingkungan yang kondusif terhadap konsep diri remaja. Perceraian adalah peristiwa yang tidak disukai oleh keluarga. Pasca perceraian ibu mengalami perubahan status, kehilangan dukungan ekonomi, dan dukungan emosi. Hal tersebut dapat memengaruhi kualitas pengasuhan ibu, yang akan berdampak pada perkembangan remaja. Konsep diri adalah salah satu

aspek yang penting yang berhubungan dengan kompetensi dan pencapaian akademis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan

remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan, dan kelekatan teman sebaya terhadap konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Penelitian dilakukan bulan Juni sampai Desember 2013 di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal Kota Bogor. Contoh terdiri dari 158 remaja, berasal dari keluarga cerai dan utuh dengan usia 12-16 tahun yang tinggal bersama ibu. Contoh berasal dari 6 SMP, yang diambil secara purposive pada keluarga cerai, dan secara acak pada keluarga utuh dengan jumlah masing-masing sebanyak 79 orang. Data konsep diri dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dan self report menggunakan Self Description Questionaire (SDQ) II untuk remaja dan SDQ III untuk ibu. Data gaya pengasuhan-penerimaan dikumpulkan dengan alat ukur Parental Acceptance Rejection Questionaire (PARQ), sedangkan data kelekatan teman sebaya dikumpulkan dengan alat ukur Individual Parent and Peer Attachment (IPPA).

Hasil menunjukkan lebih dari tiga perempat remaja keluarga cerai dan utuh memiliki konsep diri yang positif. Tidak terdapat perbedaan pada konsep diri remaja keluarga cerai dan utuh, namun dimensi relasi lawan jenis remaja keluarga cerai lebih positif dan lebih besar proporsinya dibandingkan remaja keluarga utuh. Lebih dari separuh ibu keluarga cerai dan kurang dari separuh ibu keluarga utuh memiliki konsep diri positif. Tidak terdapat perbedaan pada total konsep diri ibu, namun dimensi matematika, kejujuran, akademis, dan verbal lebih positif pada ibu keluarga cerai. Pada keluarga utuh dimensi kestabilan emosi dan relasi orangtua lebih positif. Tidak terdapat perbedaan pada gaya pengasuhan, hampir tiga perempat remaja keluarga cerai dan lebih dari tiga perempat remaja keluarga utuh menerima pengasuhan penerimaan. Kurang dari tiga perempat remaja keluarga cerai dan lebih dari separuh remaja keluarga utuh memiliki kelekatan teman sebaya dengan kategori secure. Konsep diri ibu dimensi spiritual, relasi lawan jenis, stabilitas emosi, penampilan fisik, gaya pengasuhan penerimaan dan kelekatan teman sebaya berpengaruh positif terhadap konsep diri remaja. Sedangkan dimensi kejujuran, akademis, serta gaya pengasuhan tidak sayang berpengaruh negatif.

(5)

SUMMARY

LISNANI SUKAIDAWATI. The Affect of Maternal Self Concept, Parental Acceptance-Rejection Style, and Peer Attachment on Adolescents’ Self Concept in Divorced and Intact Families. Supervised by DIAH KRISNATUTI and RATNA MEGAWANGI.

Self-concept is the individual perception of physical, social, and psychological state that is formed by experience interactions with significant others. Self concept is formed by family as the first environment, and mother plays an important role as the first and main figure in formation self-concept through parenting. In adolescence period, peers play an important role in the formation of self-concept through interaction and attachment with peers. This study aims to analyze the influence of family and adolescent characteristics, maternal self-concept, parenting style, and peer attachment on adolescent self-concept in divorced and intact families. The study was conducted from June until December 2013 in District West Bogor and Tanah Sareal of Bogor. The samples were using 158 adolescents from Junior High School (aged 12-16 years), who live with mothers. The study used purposive and random sampling techniques consisting of 79 adolescents from divorced and 79 from intact families. Adolescents’self-concept were collected by structured interviews and self-report using Self Description Questionaire (SDQ) II, and III for mothers. While parenting style was colected by Parental Acceptance Rejection Questionaire (PARQ), and attachment with peer was measured by Individual Parent and Peer Attacment (IPPA).

Results showed more than three-quarters of divorced and intact family adolescents have positive self-concept. There were not significant differences in adolescent self-concept from divorced and intact families, but opposite sex relationships dimension adolescent from divorced is more positive and has higher proportion than adolescent from intact families. More than half of divorced family’s mothers and less than half of intact family’s mothers have positive self-concept. Maternal self concept of divorced family mothers on dimensions of mathematics, honesty, academic, and verbal were more positive than intact family mothers. While the dimension of emotional stability and parental relationships were lower. There was not significant difference in maternal parenting style, nearly three-quarters of divorced family adolescents and more than three-quarters of intact family adolescents had parental acceptance. Less than three-quarters of divorced family adolescents and more than half of intact family adolescents had secured attachment with peers. There were not positive corelation appeared between maternal self concept, acceptance parenting style, and peer attachment on adolescent self-concept. In turn rejection parenting style was negatively corelated to adolescent self-concept. The spiritual dimension of maternal self-concept, opposite sex relationships, emotional stability, physical appearance, acceptance parenting style, and attachment with peers had positive affect on adolescent self-concept, while the honesty and academic dimension, indiference parenting style had negative affect on adolescent self concept.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

PENGARUH KONSEP DIRI DAN GAYA PENGASUHAN IBU, SERTA KELEKATAN TEMAN SEBAYA

TERHADAP KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA CERAI DAN UTUH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai dan Utuh

Nama : Lisnani Sukaidawati NRP : I 251110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Diah Krisnatuti, MS

Ketua Dr Ir Ratna Megawangi, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr Ir Herien Puspitawati, MSc. MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai dengan Desember 2013 ini adalah pengaruh konsep diri, dan gaya pengasuhan ibu, terhadap kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diah Krisnatuti MS dan Dr Ir Ratna Megawangi M Sc selaku pembimbing, yang telah banyak memberi pengarahan dan saran kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Dwi Hastuti M Sc dan Alfiasari SP, M Si yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terlibat dalam penelitian tentang ketahanan pangan dan kesejahteraan keluarga pada perempuan sebagai kepala keluarga yang didanai oleh BOPTN, serta Ibu Juwita Komalasari dan Ir U cu Nursyamsu yang telah membantu dalam proses input data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami MJ Suryana MBA, ibunda Hj Jumsiti Ranabrata, para putra Daryll Januar Isya, Marco Widya Dwipa Ewangga, dan Panji Ananta Puspanegara, serta seluruh keluarga dan rekan-rekan di Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, serta rekan sejawat di Yayasan Kita dan Buah Hati dan Rumah Parenting, atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2015

(12)

...however..divorce make everything different. Life, family, relationship, love, emotion,and personality..

From the author

Sometime...

Divorced allowed adults to terminate hopelessly troubled marriages, and children avoided the burden of being raised

in an atmosphere of parental conflict Ronals L. Simons & Asc.

About self concept:

Once you see a child’s self-image begin to improve,

you will see significant gains in achievement areas, but even more importantly, you will see a child who is beginning to enjoy life more..

