• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hukum Pidana tentang Penyebar Berita Bohong sebagai Tindak Pidana. Tindak Pidana

HASIL PENELITIAN

B. Pandangan Hukum Pidana tentang Penyebar Berita Bohong sebagai Tindak Pidana. Tindak Pidana

Hoax yang biasa kita sebut berita bohong adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu yang biasanya digunakan di media sosial. Hoax juga merupakan sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi pembaca atau pendengar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita mengetahui bahwa berita yang di sampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali.

Penulis berhasil menganalisa dari berbagai sumber yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, Penulis juga menyimpulkan bahwa maksud dari Berita Bohomg (Hoax) adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pelaku penyebar berita bohong untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar untuk mempercayai sesuatu untuk bisa

menjatuhkan lawan yang di tujukan pelaku dengan memberikan opini publik kepada masyarakat.

Penulis juga menemukan bahwa biasanya pelaku penyebar Berita Bohong (Hoax) pelaku lebih banyak menggunakan media sosial atau media yang banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini, pelaku juga tidak segan-segan menyebarkan berita bohong yang jelas-jelas pelaku tahu jika berita tersebut adalah berita yang bisa menimbulkan unsur SARA, bahkan perpecahan. Dengan pemanfaatan media sosial yang berkembang dengan luar biasa. Namun penggunaan media sosial pada masyarakat Indonesia yang cenderung Konsumtif, membuat informasi yang benar dan salah menjadi bercampur aduk.

Tidak hanya melalui media sosial pelaku juga bisa menyebarkan berita bohong tersebut dengan orang terdekatnya, dengan menggunkan bahasa yang seolah-olah membuat masyarakat sangat percaya dengan apa yang di sampaikan oleh pelaku. salah satu contoh pemberitaan Berita Bohong yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya.

Hoax merupakan salah satu perbuatan tindak pidana, dalam hukum positif Indonesia, Undang-Undang yang mengatur tentang pelaku penyebar berita bohong (Hoax), dapat di ketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak

pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

Unsur-unsur tindak pidana memiliki 5 (lima) macam sebagai berikut.

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum objektif.

e. Unsur melawan subyektif.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka bisa di katakan bahwa penyebaran berita bohong (haoax) melanggar pasal 28 ayat 1 dan 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.37

a. Dalam pasal 28 ayat (1) memenuhi unsur :

1) Setiap orang di sini adalah di tunjukkan kepada pelaku penyebar berita bohong (hoax).

2) Kesalahan dengan sengaja, dengan sengaja yang dapat di artikan bentuk kesengajaan dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, terbukti melakukan dalam hal melaksanakan delik yang di ancamkan dalam pasal tersebut.

37 Lailatul Utiya Choirroh. Pemberitaan Hoax Perspektif Hukum Pidana Islam.

Al-jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3, No 2, Desember 2017, h, 339.

3) Melawan hukum : tanpa hak, disini tanpa hak di artikan sebagai melawan hukum yaitu tanpa adanya hak sendiri (zonder elgen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in heet algemen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjectieve recht), bertentangan dengan hukum objektif (tagen het objectieve recht, dalam penyebaran berita bohong atau hoax merupakan tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan hak pribadi.

4) Perbuatan : menyebarkan seseorang karena telah menyebarkan berita tidak sesuai dengan fakta.

5) Objek : berita bohong sama artinya dengan bersifat palsu, artinya sesuatu yang di siarkan itu mengandung hal yang tidak benar. Ada persamaan dengan bersifat menyesatkan, ialah isi apa yang disiarakan mengandung hal tidak sebenarnya dan menyesatkan memberitahukan suatu kabar kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian, karena rumusan unsur menggunakan kata dan artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan, menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru. Apabila berita bohong tersebut tidak

menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka tidak dapat di lakukan pemidanaan.

6) Akibat konstitutif : mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik adalah semua bentuk kerugian, tidak saja kerugian dalam bentuk uang tetapi segala bentuk kerugian misalnya, timbulnya perasaan cemas, malu, kesusahan, hilangnya harapan mendapatkan kesenagan atau keuntungan sebagainya. Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan kerugian konsumen.

b. Unsur tindak pidana dalam ayat (2) 1) Kesalahan dengan sengaja.

2) Melawan hukum.

3) Perbuatan menyebarkan.

4) Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).38

Unsur unsur formal yang membentuk rumusan tindak pidana secara materil dan formal :

38 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebagaimana yang telah di ubah oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

a. Bentuk pertama dirumuskan secara materil.

