• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Islam Terhadap Seks Bebas ( Zina )

Jika membaca sub judul ini, sepintas penulis bayangkan antara kata seks yang dikaitkan dengan ajaran islam, yang pertama-tama muncul dalam benak adalah pertanyaan bagaimana pengertian seks menurut islam. Maka menjawab pertanyaan tersebut penulis uraikan sebagai berikut:

Islam merupakan jalan hidup total dan nilai ajaran islam yang terkandung di dalam al-Quran dan hadis yang bersifat universal. Masing-masing baginya perlu

dipahami secara utuh. Para ulama islam, baik yang dahulu (mutaqqadimin)

maupun yang sekarang, banyak menulis masalah ini. Ibnu al-Qayyim dalam

bukunya ath thibb an Nabawy (pengobatan cara Nabi saw), menyajikan satu bab

penuh yang membahas tentang sikap islam menyangkut kehidupan seksual dan perkawinan, interaksi antara suami dan isteri, pembolehan-pembolehan dan

laranganan-larangan berkenaan dengan hubungan seksual diantara suami istri.7

Sementara Muhamad Qutub dalam bukunya Islam The Missundertood

Religion yang versi Indonesianya menjadi Islam Agama yang Disalahpahami,

membahas subjek diatas dalam dua bab, yaitu : satu bab mengenai islam dan wanita, dan satu bab lagi mengenai islam dan tekanan seksual. Disamping itu dengan menelaah Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw, dapat ditemukan beberapa ayat dan teks hadis yang menjelaskan tentang penciptaan kehidupan manusia, kebersihan dan kesucian, interaksi antara suami dan istri. Dalam penjelasaan ayat-ayat dan hadis-hadis ini, isu pun muncul, pertanyaan-pertanyaan diajukan, dan kedua jenis kelamin terlibat secara bersama-sama ataupun secara terpisah.

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan :

7

seks bukanlah sarana untuk bersenang-senang belaka. Dalam islam, seks tidak pernah dibahas secara amoral, melainkan kesusilaan dan kesopananselalu mewarnai topik pembahasan.

2. Dalam islam, seks tidak pernah dibahas khusus untuk kesenangan belaka. Seks

selalu berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan kehidupan keluarga. Seks dipandang sebagai hubungan yang luar biasa yang tunduk pada aturan-aturan yang ketat. Dengan demikian seks dalam hubungan perkawinan merupakan ibadah yang mendapatkan pahala. Diluar hubungan perkawinan seks merupakan dosa yang dikenai hukuman.

3. Seks merupakan hubungan yang rahasia dan tidak boleh diketahui oleh pihak lain.

4. Seperti ajaran islam lainnya, pengetahuan seputar ayat-ayat dan hadis-hadis tentang

seks tidak ada spesifikasinya menyangkut usia dan tidak dimaksud untuk memulainya (memulai pelajaran) pada usia tertentu.

Berdasarkan informasi diatas, maka pengertian seks dalam islam tidak bisa dipahami melalui pengertian sek dalam arti yang sempit. Sebab islam telah menetapkan bahwa hubungan manusia tidak akan terlepas dari hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda jenisnya. Islam memandangnya sebagai fitrah dan

hukum alam (sunnatullah) yang berfungsi sebagai media dan sarana untuk

melestarikan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.8

Islam memandang bentuk penyimpangan-penyimpangan seksual, tidak berhenti hanya pada penilaian dan memeberikan predikat baru saja, melainkan diimbangi dengan teori-teori dan konsep penyaluran dorongan seks yang suci tersebut. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventip islam dalam menjaga dan

8

fitrah. Adapun bentuk upaya kuratif , islam telah menentukan aturan dan hukum tertentu untuk mengatasi penyimpangan seksual ini, setidaknya tidak sampai

mewabah menjadi bentuk penyakit yang menyerang tatanan sosial masyarakat.9

Sikap-sikap preventif dan kuratif islam dapat ditemukan melalui penjabaran-penjabaran dan ijtihad para puqaha yang terkodefikasi dalam kitab fiqih tentang

thaharah (hukum dan cara bersuci), munakhahat (hukum-hukum dan cara

pernikahan) dan hudud (denda dan hukuman) bagi pelaku penyimpangan aturan

islam, termasuk pelaku penyimpangan seksual, yang istimewa dari pandangan islam terhadap aktivitas seksual adalah bahwa akivitas yang terkait erat dengan seks, selalu dihubungkan dengan ibadah karena sejak awal islam selalau memandang seksual sebagai sesuatu yang suci, dan merupakan sunnattullah guna melestarikan

tugas manusia dimuks bumi, yaitu sebagai khilafah.