(13)

Halaman

Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan 10

Kelekatan Teman Sebaya 12

GAYA PENGASUHAN, KELEKATAN TEMAN SEBAYA DAN KONSEP

(14)

Tujuan penelitian 43

Metode 43

Hasil 44

Pembahasan 49

Simpulan 50

Saran 51

Daftar Pustaka 52

7 PEMBAHASAN UMUM 54

8 SIMPULAN DAN SARAN 57

Simpulan 56

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 64

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Variabel berdasarkan kategori, jenis data, dan sumber informasi 20 2. Karakteristik contoh berdasarkan nilai rataan, standar deviasi, uji

beda, dan status kawin 30

3. Karakteristik contoh berdasarkan jenis kelamin remaja, pekerjaan

ibu, dan status kawin 30

4. Sebaran contoh berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin 31 5. Sebaran ibu contoh berdasarkan dimensi konsep diri dan status

kawin 31

6. Sebaran ibu contoh berdasarkan konsep diri dan status kawin

32 7. Koefisien korelasi karakteristik keluarga dan remaja, status kawin,

konsep diri ibu dengan konsep diri contoh 32 8. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri

contoh berdasarkan status kawin 33

9 Nilai rataan dan standar deviasi karakteristik keluarga dan remaja

berdasarkan status kawin 44

10 Sebaran contoh berdasarkan skor rataan dimensi gaya pengasuhan

dan status kawin 44

11 Sebaran contoh berdasarkan kategori gaya pengasuhan dan status

kawin 45

12 Nilai rataan, dan p-value contoh berdasarkan dimensi kelekatan

teman sebaya dan status kawin 45

13 Sebaran contoh berdasarkan kategori kelekatan teman sebaya dan

status kawin 46

14 Sebaran contoh berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin 47 15 Koefisien korelasi gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dan

konsep diri contoh 48

16 Hasil analisis regresi linear berganda variabel-variabel yang

memengaruhi konsep diri contoh berdasarkan status kawin 48

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran dan hubungan antar variabel 16

2. Skema penarikan contoh 18

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sebaran gaya pengasuhan remaja dengan jawaban pernyataan

SERING dan SELALU berdasarkan status kawin 64

2. Sebaran konsep diri ibu contoh dengan jawaban item pernyataan

HAMPIR BENAR dan BENAR berdasarkan status kawin 66 3. Sebaran konsep diri contoh dengan jawaban pernyataan HAMPIR

BENAR dan BENAR berdasarkan status kawin 67

4. Sebaran contoh berdasarkan dimensi konsep diri dan status kawin 68 5. Sebaran contoh dengan jawaban pernyataan SETUJU dan

SANGAT SETUJU berdasarkan kelekatan teman sebaya dan status kawin

68

6. Kategori kelekatan teman sebaya berdasarkan dimensi 69 7. Sebaran remaja berdasarkan nilai rataan, standar deviasi, p-value

dimensi konsep diri, dan status kawin 70

8. Sebaran remaja berdasarkan rataan dimensi konsep diri dan status

kawin 70

9. Sebaran ibu berdasarkan rataan dimensi konsep diri dan status

kawin 70

10. Hasil analisis regresi karakteristik keluarga dan total konsep diri

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode tahun 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Terdapat tiga faktor besar penyebab perceraian yaitu, masalah ekonomi, perkawinan yang tidak harmonis, dan kurangnya tanggung jawab. Tingkat perceraian terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2009 perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama mencapai 223.371 perkara dan tahun 2010 mencapai 285.184 perkara, atau terjadi kenaikan sebesar 26.62 persen (Badilag 2010). Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi (SIAK 2011). Salah satu wilayah yang menyumbangkan tingginya angka perceraian adalah Kota Bogor. Selain itu Kota Bogor memiliki persentase jumlah penduduk dengan status cerai hidup tertinggi di Jawa Barat yaitu sebesar 34.399 atau 3.95 persen dari total jumlah penduduk Kota Bogor. Pada tahun 2009, dari 7669 perkawinan yang ada, 8.15 persen berakhir dengan perceraian. Angka perceraian tertinggi selama periode tahun 2008 sampai dengan 2012 terjadi di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal. Angka tersebut diduga terus meningkat sampai dengan sekarang. Umumnya permasalahan yang terjadi dan menyebabkan perceraian adalah masalah ekonomi dan tidak adanya tanggung jawab dari pihak suami.

Perceraian dalam keluarga merupakan peristiwa peralihan besar yang memerlukan masa penyesuaian. Dampak perceraian menimbulkan pengalaman trauma bagi anggota keluarga. Menurut daftar peristiwa perubahan dalam hidup yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (1967) menyatakan bahwa, perceraian merupakan salah satu penyebab stres tertinggi kedua setelah kematian pasangan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Nair dan Murray (2005) yang menunjukkan bahwa, ibu yang berasal dari keluarga bercerai memiliki stres lebih tinggi dibandingkan ibu dari keluarga utuh. Ketidakhadiran salah satu orangtua dapat menimbulkan tekanan atau stres dalam pengasuhan (Turner 2006). Setelah mengalami perceraian ibu memiliki peran ganda, yaitu sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi anak-anaknya (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Kondisi stres terus menerus yang dialami ibu akan mempengaruhi konsep diri ibu, persepsi ibu terhadap kemampuan dirinya tergantung pada kemampuan ibu menilai dan memaknai seluruh peristiwa dalam mengatasi kondisi stres tersebut. Pengalaman menghayati perasaan gagal atau berhasil ibu dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pasca perceraian akan mempengaruhi cara-cara ibu dalam mengasuh atau gaya pengasuhan yang diterapkan pada anak.

(18)

disebabkan oleh ketidakmengertian yang dilakukan oleh orang tua yang berdampak pada konsep diri remaja. Terdapat banyak hal yang dapat membentuk cara dan gaya pengasuhan orang tua, salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan orang tua. Sejarah kehidupan meliputi riwayat pengasuhan orang tua dan riwayat perkawinan orangtua. Sebagai salah satu figur orangtua, ibu menjadi figur utama yang mengambil alih peran pengasuhan pada keluarga bercerai karena posisinya sebagai satu-satunya orangtua. Pengalaman ibu dalam menjalani dan menghayati sejarah pengasuhan dan riwayat perkawinan akan mempengaruhi konsep dirinya. Orang tua yang memiliki pengalaman traumatis karena disiksa dan dianiaya oleh orang tua mereka menurut Hastuti (2009) akan melakukan hal yang sama pada pengasuhan terhadap anaknya. Artinya ibu yang memiliki pengalaman traumatis akan mentransfer pengalaman tersebut melalui gaya pengasuhan kepada anaknya.

Tingginya angka cerai hidup menunjukkan tingginya jumlah keluarga dengan orang tua tunggal. Menurut Santrock (2007) anak-anak dari keluarga cerai memiliki resiko yang lebih besar dalam perkembangannya. Anak tidak lagi mendapatkan pengasuhan secara lengkap yang dilakukan bersama oleh ayah dan ibu. Padahal pengasuhan bersama yang dilakukan oleh ayah dan ibu lebih baik bagi perkembangan emosi anak dibandingkan dengan pengasuhan yang dilakukan secara terpisah seorang diri (Ogoemeka 2012). Dalam masa-masa peralihan akibat perceraian anak membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya (Cole 2004). Pada remaja masa-masa peralihan akibat perceraian dirasakan lebih sulit, menurut Koper (2005), remaja merasakan beratnya dampak peceraian karena selain perceraian orangtua, mereka juga sedang mengalami masa yang penuh guncangan dan perubahan besar dalam pencarian identitas diri. Pada masa remaja, terjadi perubahan fisik yang cepat serta adanya peralihan dari masa kanak-kanak, sehingga remaja harus mempersiapkan diri dan perlunya penyesuaian mental dalam menghadapinya (Hurlock 1980). Salah satu aspek yang harus dicapai dalam masa perkembangan remaja adalah pemahaman tentang konsep diri positif agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan yakin dengan identitas dirinya. Konsep diri yang dimiliki oleh seorang remaja hanya terdapat di dalam pikirannya namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang akan ditampilkannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Penelitian terhadap hasil yang umum dilakukan pada dampak perceraian pada anak menurut Amato (2000) meliputi prestasi akademis, perilaku, adaptasi psikologis, konsep diri, adaptasi sosial, dan kualitas hubungan dengan orangtua

(19)

beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu kemajuan anak dalam sekolah. Prestasi rendah ditunjukkan dengan tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah, banyaknya angka bolos sekolah, dan akhirnya tidak mau sekolah. Karena itu kelekatan dengan teman sebaya menjadi penting bagi remaja, karena bersama teman sebaya remaja dapat bersama-sama membangun dan meningkatkan konsep dirinya.

