• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752011042 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752011042 BAB III"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

Gerald J. Tampi 752011042 | 30

BAB III

Konsep Nasionalime Sukarno dan Hatta

A. Sukarno

A.1. Pembentukan Pemikiran Sukarno

A.1.1. Masa Kecil Sukarno

Putra Sang Fajar, merupakan salah satu julukan yang dimiliki oleh Sukarno. Hal ini

sangat beralasan sekali, karena Sukarno lahir pada pukul setengah enam pagi,1 tanggal 6

Juni 1901, di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Semula Sukarno lahir dengan nama

Kusno Sosrodihardjo, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya yaitu Raden Soekemi

Sosrodihardjo mengganti nama Kusno menjadi nama Karna.2karena kegemaran Raden

Sukemi terhadap wayang menyebabkan dia mengganti nama Kusno menjadi Karna,

sebagaimana penuturan Sukarno:

... Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada mahabarata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata. ... kalau begitu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar, aku berteriak kegirangan. Oh, ia nak, jawab bapak setuju. Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya.Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya.Karna

adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”3

Dari penyataan diatas, perubahan nama Kusno menjadi Karna, harus dipahami dalam

kaitan dengan pemaknaan wayang bagi kehidupan orang Jawa. Pemberian nama Karna oleh

1Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan kelima, terjemahan Abdul Bar

Salim, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 23.

(2)

Gerald J. Tampi 752011042 | 31 Raden Sukemi, haruslah dimengerti sebagai suatu refleksi penghargaan dan kepercayaannya

yang mendalam sebagai orang Jawa terhadap tokoh pewayangan. Terdapat sebuah

pengharapan dari Sukemi, bahwa pemberian nama Karna kepada Kusno akan membawa

serta kharisma dan kesatriaan Karna di dalam diri Sukarno.

Terdapat beberapa hal menarik, yang terjadi pada saat Sukarno lahir, yaitu tanpa

terencana, Soekarno lahir pada angka yang serba enam (tanggal dan bulannya). Di bawah

naungan bintang Gemini yang berlambangkan kekembaran, Soekarno menganggap bahwa

dirinya memiliki dua sifat yang berlawanan, hal tersebut terlihat dari ucapannya yang

mengatakan:

Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksanabaja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaranperasaan.

Aku seorang yang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala.

Akumenjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku

tidak sampai hatimembiarkan burung terkurung di dalam sangkar.4

Latar belakang keluarga Sukarno merupakan perpaduan dua budaya berbeda dan

kepercayaan. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berlatar-belakang kasta Brahma dan tergolong

bangsawan di Banjar Bali Agung Singaraja. Kakek Moyang Sukarno merupakan pejuang

kemerdekaan yang gugur dalam perang Puputan. Akibat peperangan ini keluarga ibu

Soekarno jatuh melarat dan mempunyai rasa benci yang mendalam terhadap penjajah

Belanda.5 Ayah Soekarno, yaitu Raden Sukemi Sasrodiharjo, berlatar-belakang Islam dan

termasuk golongan bangsawan rendah Jawa, hal tersebut menurut Dahm terlihat dari gelar

Raden yang di sandang oleh Sukemi.Jabatan pertama dari Raden Sukemi adalah menjabat

4Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 24.

(3)

Gerald J. Tampi 752011042 | 32

sebagai guru.6 Soekarno juga memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Soekarmini,

ia berucap:

… Hanya Karno dan akulah anak-anak yang dilahirkan oleh suami istri Sosrodihardjo.Sebagai puteri tunggal dan putera tunggal, ayah dan ibu kami berdua

saling sayang menyayangi.7

Selain itu, Kusno juga dekat dengan Sarinah yang menjadi pembantu rumah tangga

Sukemi. Menurut Sukarno, dari Sarinah ia memperoleh pengetahuan tentang humanisme,

“Karno yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus

pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”, demikian

diajarkan Sarinah kepada Sukarno.8

Sukarno kecil melewatkan sebagian masa kecilnyadi rumah kakeknya, yaitu Raden

Hardjodikrono. Selama menetap di rumah kakeknya di Tulung Agung (Kediri) inilah,

Sukarno kecil mulai berkenalan dengan mistisisme Jawa dan kisah-kisah pewayangan.

Malam demi malam di Tulung Agung banyak diisi dengan menonton wayang semalam

suntuk. Menurut Dahm, sementara Sukarno menikmati kisah demi kisah pewayangan,

bersamaan dengan itu, hasrat akan kemerdekaan mulai bergelora dalam dirinya.9

Dari semua kisah pewayangan yang Sukarno kecil ikuti, kisah Mahabaratalah yang

paling membekas dalam dirinya. Mahabarata merupakan kisah tentang perjuangan Pandawa

untuk merebut kembali kerajaan Ngastina yang telah direbut Kurawa. Begitu besar pengaruh

kisah Mahabarata terhadap diri Sukarno kecil, sehingga ketika ia mulai mengikuti

pendididkan formal di sekolah desa di Tulung Agung, ia lebih senang menggambar satu

6Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Terjemahan Hasan Basari, cetakan pertama,

(Jakarta: LP3ES, 1987), 29.

(4)

Gerald J. Tampi 752011042 | 33

tubuh yang tegap dan besar dengan bentuk gelung rambut “Sinutupirang” pakai kuku

“Pancanaka”. Menurut Solichin, gambar tersebut adalah gambar Bima yang menjadi

kesukaan dan kesenangannya.10

Menurut Dahm, kemungkinan besar Sukarno sangat mengidolakan tokoh Bima.Hal

tersebut, terlihat dari sikap Sukarno yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang luar

dan kesediaannya untuk berkompromi dengan orang-orang seperjuangannya. Selain itu,

Dahm menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur lain yang merangsang khayalan dari

Soekarno kecil, seperti: nasib kaum kurawa yang dibangkitkan kembali, yang pastinya

mendapatkan makna simbolis yang penting setelah “kebangkitan kembali orang-orang jawa

dengan didirikannya Budi Utomo (1908), lebih-lebih lagi karena kemenangan mereka dalam

pertempuran-pertempuran yang sudah diramalkan kedepannya.11

Selanjutnya, untuk mewujudkan harapan akan masa depan yang baik bagi Sukarno,

Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu memperlengkapi Sukarno dengan pendidikan formal yang

bermutu. Awalnya Sukarno mengikuti pendidikan di Sekolah Desa Tulung Agung,

kemudian pindah ke Sekolah Angka Dua di Sidorajo, selanjutnya ia pindah ke Sekolah

Angka Satu di Mojokerto sampak kelas lima.12 Selain mengikuti pendidikan formal,

Sukarno juga memperoleh pendidikan yang keras dan ketat dari ayahnya. Hasilnya,

meskipun tidak bisa dikatakan brilian, pada taun 1914 Sukarno berhasil menyelesaikan

pendidikan di Mojokerto.13

10 Solichin, Bung Karno Putera Fajar, cetakan kedua (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 24. 11Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 32.

12 Badri Yatim, Sukarno, Islam dan Nasionalisme: Rekonstruksi Pemikiran Islam- Nasionalis, Pengantar

Fachry Ali, cetakan pertama, (Jakarta: Saran Aksara, 1985), 7; Solichin Salam, Bung Karno, 25; melaporkan hal yang sama, yakni di sekolah Angka Satu Mojokerto Sukarno duduk di kelas enam. Tetapi menurut Legger, tidak ada satu pun sekolah bumi putera di masa itu yang lebih dari kelas lima. (bdk. John Legger, Sukarno Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 37.

(5)

Gerald J. Tampi 752011042 | 34 Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu Nyoman Ray memasukkan Sukarno ke Sekolah

Dasar Berbahasa Belanda (Eurepese Lagere School) di Mojokerto. ketika Sukarno

didaftarkan ke ELS oleh ayahnya, menurut penuturannya kepada Cindy Adams,

kekurangannya yang harus ia penuhi hanyalah meningkatkan kemampuannya dalam

berbahasa Belanda. Berkat usaha keras Raden Sukemi untuk memenuhi semua ketentuan di

sekolah tersebut, di tahun 1916 Sukarno berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.14

A.1.2. Sukarno di asah

Setelah tamat dari ELS (Europese Lagere School), Sukarno mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya.

Selama masa studinya, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada

waktu itu menjabat sebagai ketua Serikat Islam (SI). Menurut Bernhard Dahm,

Tjokroaminoto menggunakan dana-dana dari SI untuk menampung orang pribumi yang

tidak mampu, terdapat sekitar 30 orang yang menumpang di rumahnya termasuk Sukarno

dan hanya membayar uang pemondokan sekadarnya saja.15 Di rumah Tjokroaminoto,

Sukarno mulai berkenalan dengan banyak tokoh. Diantaranya: tokoh intelektual IslamK.H.

