• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran

KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU

B. Pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala Negara

Jika hukum keberadaannya wajib merupakan karakter pemerintahan Islam atau Imamah, maka masalah pertama yang mendapat perhatian para ulama yang membahas ilmu ini untuk diuraiakan adalah masalah wajibnya pemerintahan ini ditegakkan. Eksistensi pemerintahan sangat penting, menegakkannya adalah keharusan atau fardhu bagi masyarakat atau umat dalam komunitasnya. Jika tidak ditegakkan, masyarakat atau umat tersebut telah melakukan suatu kesalahan fatal. Para ulama memberikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil untuk membuktikan dasar kewajiban ini.

Pendapat pertama yang mengatakan wajibnya imamah dan menegakkannya adalah fardhu serta kewajiban umat meralisasikannya adalah

pendapat Ahlus Sunnah dan Murji’ah secara umum, juga pendapat Mu’tazilah kecuali segelintir kecil dari mereka, dan Kwaharij kecuali kelompok an-Najdaat.

Dalil pertama yang berupa Ijma, mereka mengatakan telah terbukti bahwa para sahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw. Langsung berinisatif mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah menurut riwayat yang masyhur. Turut serta dalam pertemuan itu para pembesar Anshar dan Muhajirin. Mereka mereka meninggalkan perkara-perkara yang paling penting menurut mereka, di antaranya mempersiapkan makam Rasul dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau. Mereka, sekalipun berbeda pendapat mengenai pribadi orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau mengenai sifat-sifat dan karakter yang semestinya dimiliki oleh orang yang terpilih, sepakat

20

(ijma) dalam hal wajibnya ada imam atau pemimpin.

Ibnu Khaldun mengatakan dalam masalah ini, “kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para sahabat dan tabi’in karena para sahabat Rasulullah saw, ketika beliau wafat, segera membaiat Abu Bakar r.a dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu, manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa.

Sebagaimana diperkuat dalam ayat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang artinya sebagai berikut. “wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan para pemimpin diantara kalian”.

Allah telah mewajibkan kita untuk menaati ulil amri dan mereka adalah para imam yang menjadi pemerintah kita. Ibnu Hisyam bin Arwah meriwayatkan dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw, bersabda, “kalian akan dipimpin setelahku oleh wali-wali (orang-orang yang diangkat jadi pemimpin), maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikanny, dan yang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah mereka dan taatilah segala hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, kalian mendapat pahala dan mereka juga. Jika mereka berlaku jahat, kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.”

21 A. SEJARAH PEMILU DI INDONESIA

Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955, atau sepuluh tahun setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemilu 1955 diselenggarakan di bawah sistem demokrasi parlamanter dengan payung utamanya Undang-undang Dasar Seementara (UUDS) tahun 1950, konstitusi dasar pengganti UUD 1945, yang sangat mengedepankan hak-hak sipil dan demokrasi pengelolaan kekuasaan negara. Pasal 34 UUDS 1950 itu

menyatakan “tiada suatu ketentuan dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengen pengertian, sehingga penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak daripadanya untuk mengusahakan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan berupa apapun yang bermaksud menghapsukan hak-hak atas kebebasan yang

diterangkan di dalamnya”. Dan kemudian dalam pasal 35 UUDS 1950

ditegaskan kaitan antara kemauan rakyat dengan pemilu, yang berbunyi,

“kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan, kemauan itu dinyatakan dalam pmilihan berkala dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang

rahasia atau menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkannya”.1

Ketika perang kemerdekaan berakhir pada tahun 1949, wakil presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X/1949 yang

1

. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum,Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999.

22

bertujuan meliberalisasikan sistem politik. UUDS 1950 pun menggantikan UUD 1945 yang berlaku sebelumnya. Berbeda dari UUD 1945 yang menekankan sistem presidensiil yang kuat, konstitusi baru ini menetapakan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun, sistem baru itu kemudian dianggap gagal, karena kabinet terus menerus dalam situasi yang tidak stabil. Kabinet yang paling kuat secara politisi hanya mampu bertahan selama dua tahun. Legitimasi sistem konstitusional juga terancam oleh sejumlah gerakan pemberontakan.

Pemilu untuk memilih para anggota majelis konstitusioanl (konstituante) dianggap sebagai jawaban bagi instabilitas politik. Akhirnya, UU pemilu 1953 memberi jawaban pertama ke arah penyelenggaraan pemilu legislatif yang perwakilan proporsional dalam konstituensi beranggota banyak. Meskipun proses pemilunya berlangsung adil dan demokratis, hasilnya mengecewakan mereka yang berharap bahwa pemilu akan meningkatkan stabilitas demokrasi parlamenter.2

Tidak satu pun partai peserta pemilu yang mampu meraih lebih dari seperempat jumlah suara yang sah. Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih suara tertinggi dengan 22,3 persen, disusul oleh partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan 20,9 persen, partai Nahdatul Ulama (NU) dengan 18,4 persen dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 19 persen.