Berdasarkan uraian dan pendapat para ahli, serta hasil penelitian terdahulu mengenai dampak perceraian terhadap konsep diri ibu dan hubungannya dengan pembentukan konsep diri remaja melalui gaya pengasuhan yang dilakukan ibu kepada remaja, serta peran kelekatan teman sebaya terhadap konsep diri remaja dari keluarga cerai dan utuh menjadi hal yang penting dan menarik untuk diteliti. Meskipun kajian tentang konsep diri telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang ilmu sosial, namun tetap memiliki nilai spesifik bagi penulis dengan dimasukkannya variabel-variabel penting dalam aspek perkembangan konsep diri remaja secara bersamaan yaitu, konsep diri ibu, gaya pengasuhan, dan kelekatan teman sebaya, sehingga bahasan tentang konsep diri remaja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya tetap menarik untuk diteliti.

Rumusan Masalah

Penelitian mengenai konsep diri, gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, telah banyak dilakukan dalam bidang ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak konsep diri telah menjadi kajian yang kerap menjadi variabel penting untuk diteliti. Konsep diri pada remaja sering dikaitkan dengan kelekatan pada teman sebaya. Gaya pengasuhan orangtua diduga sebagai variabel independen yang turut berkontribusi dalam pembentukan konsep diri. Dengan asumsi seperti itu, berarti konsep diri orangtua dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua di masa lalu. Karena itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk meneliti adakah hubungan konsep diri ibu dengan konsep diri remaja secara langsung. Dugaan jika konsep diri ibu baik, maka anak atau remaja akan memiliki konsep diri yang baik juga. Artinya jika ibu ingin memiliki anak dengan konsep diri baik, maka diperlukan upaya ibu untuk memperbaiki konsep diri terlebih dahulu. Atau dapat juga dikatakan bahwa semakin tinggi konsep diri ibu akan semakin tinggi pula konsep diri remaja, demikian juga sebaliknya. Tentu saja dugaan ini perlu dibuktikan kebenarannya. Penelitian yang ada telah menemukan bahwa konsep diri berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki oleh remaja, misalnya dalam bidang pelajaran di sekolah, kemampuan akademik (Hughes 2011), konsep diri juga ditemukan berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi (Yahaya dan Ramli 2009), konsep diri juga mempengaruhi kemampuan remaja dalam beradaptasi dengan situasi depresi (Byird dan Ollendick 2000).

(20)

keluarga memberikan dampak negatif baik pada orangtua maupun pada anak. Perceraian mempengaruhi anak-anak secara sosial, emosional, juga mengganggu prestasi belajar dan situasi keuangan, bahkan kehidupannya kelak sebagai orang dewasa, keberhasilannya membina hubungan dengan orang lain, serta karir mereka (Charlish 2003). Posisi sebagai anak dalam keluarga menempatkan remaja pada situasi yang lebih sulit dikarenakan remaja sedang mengalami fase perubahan. Sebaliknya remaja pada keluarga utuh lebih banyak memiliki dukungan orangtua dibandingkan keluarga bercerai. Perbedaan kondisi keluarga diduga mempengaruhi tingkat konsep diri remaja di kedua tipe keluarga, karena itu berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian: 1) adakah perbedaan karakteristik keluarga dan remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan dan kelekatan pada teman sebaya antara keluarga cerai dan keluarga utuh; 2) faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan konsep diri remaja pada kedua tipe keluarga tersebut; dan 3) faktor-faktor apa yang paling berpengaruh terhadap konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Ketiga pertanyaan tersebut akan menjadi pusat perhatian dalam kajian penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada konsep diri anak melalui identifikasi konsep diri dan gaya pengasuhan ibu serta kelekatan remaja pada teman sebaya berdasarkan perbedaan status perkawinan ibu. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga dan remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh.

2. Melakukan analisis hubungan antara karakteristik keluarga dan remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan ibu, kelekatan teman sebaya dan konsep diri remaja.

3. Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi penulis dapat memperkaya pengalaman penelitian, dan kegiatan keilmuan, sebagai sarana pengembangan wawasan dan peningkatan kemampuan analisis terhadap masalah-masalah praktis. Adapun secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan khususnya dalam bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak serta dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.

(21)

tidak tercapai kesepakatan diantara pihak suami dan istri, Badilag mampu memfasilitasi keputusan yang berpihak pada anak dan istri yang pada umumnya lebih memiliki keterbatasan sumber daya dibandingkan pihak suami. Sehingga diharapkan ibu tetap dapat memberikan kualitas terbaik dalam melakukan proses pengasuhan anak dan remaja.

Manfaat bagi masyarakat khususnya para orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai mengenai pentingnya membangun konsep diri positif pada remaja melalui pengembangan konsep diri ibu, dan gaya pengasuhan yang dilakukan ibu baik pada keluarga cerai maupun keluarga utuh. Sedangkan bagi remaja penelitian ini dapat menjadi sumber infomasi mengenai peran teman sebaya terhadap pembentukan konsep dirinya, agar remaja dapat memiliki pertimbangan dalam memilih teman yang mendukung ke arah pengembangan diri yang lebih positif, sehat secara fisik, psikologis, dan sosial sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat dan memberikan sumbangsih pada masyarakat dan negara.

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perceraian

Perceraian merupakan berakhirnya suatu ikatan pernikahan dari sebuah keluarga. Perceraian menurut Karim (1999) adalah suatu ketidakstabilan perkawinan, sehingga seorang suami memutuskan berpisah yang disebabkan oleh faktor emosi, ekonomi, dan sosial. Pengertian secara khusus, dikutip dari Pramono (2007) perceraian merupakan suatu keadaan ketika seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidak cocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu tali perkawinan melalui suatu putusan pengadilan. Perceraian tidak terlepas dari lingkungan yang berpengaruh pada keluarga atau sebaliknya sehingga menimbulkan terputusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri. Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali pernikahan. Perceraian adalah berakhirnya atau putusnya ikatan pernikahan, dan pasangan suami istri tidak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya (Naofal 2011). Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.

Peningkatan perceraian terjadi dengan sangat cepat di berbagai negara pada abad kedua puluh (Santrock 2007). Di Indonesia, perceraian meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2009, perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah mencapai 223.371 perkara. Namun demikian, selama sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656 perceraian sehingga jika diasumsikan setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan, maka 8 persen di antaranya berakhir dengan perceraian (Badilag 2010). Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Jawa Barat menyebutkan bahwa pada tahun 2010, kabupaten yang memiliki angka Perceraian tertinggi adalah Kabupaten Bogor (SIAK 2011). Adapun penyebab perceraian di antaranya adalah ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, dan permasalahan ekonomi.

Perceraian pada keluarga berdampak pada kehilangan salah satu peran orang tua dalam pengasuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceraian pada keluarga berakibat pada pengasuhan dan secara tidak langsung berdampak pada perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Pada psikologis ibu, perceraian dapat menyebabkan kondisi stres, sehingga mempengaruhi gaya pengasuhan yang dilakukan ibu kepada anaknya (Nair dan Murray 2005). Dibandingkan dengan keluarga utuh, anak dari keluarga cerai memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis, masalah eksternal, masalah internal, memiliki nilai diri rendah, dan lain-lain.