Namun demikian. Islam juga memandang penyimpangan seksual yang selalu menimbulkan problem baik secara individu maupun secara sosial adalah merupakan kecenderungan manusia akibat kuatnya dorongan seksual tersebut. Terutama bila dibarengi dengan ketidak fahaman atau ketidak tahuan hakikat seks dan fungsi yang sebenarnya dalam kehidupan. Apalagi jika dorongan tersebut menyerang remaja yang dipandang islam sebagai fase potensial dalam proses pematangan seks.

Oleh karena itu, sebuah hadis yang sering dikutip oleh para ahli diberbagai bidang, kaitannya dengan maslah solusi terbaik untuk menyelaraskan dorongan seks yang kuat dengan aturan islam adalah hadis-hadis tentang pernikahan.

9

suci yang dititipkan kepada manusia sebagai pontensi utama untuk menciptakan keturunan guna melaksanakan tugas penghambaan dan pemakmuran kehidupan , shingga penyaluran pun harus dengan cara yang suci pula. Guna kepentingan tersebut, Islam menawarkan solusi pernikahan sebagai lembaga yang legal dan suci aktivitas seks menurut islam tidak terlepas dari ibadah, sehingga bila sesuai dengan

aturan akan mendapatkan pahala, dan bila tidak akan menjadi dosa.10

Setelah panjang lebar diuraikan tentang pandangan islam terhadap masalah seks bagi remaja, maka dapat digambarkan bahwa islam menaruh perhatian terhadap masalah ini terutama berkaitan dengan masa remaja yang dipandang islam sebagai

masa persiapan pembebanan (taklif) dalam kehidupannya sebagai manusia dewasa

yang harus bertanggung jawab secara individu dan sosial terhadap Allah SWT. Oleh karena itu islam memberikan kaidah-kaidah yang harus diperhatikan demi kelangsungan kehidupan , khususnya kehidupan seksual manusia di muka bumi ini,

agar sesuai dengan pembuat syariat, kaidah-kaidah tersebut ialah.11

1) Pendidikan Seks Dan Fiqih Pada Anak

Sejak mulai dapat berpikir dan membedakan mana yang baik dan buruk (

mumayyiz) anak perlu diberi tahu pengetahuan – pengetahuan tentang seks yang sesuai dengan usianya dan diajari hukum – hukum fiqih sedikit demi sedikit,

terutama etika seks yang dibutuhkannya, seperti dilatih bagaimana cara istinja,

istibra, pentingnya memalingkan wajah dari kiblat ketika buang hajat, bagaimana mensucikan pakaian dari najis, dan mencuci darah atau noda dari pakaiannya

ketika hendak melakukan shalat.12

10

Yusuf Madani, Seks Education for children, h. 54

11

Yusuf Qardawi, Halal Dan Haram, h.105

12

hukum ini dan membiasakannya dalam kegiatan sehari-hari dan mengamati

sejauh mana keberhasilan anak yang mumayyiz dalam mengaplikasikannya.

Bukan hanya bagaimana anak menyimpan pengetahuan – pengetahuan fiqih ini dalam otaknya, melainkan juga bagaimana berinteraksi atasnya dengan kesadaran sendiri dan selalu mengaplikasikannya secara sukarela. Sehingga kemampuannya dalam usaha-usaha ini lemah, maka pembiasaan yang terus menerus merupakan jaminan untuk peningkatan kemampuannya.

Anak biasanya bertanya beberapa tentang pengetahuan seks dan fiqih, dan pendidikan khususnya orang tua harus segera negajarinya dan melatihnya secara praktis bagaimna melakukan kegiatan-kegiatan ini. Terkadang anak bertanya kepada ibunya, msalnya tentang apa sebabnya ibu melarangnya menghadap kiblat ketika beristinja (buang hajat), disini hal tersebut harus dijelaskan kepada anak

baik teori maupun praktiknya.13

2) Meminta Izin ( Isti’dzan )

Syariat islam menekankan etika meminta izin sejak usia kanak-kanak, mengingat hal tersebut merupakan kaidah awal atau pondasi dari kaidah kesopanan. Telah tiba saatnya kaidah–kaidah itu kembali kerumah-rumah kaum muslimin setelah menghilang dalam waktu yang lama.

