• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur pantun pada seni budaya palang pintu betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur pantun pada seni budaya palang pintu betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Indah Wardah

NIM. 1111013000039

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan pendekatan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ciri-ciri pantun pada umumnya. Tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris, namun ada juga yang terdiri dari satu bait dan tiga baris. Pemilihan kata dalam pantun ini bersifat sederhana, unik, sindiran dan penuh dengan kata-kata menantang yang bertujuan untuk menghibur pendengar. Imaji yang digunakan dalam pantun ini berupa imaji penglihatan dan imaji pendengaran. Penggunaan kiasan juga terdapat dalam pantun ini, yaitu sebagai kata konkret untuk melihat apa yang dilukiskan oleh penyair. Gaya bahasa yang digunakan pantun ini adalah gaya bahasa percakapan, repetisi, dan simile. Ritma atau irama dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa membentuk ritma yang padu berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Selain itu, terdapat rima berselang dan rima berangkai. Tema yang ditemui dalam pantun ini berisi penyambutan tamu, perjuangan penyair, persaudaraan serta keagamaan. Perasaan yang diungkapkan oleh penyair dalam pantun ini adalah senang, bangga, optimis, marah dan sombong. Nada yang disampaikan dalam pantun ini terdapat nada menerima, meminta, mengusir, menyindir dan menantang yang bertujuan untuk menciptakan suasana riang, kagum, takjub, marah, kesal dan kecewa. Amanat yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan karena untuk menjadi seorang pemimpin harus mampu menjadi tempat berlindung dalam hal keamanan dan juga mampu menjadi tempat berlindung dalam hal kerohanian. Analisis pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat memenuhi Kompetensi Dasar pembelajaran Sastra Indonesia tentang mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi. Dengan kegiatan menganalisis struktur pantun ini dapat mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan struktural, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Melayu Betawi.

(7)

ii University. Supervisor: Ahmad bahtiar, M. Hum.

This study is purposes to describe pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi and the Implication on Language and Literature Learning in Junior High School. The study method is description method with structural approach. This study result indicate that pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi have similarities and differences with the characteristics of pantun in general. This pantun typography consists of one stanza and three lines. The selection of words in these pantun is simple, unique, sarcasms and full of challenge which aim to entertain the audience. The image in this pantun is vision and hearing images. The figurative usage is also in these pantun, it is as concrete to see what was described by the poet. The style of language of pantun is conversation, repetition, similes. Rhythm cut into two phrases form the coherent phrases which serves to determine the pressure and pause. Other than, there are intermittent rhyme and sequential rhyme. Theme encountered in these pantun contains welcoming guests, the struggle of the poet, as well as of religious brotherhood. Feelings expressed by the poet in these pantun are happy, proud, optimistic, angry and arrogant. Tone conveyed in these pantun are receiving, requesting, expelling, insinuated and challenge tones that aims to create cheerful, awe, amazement, angry, upset, and disappointed moods. The message submitted in these pantun taught to be selective in choosing a partner due to being a leader which is able to be a place of refuge in terms of safety and also capable of being a shelter in spiritual matters. The analysis of pantun on the cultural arts of Palang Pintu Betawi can fulfill the Basic Competition of Indonesian Literature learning about recognizing the common traits of poem from the poem anthology book. By the activity of analyzing pantun structure, students can appreciate literature by the structural approach, appreciate and be proud of Indonesian literature as Indonesian cultural treasure and human intellectual to know the culture of Betawi and can add insight in the areas of language especially Malay Betawi language.

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim,

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta kepada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, hingga hari akhir.

Skripsi ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi Tugas Akhir, sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan pikiran, tenaga dan telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.

4. Dona Aji Karunia P., M.A., Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

(9)

iv

6. Ahmad Darif, S.E., pimpinan pusat Sanggar SABA yang telah meluangkan waktunya kepada penulis.

7. Dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

8. Kedua orang tua (H. Sadeli dan Maisuroh), kakak-kakakku (Suaidi, Umu Athiyah, Mashum, Ipah dan Lukman), serta adikku tercinta (Ilham Munzir) yang selalu mendoakan penulis serta memberikan dorongan moril dan materil.

9. Pamanku (Muhammad Arif) yang telah membantu penulis selama penelitian. 10.Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar di kampus tercinta. Khusus untuk Devi Aristiyani, Ai Suaibah, Selviana Dewi, Tri Mutia Rahmah dan Yayah Fauziah kebersamaan yang telah kita lalui selama menuntut ilmu dalam suka dan duka merupakan suatu hal yang paling indah.

11.Sahabat-sahabatku (Syahid Khudri, Ali Ma’sum, Sri Mulyati dan Suasmi) terima kasih untuk motivasinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Di akhir kalimat, penulis memohon kepada Allah Swt, semoga orang-orang yang telah bermurah hati membantu penulis mendapatkan balasan yang lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, November 2015

(10)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Perumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metode Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Struktur Fisik Puisi ... 11