(23)

wanita, maka ibu tidak akan tahu benar kebutuhan dan perkenbangan anak secara wajar. Tetapi terhadap anak wanita, ibu tidak begitu sangsi (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa peranan lingkungan keluarga, terutama tingkah laku dan sikap orang tua, sangat penting bagi seorang anak. Kehilangan ayah menyebabkan anak mentransfer afeksi pada ibu dan berharap dengan cara tersebut remaja akan memperoleh rasa aman yang didapatkan sebelumnya dari kedua orangtua. Tetapi kenyataan yang didapat justru sebaliknya, ibu mengalami kekurangan waktu untuk memberikan perhatian, asuhan dan kasih sayang yang dibutuhkan anak, karena harus bekerja, dan juga harus menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga.

Konsep Diri

Konsep diri berasal dari teori kepribadian yang dikemukakan oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow. Menurut Rogers (1959), semua makhluk hidup memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, semacam dorongan ke depan yang bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk bertumbuh dan mencapai kapasitas maksimal bawaan. Bagi manusia yang berpikir dan merasa, terdapat kebutuhan alamiah untuk mengaktualisasikan diri, dorongan untuk bertingkah laku dengan cara yang konsisten dengan identitas sadar atau konsep diri. Konsep diri menjadi penting karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Konsep diri juga sebagai fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup.

Istilah konsep diri berbeda dengan kepribadian. Kepribadian terbentuk berdasarkan penglihatan orang lain terhadap diri sendiri. Sedangkan konsep diri merupakan pandangan terhadap sesuatu yang ada dalam diri sendiri dan timbul dari dalam (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Menurut Rogers konsep diri seseorang dibentuk melalui interaksi berulang dengan orang-orang penting dalam hidupnya. Menurut Rogers (1959) semua manusia pada dasarnya baik, pengalaman mental sadar menjadi penting, dan itulah yang disebut konsep diri yang menjadi inti dari kepribadian. Istilah konsep diri juga sering menjadi perbincangan dan disamakan dengan self-esteem oleh para ahli. Konsep diri merupakan gambaran seseorang dalam melihat dirinya secara keseluruhan, sedangkan self-esteem merupakan evaluasi dari konsep diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan kepribadian konsep diri terbentuk sebelum self-esteem. Maslow menghubungkan self esteem sebagai kebutuhan tingkat tinggi dalam piramida hirarki kebutuhan, diatas kebutuhan dasar, keamanan dan kenyamanan, serta kepemilikan dan cinta. Kebutuhan akan penghargaan diri (esteem need) merupakan sarana untuk menghantar seseorang menuju tahap aktualisasi diri (self actualization).

(24)

yang merupakan seperangkat penilaian diri (global evaluation) yang berhubungan dengan tingkatan kemampuan atau kompetensi yang dapat dicapai oleh seseorang (Shavelson 1976; Marsh 1993; Hattie 2003). Adapun konsep diri pada penelitian ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Marsh (1992) dan Shavelson (1976) yang membagi konsep diri menjadi tiga area. Area pertama yaitu akademik, yang terdiri dari tiga dimensi: math atau matematika (MT), verbal atau bahasa (VB), dan school atau sekolah secara umum (SCH). Area kedua yaitu non akademik yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu: physical abilities atau kemampuan fisik (PAB); physical appearance atau penampilan fisik (PAP); peer relationships atau relasi dengan teman sebaya (PER); parent relationships atau relasi dengan orangtua (PAR); emotionalstability atau kestabilan emosi (EMO); spiritual (SPI); dan problem solving atau pemecahan masalah (PRO). Dalam penelitian selanjutnya Marsh menambahkan area non akademik dengan General Self atau diri secara keseluruhan (GEN) yang dimodifikasi dari Self Esteem Scale (Rosenberg 1989), dan menambahkan Opposite Sex Relationshis atau relasi dengan teman lawan jenis (OSR), dan Same Sex Relationships ataurelasi dengan teman yang berjenis kelamin sama (SSR) baik untuk laki-laki maupun perempuan, serta honesty/truthworthines atau kejujuran (HON).

Menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri terbagi menjadi konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif bukan kebanggaan yang besar tentang diri, melainkan berupa penerimaan diri. Dalam hal ini, individu dengan konsep diri positif merupakan individu yang dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Mengenai pengharapan, individu dengan konsep diri positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis. Konsep diri negatif memiliki dua tipe terkait pengharapan. Pertama, yaitu pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur atau dapat diartikan sebagai individu tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu ini tidak mengenali dirinya sendiri. Kedua, konsep diri negatif tipe ini terlalu stabil dan teratur (kebalikan dari tipe pertama) sehingga informasi tentang diri cenderung menyebabkan kecemasan dan ancaman bagi diri sendiri. Konsep diri negatif tercermin dari kepercayaan individu bahwa dirinya tidak dapat mencapai suatu apapun yang berharga, sehingga dalam kenyataannya individu ini mengalami kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan individu merasa harga diri dan citra dirinya rapuh dan tidak memiliki kepercayaan diri.

Konsep Diri Ibu

(25)

sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan hormon yang sangat pesat (Monks dkk 2001). Disatu sisi remaja membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tua, sementara disisi lain orang tua tidak mampu berperan secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka cenderung melamun, menekuni hobi secara berlebihan dan suka menyendiri (Balson 1993).

Konsep diri ibu akan mempengaruhi pemikiran dan sikapnya dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam pemilihan tindakan-tindakan yang dibutuhkan demi berlangsungnya kehidupan diri dan anak-anak. Tingkat stres ibu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak-anaknya, dan remaja memiliki tingkat stres tersendiri yang berkaitan dengan perkembangan fisik dan psikologisnya. Karena itu pengasuhan pada remaja memerlukan keterampilan tersendiri. Gaya pengasuhan yang tepat dapat mendorong terciptanya hubungan yang harmonis dengan remaja. Pengasuhan yang baik yang ditandai dengan adanya hubungan yang harmonis dengan anak menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan konsep diri remaja. Menurut Rakhmat (2011) konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal. Salah satu bentuk komunikasi interpersonal dalam keluarga adalah dengan terbentuknya relasi antara anak dan orangtua melalui interaksi dalam proses pengasuhan.

Konsep Diri Remaja

Remaja adalah masa-masa dimana anak sedang mengalami banyak konflik yang berkaitan dengan perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya yang menjadi sumber stresor tersendiri.Menurut Hurlock (1980) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks dkk (2001) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (Santrock 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.

Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pernyataan ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock 2003; Papalia 2001; Monks dkk 2001), karena itu karakteristik remaja yang khusus ini sering menimbulkan konflik dengan orang tua.

(26)

dilakukan keluarga terutama orang tua memiliki peran penting di dalamnya. Suatu studi menyatakan bahwa pembentukan konsep diri lebih dipengaruhi oleh kondisi keluarga dari pada kondisi sosialnya (Sallay 2000). Keluarga dengan kondisi yang kurang baik terutama sikap menerima dari orang tua kepada anak mepengaruhi konsep diri anak. Pada pengasuhan orang tua yang menerima anak, kehangatan, dan kasih sayang menunjukkan konsep diri positif dalam diri anak (Cournoyer 2005).

Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan

Dalam memberikan pendidikan pada anak, orangtua harus berorientasi pada kasih sayang dan memberikan pengawasan serta dorongan. Pengawasan orangtua harus dikurangi pada masa remaja dini dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih pengendalian diri. Mengurangi pengawasan bukan berarti mengurangi perhatian pada anak karena pada masa remaja kehangatan orangtua, bimbingan, dan saran sangat diperlukan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Proses-proses tersebut akan membentuk gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua kepada anak. Gaya pengasuhan adalah serangkaian perilaku yang menonjol dan dominan, menyangkut keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai hidup, menumbuhkembangkan kepribadian anak dari kelahiran sampai anak memasuki usia dewasa sehingga anak tumbuh menjadi individu yang berkualitas, bertanggung jawab, memiliki karakter-karakter baik, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Jadi gaya pengasuhan menyangkut serangkaian cara-cara yang menonjol dari orangtua dalam menumbuhkembangkan anak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Hal ini ditegaskan oleh Sunarti (2004) yang menyatakan bahwa gaya pengasuhan adalah pola perilaku orang tua yang paling menonjol atau dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola orang tua dalam mendisiplinkan anak, menanamkan nilai-nilai hidup, mengajarkan keterampilan hidup, dan mengelola emosi anak.