Tindak pidana ITE pertama dirumuskan secara materil tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul. Perbuatan. menyebarkan berita bohong yang menyesatkan telah menimbulkan akibat adanya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dalam pasal 28 ayat (1), dan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) dalam pasal 28 ayat (2).

Dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain, sengaja artinya si pembuat menghendaki atau setidaknya menyadari timbul akibat kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Si pembuat juga mengerti bahwa apa yang di lakukannya itu tidak di benarkan (sifat melawan hukum subjektif), dan memberi berita yang isinya bohong mengerti dengan demikian akan mengakibatkan membuat orang berpandangan salah atau keliru terhadap berita yang di sebarkan oleh pelaku penyebar berita bohong (Hoax) tersebut.

Sifat melawan hukum dirumuskan dalam frasa “tanpa hak”

bercorak dua objektif dan subjektif. Corak objektif adalah sifat selamnya perbuatan tersebut di letakkan pada kebohongan ynag menyesatkan dari isi berita yang disebarkan, sementara corak subjektif terletak pada kesadaran isi pembuat tentang dicelanya

perbuatan semacam itu di masyarakat yang di formalkan dalam undanf-undang.

b. Bentuk kedua dirumuskan secara formal.

Kesamaan dengan bentuk pertama, ialah mengenai unsur sengaja tanpa hak dan perbuatan menyebarkan. Kalau bentuk pertama secara jelas disyaratkan akibat harus timbul agar tindak pidana menjadi selesai sempurna. Bentuk kedua tidak begitu jelas.

Ketidak jelasan itu bisa menimbulkan perbedaan pendapat.39 Pendapat pertama, merupakan tindak pidana formil, selesainya tindak pidana di letakkan pada selesainya perbuatan, alasan dalam rumusan tidak secara tegas melarang menimbulkan akobat tertentu.

Frasa “ditunjukkan untuk” bisa di artikan bahwa perbuatan menyebarkan informasi di tunjukkan untuk agar timbul rasa kebencian dan sebagainya. Sedangkan rasa kebencian antar agama atau antar golongan dan sebagainya tidak perlu benar-benar telah timbul perbuatan.

Pendapat ini memerlukan pembuktian, bahwa perbuatan menyebarkan di tunjukkan agar timbulnya rasa kebencian dan sebagainya. Dengan cara melogikan wujud perbuatan seperti itu menurut sifat dan keadaannya dapat menimbulkan rasa kebencian antara golongan dan sebgainya, yang semula di sadari dan dikehendaki si pembuat.

39 Lailatul Utiya Choirroh. Pemberitaan Hoax Perspektif Hukum Pidana Islam.

Al-jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3, No 2, Desember 2017

Pendapat kedua, termasuk tindak pidana materil, tindak pidana selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul. Alasannya ada dua pertama, cara merumuskan kedua sama persis dengan cara merumuskan tindak pidana penipuan (pasal 378), atau pemerasan pasal 368 KUHP. Alasan pendapat kedua ialah dalam hubungannya dengan pembuktian. Rasa kebencian merupakan rasa yang tidak senang atau tidak suka. Rasa permusuhan merupakan perasaan orang atau antar kelompok lainnya adalah musuhnya.

Rasa permusuhan lebih tajam lebih besar rasa tidak senangnya karena orang atau kelompok lain adalah hati. Tidak bisa di ketahui dan di buktikan sebelum ada wujud nyata dari tindakan yang menghambarkan rasa ketidak senangan harus ada benar-benar sudah ada wujudnya. Dalam hal pendapat kedua, jika perbuatan telah terwujud sementara akibat tidak timbul maka, kejadian itu termasuk percobaan, sedangkan perbuatannya sudah dapat di pidana.

Tidak hanya melakukan analisa dari berbagai sumber jurnal, artikel dan buku yang membahas tentang penyebaran berita bohong (Hoax). Penulis juga melakukan wawancara kepada masyarakat terdekat dengan yang mana pertanyaannya mengenai “Apakah Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Perubahan dari Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang ITE sudah selayaknya di gunakan bagi pelaku Penyebar berita Bohong.

Dan pertanyaan kedua, sejauh mana batasan Hoax baru bisa di lakukan sebagai tindak Pidana.

