• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Dahrendorf mengenai konflik

BAB VI Teori Konflik

2. Pandangan Dahrendorf mengenai konflik

Pada dasarnya teori konflik mirip dengan teori fungsionalis strukturalis yang melihat mengenai struktur-struktur masyarakat yang ada. Namun terdapat perbedaan yang mendasar dari kedua

teori ini. Kaum fungsionalis cenderung melihat masyarakat sebagai eleman yang statis dalam keseimbangan yang bergerak sedangkan Dahrendorf melihat masyarakat tunduk terhadap perubahan yang bersifat dinamis. Di sisi lain kaum fungsionalis sangat menekankan mengenai ketertiban di masyarakat sedangkan teori konflik melihat terdapat pertikaian atau konflik terdapat dalam setiap sistem sosial. Selain itu fungsionalis melihat bahwa setiap unsur didalam masyarakat berperan dalam stabilitas yang berkebalikan dengan teori konflik yang memiliki pandangan bahwa masyarakat penyumbang disintegrasi dan perubahan. Perbedaan lainnya adalah kaum fungsionalis beranggapan bahwa masyarakat diikat oleh nilai moralitas bersama dan terdapat kohesi yang tercipta dari sistem nilai yang dianut bersama itu. Adapun konflik melihat bahwa ketertiban yang berada di dalam masyarakat merupakan pemaksaan sejumlah anggota masyarakat oleh anggota masyarakat lain yang berada di puncak sehingga teori koflik menekankan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di dalam masyarakat.

Dahrendorf menyadari bahwa kepentingan selalu melekat pada segala aktifitas manusia baik secara individu maupun secara kelompok. Konflik akan terjadi dimana kepentingan kepentingan tersebut saling bertabrakan. Dahrendorf menekankan bahwa didalam masyarakat terdapat dua wajah yaitu konflik dan konsensus, sehingga teori sosiologi harus memecahkan melalui kedua perkara ini yaitu konflik dan konsensus. Melalui sudut pandang konsensus, peneliti dituntut mencari nilai integritas yang berada di dalam masyarakat sedangkan teori konflik harus mengkaji adanya konflik-konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga integrasi yang terjadi didalam masyarakat dalam rangka menghadapi tekanan-tekanan itu.

Didalam struktur sosial, Dahrendorf melihat masyarakat dipersatukan dengan adanya pembatasan yang dipaksakan

oleh beberapa anggota masyarakat. Melalui hal ini terlihat bahwa beberapa posisi di masyarakat merupakan kekuasaan dan memiliki otoritas yang didelegasikan kepada orang lain, sehingga Dahrendorf memiliki asumsi bahwa distribusi otoritas yang berbeda-beda selalu menjadi faktor penentu konflik-konflik sosial sistemik.

Berbicara mengenai otoritas Dahrendorf tidak berbicara mengenai individu sebagai sosok tunggal namun ia lebih menekankan pada posisi sosial yang ada di suatu masyarakat. Oleh sebab itu, didalam analisis sebuah konflik perlu mengenali lebih jauh peran-peran yang dimainkan oleh otoritas sebuah posisi di dalam struktur sosial masyarakat. Adanya otoritas yang melekat dalam posisi sosial tersebutlah yang dianggap penting oleh Dahrendorf untuk dianalisis lebih jauh.

Otoritas yang melekat pada posisi tertentu didalam masyarakat, diharapkan akan mengendalikan para subordinat yang memiliki pengharapan-pengharapan. Selanjutnya struktur masyarakat akan tunduk pada pengendalian-pengendalian tersebut dan juga lingkungan pengendaliannya yang diizinkan dan dirinci didalam struktur sosial masyarakat. Sehingga akan didapatkan sebuah otoritas yang sah dalam posisi tertentu dimana sangsi-sangsi dapat dibebankan pada anggota masyarakat yang tidak patuh terhadap otoritas yang ada.

Walaupun demikian didalam struktur masyarakat Dahrendorf melihat terdapat sejumlah unit-unit masyarakat yang diistilahkan dengan asosiasi-asosiasi. Dan sering kali otoritas didalam sebuah kelompok masyarakat bersifat dikotomis oleh sebab itu dimungkinkan terdapat dua kelompok didalam asosiasi yang memiliki kepentingan-kepentingan dan akan saling mempertahankan kepentingan tersebut.

Didalam setiap asosiasi orang-orang yang berada di dalam posisi yang dominan akan terus berusaha mempertahankan

status quonya, adapun orang-orang yang berada dalam kondisi subordinat akan berusaha untuk melakukan perubahan- perubahan didalam struktur masyarakat tersebut. Hal ini a kan menimbulkan konflik-konflik yang terjadi secara terus menerus didalam suatu asosiasi sehingga otoritas selalu terancam. Hal ini tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentingan yang melekat didalam setiap kelompok yang terdapat dalam asosiasi tersebut. Kepentingan-kepentingan tersebut seperti yang telah diuraikan diatas merupakan kepentingan yang melekat pada posisi di dalam struktur masyarakat dan bukan kepentingan secara individu. Sehingga disini Dahrendorf membagi kepentingan tersebut kedalam dua kelompok yaitu kepentingan laten dan kepentingan nyata. Kepentingan laten merupakan kepentingan akan peran atau posisi di dalam struktur masyarakat yang tidak disadari adapun kepentingan-kepentingan nyata adalah kepentingan laten yang telah disadari. Teori konflik dituntut untuk melihat hubungan diantara kepentingan-kepentingan laten dan kepentingan-kepentingan nyata.

Terdapat tiga kelompok yang saling berinteraksi dalam membangun konflik dan perubahan, yaitu :

1. Kelompok Kuasi : kelompok kuasi merupakan

kelompok pemangku posisi dengan kepentingan- kepentingan peran yang identik.

2. Kelompok Kepentingan : kelompok yang berasal

dari kelompok kuasi yang didalam istilah sosiologi disebutkan kelompok ini merupakan agen nyata konflik kelompok dimana kelompok ini memiliki struktur, bentuk organisasi, suatu program atau tujuan dan suatu personalia anggota.

3. Kelompok Konflik : kelompok ini merupakan

Dahrendorf berpendapat bahwa didalam suatu tatanan sosial yang ada kelompok yang dominan memiliki kecenderungan untuk terus mempertahankan status quo, sedangkan kelompok lainnya yang bersebrangan, kelompok yang berada dalam subordinat akan selalu mencoba untuk melakukan perubahan (Ritzer dan Goodman 2008 : 156).

Adanya konflik yang terjadi di dalam kelompok masyarakat erat kaitannya dengan perubahan-perubahan sosial. Dahrendorf memiliki pendapat bahwa kelompok-kelompok konflik erat kaitannya dengan perubahan dikarenakan sekali konflik muncul, mereka akan terlibat didalam tindakan-tindakan yang menyebabkan perubahan struktur sosial.

Walaupun mengembangkan teori konflik Dahrendorf menyadari bahwa didalam masyarakat terdapat konflik dan konsensus. Dalam hal ini ia menyadari setiap elemen masyarakat bertumpu pada konsensus yang ada didalam sistem sosial tersebut. Ia berpendapat bahwa konsensus dan konflik selalu berkaitan dikarenakan tanpa konflik tidak akan terbentuk suatu konsensus dan tanpa konsensus yang disepakati tidak akan terbentuk suatu konflik. Adanya distribusi otoritaslah yang selanjutnya menentukan konflik yang sistematis. Dalam kelanjutannya teori konflik memiliki peran untuk menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat. Sedangkan teori konsesus dituntut untuk nilai integrasi yang terjadi didalam masyarakat.

Dokumen terkait