Para ahli mengelompokkan berbagai gaya pengasuhan orang tua ke dalam beberapa dimensi, salah satunya adalah gaya pengasuhan yang berdasarkan dimensi kehangatan (warmth dimension) yang dikemukakan oleh Rohner (1986) atau disebut juga dengan gaya pengasuhan penerimaan-penolakan (parental acceptance-rejection). Karena kasih sayang orang tua yang mencintai anaknya tercermin dari cara interaksi dan perilaku orang tua dalam hubungannya dengan anak baik secara verbal maupun non verbal serta kehangatan yang diberikan. Pengasuhan dengan penerimaan dan penolakan mencerminkan kehangatan yang diberikan orang tua kepada anaknya serta dapat dirasakan oleh anak sendiri (Hastuti 2009). Menurut Rohner (1986) gaya pengasuhan orang tua berdasarkan dimensi kehangatan diklasifikasikan menjadi dua kategori utama yaitu gaya pengasuhan penerimaan (acceptance) dan penolakan (rejection).

(27)

perhatian anak, mencintai dan hangat kepada anak, memuji anak di depan orang, dan membuat anak nyaman untuk bicara serta menikmati kebersamaan dengan anak. Gaya pengasuhan penerimaan dicirikan oleh curahan kasih sayang orang tua kepada anak baik secara fisik maupun verbal, seperti memberi pujian, ciuman di pipi dan kening, serta pelukan hangat (Sunarti 2004). Sedangkan pengasuhan penolakan berkaitan dengan bentuk perlakuan orang tua yang terkesan meninggalkan kehangatan, tidak ada kasih sayang serta tidak ada perwujudan bentuk cinta lainnya yang dirasakan orang tua kepada anaknya. Pengasuhan ini juga mengekspresikan pengabaian ibu terhadap anak. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk agresi, pengabaian, dan bahkan disertai dengan perilaku yang dapat menyakiti anak secara fisik maupun psikis. Ciri orang tua dengan pengasuhan penolakan diantaranya adalah mempermalukan anak, merasa anak tidak dibutuhkan, menghukum anak, cepat marah dan kesal, memperlakukan anak dengan kasar seperti memukul, mencubit, dan menendang (Hastuti 2009). Pengasuhan penolakan juga tercermin dari ketiadaan perhatian orang tua kepada anaknya sehingga anak tidak merasakan kehadiran orang tua.

Rohner (1986) membagi pengasuhan penolakan ke dalam tiga ekspresi, yaitu; 1) Hostility and aggression (kekerasan, merupakan perasaan psikologis dari dalam diri seseorang. Adapun perasaan tersebut meliputi perasaan marah, dendam, kebencian, dan permusuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak. Sedangkan aggression merupakan perilaku agresi dalam bentuk fisik dan verbal. Agresi dalam bentuk fisik diantaranya adalah memukul, menggigit, mendorong, dan mengguncang badan anak. Di sisi lain, agresi dalam bentuk verbal adalah berkata kasar, mengutuk, tidak ramah, meremehkan, dan bertindak kejam kepada anak; 2) Indifference and neglect (pengabaian), merupakan perasaan psikologis dari dalam seperti halnya yang secara sederhana dapat diartikan dengan kurangnya perhatian kepada anak atau tindakan pengabaian dari orangtua. Berbeda dengan hostility, indifference hanya mempunyai satu motif untuk mengabaikan kehadiran anak (Rohner 1986). Dalam teori PAR, neglect diartikan sebagai ketidakhadiran kedua orangtua di sisi anaknya, sehingga anak merasa sendiri karena tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Sekalipun orang tua berada di dekat anaknya, namun orang tua tidak memberikan akses kepada anak untuk berinteraksi dengan orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak merespon kehadiran maupun interaksi dari seorang anak; 3) Undifferentiated rejection (tidak sayang), yaitu perasaan dari seorang anak yang merasa bahwa dirinya tidak dicintai, tidak diinginkan, atau ditolak orang tuanya tanpa alasan yang diketahui oleh anak (Rohner 1986). Seorang anak merasa bahwa orang tuanya tidak menunjukkan kemarahan atau sebab kemarahannya, dan tidak juga mengabaikan anaknya. Namun, seorang anak merasakan bahwa orang tuanya tidak peduli padanya. Pengasuhan penolakan ini tidak diketahui secara jelas indikator penyebabnya.

(28)

esteem berhubungan dengan konsep diri negatif. Menurut Peterson dan Haan, orang tua yang memeluk, mencium, memuji, dan meluangkan waktu secara positif akan memberikan ikatan kuat, sehingga anak menjadi percaya diri dan identitas dirinya berkembang dengan baik (Fabes dan Martin 2003) seperti yang diacu oleh Hastuti (2009).

Kelekatan Teman Sebaya

Kelekatan merupakan proses yang terjadi antara pengasuh (ibu) dan bayinya. Menurut Ainsworth (1991) yang diacu dalam Guarnieri et al (2010) kelekatan disebut sebagai ikatan emosi/perhatian yang dibentuk oleh manusia atau binatang, antara dirinya dan seseorang atau sesuatu yang khusus. Ikatan yang merekatkan dalam ruang kebersamaan dan bertahan sepanjang waktu. Kelekatan adalah proses dua arah atau timbal balik yang berkembang sepanjang waktu. Kadang dibingungkan dengan istilah “bonding”, yang lebih sering digambarkan sebagai proses „mistik‟ yang dialami oleh ibu secara singkat pasca kelahiran bayi. Menurut Ainsworth (1979) yang diacu oleh Guarnieri (2010) hubungan kelekatan adalah dengan pengasuh utama (primary caregiver) dan bukan hanya dengan ibu biologis.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan diadik ibu dan bayi yang dilakukannya, Ainsworth mengidentifikasi tiga pola kelekatan: secure, ambivalent dan avoidant. Bayi dikatakan aman (secure), jika menggunakan ibu sebagai basis untuk eksplorasi ketika ada. Mereka kecewa ketika ibunya meninggalkannya dan mencari-cari kontak dengan ibunya ketika dipertemukan kembali. Bayi yang diklasifikasikan sebagai ragu/cemas (ambivalent) cenderung memperlihatkan kecenderungan kecemasan bahkan ketika ibunya ada, menjadi bertambah stres ketika dipisahkan dan tetap dengan kondisi stres ketika dipertemukan kembali. Bayi diklasifikasikan memiliki kelekatan penolakan (avoidant) lebih memperlihatkan ketertarikan pada mainan, jarang menangis ketika dipisahkan dengan ibunya dan menghindari ibunya ketika dipertemukan kembali. Bayi yang memiliki kelekatan aman (secure) adalah bayi yang juga digambarkan sebagai bayi yang kooperatif dan sedikit marah dibandingkan dengan dua kategori lainnya. Kategori tambahan diberikan oleh Critenden (1988) adalah pola avoidant/ambivalent dan Main (1985) yang diacu oleh Guarnieri (2010) menggunakan istilah diorganised untuk kategori ini. Keduanya mengidentifikasi pola ini sebagai karakteristik anak yang pernah mengalamai kekerasan. Anak-anak tersebut merespon dengan cara yang „kacau‟ (chaotic) dan di luar dugaan, pada saat tertentu mereka memperlihatkan tipe perilaku anak dengan pola avoidant dan ambivalent, tetapi tidak ada persamaan pola dalam respon. Crittenden juga menggambarkan sebagai anak-anak yang “compulsively compliant” atau mengalami kondisi dipaksa untuk tunduk .