2

. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns,Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Pensil-324), hal. 102.

Meskipun pemilu 1955, yang disusul oleh pemilu sela 1957, umumnya dianggap berlangsung secara demokratis, tetapi tidak berhasil mengatasi krisis politik yang telah kronis. Pertarungan berbagai kubu ideologi, pertentangan antara parlamen dan kabinet, serta konflik antar kelompok masyarakat, telah menciptakan situasi politik yang sangat tidak stabil. Jadi, pemilu dianggap tidak menyelesaikan masalah instabilitas politik yang berlangsung bertahun-tahun di bawah sistem demokrasi parlamenter (liberal) sebelumnya.

Menjelang tahun 1967, Mayjen Soeharto telah melucuti kekuasaan

Presiden Soekarno. Sebuah rejim otoriter baru yang disbeut “Orde Baru”

dibentuk. Soeharto terpilih sebagai pejabat Presiden RI oleh parlamen. Dengan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, yang memuji Soeharto karena keberhasilnnya dalam menumpas PKI, orde baru mulai mempersiapkan pemilunya yang pertama, yang dijadwalkan berlangsung pada tahun 1971.

Tanpa partisipasi dua partai sebelumnya, yaitu Masyumi yang telah dilarang oleh Bung Karno dan PKI yang telah dibubarkan oleh Soeharto, maka pemilu 1971 menjadi alat legitimasi yang efektif bagi rejim Orde Baru. Sepuluh partai politik bertarung dalam pemilu tersebut. Satu di antaranya ialah

Golongan Karya (Golkar). Golkar dibentuk pada awal 1960’an sebagai front

bersama untuk melawan PKI. Golkar merupakan organisasi yang terdiri dari sekumpulan kelompok dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda.

24

Meskipun secara hukum (legal), Golkar bukan partai politik, ia muncul sebagai partai rejim Orde Baru-nya Soeharto.3

Sebagaimana diperkirakan, Golkar menang mutlak dalam pemilihan umum 1971. Partai ini meraih 62,8 persen suara sah dan memenangkan 236 dari 360 kursi di parlamen, jumlah yang cukup untuk mengontrol parlamen (DPR). DPR ini adalah bagian dari MPR, yang anggotanya berjumlah dua kali lipat anggota DPR (720) dan yang setengah dari jumlah ini merupakan hasil pengangkatan.

Dalam rangka mengkonsolidasikan lebih jauh kekuasaannya, Presiden Soeharto memprakarsai sistem kepartaian pada tahun 1974, semua partai dan kelompok politik, kecuali Golkar, dibubarkan dan digantikan oleh dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Meskipun dari segi hukum ketiga partai ini merupakan organisasi politik yang terpisah dan bersifat independen, tetapi sistem

kepartaian sesungguhnya merupakan “sistem hegemonik” karena Golkar

merupakan partai politik yang dominan, dengan kedua partai lainnya sebagai

“partai satelit”

Dibawah kerangka sistem kepartaian yang difabrikasi seperti ini, rejim Orde Baru berhasil menyelenggrakan pemilu secara teratur untuk memilih sebagai anggota DPR. Pemilu-pemilu tersebut diselenggrakan pada tahun

3

. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns,Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Pensil-324), hal. 103.

1977, 1982, 1987, 1992 dan 1998. Namun, tidak satu pun pemilu tersebut yang berlangsung kompetitif atau bebas dan adil, karena seluruh aparatur negara, tentara dan masyarakat dimobilisasikan untuk mendukung rejim Orde Baru dan Golkar.

Mei 1998, presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaan yang dijalankannya sendirian (one man show). Ia digantikan oleh suatu pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, seorang Insinyur yang beralih profesi menjadi politisi. Dengan pengambilan alih kekuasaan maka dilmulailah apa yang disebut sebagai Era Reformasi.

Era reformasi merupakan era kebebasan dan keterbukaan yang secara luas diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk secara bebas menyalurkan aspirasinya, era kebebasan ini menjadi sebuah momentum bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan keinginanya dalam berbagai hal, salah satunya dalam bidang politik hal ini ditandai dengan lahirnya partai-partai politik dalam jumlah besar, sehingga mencapi 181 partai-partai yang resmi terdaftar pada Departemen Kehakiman setelah melalui penyeleksian yang

dilakukan “tim sebelas”4. Diantara 181 partai tersebut hanya 48 partai yang lolos dan layak mengikuti pemilu 1999 termasuk didalamnya terdapat sekitar 20 partai Islam5. Lahirnya banyak partai-partai politik tak terkecuali partai

4

. Azyumardi Azra (pengantar), dalam A.M. Fatwa,Satu Islam Multipartai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas,(Bandung: Mizan Media Utama, 2000), hal. 12.