Dari hasil wawancara yang telah penulis survey, bahwa masyarakat banyak menganggap UU ITE ini sudah pas di terapkan, akan tetapi UU ITE pada saat ini masih bnyak disalahgunakan seperti menjerumuskan lawan, karena yang tertera dalam UU ITE masih bersifat umum dan multi tafsir begitu menurut “Iqbal Vernanwinata” karena kurangnya literasi masyarakat Indonesia sehingga mindset yang terbentuk adalah “kebenaran berasal dari sumber tunggal” jika mindset masyarakat sudah bisa di lakukan dengan cerdas dalam konsumsi informasi, maka pembuat berita palsu tidak akan berlaku lagi ujarnya.40

Penulis juga melakukan wawancara dengan sumber lainnya bernama Zaki Pratama dengan pertanyaan yang sama sesuai dengan narasumber tadi, beliau juga menjawab bahwa UU ITE ini sudah pas di terapkan di Indonesia karena masih subjektif, jika di tanya sudah pas tentunya belum karena menurut Zaki tindakan penerapan UU ITE masih tidak sesuai, tidak ada kriteria spesifik dalam pelaku penyebaran Hoax.

Dalam perspektif islam, menyebarkan hoax termasuk perbuatan ghibah menceritakan tentang seseorang yang tidak berada di tempat dengan sesuatu yang tidak disukainya, baik menyebutkan aib badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, urusan agamanya, dan urusan

40 Hasil wawancara dengan pemuda masyarakat sekitar Kota Padang-Panjang pada 23 Mei 2021, pukul 08.40 Wib.

dunianya. Ghibah di artikan dengan menyatakan tentang seuatu yang terdapat pada diri seorang muslim di saat dia tidak berada di tempat, dan apa yang di sebutkan memang ada pada orang tersebut tetapi dia tidak suka hal tersebut di nyatakan. Adapaun yang di sebutkan tidak ada padanya, berarti telah menfitnahnya.41

Dalam perspektif islam penulis melihat ada perbedaan pendapat dari kalangan para ulama, seperti ghibah, fitnah, adu domba, dan sebagainya, penulis menyimpulkan apapun berita yang tidak ada kejelasan sumbernya, kapan terjadinya, hanya mengada-ada yang di sampaikan pelaku penyebar berita hoax, agar menjatuhkan pihak tertentu.

Maka dapat dikatakan perbuatan tersebut adalah perbuatan yang merugikan dan harus di beri hukuman atas perbuatannya, jika pelaku menyebarkan berita bohong, bisa dipastikan akan terjadinya kekacauan, fitnah dimana-mana, bahkan pelaku tidak segan-segan membuat pihak yang di maksudnya hancur, tanpa memikirkan hukuman yang dijayuhkan kepadanya.

Allah Swt tidak menghendaki umat-Nya melakukan perkataan dusta dan kebohongan, islam tidak mengajurkan fitnah atau berburuk sangka kepada pihak lain. Untuk itulah, islam telah menetapkan sejumlah norma itu pembicaraan yang baik, bukan perkataan yang kotor dan jorok, bukan pembicaraan yang menghasut, menfitnah, menjelekkan, pribadi

41 Lailatul Utiya Choirroh. Pemberitaan Hoax Perspektif Hukum Pidana Islam.

Al-jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3, No 2, Desember 2017, h, 340.

seseorang, dan bukan pula pembicaraan yang pembicaraan yang menjurus kepada timbulnya dampak curiga-mencurigai. Hendaklah apa yang di bicarakan itu perkataan yang obyektif dan benar.

Suatu perbuatan di anggap jarimah apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. 42Dan pelaku penyebar berita bohong (hoax) terdapat dalam kedudukanya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang di perintahkan. Adapun syarat-syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam, yaitu pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi dan pelaku orang yang pantas di mintai pertanggung awaban dan di jatuhi hukuman.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana penyebar hoax atau berita bohong dalam hukum pidana Islam adalah ta’zir. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yan tidak di tentukan oleh Al-Quran dan Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah Swt dan hak Hamba yang berfungsi sebagai pelajaran bagi terhukum dan pencegahannya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.43

Syarat supaya hukuman ta’zir bisa di jatuhkan adalah orang yang berakal saja. Oleh karena itu, sudah jelas pasti pelaku penyebar hoax itu adalah orang yang berakal dan orang mukallaf, hukuman ta’zir bisa di jatuhkan kepada setiap orang yang berakal dan memiliki ancaman

42 Lailatul Utiya Choirroh. Pemberitaan Hoax Perspektif Hukum Pidana Islam.

Al-jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3, No 2, Desember 2017. h. 344

43 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), h, 27

hukuman hudud, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir, balig atau berakal.

Di lihat dari segi pemberitaan hoax, apabila merujuk pada individu maka kejahatannya termasuk kejahatan individu dan mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia apabila pemberitaan hoax berbau dengan SARA suku, agama, ras, dan golongan berarti termasuk kejahatan menyinggung hak Allah karena segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahtan umum.

Penulis sepakat dengan adanya Undang-Undang ITE ini, namun tindakan penerapan Undang-Undang ITE tersebut masih tidak sesuai, masih belum ada kriteria spesifik dalam pelaku penyebaran berita bohong (Hoax), karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku itu berangkat dari tujuan pelaku, hanya sebagai candaan, apa tindakannya, dan misalkan teroganisir apa tindakan pelaku, dan itu tidak ada mempunyai alat yang tepat dalam penindakan ukurannya seperti apa. Seperti ucapan yang tidak menyenagkan yang dilakukan oleh perorangan apakah itu disamakan dengan ujaran kebencian, namun dalam konteks ini berbeda ujaran kebencian membawa publik contoh nya Rasis.

Undang-Undang ITE landasan filosofisnya dibentuk agar orang tidak menjadi pemakan manusia dalam konteks pencemaran nama baik yang bisa menjatuhkan, merendahkan dan berdampak signifikan terhadapnya, tapi dari yang kita lihat makin kesini persoalan ini makin

kompleks saja, dimana kehadiran UU ini masih banyak menimbulkan problematika. Dimana orang saling lapor saling tuding dengan alasan pencemaran nama baik yang bisa menjatuhkan, merendahkan dan berdampak signifikan terhadapnya.

Dilihat secara integral ketika terjadi persoalan ada persoalan psikologis di dalamnya. Dimana pelapor sering terbawa rasa emosional seperti dengan ketidaksukaan adanya kepentingan politik tertentu dan seterusnya.

Penulis mengambil contoh seperti berikut:

a. Si A saya katakan monyet berdasi. Tapi dia tidak menjadikan itu sebagai delik laporan. Karena mungkin seacara psikis dia menganggap itu hanya persoalan biasa tidak perlu dibesar-besarkan.

b. Si B saya katakan tikus kantor atau monyet berdasi juga lalu menjadikannya sebagai delik aduan kadang juga dicari-cari tindak pidananya agar tampak kelihatan lebih besar, secara psikologis kita melihat tentunya ada sebuah rasa ketidaksukaan, bahkan kebencian yang termuat didalamnya.

Jika tidak tentunya dia juga akan berlaku seperti si A diatas.

Penulis khawatir kedepannya ini bisa menjadi otoritas dalam menghambat kebebasan warga negara (dalam sistem Demokrasi) dimana peraturan ini bisa dimanfaatkan menjadi kepentingan pihak tertentu dalam

menjatuhkan pihak lawan politik, atau juga orang yang tidak disukai.

Disisi lain kita cukup sadar bahwa delik aduan itu punya resiko atau konsekuensi dilapor balik oleh terdakwa. Tapi yang Penulis maksud adalah sebuah kebebasan dari setiap warga negara.

Kebebasan itu sejatinya adalah produk dari kesadaran. Ia independen, inheren, imanen dan seterusnya. Dan kebebasan itu sendiri yang menyebabkan adanya eksistensi. Tapi hal ini seakan terkikis jika dihadapkan dengan Undang-Undang ini (bebas dalam keadaan tidak bebas)

Disisi lain kita melihat tidak jarang yang menjadi delik adalah persoalan kritik terhadap sesuatu. Yang mana hal ini dimanipulasi dengan dalih ujaran kebencian, pencemaran nama baik, serta mendiskreditkan orang lain dan pada akhirnya kebebsan bependapat pun seakan dibayangi oleh kecemasan pelaporan.

Dalam ranah faktual, kita kerap melihat didalam peraturan ini memuat hal yang sangat paradoks pelik. Tumpul keatas dan tajam kebawah (sebagaimna dengan UU lainnya) artinya tebang pilih yang lemah akan tidak berdaya dihadapkan hukum dan berpotensi besar untuk dipidanakan. Sedangkan sebaliknya pada mereka yang di sinyalir kuat tampak gagah perkasa dihadapan hukum dan bisa kembali bebas menyampaikan sesuatu atau memanipulasi kebebasan kehendak hatinya.

Bukan imperatif untuk membuat kesimpulan untuk menegasikan Undang-Undang ITE, kita hanya sedang coba merefleksikan kembali tindak implementasi aturan yang sungguh simpang siur. Terkhususnya pada persoalan yang telah penulis jabarkan diatas. Inilah tugas dari aparat penegak hukum agar lebih adil lagi, serta bisa membaca persoalan secara mengakar, jika demikian, tentu bisa diklasifikasikan sesuatu yang mengandung delik atau tidak.

Karena Penulis cukup iba kepada mereka yang tidak melek hukum, dari kesalahan kecil yang tak berdampak besar tapi dengan mudahnya masuk tahanan sel. Bahkan dengan konsekuensi hukuman yang teramat berat. Sudah seperti layaknya seorang koruptor. Padahal kasusnya cukup ringan. Hanya saja peloporannya yang terlalu berlebihan hingga melaporkannya. Jika hal ini terus dipupuk, tentunya kamu, anda mereka, punya potensi pula untuk masuk kedalam sel ditengah kebebasan kita yang terbatas oleh aturan ini, termasuk ketika menggunakan media sosial.

81 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai Penyebaran Berita Bohong (Hoax) sebagai tindak pidana dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Pidana Islam. Dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Berita bohong adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tapi seolah-olah di buat benar adanya. Tujuan Penyebaran Berita Bohong (Hoax) bertujuan untuk membuat opini publik, mengiring opini, membentuk persepsi juga untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media sosial. Tujuan penyebaran berita bohong ada beragam pada umumnya hoax di sebarkan sebagai lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing, agitasi yang bersifat menghasut, politik, propaganda dan lainnya.

2. Penyebar hoax dapat di pidana jika memenuhi unsur-unsur menyiarkan kabar yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti atau menduga bahwa kabar tersebut dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat.

Pengertian dari kabar yang tidak pasti sendiri di jelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan pasal XV Undang-Undang No 1 Tahun 1946 Tentang Pertauran Hukum Pidana.

Penyebaran berita bohong yang di lakukan melalui media internet juga dapat di jerat pidana, hal ini di atur dalam ketentuan pasal 45A Ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik Selanjutnya di sebut UU ITE , UU ITE pada bab VII tentang perbutan yang di larang pasal 28 ayat (2) merumuskan tindak pidana pemberitaan atau penyebaran berita bohong sebagai berikut :

Setiap orang dengan sengaja dan tampa hak menyebarkan informasi yang ditunjukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyrakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golonngan (SARA)

Selanjutnya Bab XI tentang ketentuan pidana pasal 45 ayat 2 UU-ITE menentukan sanksi bagi pelaku sebagai mana berikut :

Setiap orang yang memenuhi unsur sebgaimana di maksud dalam pasal 28 ayat (1) dan (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/

atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Berdasarkan ketentuan diatas, maka penyebar berita hoax dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur menyirakan berita atau pemberitaan bohong, adanya kesengajaan, mengakibatkan, keonaran di kalangan rakyat, kata keonaran dan menyiarkan sendiri di jelaskan lebih lanjut dalam dalam bagian penjelasan pasal XIV Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Keonaran adalah lebih hebat dari pada

kegemparan, kerusuhan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan juga memuat juga keonaran, menyiarkan artinya sama dengan “verspreiden” dalam pasal 171 kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

4. Berita bohong dalam Hukum Pidana Islam. Sebenarnya banyak istilah dalam fiqih yang bisa dipadankan dengan berita bohong (hoax), seperti fitnah, adu domba, dan sebagainya. Tergantung konten berita dan tujuannya. Namun sepanjang penulurusan penulis, istilah yang cukup padan dengan hoax dalah ghibah. Al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah mendefinisikan dengan “cacat atau kekurangan yang di sebarluaskan yang jika si korban mendengar dia tentu merasa tidak nyaman.

5. Telah di jelaskan bahwa segala tindak pidana yang tidak tergolong jarimah hudud/qisas/diat tergolong jarimah ta’zir merupakan jarimah yang pengaturan sepenuhnya di serahkan kepada ulil amri. Ulil amri di beri kewenangan seluas-luasnya, namun tetap dalam koridor syari’ah, untuk menentukan kejahatan apa saja yang sepadan dengan kejahatan tersebut.

Dengan pertimbangan maslahah bagi masyarakat.

Dengan pertimbangan maslahah bagi masyarakat.

Dokumen terkait