(29)

kompetensi sosial dengan teman sebaya dan orang dewasa di sekolah. Rutter (1993;1998) yang diacu oleh Vivona (2000) dan Reese (2008) membuat perbedaan antara attachment dan dependency. Menurutnya kelekatan yang aman cenderung mengembangkan otonomi bukan ketergantungan (dependency). Otonomi adalah karakteristik lain yang berhubungan dengan resiliensi. Ketika seorang anak tidak pernah mengalami kelekatan yang aman, kemampuan mereka untuk percaya (trust) menjadi terbatas. Kelekatan yang aman membangun sebuah kerangka pembelajaran terutama untuk relasi dan ekspektasi sosial. Anak dengan kelekatan aman lebih memiliki persepsi positif pada diri dan orang lain, yang merupakan aspek penting dalam pembentukan sebuah hubungan/relasi dengan orang dewasa dan teman sebaya.

Dalam lingkungan mikro yang memiliki pengaruh langsung pada anak selain keluarga adalah peer group atau kelompok teman sebaya. Peer group merupakan kelompok anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama (Santrock 2003). Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia luar keluarga. Relasi yang baik diantara teman-teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Anak-anak mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan melalui pengalaman mereka ketika menjalin persahabatan yang karib dengan kawan-kawan terpilih, remaja dapat menjadi mitra yang lebih terampil dan peka (Santrok 2007). Untuk dapat menjalin persahabatan yang karib dan mendapatkan manfaat yang positif dari peran teman sebaya dibutuhkan kemampuan untuk lekat dengan teman sebaya. Kelekatan ibu yang kuat membantu anak untuk memiliki kepuasan hidup yang lebih baik (Claudia dan Huebner 2008), sebaliknya kelekatan yang tidak aman dengan ibu akan membuat anak mengalami gangguan kelekatan (attachment disorder) yang memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan sosialnya (Greenberg dan Armsden 1987).

(30)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

“You don’t think what you are. You are what you think”, kalimat ini sering diucapkan oleh para motivator dan banyak ditulis dalam buku-buku tentang motivasi dan pengembangan diri. Jikalau seseorang berpikir bahwa ia bodoh, maka ia cenderung tidak berprestasi, sebaliknya jika ia merasa dirinya pandai maka ia pun lebih mampu mencapai prestasi. Ini adalah penjelasan sederhana dari konsep diri. Para ahli menyatakan bahwa konsep diri merupakan keyakinan, pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya baik dari segi fisik, psikis, dan perilaku yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain. Jika seseorang berpikir mereka adalah orang yang baik, cerdas dan mampu, mereka cenderung menilai diri orang yang baik, cerdas dan cenderung berprestasi, karena konsep diri pada setiap dimensi berhubungan dengan perilaku dan pencapaian pada perkembangan dimensi tersebut. Namun pada dasarnya konsep diri tidak terbentuk sejak lahir, tapi berasal dari interaksi dengan orang-orang didalam lingkungan. Tidak semua orang dalam lingkungan memiliki pengaruh di dalam diri individu, ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan individu tersebut. Ketika kecil orang-orang penting itu adalah keluarga; orangtua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal serumah, mereka adalah orang-orang penting di dalam kehidupan (significant others). Ketika remaja orang-orang penting ini semakin bertambah jumlahnya seiring dengan perkembangan dan minat remaja pada lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan peran teman-teman sebaya.

(31)

Pada kenyataannya tidak semua keluarga dapat memberikan lingkungan yang ideal bagi tumbuh dan kembangnya konsep diri anak. Sebagian orangtua terpaksa berpisah karena sebab yang tidak dapat diatasi dengan menjadi orangtua tunggal. Meskipun kondisi ini bukan pilihan, namun peristiwa yang terjadi dalam hidup (life event) seperti pasangan meninggal dunia dan perceraian mengakibatkan sebagian ibu harus menjalani peran sebagai orangtua tunggal (single parent). Perubahan status ibu sebagai kepala keluarga, sekaligus sebagai ibu yang menjalankan fungsi pengasuhan menempatkan ibu dalam situasi krisis. Pasca perceraian ibu mengalami krisis identitas, gangguan emosi, dan berkurangnya pendapatan, sehingga ibu rentan terhadap stres. Kondisi stres yang dialami akan mengganggu konsep diri ibu, yaitu berkurangnya kemampuan ibu untuk menanggulangi tekanan-tekanan yang timbul sehingga ibu mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri agar tetap survive.

Pada penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah keluarga, dengan responden ibu dan anak. Penelitian ini menganalisis hubungan konsep diri ibu, gaya pengasuhan penerimaan penolakan, teman sebaya, dengan konsep diri remaja. Unit analisis dalam penelitian ini adalah remaja dari keluarga cerai dan keluarga utuh yang duduk di kelas 7 dan 8 dengan rentang usia 12-16 tahun serta tinggal bersama ibu. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif, hasil pengukuran akan dibandingkan, sehingga diharapkan akan terlihat seberapa besar perbedaan dan persamaan aspek dari faktor-faktor yang mempengaruhi variabel-variabel yang diteliti.

Gaya pengasuhan yang akan diteliti meliputi gaya pengasuhan penerimaan penolakan berdasarkan Parental Acceptance Rejection Theory (PAR Theory). Gaya pengasuhan PAR terdiri dari dua dimensi yang menggambarkan satu kontinum; penerimaan di satu sisi, dan penolakan di sisi lainnya. Setiap orangtua melakukan setidaknya dalam tingkatan tertentu gaya pengasuhan penerimaan dan sekaligus penolakan. Dimensi penolakan dibagi menjadi gaya pengasuhan kekerasan, pengabaian, dan tidak sayang. Melalui gaya pengasuhan orangtua membentuk kepribadian anak, dan konsep diri adalah bagian inti dari kepribadian. Adapun kelekatan teman sebaya dijadikan faktor yang diduga berpengaruh pada konsep diri remaja, mengingat kehidupan remaja berbeda dengan anak, dimana setting lingkungan hanya berpusat pada keluarga. Remaja kelas 7 dan 8 termasuk dalam kategori remaja awal, yang mulai memiliki ruang lingkup kehidupan sosial yang lebih berkembang yaitu keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya. Berbagai literatur menyatakan bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

(32)

Keterangan:

Hubungan variabel yang diteliti Variabel yang diteliti

Gambar 1. Kerangka pemikiran dan hubungan antar variabel

Sedangkan konsep diri dan gaya pengasuhan ibu dipengaruhi oleh karakteristik ibu yang meliputi usia, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lama perceraian, jumlah anak, besar keluarga, dan usia pertama ibu menikah.

(33)
(34)

4 METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dimana data dikumpulkan pada satu waktu tertentu dan tidak berkelanjutan (Singarimbun dan Effendi, 1991). Lokasi ditentukan secara purposive, di Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat, dengan pertimbangan bahwa wilayah Kota Bogor merupakan provinsi yang memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi di Jawa Barat. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, dimulai dari Juli 2013 hingga Desember 2013 mencakup persiapan, observasi, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta penulisan laporan hasil penelitian.

Populasi dan Penarikan Contoh

Populasi dari penelitian ini adalah keluarga cerai dan utuh yang memiliki anak berusia remaja, dan tinggal bersama ibu. Unit analisis penelitian ini adalah keluarga dengan anak remaja. Adapun remaja yang diteliti adalah remaja awal dengan rentang usia 12-16 tahun dan duduk di kelas 7 dan 8. Dengan demikian responden penelitian ini adalah ibu dan remaja. Penentuan lokasi contoh dilakukan secara purposive berdasarkan informasi dari Kantor Diknas setempat terkait sekolah-sekolah yang diijinkan terlibat dalam penelitian dan sebagian siswanya diperbolehkan untuk menjadi responden penelitian.

