• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN

B. Pantun Isi

Pada bagian ini berisi tanya-jawab dalam bentuk berbalas pantun dan sekaligus meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria. Syarat pertama mempelai pria mampu mengalahkan para jawara yang menghadangnya, sedangkan syarat kedua mempelai pria menunjukkan kebolehannya dalam mengaji.

IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK DALAM KUALI KUDU MASAKNYE

NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris kedua terdiri atas empat dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas delapan kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.

I-kan sa-pu-sa-pu ma-ti di-tu-suk Da-lam ku-a-li ku-du ma-sak-nye

Ni- pa-lang pin-tu ka-ga i-zin-in rom-bong-an pa-de ma-suk Se-be-lum a-bang pe-nuh-in per-sya-rat-an-nye

Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan bentuk persyaratan pertama dengan memilih kata “ikan sapu-sapu mati ditusuk, dalam kuali kudu masaknye” sebagai sampiran. Agar persyaratan pertama dapat terlihat dengan jelas, maka penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat ”ikan sapu-sapu mati ditusuk”, “dalam kuali kudu masaknye”, “ni palang pintu kaga izinin rombongan pade masuk”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ikan sapu-sapu mati ditusuk/ dalam kuali kudu masaknye.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat kata “kudu”, “masaknye”, baris ketiga terdapat kata “ni”, “kaga”, “izinin”, “pade”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “persyaratannye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Seperti pantun di bawah ini.

Ikan sapu-sapu/ mati ditusuk Dalam kuali/ kudu masaknye

Ni palang pintu/ kaga izinin rombongan pade masuk Sebelum abang/ penuhin persyaratannye

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /k/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan ketiga. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /k/ dan vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa ketidakpuasaan sehingga menimbulkan suasana kecewa.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan menggambarkan suatu persyaratan berupa adu ilmu bela diri yang harus dipenuhi oleh mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan permintaan penutur pantun kepada mempelai pria.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persyaratan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ikan sapu-sapu mati ditusuk Dalam kuali kudu masaknye

Ni palang pintu kaga izinin rombangan pade masuk Sebelum abang penuhin persyaratannye

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta syarat pertama kepada mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasaan terhadap mempelai pria karena penutur pantun ingin membuktikan keseriusan dari mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bukti keseriusan dari mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak merasa puas terhadap suatu hal karena masih banyak rintangan yang harus dilewati.

KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.

Ke- ta-nah a-bang mem-be-li li-mo Ja-ngan lu-pe sam-bel ke-cap-nye Ka-lo e-mang i-tu yang- a-bang ma-o Se-bu-tin dah- sya-rat-sya-rat-nye

Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan penerimaan syarat dengan memilih kata “ke tanah abang membeli limo, jangan lupe sambel kecapnye” sebagai sampiran. Penutur pantun melukiskan penerimaan syarat dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ke tanah abang membeli limo”, “jangan lupa sambel kecapnye”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ke tanah abang membeli limo/ jangan lupa sambel kecapnye.

Adapun Gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “abang”, “limo”, baris kedua terdapat kata “lupe”, “sambel”, “kecapnye”, baris ketiga terdapat kata “kalo”, “emang”, “abang”, “mao”, dan baris keempat terdapat kata “sebutin”, “dah”, “syaratnye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan ini bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ke tanah abang/ membeli limo Jangan lupe/ sambel kecapnye Kalo/ emang itu yang abang mao Sebutin dah/ syarat-syaratnye

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menerima dan juga terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi vokal /o/ dan bunyi vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang takjub.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan menggambarkan kesanggupan dari mempelai pria untuk memenuhi syarat dari orang tua mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kesanggupan mempelai pria atas penerimaan syarat tersebut. Sedangkan, penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan penerimaan syarat yang diajukan oleh orang tua mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat penutur pantun dalam pantun ini menggambarkan tentang persyaratan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ke tanah abang membeli limo Jangan lupe sambel kecapnye Kalo emang itu yang abang mao Sebutin dah syarat-syaratnye

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menerima persyaratan yang diberikan oleh orang tua dari mempelai wanita untuk menunjukkan bukti keseriusannya meminang anak gadisnya. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak takut penutur pantun dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menerima saat menyanggupi persyaratan dari orang tua mempelai wanita. Penggunaan nada menerima yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selalu berusaha dalam menghadapi halangan dan rintangan agar tercapai segala hasrat dan keinginan.

UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT AYAM JAGO TERTIMPE BATU

PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT

NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris keempat terdiri atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.