1. Tipografi ... 11

2. Diksi ... 12

3. Imaji ... 13

a. Citra Penglihatan ... 13

b. Citra Pendengaran ... 14

c. Citra Gerak ... 14

d. Citra Perabaan ... 14

e. Citra Penciuman ... 15

f. Citra Pencecapan ... 15

g. Citra Suhu ... 15

4. Kata Konkret ... 16

(11)

vi

6. Versifikasi ... 19

a. Rima ... 19

b. Ritma ... 20

B. Struktur Batin Puisi ... 20

1. Tema ... 21

2. Rasa ... 21

3. Nada ... 21

4. Amanat ... 22

C. Sastra Lisan ... 22

D. Pengertian Pantun... 24

E. Pantun Betawi ... 26

F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu ... 28

G. Sejarah Sanggar SABA ... 29

H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ... 32

I. Penelitian Relevan ... 35

BAB III PEMBAHASAN ... 37

A. Pantun Pembukaan ... 37

B. Pantun Isi ... 54

C. Pantun penutup ... 87

D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ... 91

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Simpulan ... 94

B. Saran ... 95

(12)

vii Lampiran 2. Data Hasil Wawancara

Lampiran 3. Skrip Palang Pintu Sanggar SABA

Lampiran 4. Kumpulan Foto Sanggar SABA

Lampiran 5. Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 7. Surat Pengesahan Observasi Penelitian Lapangan

Lampiran 8. Lembar Uji Referensi

(13)

1

A. Latar Belakang

Pantun merupakan salah satu produk budaya Indonesia yang mempresentasikan wilayah dan budaya masyarakatnya. Pantun termasuk produk budaya yang paling luas penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial, usia, dan agama. Selain itu, pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk memberi nasihat dan melakukan kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan siapapun. Sesungguhnya, bentuk pantun pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri.

Pantun merupakan bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi.

(14)

dengan pantun Melayu pada umumnya. Meskipun demikian, semuanya memperlihatkan bahwa produk budaya mereka itu hakikatnya adalah pantun.1

Pantun memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Betawi. Keistimewaan ini disebabkan meluasnya penggunaan pantun oleh orang Betawi, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tidak hanya itu, penggunaan pantun Betawi juga menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat sosial, mulai dari ulama, pejabat, hingga rakyat kecil, sehingga tidak mengherankan jika berpantun atau berbalas pantun kemudian menjadi ciri khas orang Betawi.

Satu hal yang paling utama dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Jadi, semangat dan ekspresi yang spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Berkenaan dengan isi pantun Betawi, pantun ini mencoba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama.

Dalam penelitian ini peneliti sengaja memilih salah satu genre sastra lama, yaitu pantun. Pantun yang dijadikan objek penelitian ini adalah pantun Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres Jakarta Barat. Pantun Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA ini merupakan pantun pada seni budaya palang pintu Betawi yang dipakai dalam acara perkawinan adat Betawi dan menjadi salah satu kriteria dasar adanya syarat-syarat pantun, dalam hal bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan yang disajikan sebagaimana adanya. Maka, jika dicermati dengan benar, akan tampak seperti ketidakkonsistenan. Misalnya kata

kue, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga kata reformasi, diucapkan sebagai repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata yang dibiarkan sesuai pengucapannya.

1

(15)

Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan atau menjelaskan struktur yang terkandung dalam pantun Betawi. Selain itu, penelitian ini dapat mengembangkan respon siswa terhadap budaya bangsa Indonesia dan memotivasi siswa SMP untuk dapat memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia. Mempelajari karya sastra diharapkan terbentuk kepribadian siswa karena di dalam karya sastra para siswa akan menentukan berbagai permasalahan hidup, dan pemecahannya yang disajikan oleh pengarang. Dengan sastra diharapkan bertambahnya pengalaman siswa karena sastra menyajikan fenomena kehidupan masyarakat yang dekat dengan lingkungan kesehariannya. Dengan sastra pula diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, karena karya sastra disajikan dengan keterpaduan keempat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, menulis, berbicara, dan membaca. Berdasarkan pernyataan Rahmanto dalam buku Metode Pengajaran Sastra.

Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk dipecahkan dalam masyarakat.2

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam membaca dan memahami isi pantun. Selain itu, dapat menuntun siswa menghubungkan teks sastra dengan pengalaman bahasanya sendiri, sehingga dapat memperluas pengetahuan dan pengalaman. Ditambah lagi, dapat memberikan gambaran yang akan digunakan oleh guru bahasa Indonesia dalam upaya merangsang siswa untuk menganalisis struktur dalam pantun.

2

(16)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Belum banyaknya yang meneliti tentang struktur pantun khususnya pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.

2. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap struktur pantun.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan, maka batasan masalahnya terletak pada struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya pada pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas dapat diketahui rumusan masalah yang timbul dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi?

2. Bagaimanakah implikasi analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.

(17)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek teoretis maupun praktis, seperti:

1. Manfaat Teoretis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya bagi pembaca dan pencinta sastra sehingga menjadi acuan bahan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai edukatif.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi: a. Manfaat bagi Peserta Didik

1) Dengan adanya penelitian ini, peserta didik dapat dengan mudah memahami pantun, sehingga pada saat mendapatkan tugas menganalisis struktur pantun, peserta didik tidak sulit untuk menganalisisnya.

2) Memotivasi siswa SMP untuk dapat lebih memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia.

b. Manfaat bagi Pendidik

Memberikan masukan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP mengenai pemahaman struktur pantun, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif materi bahasa dan sastra di SMP.

c. Manfaat bagi Peneliti lain

1) Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian yang sejenis, terutama penelitian-penelitian karya sastra mengenai pantun.

2) Sebagai salah satu metode analisis pembelajaran sastra (pantun) bagi peneliti untuk melengkapi metode analisis yang sudah ada.