Purposive ---

Purposive-- -- Random

Keterangan :

C = Remaja keluarga cerai U = Remaja keluarga utuh

Gambar 2. Skema penarikan contoh

Dari dua Kecamatan terpilih masing-masing tiga SMP, yaitu SMP A, B, C, D, E, dan F. Pada tahap awal semua siswa diberikan formulir isian data keluarga untuk menjaring siswa yang berasal dari keluarga cerai. Dari SMP terpilih diperoleh data sebanyak 96 remaja yang berasal dari keluarga cerai, namun hanya 79 remaja yang memenuhi syarat. Selanjutnya berdasarkan kerangka contoh yang

Kecamatan Tanah Sareal

SMP B SMP D SMP E

SMP A SMP C

Kota Bogor

SMP F

Kecamatan Bogor Barat

(35)

tersedia di masing-masing sekolah, dilakukan penarikan contoh secara acak sederhana pada siswa yang berasal dari keluarga utuh sebanyak jumlah yang sama dengan keluarga cerai, yaitu 79 remaja. Total contoh yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 158 remaja yang terdiri dari 79 remaja dari keluarga cerai (KC) dan 79 remaja dari keluarga utuh (KU). Penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada skema cara penarikan contoh (Gambar 2).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Berdasarkan variabel yang terdapat dalam penelitian ini, digunakan data primer dan sekunder (Tabel 1). Sebagian data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik remaja (usia, jenis kelamin, dan urutan lahir), karakteristik keluarga (usia ibu, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, besar keluarga, usia pertama menikah, lama perceraian), konsep diri ibu, gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dan konsep diri remaja. Keseluruhan data primer tersebut dikumpulkan dengan cara mengisi kuesioner yang telah telah diuji validitas dan reliabilitasnya, penggalian informasi dilakukan dengan cara wawancara dan self report dengan alat bantu kuesioner tersebut. Data karakteristik keluarga dan remaja dikumpulkan melalui teknik wawancara langsung dengan contoh penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur. Adapun data konsep diri ibu, gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja dikumpulkan melalui self report dengan alat bantu kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Data lainnya berasal dari pengumpulan data yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada, kajian pustaka yang relevan dengan penelitian, serta data yang tersedia di pengadilan agama dan di sekolah. Secara ringkas jenis data, skala, sumber informasi, alat ukur dan pengkategorian dapat dilihat pada Tabel 1.

Instrumen dan Pengukuran Data

Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel konsep diri remaja adalah Self Description Questionaire II (SDQ II) yang didesain oleh Shavelson (1976) dan dikembangkan oleh Marsh (1992) untuk mengukur multidimensi dari konsep diri remaja. Instrumen dibangun untuk melengkapi SDQ I yang diperuntukkan bagi pengukuran konsep diri anak. SDQ II secara khusus dibangun untuk mengukur empat area non akademik meliputi: kemampuan fisik (physical ability), penampilan fisik (physical appearance), relasi teman sebaya (peer relationships), dan relasi orang tua (parent relationsips), tiga area akademik yang meliputi: membaca (reading), matematika (mathematics) dan sekolah (school) secara umum.

(36)

benar, dan tidak benar. Adapun instrumen SDQ III digunakan untuk mengukur konsep diri ibu, instrumen ini pengembangan dari SDQ II, perbedaannya terletak pada jumlah dimensi yang diperluas menjadi tigabelas area, yaitu spiritual dan problem solving.

Tabel 1. Variabel berdasarkan kategori, jenis data dan sumber informasi

Variabel Kategori Jenis dan

skala data

Lama pendidikan ibu Rasio Primer

rasio

Pendapatan keluarga Rasio Primer

rasio

Lama perceraian (bulan) Rasio Primer

rasio

Usia menikah (tahun) Rasio Primer

rasio

Besar keluarga Rasio Primer

rasio Konsep Diri Ibu Modifikasi Interval kelas

(Hadley et al. 2008) dalam persentase

[1] Negatif (≤60%) [2] Positif (>60%)

Primer

ordinal Kuesioner SDQ III Cronbach α

ordinal Kuesioner PARQ α cronbach P α 0,947 Hα 0,865 Aα 0,876 Tα 0,714 Kelekatan Teman Sebaya Reese (2008):

[1] Secure (aman) [2] Insecure (tidak aman)

Primer

ordinal Kueesioner IPPA cronbach α 0,916

Konsep Diri Remaja Modifikasi Interval kelas (Hadley et al. 2008) dalam

Data jumlah remaja KC dan KU Sekunder Daftar nama

siswa di sekolah

Data jumlah perceraian Sekunder Data perceraian

(37)

Instrumen yang digunakan untu mengukur konsep diri ibu terdiri dari 43 item pernyataan dengan skala Likert; benar, hampir benar, agak benar, dan tidak benar. Calhoun dan Acocella (1990) menggolongkan kategori konsep diri ke dalam kategori positif dan negatif.

Parental Acceptance Rejection Questionaire (PARQ) digunakan untuk mengukur persepsi anak terhadap perlakuan pengasuhan yang diterimanya melalui self report yang terbagi dalam empat dimensi: 1) dimensi kehangatan dan afeksi; 2) dimensi permusuhan dan agresi; 3) dimensi pengabaian dan inkonsistensi; dan 4) dimensi perasaan tidak disayang. PARQ diadaptasi dari Rohner (1990) untuk mengukur dimensi kehangatan pengasuhan orang tua yang dirasakan oleh anak. Dalam hal ini pengasuhan yang dirasakan oleh anak yang dilakukan oleh ibu selama enam bulan terakhir. Terdiri dari 54 butir item pernyataan dengan skala Likert, yaitu: selalu, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Instrumen PARQ telah menyediakan pernyataan-pernyatan yang menggambarkan keempat dimensi tersebut. Dari 54 pernyataan yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya terdiri dari 17 pernyataan dimensi penerimaan; 14 pernyataan dimensi kekerasan; 14 pernyataan dimensi pengabaian; dan 9 pernyataan dimensi tidak sayang. Keempat dimensi pengasuhan dikategorikan menjadi tinggi dan rendah, pengasuhan penerimaan tinggi mengindikasikan penolakan yang rendah, dan pengasuhan penolakan yang tinggi mengindikasikan penerimaan yang rendah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Rohner bahwa pengasuhan penerimaan-penolakan adalah sebuah kontinuum, karena setiap individu dalam rentang kehidupannya pernah menghayati pengalaman merasa dicintai dan juga merasa ditolak oleh orangtua.

IPPA atau Inventory of Parent and Peer Attachment digunakan untuk mengukur kelekatan remaja pada teman sebaya. Instrumen didesain oleh Greenberg dan Armsden (1987) untuk mengukur variabel kelekatan remaja pada teman sebaya. Instrumen terdiri dari 25 butir pernyataan dengan menggunakan tingkatan skala Likert: sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), ragu ( R), setuju (S), sangat setuju (SS). Delapan butir dari keseluruhan pernyataan tersebut berisikan pernyataan negatif (inversed). IPPA terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi komunikasi, alienasi, dan kepercayaan. Hasil skor ketiga dimensi tersebut dikategorikan menjadi positif dan negatif. Untuk menentukan kategori total kelekatan teman sebaya, digunakan kategori kelekatan yang diadaptasi dari Ainsworth yaitu kelekatan aman (secure) dan kelekatan tidak aman (insecure).

Pengolahan dan Analisis Data

(38)

deskriptif digunakan untuk melihat data sebaran karakteristik keluarga yang terdiri dari karakteristik ibu dan remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan penerimaan-penolakan, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja, sedangkan uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan.

Proses selanjutnya data dianalisis dengan statistik inferensia, analisis yang digunakan adalah uji korelasi dan uji regresi linear berganda. Uji korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara variabel karakteristik keluarga dan remaja, gaya pengasuhan, konsep diri ibu, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Sedangkan uji regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, konsep diri, dan gaya pengasuhan ibu, kelekatan teman sebaya terhadap konsep diri remaja. Model regresi didefinisikan dengan persamaan berikut:

Artikel 1:

(39)

X6 = Pekerjaan ibu

X7 = Pendapatan perkapita X8 = Jumlah anak

X9 = Besar keluarga

X10 = Usia pertama menikah X11 = Lama Perceraian X12 = Gaya Pengasuhan X13 = Kelekatan teman sebaya

1 = Koefisien dummy

D1 = Status Perkawinan Ibu (0= Cerai; 1=utuh) ε = Galat

Definisi Operasional

Konsep diri adalah penilaian individu dalam memandang dirinya secara positif maupun negatif yang dilihat dari berbagai dimensi

Konsep diri ibu adalah penilaian, kepercayaan, dan pikiran mengenai gambaran diri ibu mengenai dirinya dilihat dari berbagai dimensi yang dikategorikan menjadi konsep diri positif dan negatif.

Konsep diri remaja adalah penilaian, kepercayaan, dan pikiran mengenai gambaran diri remaja yang meliputi berbagai dimensi.

Dimensi matematika adalah penilaian ibu/remaja terhadap kemampuan dan keahliannya dalam bidang matematika

Dimensi spiritual adalah persepsi ibu terhadap keyakinan dan nilai-nilai spiritual dirinya

Dimensi kejujuran adalah penilaian ibu/remaja terhadap kejujuran

Dimensi verbal adalah penilaian ibu/remaja kemampuan dan kecakapannya dalam membaca, menulis, dan berbahasa.

Dimensi akademik adalah penilaian ibu terhadap kemampuan akademis secara umum

Dimensi global diri adalah penilaian ibu/remaja terhadap kapasitas diri yang menimbulkan kebanggaan dan kepuasan dalam menampilkan diri apa adanya.

Dimensi kemampuan fisik adalah penilaian terhadap minat dan kemampuan ibu/remaja dalam aktifitas fisik seperti: mengerjakan pekerjaan yang banyak menggunakan kekuatan fisik, olahraga, dan tidak mudah lelah ketika beraktifitas fisik.

Dimensi relasi lawan jenis adalah penilaian ibu/remaja terhadap seberapa dikenal atau populer dan seberapa mudah dirinya melakukan interaksi dengan teman/kolega/kerabat yang berbeda jenis kelamin dengan dirinya.

Dimensi relasi teman yang sejenis adalah penilaian ibu/remaja terhadap seberapa dikenal atau populer dan seberapa mudah dirinya melakukan interaksi dengan teman/kolega/kerabat yang berjenis kelamin sama dengan dirinya.

(40)

interaksi seperti bercakap-cakap, menghabiskan waktu bersama, dan melakukan aktifitas bersama.

Dimensi pemecahan masalah adalah penilaian ibu terhadap kemampuannya untuk dapat terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Dimensi stabilitas emosi adalah penilaian ibu/remaja terhadap kemampuan diri

mereka secara emosi untuk merasa tenang, rileks, stabil, dan kemampuan mengelola rasa khawatir.

Dimensi penampilan fisik adalah penilaian ibu/remaja tentang seberapa menarik penampilan fisik mereka dibandingkan teman-teman, dan seberapa menarik mereka di mata orang lain.

Dimensi sekolah adalah penilaian remaja terhadap kemampuan dan kecakapannya dalam bidang pelajaran di sekolah secara umum

Pengasuhan adalah aktivitas yang dilakukan oleh ibu terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan anak yang diukur melalui persepsi anak. Pengasuhan penerimaan (afeksi) adalah gaya pengasuhan ibu yang dicirikan

dengan sikap menerima ibu melalui ekspresi kasih saying, perhatian, kepedulian, duungan, pemeliharaan, kenyaman, dan perwujudan cinta lainnya yang dirasakan oleh remaja.

Pengasuhan penolakan adalah gaya pengasuhan ibu yang dicirikan dengan sikap penolakan dalam bentuk pengabaian, ketidakpedulian, penelantaran sampai ekspresi kekerasan fisik maupun verbal yang mengisyaratkan sikap ibu yang tidak menginginkan dan mencintai yang dirasakan oleh remaja.

Pengasuhan kekerasan (agresi) adalah pengasuhan penolakan ibu yang dicirikan dengan penggunaan perkataan dan perbuatan yang kasar dan agresif kepada remaja pada keluarga yang mengalami perceraian.

Pengasuhan pengabaian adalah pengasuhan penolakan ibu yang dicirikan dengan ketiadaan perhatian ibu terhadap kebutuhan remaja pada keluarga yang mengalami perceraian.

Pengasuhan tidak sayang adalah pengasuhan penolakan yang dicirikan dengan perkataan dan perilaku orang tua yang menyebabkan renaja merasa tidak dicintai, tidak dikasihi, tidak dihargai, bahkan tidak dikehendaki kehadirannya oleh ibu.

Teman sebaya adalah remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang hamper sama dengan contoh.

Kelekatan teman sebaya adalah ikatan emosional yang dibentuk remaja dengan kelompok teman sebayanya (peer group) yang meliputi tiga dimensi, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan pengasing an.

Kepercayaan adalah perasaan aman dan percaya oleh remaja bahwa teman sebayanya bisa memenuhi kebutuhannya, serta timbulnya perasaan saling tergantung terhadap temannya.

Komunikasi adalah kemampuan teman sebaya untuk dapat memahami kondisi remaja sehingga membantu menciptakan ikatan emosi yang kuat diantara keduanya.

Alienasi/pengasingan adalah kondisi penghindaran atau pengasingan, sampai penolakan pada remaja tergadap figur lekat (teman sebaya)

(41)

Keluarga utuh adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah ibu dan anak yang tinggal dalam satu rumah, serta terikat oleh perkawinan

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran dan hubungan antar variabel
Tabel 1. Variabel berdasarkan kategori, jenis data dan sumber informasi
Tabel 3.  Karakteristik contoh berdasarkan jenis kelamin , pekerjaan ibu, status kawin
Tabel 4. Sebaran contoh  berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan masalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja perusahaan jika diukur dengan metode Balanced Scorecard (BSC) melalui empat

Penelitian dilakukan pada tahun 2001 dengan tahapan kegiatan penelitian yang meliputi (1) koleksi contoh tanaman sakit dari lapang, (2) isolasi dan identifi- kasi patogen,

Anestesi intravena seperti propofol dan fentanyl secara signifikan menurunkan aliran darah otak, metabolisme otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Selain itu kombinasi

antibodi ataupun antibodi yang berbeda dengan satu jenis antigen yang terdapat pada sampel serum.37 Garis presipitasi yang terbentuk merupakan bukti bahwa antibodi

Pemberian kuasa menjual yang mengikuti suatu perjanjian utang piutang sudah sering dilakukan dalam praktik perbankan dimana pada saat debitor menandatangani

Bisnis kami berawal dari sebuah toko bunga di Surabaya (florist) yang menjual kreasi aneka bunga segar seperti Bunga Papan Ucapan , Bunga Parcel , Bunga Tangan , Bunga Salib ,

Objek tidak ada (tanah musnah), subjek diketahui, sertipikat tidak ada lagi dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan

Cebir penceresinde herhangi bir noktanın koordinatlarının yazdığı yere sağ tık la nırsa açılan menüden Hesap Çizelgesinde İ zle seçi li p farenin sol düğmesi ile bu