Agus Salim yang menurut Sukarno memiliki gaya pidato yang menarik, sehingga ia sangat

mengaguminya, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Douwes Dekker, Tjipto

Mangunkusumo, Sneevliet dan Husni Thamrin. Bahkan Soekarno juga bergaul dengan

Alimin, Muso dan Kartosuwiro.16

14Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 40. 15Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,34.

(6)

Gerald J. Tampi 752011042 | 35 Dengan tinggal di rumah Tjokroaminoto, Sukarno dapat lebih mengenal wajah

perpolitikan saat itu. Dalam otobiografinya Sukarno menceritakan, bahwa dia selalu

mengikuti diskusi-diskusi dari para pemimpin Indonesia yang diadakan di rumah

Tjokroaminoto. Sukarno tidak hanya menjadi pendengar setia, tetapi ia juga

seringmengajukan pertanyaan mengenai perkembangan politik Indonesia di masa itu. Dari

penjelasan para pemimpin Indonesia tersebut, Sukarno mengetahui bahwa kegagalan

perjuangan bangsa Indonesia disebabkan tidak ada persatuan diantara para pejuang.17

Sukarno muda banyak belajar dari pak Tjokroaminoto, menurutnya pak

Tjokroaminoto sering membimbingnya, walaupun Sukarno sendiri mengaku jarang bertemu,

namun menurut Sukarno pak Tjokroaminoto memiliki cara tersendiri dalam

membimbingnya. Hal tersebut diakui oleh Sukarno, sebagaimana penuturannya dalam

otobiografinya:

“...Umar Said Cokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Cokro mengajarku apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Cok adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya

kepadaku miliknya yang berharga.18

Dari Tjokroaminoto pun Sukarno belajar, tentang sikap terhadap pemerintahan

kolonial. Tjokroaminoto bukanlah nasionalis yang mengagungkan sikap radikal terhadap

pemerintah. Sebaliknya, meskipun Tjokroaminoto menyadari perlunya pemerintahan sendiri,

ia tetap menunjukkan sikap loyal dan terima kasih kepada pemerintah kolonial, yang telah

(7)

Gerald J. Tampi 752011042 | 36 bersedia membentuk dewan-dewan untuk memberikan kepada orang-orang pribumi hal

untuk didengar.”19

Pandangan Tjokroaminoto yang positif terhadap pemerintah kolonial, dapat

dipastikan, ditanamkan juga kepada Sukarno. Pengaruh pandangan Tjokroaminoto tersebut,

jelas dalam satu tulisan awal Sukarno:

...”Terlebih dulu rakyat Indonesia harus belajar.” Untuk itu, rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan kesempatan yang baik sekali: hendaknya dibentuk dewan-dewan yang akan benar-benar mewakili rakyat,

mengingat bahwa dewan-dewan yang sudah ada pada waktu itu – termasuk

Volksraad – tidak mewakili rakyat. Pemerintahan sendiri lalu akan mewujudkan

keadilan politik dan ekonomi bagi rakyat.20

Perlu dikemukakan di sini, bahwa pengaruh pandangan Tjokroaminoto terhadap

Sukarno menjadi semakin kuat karena andil tidak langsung dari C. Hartog yang juga

membatasi kritik-kritik Sukarno terhadap pemerintah.21 Hartog mengajar bahasa Jerman di

HBS, ketika Sukarno menjadi murid di sekolah tersebut.22 Hartog merupakan anggota ISDP

(Indische Social Democratiche Partij), organisasi yang lebih moderat dibandingkan dengan

ISDV (Indische Sosial-Democratische Vereeniging). Sikap moderat ISDP tercermin dalam

pernyataan juru bicara partai ini D.M.G. Koch, sebagaimana yang dikutip Dahm:

Oleh sebab itu, maka pandangan Marxis kita pertama-tama menuntut dari kita bukan perjuangan melawan kapitalisme Barat, melainkan kampanye bagi suatu perkembangan yang cepat dan berkelanjutan untuk masyarakat bumiputera... kepentingan mereka menuntut, bersama-sama dengan perundang-undangan sosial

19Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 39. 20Ibid., 50.

21Ibid., 36.

22 Di samping itu, melalui seminar-seminar tentang Marxisme yang diselenggarakan Hartog, secara formal

Sukarno mulai mengenal teori Marxisme. Demikian diakui Sukarno dalam artikelnya, Sukarno, “Menjadi Pembantu Pemandangan: Sukarno, Oleh... Sukarno Sendiri,”Pemandangan tahun 1941, dalam Dibawah Bendera Revolusi I,

(8)

Gerald J. Tampi 752011042 | 37 yang efektif, perkembangan yang cepat dari kapitalisme bumiputera, yang

merupakan satu-satunya sarana untuk mengakiri dominasi Barat.23

Sebagai anggota ISDP pembinaan-pembinaan yang dilakukan Hartog kepada

Sukarno, tentunya tidak terlepas dari sikap moderat ISDP yang diembannya. Hartog

mengajar Sukarno untuk tidak bertindak radikal terhadap pemerintah kolonial.24 Dari

Hartog, Sukarno juga belajar, bahwa kemerdekaan harus dicapai secara bertahap dan

pemberontakan terhadap pemerintah kolonial hanya akan menghambat jalan ke arah

kemerdekaan.25

Jika demikian pembinaan yang diterima Sukarno dari Tjokroaminoto dan C.

Hartog, mempengaruhi pemikiran awal Sukarno yang belum bercorak radikal. Di samping

itu, masih terbatasnya keterlibatan Sukarno dalam organisasi massa,26 menjadi salah satu

penyebab kuatnya pengaruh pemikiran Tjokroaminoto dan Hartog terhadap Sukarno.

Selain Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam lain yang juga mempunyai andil dalam

pembentuka pemikiran Sukarno, yakni Abdul Muis. Pada tahun 1917, menurut pengakuan

Sukarno, ia sangat dipengaruhi oleh slogan-slogan komunis. Tetapi kemudian Sukarno

berhasil sembuh dari penyakit kosmopolitanisme tersebut dan meyakini pentingnya

semangat kebangsaan, setelah membaca tulisan Sun Yat Sen mengenai Min Chu I.27 Selain

itu, Abdul Muis seorang tokoh Sarekat Islam, pun berperan penting dalam penyembuhan

kosmopolitanisme Sukarno. Dalam Kongres Nasional Kedua Sarekat Islam (Oktober 1917),

Abdul Muis menyatakan: “Untuk memperbaiki dunia, kita tidak perlu mulai menjadi

23 Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 36. 24 Ibid.

25 Ibid., 37.

26 Selain terlibat dalam Sarekat Islam sebagai pergaulan sehari-hari Sukarno, iapun mulai aktif sebagai

anggota Jong Java. Tetapi karena Jong Java lebih berorientasi pada kebudayaan Jawa, dapat dipastikan hampir tidak ada warna radikal yang bisa disumbangkan organisasi tersebut kepada Sukarno.

(9)

Gerald J. Tampi 752011042 | 38 orang internasionalis.” Pernyataan tersebut, memperlihatkan penolakan tegasnya terhadap

paham internasional. Selanjutnya Abdul Muis menekankan, bahwa paham kebangsaan

sangatlah penting dalam mencapai kemerdekaan; bahkan seharusnya lahir dari orang-orang

yang menamakan dirinya pemimpin rakyat.28 Melihat dekatnya hubungan antara Abdul

Muis dan Tjokroaminoto, juga pengaruhnya yang besar sebagai tokoh Sarekat Islam, sulit

untuk tidak memperhitungkan pengaruh pemikirannya dalam diri Sukarno di masa itu.

Tahun 1921 Sukarno bersama Utari, istrinya, berangkat menuju Bandung guna

meneruskan pendidikannya ke Sekolah Teknik Tinggi (Techniche Hogeschool). Sukarno

menghabiskan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan pendidikannya di Sekolah

Teknik Tinggi. Keterlambatan tersebut, disebabkan banyaknya waktu yang tersita untuk

kegiatan politik, juga kerena ia harus mengambil alih tanggung-jawab Tjokroaminoto

terhadap keluarganya.29

Di Bandung, awalnya Sukarno hanya menjadi peserta pasif dalam berbagai ceramah

di malam hari, juga dalam diskusi-diskusi kelompok kecil. Pokok-pokok dalam

ceramah-ceramah yang diikutinyapun tidak banyak berbeda dengan apa yang ia terima dari

Tjokroaminoto dan Hartogh. Katakanlah, tahun-tahun pertama berada di Bandung, referensi

berpikir Sukarno masih mengacu pada pandangan Tjokroaminoto dan C. Hartog.