(18)

G. Metode Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak pengesahan proposal pada tanggal 1 Desember 2014. Waktu pengambilan data penelitian ini selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24 Januari 2015, yang berlokasi di pusat perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres, Jakarta Barat.

2. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3Dalam penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang mendeskripsikan setting penelitian, baik situasi maupun informan/responden yang umumnya berbentuk narasi melalui perantara lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen pribadi, atau catatan lapangan.4

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural. Endaswara mendefinisikan pendekatan struktural merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.5

Sedangkan, Siswantoro mendefinisikan struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks. Setiap objek, atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari

3

Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013). h.6.

4

Uhar Suharsaputra. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan. (Bandung: PT Refika Aditama. 2014). h. 188.

5

(19)

berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah sebuah objek, karena itu dia pasti punya sebuah struktur.6

Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang menghubungkan unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain.

Sementara, metode yang digunakan adalah metode deskripsi. Metode deskripsi adalah metode yang dilakukan dengan jalan menganalisis data yang sudah dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.7

Dengan metode deskriptif, seorang peneliti sastra dituntut mengungkap fakta-fakta yang tampak atau data dengan cara memberikan deskripsi. Fakta atau data merupakan sumber informasi yang menjadi basis analisis. Tetapi data harus diambil berdasar parameter yang jelas, misalnya parameter struktur. Untuk sampai ke pengambilan data yang akurat, dia harus melakukan pengamatan yang cermat dengan bekal penguasaan konsep struktur secara baik.8

3. Sumber Data dan Data

Sumber data merupakan sumber data yang terkait dengan subjek penelitian dari mana data diperoleh.9 Pada penelitian ini sumber data berasal dari Pimpinan sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif. Sementara, data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer (data utama), yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara.10 Pada penelitian ini, data diperoleh langsung dari pimpinan Sanggar SABA berupa dokumen pantun palang pintu adat Betawi yang digunakan pada acara pernikahan adat Betawi.

6

(20)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik wawancara adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11 Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis kerja.12 Sedangkan teknik rekam dan teknik catat digunakan sebagai instrumen kunci melakukan rekaman serta mencatat jawaban sesuai dengan pernyataan narasumber. Dalam melakukan pencatatan, telah disertai data atau reduksi data. Yakni, data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian ditinggalkan. Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar memudahkan peneliti menentukan indikator.13

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data di pusat perkumpulan Sanggar SABA berupa dokumen pantun, untuk melengkapi penelitian ini peneliti melakukan wawancara terstruktur kepada pimpinan pusat Sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif. Kemudian peneliti merekam dan mencatat pernyataan dari narasumber. Hasil wawancara tersebut diolah menjadi pelengkap penelitian ini. Sedangkan isi dokumen pantun, peneliti melakukan analisis data serta menyimpulkannya.

11

Lexy J. Meleong. op.cit., h.186. 12Ibid.,

h.190. 13

(21)

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman. Model Miles dan Huberman terdapat tiga macam kegiatan dalam analisis data, yaitu reduksi data, model data dan kesimpulan.

Teknik pertama, yaitu reduksi data. Reduksi data merupakan proses mengolah data dari lapangan dengan memilah dan memilih, dan menyederhanakan data dengan merangkum yang penting-penting sesuai dengan fokus masalah penelitian.14 Sebelum data secara aktual dikumpulkan, reduksi data antisipasi terjadi sebagaimana diputuskan oleh peneliti yang mana kerangka konseptual, situs, pertanyaan penelitian, pendekatan pengumpulan data untuk dipilih.15

Teknik kedua, yaitu model data. Model data berupa menyajikan data (data display) untuk lebih menyitematiskan data yang telah direduksi sehingga terlihat sosoknya yang lebih utuh. Dalam display data laporan yang sudah direduksi dilihat kembali gambaran secara keseluruhan, sehingga dapat tergambar konteks data secara keseluruhan, dan dari situ dapat dilakukan penggalian data kembali apabila dipandang perlu untuk mendalami masalahnya. Penyajian data ini amat penting dan menentukan bagi langkah selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi karena dapat untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.16

Teknik ketiga, yaitu kesimpulan. Menarik kesimpulan dan verifikasi dilakukan sejak awal terhadap data yang diperoleh, tetapi kesimpulannya masih kabur (bersifat tentatif), diragukan tetapi semakin bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih “grounded” (berbasis data lapangan). Kesimpulan harus diverifikasi selama penelitian masih berlangsung.17

Pada tahap awal penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori isi pantun yang dipakai Sanggar SABA pada

14

Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 218. 15

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. (Jakarta: Rajawali Pers. 2011). h. 129. 16

(22)

acara pernikahan adat Betawi. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.

Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis pantun satu persatu dalam satu unit. Terlebih dahulu peneliti menganalisis struktur fisik pantun seperti tipografi, diksi, gaya bahasa, rima dan ritme, citraan, kata konkret. Kemudian dilanjutkan dengan struktur batin pantun seperti tema, rasa, nada dan amanat. Hal tersebut dilakukan agar peneliti dapat fokus dengan analisis struktur pantun. Setelah selesai, peneliti melanjutkan analisis pantun berikutnya.

(23)

11

A. Struktur Fisik Puisi

Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut metode puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi, (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata konkret, (5) majas dan bahasa figuratif, dan (6) verifikasi. Semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Berikut akan dibicarakan satu per satu.1

1. Perwajahan puisi (Tipografi)

Ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah pewajahannya. Pewajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris.

Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan pernyataan. Mungkin saja satu pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik (.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk bait. Sebuah bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.2 Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi menyangkut pembaitan-enjembemen, penggunaan huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui, secara konvensional, yang membedakan puisi dari prosa sebagai genre sastra adalah pada aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna.3 Berikut ini merupakan contoh tipografi4

1

Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: PT Grasindo. 2008). h. 113. 2

Ibid.,

3

Heru Kurniawan dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012). h. 36.

4

(24)

PERAMBATAN HUTAN

Perambah hutan ialah kita Yang berpesta

Yang menista Yang menderita

Yang lupa membaca peta Perambah hutan ialah kita

Yang tersuruk mencari jalan-Nya Yang membius fatmorgana

Yang lupa bagaimana mengeja nama-Nya

2. Diksi

Pemilihan kata untuk menyampaikan suatu gagasan dan ketepatan disebut sebagai diksi. Di samping itu, diksi juga berarti kemampuan (1) memilih kata dengan cermat sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin disampaikan dan (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.5

Kreativitas menulis puisi adalah kreativitas memilih diksi karena kekuatan puisi terletak pada kata-katanya (diksi), bagaimana kata-kata yang singkat, pendek, dan sederhana, tetapi bisa menggambarkan pengalaman, perasaan, imajinasi, dan keindahan yang banyak. Oleh karenanya, diksi dalam puisi harus sekonsentrat mungkin, yaitu padat dan selalu menimbulkan makna lebih.6 Misalnya, kata-kata klasik yang dipilih serta dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sajaknya “Candi Mendut” seperti : candi, berhala, Budha, Bodhisatwa, jiwa, Maya, Nirwana,

mengingatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata mimbar, pikiran-pikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani, sangkur baja,

panser, bren, barikade, demostran yang terdapat dalam “Tirani” karya Taufik Ismail,

5

Rachmat Djoko Pradopo, dkk. Puisi. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2007). h. 5.12. 6

Heru Kurniawan dan Sutardi. op.cit., h. 27.

LIRIK

(25)

membawa kita ke suasana perjuangan Angkatan 66 menumpas kezaliman dan kediktatoran rezim orde lama.7

3. Imaji

Imagery biasa diartikan sebagai mental picture, yaitu gambar, potret, atau lukisan angan-angan yang tercipta sebagai akibat dari reaksi seorang pembaca pada saat ia memahami puisi. Imagery lahir sebagai proses kelanjutan pemekaran imajinasi seorang pembaca yang aktif dan kreatif menelusuri makna yang tersurat pada teks. Untuk menghadirkan imagery, seorang pembaca harus memiliki kekuatan membaca yang baik dengan dukungan penguasaan kosakata, tata bahasa, dan aspek budaya yang memadai. Kita sadar bahwa teks yang dihadapi bukanlah bahasa sendiri, sehingga kita harus menyesuaikan diri dengan semangat teks yang berbahasa lain. Dengan kata lain, imagery dapat dicapai manakala seorang pembaca mampu berpartisipasi baik secara kognitif dan emosional.8

Jenis citra dalam puisi ada bermacam-macam sesuai dengan jenis indera yang ingin digugah oleh penyair lewat puisinya. Berikut ini akan diuraikan satu demi satu:9 a. Citra Penglihatan.

Citra penglihatan adalah citra, yang ditimbulkan dengan memanfaatkan pengalaman indera penglihatan. Citra penglihatan dapat dibangkitkan oleh kata-kata penunjuk ini atau itu yang menyertai referen benda yang dapat diserap dengan indera penglihatan maupun diksi atau pilihan kata secara konkret. Misalnya rumah ini, kampus itu, matahari itu, kebun itu, buku itu, modul itu, dan sebagainya.

7

Henry Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. (Bandung: Angkasa. 2011). h. 30.

8

Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. (Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2002). h. 49.

9

(26)

b. Citra Pendengaran

Citra pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan dengan menggunakan pengalaman pada indera pendengaran. Citra pendengaran dapat dibangkitkan oleh diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat diindera dengan telinga. Pengalaman auditif manusia biasanya berhubungan dengan bunyi, kualitas bunyi (kemerduan), intensitas bunyi, dan dengan nada (bunyi musikal). Kata-kata yang menandai adanya citraan pendengaran antara lain adalah merdu, serak, nyaring, bisik, gumam, mendesir, gaung, berbisik, deru, mendengar, bom, sunyi, kepak, mengerang, meraung, dan sebagainya.

c. Citra Gerak

Citra gerak adalah citraan yang dibangkitkan oleh pengalaman akan pengamatan terhadap gerak. Citraan gerak dibangkitkan oleh pengalaman sensoris hasil tanggapan sejumlah alat indera, terutama oleh indra penglihatan dan pendengaran terhadap gerak. Citraan gerak biasanya ditandai oleh kata-kata seperti berikut ini, menghembus, mengepakkan, menderam, mengusap, berangkat, memahat, bertiup, merayap, jalan, terhuyung, terbang, mengepak, menangkak, lari, duduk, berdiri, mendorong, menangkap, dan sebagainya.

d. Citra Perabaan

(27)

e. Citra penciuman

Citra penciuman adalah citraan yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan pengalaman indera penciuman. Pengalaman yang merupakan hasil penginderaan indera penciuman, berkaitan dengan bau, dengan berbagai jenis sumber bau dan kualitas bau juga merupakan penanda hadirnya citra penciuman. Citra penciuman biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan indera penciuman misalnya bau, amis, bacin, harum, wangi, busuk, basi, sedap dan sebagainya.

f. Citra pencecapan

Citra pencecapan adalah citraan yang dapat dimunculkan dengan menggunakan pengalaman indera pencecapan. Pengalaman sensoris yang berkaiatan dengan rasa lidah menjadi sumber citraan pencecapan. Citra pencecapan biasanya ditandai dengan kata-kata antara lain: manis, asin, masam, pahit, tazuar, gurih dan sebagainya.

g. Citra Suhu

(28)

4. Kata Konkret

Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya.10 Misalnya, untuk memperkonkret perasaan penasaran karena belum berhasil menemukan rahasia Tuhan, Sutardji Calzoum Bachri menggunakan kata-kata: kapak, hamuk, diancuk dan ungkapan-ungkapan :11

Semua orang membawa kapak/ semua orang begerak pergi/ menuju langit/semua orang bersiap-siap nekad/kalau tak sampai langit/ mengapa tak ditebang saja/ kapak-kapak mereka/ pukimak aku tak bisa tidur/ mimpi tertakik/ dan ranjang belah.

5. Bahasa Figuratif (Majas)

Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna. Oleh karena itu pola tersebut dibicarakan di sini, walaupun juga dalam teks-teks naratif dan drama, bahkan dalam bahasa sehari-hari pun, kita jumpai kiasan.12

Gaya bahasa (Majas) adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Ungkapan seperti “Gadis itu sangat cantik”, di samping tidak jelas, juga tidak menarik; lagi pula ungkapan seperti itu sudah terlalu sering kita dengar. Namun, isi ungkapan itu akan menjadi lebih jelas

10

Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga. 1987). h.81. 11

Ibid., h.82. 12

(29)

serta menarik seandainya diucapkan seperti ini: “Gadis itu cantik seperti bunga mawar”.13

Berikut ini beberapa jenis majas berikut contohnya: a. Gaya Bahasa Percakapan

Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.

Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari suatu diskusi yang direkam dengan alat perekam dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1966 di Jakarta:14

Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak membedakan antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech. Jadi ketiganya saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata, jadi penggolongan kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat dan dasar apa yang kita pakai untuk menggolongkan…

Bahasa kutipan di atas adalah bahasa standar, tetapi berbeda dengan kutipan sebelumnya mengenai gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan terdapat banyak konstruksi yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat dan bersifat fragmenter; sering kalimat-kalimat yang singkat itu terdengar seolah-olah tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terus- menerus.

13

Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991). h.127.

14

(30)

b. Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-macam variasi repetisi.15 Banyaknya jenis atau variasi perulangan yang digunakan oleh penyair dalam karya mereka menunjukkan bahwa gaya perulangan ini sangat personal pula sifatnya, sebagaimana dengan gaya pengungkapan yang lain. Oleh sebab itu tidak ada ketentuan yang mengikatnya. Perulangan yang dilakukan Ajip Rosidi (KENANGAN).16

Yang paling indah adalah kenangan

Yang paling mengesan adalah kenangan

Yang paling menikam adalah kenangan

Yang paling terkenang adalah yang fana

Yang paling rapuh dalam hidup ini

Pada contoh di atas jelas bahwa repetisi mempunyai peranan yang penting dalam membuat intensitas makna dan menghasilkan musikalitas dan daya magis.

c. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.17 Gaya bahasa ini digunakan untuk membandingkan dua hal atau benda yang tidak sama esensinya.18 Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata:

seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya, kikirnya seperti

15

Ibid., h.127. 16

M. Atar Semi. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya Padang. 1988). h.129-132. 17

Gorys Keraf. loc.cit., h.138. 18

(31)

kepiting batu. Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama yang mau dibandingkan. Contohnya, seperti menating minyak penuh.19

6. Versifikasi (Rima dan Ritma) a. Rima

Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi.20

Selanjutnya, kita mengenal beberapa jenis rima; antara lain:21 1) Rima berangkai; dengan susunan/ rumus: aa, bb, cc, dd …

Dimata air, didasar kolam a Kucari jawab teka-teki alam a

Di kawan awan kian kemari b Disitu juga jawabnya kucari b

Diwarnai bunga yang kembang c Kubawa jawab, penghalang bimbang c

Kepada gunung penjaga waktu d Kutanya jawab kebenaran tentu d

2) Rima berselang, dengan rumus : abab, cdcd Duduk dipantai waktu senja, a Naik dirakit buaian ombak, b Sambil bercermin diair-kaca, a Lagi diayunkan lagu ombak b

Lautan besar bagai bermimpi c Tiada gerak, tetap berbaring … d Tapi pandang karang ditepi c

(32)

b. Ritma (Irama)

Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa berulang. Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama :22

Dari mana/ punai melayang Dari sawah/ turun ke kali Dari mana/ kasih saying Dari mata/ turun ke hati.

Pengaruh irama dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Pengaruh besar semacam itu akan muncul tentunya bila irama itu terjalin secara padu dengan unsur-unsur lain. Untuk mengetahui irama suatu puisi tidak terlepas pula dari pengenalan akan nada dan suasana puisi tersebut, karena suasana dan nada puisi mempunyai kaitan yang amat padu dengan irama puisi tersebut. Sebuah puisi biasa mempunyai nada dan suasana sendiri dan sekaligus memiliki irama sendiri. Dengan mengetahui irama, pembaca puisi dengan mudah terbantu menentukan tekanan dan jeda. Dengan demikian akan member bantuan yang besar terhadap penikmatan dan pemahaman puisi yang bersangkutan.23

B. Struktur Batin Puisi

I.A. Richards di dalam buku Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada

(tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).24

22

Herman J. Waluyo. op.cit., h.94. 23

M. Atar Semi. op.cit., h.121. 24

(33)

1. Tema

Tema adalah ide dasar dari suatu puisi. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna yang disampaikan oleh penyair.25 Dalam menyampaikan tema, penyair menggunakan diksi, imaji dan gaya bahasa yang telah dipilihnya secara cermat dan kritis yang disusun menjadi bentuk yang sesuai dan efektif. Tema menjelmakan pemahaman penyair mengenai dirinya dan dunianya dan merupakan suatu pengamatan terhadap aspek kehidupan atau pengalaman manusia.26 Misalnya, dalam puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda tapi tema yang digunakan sama, yakni kembali ke Tuhan.27

2. Rasa

Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologis penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta pengetahuan. Toto Sudarto Bachtiar dalam “Gadis Peminta-minta”, menyikapi pengemis kecil dengan netral, tidak membenci dan tidak pula dengan rasa belas kasihan yang berlebihan. Dia dapat merasakan kegembiran pengemis kecil dalam dunianya sendiri, bukan merupakan dunia yang penuh penderitaan seperti yang disangka orang.28

3. Nada

Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sehubungan dengan pokok pikiran yang disampaikannya dalam puisinya.29 Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau

25

(34)

akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pergolakan batin bagi pembaca. Nada religus dapat menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya.30 Dalam puisi “Jalan Segara”, sikap Taufiq Ismail terhadap penguasa sinis. Dalam puisi “Nyanyian Angsa”, Rendra seakan mengajak pembaca untuk melihat perlakuan masyarakat, dokter, dan pastor terhadap pelacur.31

4. Amanat

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar di dalam karyanya. Amanat dapat disampaikan secara langsung, tersurat, dapat juga secara tidak langsung atau tersirat. Melalui puisi tersebut Abdul Hadi W.M. menyampaikan amanat (pesan) bahwa kendati gaib dan tak terdeteksi alat indra kita, Tuhan itu sebetulnya dekat sekali dengan hambanya. Tak ada jarak. Kalau ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu jauh, sebenarnya karena orang itu tidak pernah mau mendekat kepada-Nya. Tuhan Mana Tahu, mendengar, dan merespons apa pun yang disampaikan hamba-Nya.32

C. Sastra Lisan

Istilah sastra lisan tidak asing bagi orang Indonesia. Apapun makna dan referensi yang diberikan kepada kata itu, secara umum ada makna yang kira-kira sama, kegiatan lisan yang bukan percakapan sehari-hari, seperti puisi-puisi rakyat, cerita lisan yang hidup di tengah masyarakat, mantera, juga pertunjukkan lisan. Artinya, ada pengetahuan sastra lisan dalam kesadaran kolektif kita.

Sastra lisan penting dikaji karena beberapa alasan. Alasan pertama, ia ada dan terus hidup di tengah masyarakat, tidak saja dalam masyarakat Indonesia tetapi juga

30

Herman J. Waluyo. op. cit. h. 125. 31

Wahyudi Siswanto. op. cit. h.125. 32

(35)

di banyak negara lain di dunia. Sastra lisan itu hidup pada masyarakat pertamanya, yaitu masyarakat yang melahirkan dan menghidupkannya, di daerah kelahiran, di kampung asal. Secara umum, suatu genre sastra lisan itu hidup di daerah asalnya saja. Bila diambil contoh nyata, dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat terdapat beberapa genre, antara lain rabab Pasisia, rabab Pariaman, dendang Pauah.

Yang kedua, sastra lisan menyimpan kearifan lokal kecendekiaan tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya. Semua tumbuh, berkembang, dan diwariskan dalam masyarakat sastra itu secara lisan. Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber karakter bangsa karena karakter bangsa yang disimpan di dalam sastra lisan itu sesuai dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan.33

Kesenian dalam bentuk suara atau tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Betawi mempunyai beberapa karakter yang berbeda dengan kesenian dari wilayah kebudayaan seperti Bali, Jawa, ataupun Melayu. Selain perbedaan bahasa, hal yang membedakan kesenian Betawi dengan kesenian dari daerah lain adalah bentuk penyajiannya. Sedyawati dalam buku Ragam Seni Budaya Betawi

menguraikan bahwa tradisi lisan terdapat empat bentuk penyajian, yaitu penyajian yang hanya menggunakan unsur suara atau tuturan murni, menggabungkan tuturan dengan musik, menggabungkan tuturan, musik, dan gerakan, serta tuturan yang disertai dengan gerakan, musik, dialog. Jika diterapkan dalam tradisi lisan masyarakat Betawi, pengelompokkannya dapat dikategorikan sebagai berikut.34

a) Pertunjukan dalam bentuk tuturan murni, contohnya sahibul hikayat dan pembacaan ratib.

b) Tuturan yang disertai dengan instrumen musik, seperti yang terlihat pada buleng dan pembacaan Maulid.

c) Tuturan yang disertai dengan gerakan, contohnya rancag.

33

Adriyetti Amir. Sastra Lisan Indonesia. (Yogyakarta: ANDI. 2013). h. 18-21. 34

(36)

d) Pertunjukan tuturan yang memadukan adegan-adegan, dialog, menari, dan sering pula diiringi dengan musik, seperti pada lenong dan permainan tradisional anak Betawi.

Dalam berbagai jenisnya, sejarah terbentuknya tradisi lisan dapat ditelusuri seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Betawi. Setiap kesenian mempunyai sejarah pembentuka dan dan masyarakat pendukung yang berbeda. Setiap bentuk tradisi lisan di Betawi mempunyai karakteristik yang berbeda sebagai akibat dari perjalanan historis dan wilayah geografis kesenian tersebut.

Dalam konteks tradisi lisan di Betawi, beberapa jenis kesenian juga mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Ada yang bertahan dan berkembang sampai saat ini, tetapi ada pula bentk seni yang sudah tidak dipentaskan lagi karena sudah tidak ada yang dapat memainkannya. Selanjutnya, secara ringkas dalam paparan berikutnya akan digambarkan peran bahasa Betawi dalam kesenian Betawi yang membedakannya dengan jenis kesenian dari daerah lain di Indonesia serta uraian mengenai jenis-jenis tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Betawi, khususnya pantun dalam acara buka palang pintu.

D. Pengertian pantun

Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan “Sepantun labah-labah, meramu dalam badan sendiri”. Kata sepantun dalam susunan kalimat diatas mengandung arti sama dengan semua yang diungkapkan di depan.35

Seperti halnya bidal, bentuk pantun ini pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Pantun telah lama tersebar dan mendarah daging dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Bentuk yang sama dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia terdapat pula dalam

35

(37)

bahasa daerah di Indonesia.36 Suku Jawa misalnya memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan, sedangkan menurut K.A.H. Hiding, pada suku bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam bahasa daerahnya disebut sisindiran. Orang Sunda membagi sisindiran menjadi dua kategori, yakni yang disebut paparikan dan wawangsalan; dan selanjutnya paparikan

dapat dibagi lagi menjadi rarakitan dan sesebred.37Sehingga pantun mempunyai persyaratan, yaitu:38

1. Tiap bait terdiri atas empat baris.

2. Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. 3. Sajaknya berumus a-b-a-b.

4. Kedua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan isinya terdapat pada kedua baris terakhir.

Dari ciri-ciri yang telah diuraikan, pantun mestilah ditulis dengan mengikuti pola yang telah disepakati tentang bagaimana sebuah pantun harus ditulis. Artinya, sebuah pantun harus ditulis dengan mematuhi penulisan jumlah baris, jumlah kata, persajakan, dan lain-lain. Jika tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka dianggap menyalahi ketentuan penulisan pantun. Pola penulisan pantun mestilah memiliki pola rima akhir, adanya bagian yang disebut sampiran dan ada bagian yang disebut isi atau maksud. Dua baris pertama disebut sampiran, sedangkan dua baris terakhir disebut isi atau maksud. Setiap baris terdapat pemenggalan, sewaktu membacanya. Lihat contoh sebagai berikut.39

James Danandjaja. Folklor Indonesia. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002). h.46-47.

38

Nursisto. loc.cit.

39

(38)

E. Pantun Betawi

Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi juga mengenal bentuk-bentuk puisi, yang disebut pantun. Pada pantun Betawi baris pertama dan kedua disebut sampiran, baris ketiga dan keempat baru berupa isi pantun itu. Pola persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a-b dan ada pola yang berpola a-a-a-a. simak kedua pantun berikut dan perhatikan pola persajakan bunyi akhir setiap baris.

Ujan gerimis aje Ikan bawal diasinin Lu ngape nangis aje

Bulan syawal nanti dikawinin

Pantun di atas berpola persajakan akhir a-b-a-b Indung-indung kepale lindung

Ujan di sono di sini mendung Anak siapa pake kerudung Mate melirik kaki kesandung

Pantun di atas berpola persajakan bunyi akhir baris a-a-a-a

Dari keterangan dan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pantun Betawi agak berbeda dengan pantun dari daerah Melayu lain. Pantun dari daerah Melayu lain selalu berpola persajakan bunyi akhir a-b-a-b, sedangkan pantun Betawi ada yang berpola persajakan bunyi akhir a-a-a-a, di samping yang berpola a-b-a-b.40

Pantun Betawi juga mempunyai jenis yang beragam, antara lain pantun agama, pantun nasihat, pantun teka-teki, pantun nelayan, pantun remaja, dan pantun anak-anak. Akan tetapi, ada juga pantun Betawi yang terdiri atas tiga baris dan banyak baris. Pantun tiga baris umumnya ada dalam permainan anak-anak. Pantun tiga baris ini dibawakan dalam bentuk bernyanyi sambil bermain. Biasanya, dua baris pertama menjadi sampiran, satu baris terakhir menjadi isi. Selain pantun empat baris dan tiga baris, pantun Betawi juga memiliki jenis yang lain, yakni pantun banyak baris. Sama seperti pantun tiga baris, pantun banyak baris digunakan dalam permainan anak-anak.