Islam menunjukan dua fase dalam aplikasinya sebagai pengalaman prinsip gradual dalam pendidikn seks bagi anak. Fase pertama ,islam mentoleransi anak

yang belum baligh. Terutama yang muayyiz memasuki kamar orang lain, terutama

kamar kedua orang tuanya, kecuali pada tiga waktu yaitu : sebelum shalat subuh , ketika melepas lelah pada siang hari, dan setelah shalat isya. Tiga waktu ini

13

dibenearkan memasuki kamar orang lain pada tiga waktu tersebut.14

Etika ini masih merupakan hubungan alamiah diantara org tua dan anak yang belum baligh. Namun, keadaan ini berubah ketika anak memasuki usia baligh, taklif syariat, dan keharusan melakukan perintah-perintah dan larangan Allah

SWT. Ketika itu prinsip isti’dzan (meminta izin) memasuki prinsip yang lain.

Orang yang sudah baligh tidak mungkin memasuki kamar orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu pada setiap waktu. Hal ini untuk melindungi kemuliaan rumah dan memelihara jalinan ikatan keluarga. Bahkan, prinsip ini dipersiapkan sebelum anak berusia baligh dan setelah anak diajarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan memandang aurat ,hubungan seksual, dan keadaan orang lain. Allah SWT berfirman.

Inilah yang dikhusukan pada fase pertama ,yaitu meminta izin dalam tiga waktu . adapun yang dikhususkan pada fase kedua , adalah setelah anak berusia

baligh dan permulaan taklif. Hikmah isti’dzan jelas sekali bagi masyarakat .

tanpaadanya isti’dzan aurat-aurat dapat terlihat dengan jelas dan dapat

berpengaruh pada perkembangan psikologis anak yang mumayyiz. Terkadang

pandangan – pandangan yang membangkitkan gairah seks itu akan melekat pada otak anak sampai ia berusia baligh, ketika itu pandangan – pandangan itu menjadi bahaya baginya, dapat membawa prilaku anak pada perbuatan maksiat (lembah dosa). Gambaran ibunya , misalnya tidak akan mudah terhapus dari pikirannya, ketika melihat ibunya berada dipangkuan ayahnya,lalu sang ayah menciumnya,

mencumbu dan menggaulinya.15

14

Yusuf Madani, Al-Tarbiyah al-Athfal wa al-Balighin, (Jakarta: Rieneka Cipta,2004), h. 51.

15

Masalah ini meliputi dua butir penting yaitu menutup aurat bagi kedua orang tua bagi anak mereka, khususnya ibu, dan jenis pakain serta pengaruhnya terhadap perkembangan psikologis anak. Berkaitan dengan masalh pertama , dapat

dikatakan bahwa anak yang telah mencapai usia baligh dan mukallaf (telah terkan

beban syari’at) wajib menutup aurat dari pandangan anak yang telah mumayyiz

atau menyentuhnya dengan dorongan syahwat. Hal ini karena anak yang

mumayyiz dapat mengingat dengan baik apa yang dilihatnya. Para fuqaha menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat mereka

dari pandangan orang lain yang sudah baligh dan dari anak yang mumayyiz yang

belim baligh, yaitu anak yang berada pada tingkat kecerdasan dan kesadaran tertentu. Ia dapat memikirkan sesuatu hal tanpa batasan usia.

Namun, seorang yang sudah baligh boleh memandang bahkan menyentuh setiap bagian tubuh orang yang belum baligh, walupun ia seorang yang sudah

mumayyiz asalkan tanpa dorongan syahwat, baik anak yang berjenis kelamin sama ataupun berbeda, tetapi apabila pandangan atau sentuhan ini akan

menimbulkan fitnah baginya maka ketika itu diharamkan.16

Masalah lain ialah pakaian, mengingat masalah ini merupakan sebuah faktor yang dapat menimbulkan syahwat, maka islam mengarahkan pandangan pada pentingnya menjadikan pakaian sebagai penutup aurat sehingga tidak menimbulkkan fitnah bagi orang yang memandangnya dan membangkitkan hasrat seksualnya. Pakaian haruslah tidak menampakan keindahan tubuh dalam arti pakaian tidak hanya sekedar menutup aurat saja tetapi juga harus yang longgar (tidak ketat) dan transfaran.Pakaian yang longgar lebih sempurna dan baik dari

16

kebersihan dan menjauhkan dari rangsangan-rangsangan seksual.Pakaian sempit yang menekan tubuh secara terus menerus dapat menimbulkan rangsangan-rangsangan syahwat selama masa kematangan seksualnya, seperti kesukaan pada

kebiasaan buruk dan melakukan onani.17