• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

A. Profil Pengadilan Agama Ambarawa 1. Letak Geografis

2. Pandangan Hukum tentang hak-hak isteri pasca cerai gugat karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

a. Pendapat umum Sisva Yetti seorang Hakim Tinggi dari Pengadilan Tinggi Agama Bandung bahwa “ nafkah iddah dan nafkah mut‟ah seharusnya bisa diterima penggugat (isteri) dikarenakan cerai gugat karena KDRT, namun disenting opinion jarang sekali terjadi dalam putusan pengadilan tingkat Judex pactie (tingkat pertama dan banding ), lain halnya di pengadilan tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK). Majelis Hakim judex pactie sering kali berusaha semaksimal mungkin untuk menyamakan persepsi dalam memutus perkara, kalau hakim agung mengajukan disenting opinion sangat mungkin karena hakim agungnya memiliki landasan hukum yang berbeda dengan hakim judex pactie.(wawancara seleksi Calon Hakim Agung di Komisi Yudisial 23/6/2016).

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sebagai rujukan hukum yang paling dominan, mengingat asal muasal terjadinya cerai gugat karena suami (tergugat) sering melakukan tindak KDRT terhadap (Penggugat). Disisi lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT bisa mengikat secara hukum berupa sangsi pemenjaraan dan denda, karena dengan perbuatannyamelakukan

79

kekerasan terhadap isterinya (penggugat) menjadikan isterinya trauma dan takut. Dampak yang ditimbulkan oleh situasi rumah tangga yang sering terjadi pertengkaranmaka atas inisiatif sendiri isteri melakukan cerai gugat. Namun yang sangat disayangkan perbuatan kekerasan tersebut kenapa oleh isteri tidak dilaporkan ke kepolisian, penulis mendapat jawaban

“ seburuk-buruk perbuatannya kepada saya selaku isterinya, namun tergugat tetap saja ayah dari anak-anaknya, saya enggak mau dia masuk penjara” c. Bentuk pertimbangan lainnya bagi para Hakim Pengadilan Agama

untuk memutus perkara perceraian baik itu cerai talaq atau cerai gugat terdapat didalam asas umum peradilan agama yaitu tentang asas legalitas dan persamaan (equality) yang diatur dalam pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan tahap kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi “ Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda bedakan orang ( Rule Of Law) artinya berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berlandaskan hukum tidak bertindak diluar hukum sedangkan asas persamaan (equality) adalah persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan, mendapat akses dan perlindungan serta perlakuan yang sama dimuka hukum.

80

d. Menurut TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 dalam Bab IV disebutkan arah kebijaksanaan hukum diantaranya mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum, menata sistim hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidak adilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan refomasi melalui program legislasi.(Alvi Syahrin:2009:12)

e. Instruksi dari Mahkamah Agung R.I untuk jajaran Hakim dibawahnya agar setiap putusan menyangkut Cerai Gugat dengan alasan KDRT khususnya para hakim dapat menetapkan nafkah iddahnya . Hal yang sama ditegaskan oleh Direktur Jenderal Badilak Mahkamah Agung RI ada dalam buku II pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan Agama yang salah satu kutipan buku tersebut menjelaskan “ Cerai Gugat dengan alasan adanya Kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah”.

Terakhir dari pendapat umum disini seyogyanya renungan bagi para hakim Pengadilan Agama adalah ketika seorang isteri mengajukan gugat cerai kepada suaminya, maka sudah barang tentu pihak isteri mempunyai alasan yang kuat dan sudah merasa tidak diperlakukan

81

layaknya seorang isteri, isteri sudah tidak bisa lagi menahan tekanan fisik dan psikis karena ulah suami yang notabene kuat dan isteri pihak yang lemah, sehingga dengan kekuatannya itu apabila terjadi perselisihan atau cekcok didalam rumah tangga. Jelas yang menjadi korban adalah pihak isteri dan anak-anaknya. Langkah selanjutnya harus kemana isteri mengadukan keluh kesahnya agar setelah berpisah dengan suaminya, bisa menghidupi dan mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya menjadi orang yang berguna dikemudian hari

82

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bab ini berisi kesimpulan atas temuan pada kasus cerai gugat yang menjadi bahan penelitian untuk pembuatan skripsi, dari uraian Bab I sampai dengan pembahasan masalah pada Bab IV maka dapat diambil kesimpulanyaitu sebagai berikut :

1. Bahwa faktor penyebab seorang isteri melakukan cerai gugat kepada suaminya tidak lain karena adanya tindak kekerasan didalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap isterinya,sebagaimana perkara cerai gugat Nomor : 0883/Pdt.G/2017/PA.Amb yang dimohonkan penggugat (Nunik) kepada Pengadilan Agama Ambarawa terhadap suaminya selaku tergugat ( Cucuktomo) .Modus yang melatar belakangi terjadinya kekerasan dikarenakan sering terjadi cekcok mulut hanya karena isteri meminta uang tambahan belanja dan jajan anak-anaknya. Tidak terima sering di tegur isterinya ,maka perlakuan kasar seperti memukul dan menendang merupakan hal yang sering diterima isterinya, dari kedua faktor itulah yaitu (1) penelantaran ekonomi ( lalai dalam memberikan nafkah ) (2) faktor penyebab yang paling dominan yaitufaktor kekerasan sehingga isteri sakit hati dan menderita lahir batin baik fisik maupun psikis . Mediasi baik oleh kalangan keluarga sendiri mapun dari Pengadilan tidak menyurutkan langkah Nunik untuk

83

memohon kepada Pengadilan Agama Ambarawa menggugat cerai suaminya secara hukum.

2. Setelah dilakukannya persidangan sebanyak 3 (tiga) kali persidangan, dan upaya hakim menghadirkan tergugat tidak membuahkan hasil sehingga uapaya mediasi tidak terlaksana, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa melalui berbagai pertimbangan memutus perkara Nomor 0883/Pdt.G/2017/PA.Amb mengabulkan gugatan penggugat dengan Verstek, dan menjatuhkan talak satu ba‟in sughro tergugat kepada penggugat serta membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 361.000 (tiga ratus enam puluh satu ribu rupiah). dalam amar putusan ini tidak dicantumkannya tentang hadonah /hak pemeliharaan anak dan juga hak-hak lainnya, Hakim belum berani memutus nafkah iddah dan nafkah mut‟ah dalam perkara cerai gugat, karena belum ada aturan atau yurisprudensinya, Nafkah Iddah dan nafkah Mut‟ah hanya diperuntukan pada kasus perceraian suami dan isteri yang beragama Islam di Pengadilan Agama karena “talaq” .

B. SARAN.

1. Tingginya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia, baik perceraian karena talaq ataupun perceraian karena cerai gugat isteri karena KDRT menunjukan angka yang fluktuatif , untuk menurunkan angka perceraian karena cerai gugat isteri ini perlu kiranya sosialisasi yang lebih menjamah ketengah-tengah masyarakat yaitu sosialisasi Undang-Undang

84

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tujuannya tidak lain agar masyarakat terutama kaum laki-laki memahami tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT berikut sangsinya apabila melakukan perbuatan kekerasan dimaksud;

2. Kepada Yang Terhormat Dirjen Badilak Mahkamah Agung Republik Indoensia , Agar hendaknya pelaksanaan peradilan di seluruh Pengadilan Agama, dalam memutus perkara cerai gugat karena implikasi akibat kekerasan dalam rumah tangga hendaknya menginstruksikan kembali kepada para Hakim Pengadilan Agama agar mempedomani Buku Petunjuk II pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan Agama yang salah satu kutipan buku tersebut menjelaskan “ Cerai Gugat dengan alasan adanya Kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex

Dokumen terkait