Warna berpikir Sukarno mulai bercorak radikal, ketika ia berkenalan dan menyerap

nasionalisme radikal dari Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi

Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantoro. Tjipto tampaknya

28Ibid., 40-41

29 Sukarno baru satu tahun di Bandung, ketika Tjokroaminoto ditangkap dan Sukarno harus mengambil alih

(10)

Gerald J. Tampi 752011042 | 39 mendapat tempat khusus dalam diri Sukarno, hal tersebut terlihat dari bagaimana Sukarno

menyebut Tjipto dengan “saudara Tjipto my chief”.30Cukup beralasan mengapa Sukarno

memanggil Tjipto Mangunkusumo dengan istilah tersebut, hal ini dikarenakanTjiptolah

memiliki andil yang paling besar dalam membetuk sikap oposisi Sukarno terhadap

pemerintahan kolonial. Jika Dekker masih harus mempertimbangkan resiko dari tindakannya

yang radikal terhadap pemerintahan kolonial, Tjipto sebaliknya. Iaterkenal sebagai

nasionalis yang keras kepala terhadap kolonial, tak mementingkan diri sendiri, berwibawa,

jujur, idealis, dan revolusioner disertai cara-cara yang radikal.31 Sejak kembali dari

pembuangan pada tahun 1914, Tjipto Mangunkusumo tetap aktif dalam kegiatan politik

dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Sikap Tjipto Mangunkusumo tersebut

menimbulkan kekaguman bagi Sukarno sebagaimana jelas dalam tulisnnya, ketika di tahun

1926 Tjipto Mangunkusumo kembali dibuang oleh pemerintah kolonial.

Tjaranja kawan Tjipto mendjalankan pembuangan ini adalah mengadjarkan pada kita, bahwa ichtiar membikin indahnja hari itu ialah bukanja ictiar jang gampang dan ringan, akan tetapi ichtiar jang susah-pajah dan berat; - suatu ichtiar jang tak sudi akan penjerahan diri jang setengah-setengah, suatu ichtiar jang menuntut penjerahanja segenap kita punja diri, segenap kita punja njawa... Tjipto Mangunkusumo telah menundjukkan djalan dalam tjaranja mengabdi pada rakjat dan Bangsa itu... Walaupun ia menderita kesengsaraan-rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan jang terdjadi oleh matinja ia punja perusahaan tabib;.. maka dengan roman muka jang bersenjum ia memikul segenap beban jang ditimbulkan di

atas pundaknja oleh pengabdiannja kepada rakyat dan bangsanja.32

Pemikiran Sukarno mengenai politik memang semakin dipertajam oleh

pengenalannya terhadap pemikiran ketiga tokoh Indische Partij. Harus diakui, ketiga tokoh

tersebutlah yang membekali Sukarno dengan semboyan-semboyan mencapai kemerdekaan

yang lebih militan. Ketika Sukarno tampil sebagai pemikir dan politisi nasional, pengaruh

30 B. Hening, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945, (Jakarta: Hasta Mitra,

2003), 129.

(11)

Gerald J. Tampi 752011042 | 40

pemikiran ketiga tokoh Indische Partij, terutama pengaruh Tjipto Mengunkusumo,

tercermin melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya yang militan dan agitatif. Demikian

sukarno menulis, “... hendaklah kita insyaf, bahwa hanja perdjoangan dalam pergerakan

rakjat itu sahadjalah jang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha

dewan-dewanan”33

Kekritisan Sukarno dalam menganalisis kenyataan masyarakat yang dihadapinya,

merupakan hasil pergulatan intelektualnya yang sungguh-sungguh dengan pemikiran Tjipto

Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantoro. Kekritisan Sukarno sebagai

pemikir dan politisi nasional, semakin dimatangkan oleh keaktifannya dalam gerakan

kebangsaan Indonesia.

A.1.3 Sukarno Dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia

Keaktifan Sukarno dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai dengan

terdaftarnya Sukarno sebagai anggota Jong Java.34Jong Javadidirikan pada tahun 1915

dengan nama Tri Koro Darmo dan merupakan organisasi pelajar, anak organisasi dari Budi

33Ibid., 31.

34 Sukarno dalam wawacara bersama Cindy Adams mengatakan bahwa, Tri Koro Darmo yang kemudian

(12)

Gerald J. Tampi 752011042 | 41

Utomo. Pada tahun 1918, dengan alasan Tri Koro Darmo tidak mencerminkan Jawa secara

umum, nama organisasi tersebut diganti menjadi Jong Java.35

Sumber-sumber kontemporer paling dini, memuat laporan tentang Sukarno yaitu:

dalam rapat pleno tahunan yang diadakan oleh Jong Java, cabang Surabaya pada bulan

Februari 1921, Sukarno mendapat giliran untuk berceramah mengenai sistem pendidikan. Di

hadapan perhimpunan yang telah mencantumkan “pelestarian dan pengembangan kebudayaan tradisional Jawa” sebagai tujuannya, Sukarno memulai ceramahnya dalam

bahasa jawa dipa (ngoko), bahasa “kaum pembaru” ketua rapat dengan segera menghentikan

ceramah Sukarno itu dan setelah terjadi perdebatan sebentar, lalu dimintanya Sukarno

melanjutkan ceramahnya dalam bahasa Belanda, karena ketua menolak penggunaan bahasa

Kromo.Tetapi permintaan itu ditolak dan setelah terjadi perdebatan yang sengit, akhirnya

bubar dalam suasana kacau, ditengah-tengah teriakan, sorak-sorai dan musik

gamelan.36Sikap menentang kebijakan organisasi, sebagaimana yang dilakukan Sukarno

terhadap Jong Java, membuat ia dijuluki Bima. Dalam Utusan Hindia dimuat salah satu

sentilan terhadap sikap Sukarno, “dengan Tuhan sekalipun Sukarno berbicara dalam Djawa

Dipa- suatu kelancangan yang hanya diperkenankan bagi Bima yang gagah-perkasa”.37

Tindakan politik Sukarno memang cukup radikal, meskipun demikian Sukarno

tidak pernah menjadi anggota partai komunis. Bahkan ketika pada tahun 1921, Sukarno

diperhadapkan dengan perpecahan di dalam Sarekat Islam antara orang-orang Islam dan

orang-orang komunis, Sukarno lebih memilih Sarekat Islam. Sukarno pun sangat

mendukung disiplin partai yang ditegakkan dalam Sarekat Islam, yang merupakan salah satu

pemicu perpecahan antara orang-orang Islam dengan orang-orang komunis.Ada banyak

(13)

Gerald J. Tampi 752011042 | 42 faktor yang harus diperhitungkan sebagai alasan keberpihakan Sukarno tersebut, selain

karena pengaruh Tjokroaminoto sang guru yang menjadi idolanya. Keberadaan Sukarno

sebagai bagian dari Sarekat Islam sekaligus saksi dari rentetan aliran politik yang silih

berganti dalam Sarekat Islam, perlu diperhitungkan sebagai faktor penunjang keberpihakan

Sukarno. Di samping itu ketertarikan Sukarno terhadap usaha mensintesakan Manifesto

komunis dengan Islam yang dijalankan dalam Sarekat Islam, perlu juga diperhitungkan

sebagai alasan keberpihakan Sukarno.38 Jika demikian jelas, bahwa keberpihakan Sukarno

terhadap Sarekat Islam adalah pilihan sadar yang dilakukannya.

Kembali ke keterlibatan Sukarno dengan pergerakan nasional di Bandung, karir

politiknya di Bandung, diawalinya dengan menjadi salah satu pendiri sekaligus pengurus

Studi Club Umum (Algemeene Studie Club) yang didirikan pada tanggal 17 Januari 1926. Di

Studi Club Umum tersebut, Sukarno duduk sebagai sekretaris I mendampingi Mr. Iskaq

Tjokrohadisurjo yang saat itu menjabat sebagai ketua. Dibanding dengan Studi Club di

Surabaya yang diketuai dr. Sutomo, Studi Club Umum di Bandung lebih radikal. Dengan

menetapkan sikap nonkooperasi sebagai senjata perjuangan berhadapan dengan pemerintah

kolonial, Studi Club Umum di Bandung telah menarik garis pemisah dengan Studi Club di

Surabaya yang hanya menjadikan sikap nonkooperasi sebagai taktik.39 Melihat sikap

nonkooperasi yang dimutlakkan dalam kelompok Studi Club Umum di Bandung, jelas

bahwa pemikiran Douwes Dekker sangat berpengaruh di dalamnya.