5

. Sudirman Tebba,Islam Menuju Era Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. Xix.

26

Islam pada era reformasi ini menunjuk sebuah relaksasi politik yang hadir setelah Orde Baru runtuh.

Dari sekian banyak partai politik yang ikut serta dalam percaturan perpolitikan di Indonesia bisa diklasifikasikan kedalam beberapa aliran diantaranya: Nasionalis, Sekuler dan Islamis (partai Islam). Parati politik peserta pemilu 1999 dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok partai Islam tradisionalis yang diwakili kalangan nahdiyin yang ditambah Perti dan al-washiliyah, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdatul Ummah (PNU). Kedua, kelompok partai Islam Modernis, yang kemudian terbagi menjadi dua faksi terpisah: Konservatif dan Liberal. Kelompok Islam Konservatif terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK). Kelompok Modernis liberal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Amanat Nasional (PAN). Himpunan Mahasiswa Islam yang tergabung dalam Golkar, diluar ini adanya juga beberapa yang dianggap sebagai partai gurem seperti Partai Abu Yatama (PAY), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (KAMI), dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI).6

Sementara itu pada pemilihan umum selanjutnya yang dilaskanakan pada 5 April 2004, semakin semarak dan bahkan tanda-tanda akan lahirnya budaya

6

. Idris Thaha,Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), 203-204.

kekerasan semakin kental. Salah satu isu yang ditenggarai akan menorehkan budaya kekerasan adalah adanya pembatasan secara limitatif Parpol peserta Pemilu tahun 2004.

Pola pembatasan secara ketat Parpol peserta 2004 adalah amat unik dalam mekanisme Pemilu di Indonesia. Karena selama ini pola pembatasan Parpol peserta Pemilu tidak seketat pemilu 2004.

Dalam suasana itu, sulit membayangkan bila parpol peserta pemilu tidak dibatasi. Katakanlah Pemilu 2004 akan diikuti oleh ratusan parpol, pastilah akan menyulitkan praktek pengaturan dan pengawasannya dilapangan baik oleh Panwaslu, KPU maupun lembaga-lembaga lainnya.

Kesulitan ini dapat dirasakan misalnya saat kampanye dan pencoblosan, bisa dibayangkan bila kampanye dan pencoblosan diikuti oleh ratusan parpol, ditengah ratusan ribu konsistuen politik yang belum dewasa secara politik, kita dapat bersyukur dari data yang ada, parpol yang mendaftarkan diri ke Depkeh HAM ada 237 Parpol, namun yang berhasil lolos verifikasi hanyalah 50 Parpol. Dari 50 Parpol inilah yang akan diverifikasi oleh KPU pusat.7

Pengawasan pelaksanaan pemilu dilakukan untuk menampung dan menindaklanjuti pengaduan atas pelanggaran dan sengketa. Pengawasan ini dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,

7

. Agust Riewanto,Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilum 2009, (Yogyakarta: El-Sab), hal. 11.

28

Panitia pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.8

Tugas dan wewenang Panwaslu sebagaimana disebutkan dalam pasal 122 ayat (1) yaitu:

a. Mengawasi semua tahapan penyelenggara pemilu

b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu

c. Menyelesaiakan sengketa Pemilu yang timbul

d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

Setelah melakukan pemungutan suara lalu KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu Presiden di Hotel Borubudur, Jakarta pada tanggal 10 bulan April. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara tidak sah 2.405.651 (2,05%)9.

Pemilihan umum 2009 diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah parpol baru, sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat (HANURA)

8

. Lily Zakiyah Munir dan Sudarpo Said,Perempuan, Politik dan Pemilu 2004 Buku Panduan Untuk Pendidikan Mmeilih, (Jakarta: Center for Pesantren and Democracy Studies, 2004), hal. 36-37.

9

Yng dipimpin Oleh Wiranto dan Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, lolos parlamentary threshold dan meraih kursi DPR.

Fenomena yang paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah munculnmya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukan kadernya di Senayan. Fenomena kemenangan partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini telah mendudukannya

sebagai partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar, yang telah lama mendominasi pemilu di Indonesia.

Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai Demokrat adalah salah satu Partai yang pola alirannya samar-samar10. Keberhasilan partai Demokrat dalam dua pemilu tak terpisahkan dari popularitas tokoh Susilo Bambang Yudhoyono.

Kuskridho Ambardi bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai di Indonesia telah lama pudar. Dengan berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem kepartaian yang terkartelisasi. Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai-partai dalam menjaga sumber-sumber rente di

10

30

lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok.