• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme

Dalam dokumen T2 752011042 BAB III (Halaman 35-41)

A.2 Nasionalisme Menurut Sukarno

A.2.3. Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme

Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secaradetail dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Sukarnosebagai Pancasila. Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Sukarno menawarkan gagasan ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan). 3. Mufakat (Demokrasi).

4. Kesejahteraan Sosial.

5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.82

Menurut John Legge Tidak mengherankan, jika Sukarno meletakkan nasionalisme sebagai prinsip dasar pertama. Sukarno menjelaskan nasionalisme (kebangsaan) harus dipahami tidak dalam artiannya yang sempit, bebas dari kekuasaan asing, akan tetapi dalam arti positif membangkitkan rasa kesadaran dari rakyat. Definisi Renan tentang nasionalisme

dalam kata-kata “keinginan bersatu” tidak cukup baginya, karena definisi ini dapat

dipergunakan untuk membenarkan nasionalisme suku, kelompok-kelompok kecil penduduk. Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus menjangkau lebih luas lagi dari kesatuan-kesatuan masyarakat suku dan terdiri dari seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan Tuhan, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara sumatera sampai ke Irian! Sukarno melihat persatuan Indonesia berdasarkan kebesaran

82Saefroedin Bahar, Ananda B Kusuma & Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan

Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945, dengan kata pengantar oleh Taufik Abdullah ( Jakarta: Sekretaris Negara R.I., 1995), 101.

Gerald J. Tampi 752011042 | 65 abad-abad lalu.Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan jelas untuk mengembalikan rasa berbangsa satu ini memerlukan tindakan positif. Nasionalisme dalam arti kata yang sebenarnya berarti bukan kebangsaan jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan borneo, Sulawesi, bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang

bersama-sama menjadi satu national staat.83

Nasionalisme juga perlu dipahami bersama dalam prinsip dasar yang kedua, yaitu Internasionalisme.Prinsip nasionalisme ada bahaya menjadi patriotisme sempit dan perlu diimbangi dengan rasa hormat kepada bangsa-bangsa lain, yaitu internasionalisme.Tetapi

internasionalisme itu sendiri perlu dibedakan dari kosmopolitanisme yang tidak mengakui

lagi adanya nasionalisme.Sebaliknya, internasionalisme harus berakar di dalam buminya

nasionalisme. Dengan demikian kedua prinsip dasar itu bergandengan erat satu sama lain.84

Begitu juga dengan demokrasi dan keadilan sosial bergandengan erat dalam pikirannya. Demokrasi (pemerintahan perwakilan atau musyawarah-mufakat) akan memungkinkan berlakunya keadilan bagi berbagai kekuatan untuk dengan jujur bersaing satu sama lain dalam kerangka perwakilan pemerintahan. Tetapi demokrasi politik saja belum menjamin adanya kesejahteraan untuk semua.Pada demokrasi-demokrasi barat, katanya, kaum kapitalis mengontrol segala-galanya dan di situ tidak ada keadilan sosial dan

demokrasi ekonomi.85

Pada gagasan yang terakhir, Sukarno menyatakan bahwa Negara yang akan berdiri ini harus berdasarkan kepercayaan kepada ke-Esaan Tuhan, dan prinsip ini harus terbuka bagi pelaksanaan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Bukan saja

83John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 215. 84Ibid.,

Gerald J. Tampi 752011042 | 66 bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam Bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.

Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namundalam kesempatan tersebut, Sukarno tidak menawarkan permanen. Konsep inimasih terbuka untuk dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarnomenawarkan konsep Trisila yang secara substansial merupakan kristalisasi darikonsep Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio- demokrasi, dan ketuhanan.Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan internasionalismebisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat

dankesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan

prinsipKetuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan

konsepMarhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah

denganKetuhanan Yang Maha Esa.86 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam

pernyataannya:

“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan limaitu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja... Dua dasar yang pertama,kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, sayaperas menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme....Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilahyang dahulu saya namakan sosio-demokrasi... Tinggal lagi ketuhanan yangmenghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi

dan ketuhanan.87

86Sukarno, Revolusi Indonesia,51-52. 87Saefroedin Bahar, Risalah, 52.

Gerald J. Tampi 752011042 | 67 Kemudian Sukarno menawarkan kembali perubahan konsep ini, dari trisila dapat digabungkan menjadi satu bagian, menjadi satu prinsip. Dalam mendirikan Negara Indonesia semua harus bertanggung jawab semua untuk semua, katanya:

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka

dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “Gotong

Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong!

Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!88

Menurut John Legge, dalam pernyataan yang luar biasa ini, maka seluruh usaha- usaha Sukarno untuk mewujudkan sintesis dan persatuan mendapat bentuk yang paling nyata. Dilihat dari isi intelektualnya, pidato Pancasila itu tidak banyak menambahkan gagasan-gagasan pemikiran sebelumnya. Nasionalisme, dalam pidato itu, tidak dikemukakan sebagai prinsip yang mengenyampingkan, yang tidak mampu merukunkan pendirian yang saling bersaing; tetapi dengan memberi tekanan pada pentingnya keadilan sosial dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip-prinsip dasar revolusi, Sukarno, bagaimanapun, telah menggemakan kembali pemikirannya yang dahulu dalam tulisannya “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dengan memeras kelima prinsip dasar menjadi tiga dan dari tiga menjadi satu, ia telah menekankan keaslian sifat prinsip-prinsip ini dan mengatakan bahwa ini cocok dengan tradisi Indonesia. Sebagai keseluruhan, pidato itu membuka pandangannya yang luas dan baru tentang persatuan dan ia disambut dengan

aklamasi yang gegap gempita.89

A.3. Kesimpulan

Untuk memahami pemikiran Sukarno tentang Nasionalisme, harus meletakkan dasar pemikiran tersebut dalam konteks politik, budaya, ekonomi dan situasi masyarakat

88Ibid.,103.

Gerald J. Tampi 752011042 | 68 yang terjadi. Dari sini akan ditemukan, bahwa pemikiran Sukarno terjalin erat dengan upaya bangsanya untuk melepaskan diri dari penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Pengaruh pemikiran politik sangat mempengaruhi cara berpikir Sukarno. Dengan adanya politik etis pada tahun 1901 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, membuka kesempatan bagi masyarakat umum untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah Eropa.Dan Sukarno merupakan salah satu dari sedikit pribumi yang mendapat kesempatan menikmati pendidikan di sekolah-sekolah tersebut, bahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu masuk ke perguruan tinggi. Di jenjang inilah Sukarno mulai mengenal dan menggumuli cara berpikir para pemikir-pemikir Barat. Hal tersebut membentuk dan mendorong Sukarno

untuk lebih mengenal kelompok-kelompok intelektual Indonesia, diantaranya Studi Club di

Bandung, para pendiri Indische Partij, Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan intelektual

Indonesia lainnya. Bagian-bagian ini, selanjutnya saling menjalin dalam diri Sukarno yang melahirkan pemikiran khas dari Sukarno. Dengan kata lain, pemikiran Sukarno merupakan pertemuan antara pengalamannya sebagai seorang politisi di masanya, keluarga, pergaulannya dengan para aktifis pejuang Indonesia, pendidikan formal yang diikutinya dan keterlibatannya dalam pergerakan kebangsaan, serta pengaruh budaya Jawa yang kental telah banyak mempengaruhi pola pikirnya dalam dunia perjuangan.

Arus sentral pemikiran Sukarno adalah persatuan.berakar pada pemikiran tentang persatuan ini, Sukarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran politik utama dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu yakni: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah baru bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme ini sekaligus menjadi antitesis terhadap nasionalisme yang sedang berkembang pada saat itu yaitu nasionalisme yang

Gerald J. Tampi 752011042 | 69 berdasarkan kedaerahan atau kesukuan.Kemudian langkah berikut yang dilakukan oleh Sukarno adalah mengembangkan sebuah paham yang ia sebut Marhaenisme yang adalah cerminan dari kehidupan rakyat kecil Indonesia. Paham ini merupakan gabungan dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari pemikiran Sukarno yang berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam perkembangannya, Pancasila diterjemahkan kedalam Manipol-USDEK yang berisi pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari sini mulai terjadi penyimpangan terhadap Pancasila, Sukarno mulai menggunakan Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto. Namun tidak dapat dipungkiri, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Sukarno merupakan pondasi yang kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia dan juga hasil dari pemikiran yang luar biasa dari seorang Sukarno yang kaya akan pengetahuan.

Gerald J. Tampi 752011042 | 70

B. Hatta

Dalam dokumen T2 752011042 BAB III (Halaman 35-41)

Dokumen terkait