Dalam Studi Club Umum tersebutlah, Sukarno berkecimpung dan mengembangkan

pemikiran-pemikiran politiknya. Studi Club Umum di Bandung mempunyai majalah sendiri,

yang diberi nama “Indonesia Muda”. Untuk pertama kali melalui artikel berjudul

(14)

Gerald J. Tampi 752011042 | 43 Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Sukarno merumuskan dengan jelas pemikirannya

mengenai Nasionalisme Indonesia.40

Langkah pertama yang dilakukan Sukarno untuk merealisasikan pemikirannya

mengenai nasionalisme Indonesia, dimulai dengan keterlibatannya dalam PNI (Partai

Nasional Indonesia). PNI dibentuk pada tanggal 4 Juli 1927 dan Sukarno dipercaya sebagai

ketua. Selanjutnya, dengan PNI sebagai motor penggerak Sukarno melangkah ke arah

pembentukan federasi dari berbagai partai, yang akan bekerjasama untuk mencapai

kemerdekaan Indonesia. Dukungan pertama diperolah Sukarno dari Haji Agus Salim,

seorang tokoh Partai Sarekat Islam yang cukup berpengaruh di masa itu.41 Dukungan lain

datang dari organisasi nasional lokal. Hasilnya, pada 17 Desember 1927, terbentuklah

PPPKI (permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang merupakan

gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia42: PNI, Sarekat Islam, Budi Utomo,

Pasundan, Sumantranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya.

Pembentukan PPPKI merupakan terobosan baru dalam sejarah pergerakan Indonesia.

Setelah beberapa kali usaha ke arah persatuan dan kerjasama diantara partai berbeda, seperti

yang dilakukan Sarekat Islam dan Indische Partij, menemui kegagalan. PPPKI merupakan

kumpulan dari berbagai organisasi yang berbeda-beda, tetapi secara sepintas lalu sudah

kelihatan membawa perkembangan baru yang memberi harapan.Upaya-upaya sebelumnya

untuk mencapai persatuan nasional telah ditunjukkan untuk menarik para pengikut

40Ibid.,76. 41Ibid.,97.

42 Dalam otobiografinya Sukarno menyatakan, bahwa PPPKI dibentuk pada bulan Desember 1928. Jelas

(15)

Gerald J. Tampi 752011042 | 44 mendaftarkan diri dibawah panji-panji suatu ideologi yang dominan, mulanya Islam dan

kemudian Marxisme.43

Kerja sama dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk merdeka.

Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan di antara

partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.

Cuplikan salah satu tulisan Sukarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:

Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan pemufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal kooperasi dan nonkooperasi soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang lebih mendekatkan kita satu

sama lain. marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita.44

Keberhasilan Sukarno tersebut di atas, mengalami hambatan ketika ia ditangkap

pada bulan September tahun 1928. Penangkapan Sukarno disertai dengan penangkapan tiga

tokoh PNI lainnya, yakni Gatot Mangkupradja, Maskin dan Supriadinata. Sukarno dan

ketiga tokoh PNI ditangkap dan selanjutnya dipenjarakan dengan tuduhan bermaksud

melakukan hura-hura dan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial.Tetapi

mencermati interogasi yang berlangsung selama pemeriksaan perkara para pemimpin PNI di

Landraad Bandung, menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap mereka pun dikaitkan dengan dugaan PNI merupakan kelanjutan PKI. Persidangan terhadap para tokoh yang

ditangkap ini, dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Dalam masa pengadilan ini,

Sukarno menulis pidato Indonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan

sebagai pledoi. Dalam persidangan tersebut, Sukarno memaparkan ramalannya tentang

terjadinya perang pasifik, dalam ramalannya ia berkata:

43John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 133.

(16)

Gerald J. Tampi 752011042 | 45

Perang Pasifik bukan perang kecil-kecilan.Tapi suatu peperangan untuk soal to be

or not tobe.Soal hidup dan mati.45

Ramalan akan meletusnya perang pasifik, menurut Sukarno buka dipungut dari

tukang ramal jalanan, melainkan buah analisis sarjana barat terkemuka. Ia memaparkan

teori-teori perang pasifik dari buku seapower in the pacific karya Hektor Baywater, ahli

maritim berkebangsaan Inggris. Baywater meramalkan bahwa perang pasifik akan pecah

akibat ulah Jepang yang bermaksud melancarkan revolusi di Asia. Selain itu, Sukarno juga

menyodorkan teori perang pasifik yang di paparkan oleh Karl Haushofer dari University of

Munchen, Jerman, dalam buku yang berjudul Geopolitik des pazifischen ozeans.46

Menurut Dahm, pernyataan-pernyataan yang dihubung-hubungkan dengan perang

pasifik telah menimbulkan tanggapan yang lebih kuat dalam kesadaran rakyat,

dibandingkan dengan tema-tema propaganda lainnya dari partai yang dipimpin oleh

Sukarno (PNI). Dari sini hakim menyimpulkan bahwa perang pasifik merupakan salah-satu

propaganda yang dipakai oleh PNI.Hal ini menjadikan barang bukti bagi hakim tentang niat

jahat Sukarno terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pada sidang hari kedua, tidak kurang

dari empat kali Sukarno ditanya, apa yang akan dilakukan oleh PNI seandaimya perang

pasifik itu benar-benar pecah. Empat kali juga Sukarno memberikan jawaban yang

mengelak, “soal itu belum pernah dipertimbangkan, PNI tidak punya urusan dengan soal itu dan sebagainya.” Namun dalam konteks yang lain, Sukarno menegaskan sikap PNI bahwa: “andaikan ada permusuhan antara suatu rakyat Asia dan katakanlah kaum

imperialis Inggris. Maka saya akan mengharapkan bahwa rakyat Asia itu akan

mendapatkan bantuan dari rakyat-rakyat Asia lainnya.47Walaupun Sukarno sudah membela

45Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 21. 46Ibid.,

(17)

Gerald J. Tampi 752011042 | 46 diri melalui Pledoinya, hal itu tidak mempengaruhi keputusan hakim untuk tetap

menjatuhkan hukuman terhadap Sukarno.Setelah diadili, Sukarno dan beberapa tokoh PNI

lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin Bandung.48

Rupanya Perhimpunan Indonesia di Belanda merasa kuatir, keputusan pengadilan

terhadap Sukarno dan ketiga tokoh PNI lainnya akan berdampak negatif bagi kehidupan

pergerakan di Indonesia. Kekuatiran tersebut cukup beralasan, sebab di masa itu PNI

merupakan partai besar dan berpengaruh. Bahkan bisa dikatakan, motor penggerak dari

pergerakan kebangsaan Indonesia di era tersebut. Kekuatiran Perhimpunan Indonesia

menjadi kenyataan, tanggal 17 April 1931, Mahkamah Agung Hindia Belanda secara resmi

memutuskan bersalah kepada keempat pemimpin PNI, yakni Sukarno dijatuhi pidana 4

tahun penjara, Maskun 15 bulan, Gatit 2 tahun pejara, dan Supriadinata 15 bulan.49

Keputusan Mahkamah Agung tersebut oleh sebagian anggota PNI, disambut dengan

pembubaran PNI pada rapat pleno 25 April 1931, dipimpin oleh Sartono yang bertindak

sebagai pejabat ketua. Disusul kemudian dengan pembentukan Partindo (Partai Indonesia)

sebagai pengganti PNI.50

Pembubaran PNI dan pembentukan Partindo menimbulkan pro dan kontra baik dari

anggota PNI, maupun dari tokoh-tokoh di luar PNI. Salah satu nasionalis yang mengkritik

pembubaran PNI oleh Sartono adalah Hatta, yang saat itu masih di negeri Belanda. Hatta

mengatakan, “bahwa pembubaran partai mencerminkan sebuah kegagalan dalam kepemimpinan partai.” Menurut Hatta, kegagalan tersebut akan terulang lagi, jika kembali

berhadapan dengan penekanan-penekanan pemerintah kolonial. Karena itu menurut Hatta,

48Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22. 49 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 143.

(18)

Gerald J. Tampi 752011042 | 47 pembubaran partai bukanlah pemecahan masalah, yang harus dilakukan adalah mendidik

kader yang berbobot sebanyak mungkin, agar “penahanan-penahan tidak akan melumpuhkan organisasi secara keseluruhan.”51 Kritik-kritik yang dilontarkan Hatta menurut Legge,

membuat partai-partai lain menjadi kritis teradap Partindo.52

Tindakan Sartono dalam membubarkan PNI terlihat tepat pada situasi politik di

masa tersebut, terutama setelah terjadinya penangkapan dan pemeriksaan terhadap keempat

pemimpin PNI. Proses pemeriksaan terhadap perkara pemimpin-pemimpin PNI, mencuatkan

kecurigaan pemerintahan kolonial bahwa PNI merupakan kelanjutan dari PKI. Jika

demikian, pembubaran PNI dan kemudian pembentukan Partindo oleh Sartono dapat

dipahami sebagai tindakan penyelamatan PNI. Setidaknya menyelamatkan pengurus yang

tersisa dan anggota-anggota PNI dari penangkapan dan pemenjaraan seperti yang dialami

PKI di tahun 1926. Meskipun demikian, harus diakui tindakan pembubaran PNI tanpa

musyawarah dengan anggota partai, bukanlah tindakan demokratis. Menurut Dahm,

tindakan Sartono dan pengurus PNI lainnya hanya memperlihatkan kediktatoran dari para

pengurus partai tersebut.53 Karena itu, kritik Hatta tidak bisa diabaikan, sebab kritik tersebut

merupakan wujud keprihatinan seorang nasionalis terhadap kemerosotan yang terjadi dalam

pergerakan di Indonesia.

Kemerosotan juga terjadi dalam federasi PPPKI. Setelah penangkapan Sukarno,

PPPKI yang diharapkan menjadi kekuatan tandingan berhadapan dengan pemerintah

kolonial, juga diibaratkan sebagai “negara dalam negara” tidak bereaksi terhadap tindakan

penangkapan tersebut. Ketidak-berdayaan PPPKI hanya membuktikan, bahwa federasi

tersebut tidak dapat berfungsi sebagai senjata sebagaimana yang diharapkan Sukarno. Dalam

51 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 148. 52Ibid.

(19)

Gerald J. Tampi 752011042 | 48 tubuh PPPKI sendiri, pertentangan diantara partai-partai dengan ideologi yang selama ini

diupayakan untuk diabaikan, kembali menajam. Bahkan dapat dikatakan setelah Sukarno

ditangkap PPPKI terancam pecah. Ketika pada awal tahun 1931 Partai Sarekat Islam

Indonesia (nama baru dari Sarekat Islam) menarik diri dari federasi tersebut. pertentangan

yang menajam dalam PPPKI tersebut, bagi Dahm merupakan bukti kegagalan dari

kerjasama yang didasarkan pada permufakatan. “Mufakat merupakan keputusan yang tegas,

karena setiap pendapat harus diperhitungkan; padahal perjuangan melawan kaum sana

memerlukan keputusan-keputusan yang tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum

koperator dan non-koperator.54

Kritik tajam Dahm terhadap penempatan mufakat sebagai dasar kerjasama dalam

PPPKI, dapat dimengerti. Karena mufakat terlalu menyederhanakan pertentangan yang tidak

dapat diakurkan antara kaum kooperator dan non-kooperator; teruatama mengenai keputusan

yang berkaitan dengan sikap dan tindakan PPPKI terhadap kebijakan-kebijakan yang

dijalankan pemerintah kolonial di Indonesia.

Dari kalangan nasionalis Indonesia, kritik terhadap perpecahan dalam PPPKI

datang dari Hatta. Hatta menilai perpecahan dalam PPPKI menjadi bukti, bahwa persatuan

yang diangung-agungkan oleh Sukarno tidak lebih dari pada persatean. Pandangan rakyat

mengenai konsep aristokrasi tidak dapat dipersatukan.Menyatunya kelompok ini hanya

mengakibatkan pengorbanan terhadap prinsip diantara kelompok tersebut, demikian menurut

Hatta.55Penilaian yang dikemukakan Hatta bertolak dari kajian kritisnya terhadap

perbedaan-perbedaan mendasar yang dimiliki anggota PPPKI. Hatta tidak percaya, bahwa partai yang

secara prinsipil tidak dapat diakurkan dapat disatukan. Ketidakpercayaan Hatta tersebut

54Ibid.,156-157.

55Mavis Rose,Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT

(20)

Gerald J. Tampi 752011042 | 49 dapat dimaklumi, sebab kajian Hatta tersebut dilatarbelakangi oleh pembentukan

pemikirannya yang berbeda dengan Sukarno. Pemikiran Hatta terbentu dalam realitas

sosial-politik di Eropa, di mana Islam bukanlah kekuatan besar sebagaimana di Indonesia. Selain

itu, pendekatan teoritis yang digunakan Hatta terhadap Islam, Marxis-Sosialis dan nasionalis

lokal di Indonesia, menghasilkan pemikiran yang berbeda dengan Sukarno – yang

menggunakan pendekatan praktis terhadap paham-paham tersebut. berbeda dengan Sukarno,

meskipun ia mengenal pemikiran-pemikiran Barat, tetapi realitas sosial-politik di Indonesia

yang dihadapinya, dimana Islam menjadi salah satu kekuatan besar yang harus

diperhitungkan menyajikan wawasan berbeda dengan Hatta. Karena itu, meskipun secara

teoritis Sukarno mengalami kesulitan untuk mempersatukan Islam dengan Marxis sosialis

dengan nasional lokal, tidak ada pilihan lain baginya. Ditambah lagi dengan kegagalan

perjuangan yang dilakukan pergerakan kebangsaan di Indonesia, tidak memberikan pilihan

kepada Sukarno selain menuntut kepiawaiannya untuk menghimpun elemen-elemen

sosial-politik tersebut, menjadi satu kekuatan nasional berhadapan dengan kolonialisme.

Setelah Sukarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 193156, Sukarno berusaha

menghidupkan kembali PPPKI yang sedang di ambang kehancuran. Disamping itu, Sukarno

pun harus berhadapan dengan suatu partai yang sama besar pengaruhnya dan yang saling

bertentangan, yakni PNI-baru dipimpin Syarir-Hatta yang telah kembali dari Belanda,

berhadapan dengan Partindo. Perbedaan mendasar yang terbentang antara Partindo dan

PNI-Baru, mendorong Sukarno untuk memilih salah satu dari kedua partai tersebut. Sukarno

akhirnya memilih Partindo, sebab sebagian besar pengurus dan anggota Partindo merupakan

(21)

Gerald J. Tampi 752011042 | 50 mantan anggota PNI. Selain itu, Sukarno memang membutuhkan partai yang biasa sejalan

dengan gaya kepemimpinan politik Sukarno.57

Masuknya Sukarno dalam Partindo, menimbulkan pro dan kontra dari kalangan

nasionalis Indonesia. Sukarno dinilai tidak konsekuen terhadap sumpahnya, bahwa ia akan

mengupayakan persatuan antara PNI-Baru dengan Partindo dan tidak akan memihak salah

satu dari kedua partai tersebut. kritikan-kritikan tersebut ditanggapi Sukarno, sebagai

berikut:

Enam bulan lebih saja bekerdja buat persatuan itu. Enam bulan lebih saja sengadja tak duduk dalam salah satu parrtai, tak lain tak bukan hanja supaja usaha persatuan lebih gampang bisa berhasil... Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen, machtsvorming

Marhaen.58

Sukarno memang telah memihak, tetapi itu merupakan konsekuensi logis dari

seorang politisi. Seorang politisi membutuhkan partai yang dapat menampung dan

menyalurkan ide-idenya, karena itu, Sukarno tidak dapat dipersalahkan karena pilihannya

tersebut. Gerakan politis Sukarno terhenti, ketika pada tanggal 1 Agustus 1932 dia kembali

ditangkap oleh pemerintah kolonial. Alasan penangkapan terhadap Sukarno adalah karena

Sukarno dinilai provokatif dalam menjalankan kegiatan politik. Karena itu Sukarno harus

dihentikan agar dia sadar bahwa selama dia masih menjalankan tindakan demikian, dia tetap

akan dihambat oleh pemerintah kolonial.59Beberapa bulan kemudian terbentik berita dari

dalam penjara, bahwa Sukarno menulis surat kepada pemerintah kolonial, yang berisi

pernyataan pengundurannya dari Partindo dan juga dari kegiatan politik. Berita mengenai

57Ibid.,153; alasan lain Sukarno memilih Partindo adalah ia sering mendapat kritikan dari pihak PNI baru

(termasuk Bung Hatta & Syahrir) Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 62.