U-deh pe-lan-pe-lan ter-sang-kut ka-wat A-yam ja-go ter-tim-pe ba-tu

Pa-sang ke-pe-lan a-bang bi-ar ku-at

Nih- long-ka-in du-lu ja-wa-ra a-ye sa-tu per-sa-tu

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai bentuk tantangan yang harus dilewati oleh mempelai pria. Penutur pantun menggambarkan tantangan tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “udeh pelan-pelan tersangkut kawat”, “ayam jago tertimpe batu”, “pasang kepelan abang biar kuat”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh pelan-pelan tersangkut kawat/ ayam jago tertimpe batu.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat terlihat pada baris pertama terdapat kata “udeh”, baris kedua terdapat kata “tertimpe”, baris ketiga terdapat kata “kepelan”, “abang”, dan baris keempat terdapat kata “longkain”, “jawara”, “aye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan

kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Udeh pelan-pelan/ tersangkut kawat Ayam jago/ tertimpe batu

Pasang kepelan abang/ biar kuat

Nih longkain dulu/ jawara aye satu persatu

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ diakhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan menggambarkan rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan rintangan tersebut. Sedangkan, penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan beratnya rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Udeh pelan-pelan tersangkut kawat Ayam jago tertimpe batu

Pasang kepelan abang biar kuat

Nih longkain dulu jawara aye satu persatu

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria untuk melawan jawaranya satu persatu. Tantangan tersebut menimbulkan rasa tidak

takut karena penutur pantun ingin mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang sebagai bentuk persyaratan pertama yang harus dilalui oleh mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak bersikap sombong meskipun mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang lain.

AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.

A-yam ja-go a-bang e-mang ca-kep Ta-pi sa-yang ja-lan-nya ba-plang Ja-go-an a-bang ke-lia-tan-nye ca-kep Te-tep a-je a-ye- ba-ka-lan kem-plang

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sindiran sebagai bentuk keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita, “ayam jago abang emang cakep, tapi sayang jalannya baplang”. Kata-kata tersebut dipilih penutur pantun sebagai bentuk sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “Ayam jago abang emang cakep”, “jalannya baplang”, “jagoan abang keliatannye

cakep”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan

ayam jago abang emang cakep/ tapi sayang jalannya baplang.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “abang”, “emang”,“cakep”, baris kedua terdapat kata “baplang”, baris ketiga terdapat kata “abang”, “keliatannye”,“cakep”, dan baris keempat terdapat kata “tetep”, “aje”, “aye”, “bakalan”, “kemplang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ayam jago abang/ emang cakep Tapi sayang/ jalannya baplang Jagoan abang/ keliatannye cakep Tetep aje/ aye bakalan kemplang

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /g/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /p/ dan konsonan /g/ sebagai rima berselang menciptakan tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan menggambarkan keberanian mempelai pria untuk melawan jawara dari mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidaktakutan mempelai pria dalam menghadapi tantangan dari mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ayam jago abang emang cakep Tapi sayang jalannya baplang Jagoan abang keliatannye cakep Tetep aje aye bakalan kemplang

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menyindir jawara dari mempelai wanita dengan maksud untuk membuktikan keberaniannya, meskipun lawannya terlihat lebih hebat. Keberaniannya tersebut menyebabkan rasa tidak takut penutur pantun terhadap lawannya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang agar lawannya tidak berani menghadapi dirinya. Penggunaan nada menatang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak memandang sebelah mata kepada orang lain karena belum tentu kita lebih baik daripada orang itu.

SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT

COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri dari empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.

Se-mut rang-rang ka-ge ber-con-cot Su-ka nge-ru-but-in ti-mun pu-an Ja-di o-rang ja-ngan ba-nyak ba-cot

Co-ba tun-juk-in a-bang pu-nye ke-mam-pu-an

Pada pantun ini penutur pantun juga menggunakan kata-kata menantang sebagai bentuk kekesalan penutur pantun atas sikap dari mempelai pria. Penutur pantun memilih kata “semut rangrang kage berconcot, suka ngerubutin timun puan” sebagai bentuk sampiran. Dalam pantun ini penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata-kata “semut rangrang kage berconcot”, “ngerubutin timun puan”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan semut rangrang kage berconcot/ ngerubutin timun puan.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kage”, “berconcot”, baris kedua terdapat kata “ngerubutin”, baris ketiga terdapat kata “bacot”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “punye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Semut rangrang/ kage berconcot Suka ngerubutin/ timun puan Jadi orang/ jangan banyak bacot

Coba tunjukin/ abang punye kemampuan

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan juga terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa marah sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita terhadap mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan dari jawara mempelai wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidaksukaan jawara dari mempelai wanita atas sikap mempelai pria yang terlalu banyak bicara.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Semut rangrang kage berconcot Suka ngerubutin timun puan Jadi orang jangan banyak bacot

Coba tunjukin abang punye kemampuan

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria untuk menunjukkan ilmu bela dirinya. Hal ini dimaksudkan agar calon suami dari mempelai wanita mampu melindungi calon istrinya. Namun, efek sindiran dari jawara mempelai pria membuat penutur pantun menjadi marah karena penutur pantun hanya melihat jawara dari mempelai pria terlalu banyak bicara tanpa adanya tindakan apapun. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan pantun ini dengan menggunakan nada menantang untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana yang tegang bagi pendengar. Amanat yang terkandung pada pantun ini mengajarkan untuk sedikit berbicara banyak bekerja.

MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA NAEK GETEK KE RAWA BUAYE

Dokumen terkait