(22)

Gerald J. Tampi 752011042 | 51 pengunduran Sukarno tersebut, menimbulkan kegemparan dikalangan nasionalis Indonesia.

Menurut Legge motif pengunduran diri Sukarno tidak Jelas.Apakah ini tindakan putus asa

atas penahanannya yang baru, atau suatu usaha untuk mendapatkan perlakuan yang

dihadapinya, sehingga tindakan ini merupakan tindakan revolusionernya yang pertama?60

A.2 Nasionalisme Menurut Sukarno

A.2.1 Pemikiran awal Nasionalisme

Ketika Sukarno dilahirkan, masyarakat Jawa sedang mengalami proses perubahan

mendalam. Selama seperempat abad, bersama-sama dengan negara-negara lain di Asia dan

Afrika, Indonesia mulai merasakan dampak kuat tenaga ekspansif industri Eropa.Ekspansi

besar-besaran ekonomi ekspor Hindia sebagai akibat penanaman modal Belanda secara tidak

langsung, telah disertai perluasan penguasaan teritorial yang cepat.Hal ini mengakibatkan

ketidakpuasan masyarakat lokal, sehingga mendapatkan perlawanan terhadap kekuasaan

Belanda. Seperti yang terjadi pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro melawan

kekuasaan Belanda di Jawa Tengah selama lima tahun, hal ini dapat dipandang sebagai suatu

gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal, dan sangat berbeda sifatnya dari

arus perlawanan baru yang muncul pada awal abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil

imperialisme baru yang harus dipandang sebagai bagian dari suatu gerakan lebih besar yang

melibatkan banyak bagian dari suatu gerakan lebih besar yang melibatkan banyak bagian

tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.

(23)

Gerald J. Tampi 752011042 | 52 Dan gerakan itu tidak hanya berjuang menentang kekuasaan kolonial, tetapi juga

memikirkan dan mengembangkan pandangan baru, yang sadar akan kepribadian nasional.61

Pada masa 1926, perpolitikan di Indonesia mengalami kekacauan. Terdapat

beberapa kekuatan politik, yang diwakili oleh partai-partai besar, diantaranya: PKI (partai

yang masih aktif pada saat itu) Sarekat Islam yang masih bertumpu kepada kepopulerannya

yang besar pada tahun-tahun kejayaannya, NIP (National-Indische Partij) yang walaupun

sudah dibubarkan, masih memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, terdapat pula

kelompok-kelompok kecil yang memiliki kecenderungan nasionalistik, namun dalam waktu yang

bersamaan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang berbahaya kearah

separatism, bahkan berapa pulau-pulau lain membentuk perkumpulan sendiri seperti: Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon, Jong Sumatera dan Jong Batak. Sudah menjadi rahasia

umum pada waktu itu, walaupun perkumpulan-perkumpulan ini berkantor pusat di pulau

Jawa, tetapi mereka memiliki warna anti Jawa, serta lebih mengejar suatu otonomi bagi

daerah mereka masing-masing dari pada tujuan yang mungkin saja akan melahirkan satu

ketergantungan baru terhadap pulau Jawa.62Pendek kata, dari sekian banyak perkumpulan

ini, tidak terjalin persatuan, bahkan banyak yang terlibat pertikaian yang bersifat pribadi.

Terdapat beberapa usaha yang dilakukan dalam mempersatukan

perkumpulan-perkumpulan ini, seperti yang dilakukan oleh dr.Sutomo yang mengundurkan diri dari Budi

Utomo dan mendirikan Indonesische Studieclub.perkumpulan ini bertujuan mengembangkan

kesadaran akan budaya sendiri di kalangan kaum terpelajar Indonesia dan untuk memahami

masalah-masalah sosial maupun politik.63 Pada bulan Juli 1925 dr. Sutomo mengadakan

pertemuan untuk membahas usaha-usaha untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan

(24)

Gerald J. Tampi 752011042 | 53 perjuangan. Pada waktu itu, tidak kurang sekitar 6 perkumpulan Indonesia mengutus

perwakilan mereka.64 Menurut Bernard Dahm, dr. Sutomo membuat sebuah kesalahan pada

waktu itu. Dalam salah satu pidatonya, dr. Sutomo mengatakan “setiap Negara yang kuat mesti mencaplok Negara yang lebih lemah”. Dari penyataannya inilah, ia mendapat

serangan dari golongan komunis, yang berakibat tergoyangnya kedudukan dr. Sutomo

sebagai seorang intelektual yang nonpartisan. Selain dr. Sutomo, mantan anggota-anggota

Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda, berusaha untuk menyatukan

perhimpunan-perhimpunan ini, namun terdapat beberapa kendala yang menghalangi mereka,

yaitu: karena tinggal lama di Eropa, mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri

dengan kondisi kolonial. Kemudian banyak dari mereka yang sekembali dari Eropa, menjadi

pegawai negeri yang mengakibatkan kegiatan politik mereka harus dihentikan.65

Sebagai seorang nasionalis muda Indonesia, Sukarno yang tidak pernah

mengenyam pendidikan di luar negeri, sadar akan hal ini. Latar-belakang pemikiran

mengenai massa rakyat yang diperas dan menderita, pengalaman dan pergaulannya, telah

membentuk Sukarno, melahirkan pemikiran mengenai perlunya satu wadah bagi

nasionalisme, Islam dan Marxis-sosialis untuk bekerjasama mencapai kemerdekaan.

Sebagai titik tolak pemikirannya terhadap nasionalisme, Sukarno sangat

dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) dengan pendapatnya tentang bangsa.

Menurut Renan, bangsa merupakan suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:

1. Rakyat dari awal harus bersama-sama menjalani sejarah/riwayat.

2. bahwa suatu “bangsa” tidak ditentukan oleh rasa atau bahasa atau agama ataupun perbatasan wilayah. Ia adalah jiwa, suatu pandangan yang

(25)

Gerald J. Tampi 752011042 | 54 fundamental, yang lahir dari kesamaan sejarah dan dari suatu kemauan,

suatu keinginan hidup menjadi satu.66

Dari teori yang disampaikan oleh Renan ini, terlihat bahwa Sukarno ingin

menggunakan teori ini untuk mempertemukan fraksi-fraksi yang saling bertentangan.

Pada tahun 1928, Sukarno menulis sebuah artikel yang berjudul Nasionalisme,

Islamisme dan Marxisme di majalah Indonesia Muda terbitan Studi Club Bandung. Artikel ini, merupakan langkah awal dari Sukarno dalam merumuskan pemikiranya mengenai wadah

bersama, yang kemudian ia sebut sebagai nasionalisme. Penjelasannya mengenai

nasionalisme, diawali dengan uraian mengenai latar-belakang munculnya kolonialisme,

seperti yang dijelaskannya:

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan,bahwa yang menyebabkan kolonialisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah keinginan merdeka dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klenn, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal

hidup dalam tanah-airnya sendiri … itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat

Eropah mencari rezeki di negeri lain!67

Pernyataan dari Sukarno diatas, mengandung makna bahwa rakyat Indonesia harus

sadar terhadap kehidupan ekonomi dan politik yang semakin memburuk, akibat dari

kolonialisme. Sukarno ingin merubah pola pemikiran yang sudah tertanam dalam benak

masyarakat, mengenai pemerintah kolonial yang dianggap sebagai saudara tua yang

nantinya, pada suatu saat akan memberikan kemerdekaan. Sukarno beranggapan bahwa

66John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 99.

67Sukarno,dibawah bendera revolusi cetakan V; nasionalisme,islamisme dan marxisme, ( Jakarta: Yayasan

(26)

Gerald J. Tampi 752011042 | 55 tidak ada satu-pun Negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber

rezekinya, hal ini terlihat dari pernyataannya yaitu “orang tak akan gampang-gampang

melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!”.68

Kesadaran mengenai tragedi penjajahan, menurut Sukarno telah menimbulkan

protes di seluruh Asia. Karena “Roh Asia” tidak akan mengalah kepada penindasan. Bahkan

di Indonesia sudah muncul suatu pergerakan rakyat, yang dimanifestasikan dalam tiga aliran

politik, walaupun tujuannya sama, yakni satu aliran nasionalis, satu aliran islamis, dan satu

aliran marxis. Menurut Sukarno adalah kewajiban semua orang untuk berupaya menyatukan

ketiga aliran tersebut dan membuktikan bahwa di daerah jajahan mereka tidak perlu

bermusuhan satu sama lain. Sukarno menyatakan bahwa tujuan dari semua aliran ini adalah

sama. Untuk itu menurut Sukarno aliran-aliran ini harus menjauhi pertengkaran diantara

sesama.Setelah Negara kolonial dibuka kedoknya, motif dari penjajahan dijelaskan dan

setelah ada pengidentifikasian yang sadar dengan protes-protes di seluruh Asia, maka

ditemukanlah lawan mereka, yaitu bangsa Eropa.Mereka adalah lawan kaum nasionalis,

karena mereka menguasai wilayah-wilayah Asia; mereka musuh golongan Islam karena

kegiatan-kegiatan misi Kristen mereka; dan mereka, lawan kaum Marxis, karena mereka

pendukung sistem kapitalis, yang merintangi meluasnya sosialisme.69 Dalam arus

pemikirannya, Sukarno menyatakan bahwa ketiga aliran ini bukan hanya ragam-ragam yang

memiliki status sama dan saling melengkapi, namun diperlukan pandangan yang implisit

yang mengandung pengertian bahwa nasionalisme merupakan arus sentral. Maksud dari

Sukarno adalah pada waktu itu Islam merupakan agama yang tertindas, maka pemeluk Islam

harus nasionalis.Kemudian, modal Indonesia pada waktu itu merupakan modal asing, maka

68Ibid.,2.

(27)

Gerald J. Tampi 752011042 | 56 kaum marxis yang berjuang melawan kapitalisme haruslah pejuang nasionalis. Tujuannya

adalah persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme, tetapi isi nasionalisme dalam

islam dan marxislah yang memungkinkan persatuan ini. Sehingga dari penjelasnya tentang

nasionalisme ini, Sukarno menyimpulkan Nasionalisme merupakan ideologi yang

merangkum, yang dapat menyalurkan aliran-aliran yang berbeda itu kedalam satu arus.70

Pada akhir rangkaian tulisannya dalam artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,

Sukarno sekali lagi memberikan nasihat kepada ketiga pergerakan (Nasionalisme, Islamisme

dan Marxisme) yaitu:

Kita harus bisa menerima, tetapi kita juga harus memberi.Inilah rahasiannya persatuan itu.Persatuan tak bisa terjadi kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Dan, jikalau kita semua insaf bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insaf, dalam perceraiberaian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf

bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita

insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang ada di tengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi

kita ini, pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.71

Jika membaca penyataan Sukarno diatas, terlihat bahwa ia telah mengambil

materialisme filosofis dari marxisme dan memberikannya Tuhan; ia mengambil dari Islam

“beban masa lampaunya” dan memberikan gagasan marxis tentang kemajuan; dari kaum nasionalis ia mengambil “pandangan mereka yang sempit’ dan memberikan kepada mereka “nasionalisme luas”, dari hal ini, maka semua ideologi dapat dengan mudah dimasukkan

dalam kerangka bersama, untuk berjuang bahu-membahu menuju tujuan tunggal.72

Dalam menguraikan pendiriannya, Sukarno memperlihatkan pemahamannya yang

sederhana atas bermacam-macam pemikiran dan gagasan yang diserapnya selagi masih

70John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 101. 71Sukarno,dibawah bendera revolusi, 22.

(28)

Gerald J. Tampi 752011042 | 57 menjadi mahasiswa. Ia mengambil perbandingan-perbandingan dari Ernest Renan dan H.G.

Wells, Marx dan Engels, Kautsky dan Radek, Sun Yat-sen dan Gandhi, Sismondi dan

Blanqui, dari quran dan Mohammad Abduh. Ia menyimpangkan uraian teori buruh tentang

nilai dan menunjukkan ketertarikannya pada marxisme sebagai suatu ajaran yang dapat

menyajikan suatu penjelasan yang sistematis, bagaimana terjadinya sesuatu sebagai yang

kita temukan di dunia. Sementara itu, hakikat Jawaismenya Nampak dengan jelas. Petunjuk

yang mudah untuk hal ini ialah kalimat pertama dari artikel Nasionalisme, Islamisme dan

Marxisme, yang berisikan suatu ibarat wayang yang menunjuk Bima, yang dipakainya sebagai contoh perjuangan melawan musuh-musuh yang sangat kuat. Lebih jelas lagi,

asumsi-asumsi dasar karangan itu adalah jawa dalam semangatnya.Bukan saja terdapat

tekanan tradisional tentang harmoni dan saling penyesuaian antara pandangan-pandangan

yang saling berlawanan, tetapi juga terdapat sentuhan-sentuhan tentang

pemikiran-pemikiran khas Jawa, bahwa seorang pemimpin besar ialah yang mampu menyelaraskan

pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan. Sukarno mampu menganjurkan

kemungkinan pemersatuan semua aliran nasionalisme karena ia merasa dirinya sendiri

sekaligus adalah seorang Marxis dan seorang Muslim. Daya mampu ini, dalam pengertian

Jawa, dapat menunjang suatu tuntunan untuk mencapai kekuasaan.73

(29)

Gerald J. Tampi 752011042 | 58

A.2.2. Marhaenisme cerminan rakyat kecil Indonesia

Istilah marhaenisme ditemukan oleh Sukarno ketika ia sedang berjalan-jalan di

sebuah desa yang bernama desa Cigereleng, sebelah selatan kota bandung.74 Ketika Sukarno

berjalan-jalan di sawah,Ia bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Sukarno

melihat petani itu sedang menggarap sawahnya, lalu ia memikatnya ke dalam suatu

percakapan yang memiliki nilai.

“Siapa yang punya semua yangengkau kerjakan sekarangini?".Dia berkata

kepadaku, "Saya, juragan."Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini

bersama‐sama dengan orang lain?"."o, tidak, gan. Saya sendiri yang

punya.""Tanah ini kaubeli?"."Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ... "Kau

mempekerjakan orang lain?""Tidak, juragan. Saya tidak dapat

membayarnya.""Apakah engkau pernah memburuh?""Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?""Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.""Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkaupunya?""Ya, gan."Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya. "Marhaen." Marhaen adalahnama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakainama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti

itu! Semenjak itu kunamakanrakyatku rakyat Marhaen.75

Marhaen yang berkomunikasi dengan Sukarno, merupakan gambaran “rakyat

kecil” yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat cangkul

dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Walaupun

Marhaen mempunyai hal-hal yang disebut tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera.

Kemiskinan ini Nampak pada realitas kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang

tidak layak dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi

Sukarno, Marhaen tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena

74 Sukarno, Revolusi Indonesia; Nasionalisme, Marhaenisme dan Pancasila,( Yogyakarta: Galangpress,

2007), 85.

(30)

Gerald J. Tampi 752011042 | 59 ia mempunyai alat produksi sendiri dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada

pemilik modal, namun demikian ia tetap miskin.76

Istilah Marhaen tidak hanya dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang

gerobak, dll, namun Sukarno juga menggunakan istilah Marhaen bagi semua rakyat

Indonesia yaitu semua orang yang menjalankan Marhaenisme.77 menurut Sukarno Marhaen

merupakan cerminan rakyat Indonesia secara keseluruhan dan modal dasar untuk melakukan

perjuangan revolusi, agar imperialisme barat hilang dari tanah air Indonesia. Menghapus

kapitalisme merupakan sebuah wujud dalam bidang pendidikan, perkebunan milik swasta

dan pemerintah. Marhaen-marhaen inilah yang harus bersatu dan bergotong-royong dalam

melaksanakan perjuangan revolusi. Dengan cara demikian kemerdekaan dapat dicapai oleh

rakyat Indonesia. Marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian

nasional. Kepribadian yang senantiasa memperhatikan persatuan dan gotong royong dalam

perjuangan revolusi. Marhaenisme adalah suatu gerakan massa yang bersatu untuk

kepentingan massa, dan di dalamnya Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan

menjadi isu penting yang diangkat dalam Marhaenisme dan Sukarno menginginkan

memasukkan sebanyak mungkin golongan-golongan politik, agar kekuatan revolusioner

semakin bertambah banyak, serta kuat guna mencapai Indonesia merdeka.

Menurut Sukarno, kapitalisme dan Sosialisme barat hanya memberikan hak-hak

politik, sedangkan dalam bidang ekonomi rakyat selalu kekurangan dan menghasilkan

kelas-kelas sosial. Hal tersebut tidak bisa terjadi dalam kehidupan sosialisme Indonesia,

karena keinginan rakyat ialah tatanan sosial yang lebih adil. Sosialisme Indonesia adalah

(31)

Gerald J. Tampi 752011042 | 60 nasionalsime marhaen. Nasionalisme yang dapat menciptakan masyarakat Indonesia

mandiri, yaitu mampu berdiri diatas kakinya untuk kepentingan diri sendiri. Nasionalisme

marhaen menolak adanya kaum borjuis atau nigrat di Indonesia, karena pada dasarnya

mereka sangat menyengsarakan rakyat. Pengertian nasionalisme marhaen disini bukan

dalam pengertian perjuangan kelas proletar melawan kelas kapitalis yang menguasai

Negara, seperti yang dikatakan karl marx. Bagi Sukarno, untuk mencapai suatu masyarakat

tanpa kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen, yang akan

memperjuangkannya, untuk menjadi “kaum revolusioner borjuis” dengan kemerdekaan sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi “orang-orang revolusioner sosial,” dan

tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang, bagi semua

komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Sukarno memberi nama yang baru saja ia

ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme Marhaen.78Sukarno melihat keadaan

rakyat kecil yang tertindas, tidak berpendidikan, hanya dijadikan “sapi perah” dari kebijakan

imperialism barat dan diwujudkan dalam bentuk kolonialisme. Dengan sendirinya menjadi

alat pemicu untuk lahirnya suatu gerakan revolusi marhaen. Analisa ini dilihat dalam

kerangka dialektika Karl Marx. Segala perubahan harus terjadi, yaitu kapitalisme akan

menghasilkan Marhaen-Marhaen yang menginginkan perubahan secara revolusioner dalam

masyarakat Indonesia. Keadaan Sosio-Ekonomi dan Sosio-Politik dan Kapitalisme

sebenarnya menciptakan secara langsung marhaen-marhaen yang revolusioner dan

mengakibatkan akan terjadi perubahan dramatis.

Dalam konferensi PARTINDO pada tahun 1933 di kota mataram, Sukarno

merumuskan ajarannya dalam Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yaitu:

78

(32)

Gerald J. Tampi 752011042 | 61

1. Marhaenisme, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.

2. Marhaen yaitu kaum ploletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum

melarat Indonesia lainnya.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak ploletar, oleh karena perkataan

ploletar sudah termaktub dalam perkataan marhaen dan oleh karena perkataan ploletar

itu juga bisa diartikan bahwa kaum petani dan lain-lain kaun yang melarat tidak

termaktub di dalamnya.

4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan kaum melarat Indonesia

lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen, maka Partindo memakai perkataan

Marhaen.

5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar

mengambil bagian yang besar sekali.

6. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri

yang didalamnya segala hal menyelamatkan.

7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan

susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenannya, harus suatu cara perjuangan

yang revolusioner.

8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya

tiap-tiap kapitalisme dan imperialism.

9. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan

marhaenisme.79

(33)

Gerald J. Tampi 752011042 | 62 Dalam Sembilan tesis tersebut, sukarno menekankan bahwa masyarakat Indonesia

mesti menerapkan Marhaenisme secara tepat. Walaupun pada kenyataan kemerdekaan yang

didambakan belum juga terwujud. Keadaan ini disebabkan orang Indonesia “sakit berkepanjangan”, akibat tindakan imperialisme-imperialisme kuno dalam bentuk

kerajaan-kerajaan di Indonesia, sampai dengan imperialisme modern yang berwujud dalam bentuk

kolonialisme barat. Semua Imperialisme-imperialisme tersebut menghasilkan keuntungan

ekonomi dan politik yang besar bagi kapitalis. Namun rakyat menerima penderitaan yang

berkepanjangan. Penderitaan ini disebabkan oleh aturan pemerintah imperialisme yang

dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta proyek kerja paksa, penindasan, penjarahan,

diskriminasi ekonomi, diskriminasi pendidikan dan bentuk lainnya.80

Kesemuanya menghasilkan rakyat yang selalu menghambakan diri kepada kaum

kapitalis, tidak mempunyai mental untuk berjuang memperbaiki nasibnya sendiri sebagai

manusia dan selalu merasa diri bodoh. Dahulu rakyat Indonesia terkenal sebagai pelaut

pemberani dan mampu mengarungi lautan guna meluaskan perdagangannya namun hal

tersebut tidak Nampak lagi. Sekarang yang terjadi rakyat menjadi penakut. Sebaliknya,

imperialisme-kapitalisme mendapatkan hal terbaik dalam segala bidang kehidupan,

sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan yang bermanfaat bagi dirinya. Kecuali golongan

bangsawan, memperoleh hak-hak istimewa. Untuk itu harus ada perubahan, agar merubah

kesakitan yang berkepanjangan dan menjadikan rakyat Indonesia bisa mandiri, yaitu dengan

melakukan gerakan revolusioner guna menghancurkan imperialisme-kapitalisme. Dengan

cara demikian rakyat Indonesia bisa menjadi lebih baik memperbaiki nasib diri sendiri.

Pergerakan nasional yang revolusioner ini harus terjadi secara besar-besaran. Marhaenisme

(34)

Gerald J. Tampi 752011042 | 63 harus menjadi penggerak yang radikal dalam perjuangan rakyat Indonesia dan tidak ada

istilah kerjasama dengan pihak Imperialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Gerakan revolusioner tersebut harus terus-menerus ada, sampai Imperialisme dan

Kapitalisme hilang di Indonesia. Sikap radikal ini muncul oleh karena rakyat menderita

berkepanjangan.81

Sukarno melihat, bahwa diseberang sana ada kemerdekaan yang dicita-citakan

rakyat. Apabila kemerdekaan telah dicapai nanti, maka akan berlaku terus sistem

Sosio-Ekonomi, Sosio-Demokrasi yang merupakan perwujudan dari Sosio-Nasionalisme. Tidak

boleh berlaku sistem ekonomi dan politik borjuis dalam kehidupan Negara Indonesia yang

merdeka. Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme,

imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan

sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang

menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala

sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori

perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner

untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan

menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang

merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk

formalnya sebagai filsafat yaitu Pancasila.

(35)

Gerald J. Tampi 752011042 | 64

A.2.3. Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme

Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secaradetail

dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Sukarnosebagai Pancasila.

Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Sukarno menawarkan gagasan

ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan).

3. Mufakat (Demokrasi).

4. Kesejahteraan Sosial.

5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.82

Menurut John Legge Tidak mengherankan, jika Sukarno meletakkan nasionalisme

sebagai prinsip dasar pertama. Sukarno menjelaskan nasionalisme (kebangsaan) harus

dipahami tidak dalam artiannya yang sempit, bebas dari kekuasaan asing, akan tetapi dalam

arti positif membangkitkan rasa kesadaran dari rakyat. Definisi Renan tentang nasionalisme

dalam kata-kata “keinginan bersatu” tidak cukup baginya, karena definisi ini dapat

dipergunakan untuk membenarkan nasionalisme suku, kelompok-kelompok kecil penduduk.

Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus menjangkau lebih luas lagi dari kesatuan-kesatuan

masyarakat suku dan terdiri dari seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang

telah ditentukan Tuhan, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara

sumatera sampai ke Irian! Sukarno melihat persatuan Indonesia berdasarkan kebesaran

82Saefroedin Bahar, Ananda B Kusuma & Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan

(36)

Gerald J. Tampi 752011042 | 65 abad-abad lalu.Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan jelas untuk

mengembalikan rasa berbangsa satu ini memerlukan tindakan positif. Nasionalisme dalam

arti kata yang sebenarnya berarti bukan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan dan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Pendidikan Islam pada haikikatnya adalah suatu proses penggalian, pembentukan,

Pelatihan ini memberikan beberapa materi yang terkait dengan upaya meningkatkan pengetahuan siswa-siswi SMPN 1 Pantai Cermin dalam hal pemanfaatan limbah kertas

Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem yang mampu membantu tugas pegawai agar mampu memberikan hasil yang signifikan untuk mengubah pekerjaan yang sebelumnya

Media pembelajaran dibuat dan digunakan untuk mata kuliah teknik finishing sub materi melamin, dengan menganalisis hasil observasi mahasiswa, merumuskan tujuan

menyanyi atau paduan suara, melainkan juga belajar memainkan instrumen organ atau orgel pipa, yang juga dibimbing oleh Romo Soetanto dan dibantu oleh senior- senior. Hal

Pada kasus risiko in+eksi Staphylococcus #pemasangan kateter 1askular&' obat anti sta+ilokokus yaitu 1ankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.

Orang probandus dibaringkan dengan posisi horizontal, kemudian disiapkan termometer yang dibersihkan dengan alkohol, air raksa diturunkan dengan merendam termometer dalam

Khususnya Tante Nies Endang, Om Vid, dan Mas Indra, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada Adit dan Mama selama ini.. Khususnya atas laptop