40

(39)

Bedanya, pada pantun banyak baris agak sulit membedakan mana sampiran mana isi karena mirip dengan mantra yang dinyanyikan dengan riang oleh anak-anak. Selain jenis-jenis tersebut di atas, Betawi memiliki jenis pantun yang lain, yakni pantun berkait atau rancag. Dinamakan pantun berkait karena antarbaitnya memiliki keterkaitan isi. Biasanya, jenis pantun ini menyajikan sebuah cerita, semisal cerita Pitung. Pada praktiknya, pantun berkait ini dibawakan sambil bernyanyi diiringi musik gambang sehingga masyarakat Betawi mengenalnya sebagai gambang rancag.41

Pantun Betawi termasuk folklor dalam masyarakat Betawi. Pantun sebagai folklor menjadi karya seni tradisional karena adanya “kegemaran” bagi masyarakat Betawi untuk menyampaikan suatu pendapat atau suatu pikiran yang diungkapkan selalu melalui “sampiran” atau juga dengan menggunakan kekuatan adanya persamaan bunyi atau persajakan.42 Pantun kerap digunakan dalam sastra lisan bahkan dalam percakapan sehari-hari. Pantun menyimpan pesan yang penting untuk membangun karakter individu dalam masyarakat, membangun karakter bangsa, yaitu membangun, memakaikan, dan meningkatkan budi bangsa agar menjadi orang mulia dalam pergaulan.43

Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek itu tumbuh dari bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karena itu struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung unsur-unsur bahasa kelompok etnis pemakainya. Sistem fonologi dialek ini mempunyai kekhususan yang tidak terdapat pada dialek-dialek Melayu lainnya, antara lain tampilnya vokal e pada suku kata terakhir.44 Ciri menonjol ini dapat memudahkan pendengar untuk membedakan bahasa Betawi dengan dialek Melayu

41

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. op.cit.,h. 13-19. 42

Abdul Chaer .op.cit., h. 199. 43

Adriyetti Amir. Op.cit., h. 22. 44

(40)

lainnya. Misalnya kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti buaya, saya, dan dia. Bila diucapkan dengan dialek Betawi akan berakhiran dengan [ε], seperti [ayε], [buayε], dan [diε]. Tata ucap Betawi juga tidak mengenal diftong, seperti [ay] dan [aw]. Jadi, kata-kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan diftong diucapkan oleh masyarakat Betawi dengan akhiran [ε] dan [ᴐ ]. Misalnya, pulau dan pantai bila dilafalkan dengan dialek Betawi akan menjadi [pulᴐ ] dan [pantε].45 Selain itu, Di dalam percakapan bahasa Betawi, mempunyai berbagai variasi. Khususnya di dalam kata sapaan, maksudnya pronomina lu, gua, saya, kita, nama diri dan istilah kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan, meskipun tidak ada ikatan kekerabatan.46

Ciri yang bersifat tata kalimat khususnya menonjol dengan munculnya berbagai kata pertikel kalimat seperti sih, kek, dong, deh, dan sebagainya, seperti Nyai kek perawan sini kek „(Tidak peduli), apakah Nyai atau gadis dari sini’. Dua ciri lain

dalam tata kalimat ialah (1) frasa milik yang dinyatakan dengan kata punya di antara dua kata benda yang memiliki dan yang dimiliki, seperti amat punya rumah untuk „rumah Amat’. (2) urutan kata benda dengan kata ini dan itu yang berurutan terbalik dengan bahasa Indonesia seperti ini rumah, itu anak, masing-masing untuk anak itu

dan rumah itu.47

F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu

Buka palang pintu adalah salah satu acara dalam serangkaian acara perkawinan menurut adat Betawi. Acara ini dilakukan ketika mempelai pria dengan rombongannya datang ke rumah mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad nikah. Rombongan mempelai pria dilengkapi dengan seorang juru pantun, seorang jago silat dan seorang pembaca lagu sike. Sedangkan pihak mempelai wanita

45

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI .op.cit., h.37-38. 46

C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991). h. 259.

47

(41)

dilengkapi juga dengan seorang juru pantun dan seorang jago silat. Dalam berpantun, si juru pantun mempelai pria berusaha menyatakan bahwa mempelai pria adalah orang yang gagah, ganteng, hebat, dan dibandingkan dengan seorang artis beken yang terkenal. Sedangkan juru pantun mempelai wanita akan dapat ditaklukkan oleh si jago silat pihak rombongan pria.48

Secara umum, palang pintu merupakan sebuah aktivitas perkelahian atau main pukul simbolik, namun sesungguhnya memiliki makna yang dalam dan luhur terutama saat dijadikan bagian dalam prosesi pernikahan adat Betawi. Sebagai salah satu rangkaian dari sebuah acara pernikahan, palang pintu merupakan sebuah aktivitas pertarungan maen pukul yang bermakna simbolik yang di dalamnya calon mempelai pria harus menghadapi para jawara dari pihak mempelai wanita sebelum dapat diterima oleh pihak keluarga mempelai wanita. Adegan pertarungan maen pukul ini bermakna bahwa pihak mempelai pria harus memiliki sifat berani, termasuk dapat melindungi istri dan keluarganya kelak, dan hal tersebut harus dibuktikan di hadapan para jawara dan keluarga sang mempelai perempuan.49

Seperti telah diuraikan di atas, sebelum rombongan pengantin pria diterima dan dipersilahkan masuk ke dalam rumah pengantin perempuan, terdapat prosesi khas Betawi yang dikenal dengan nama Buka Palang Pintu. Prosesi ini diawali dengan adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. Tanya-jawab yang terjadi dikemas dalam bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para jawara yang menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji. Bila para jawara pihak mempelai pria berhasil mengalahkan para jawara pihak mempelai perempuan. Maka pihak mempelai perempuan, meminta syarat kedua, yaitu permintaan untuk melantunkan lagu yang berisi salawat kepada Nabi Muhammad

48

Abdul Chaer. op.cit.,h. 85. 49

(42)

SAW yang diiringi dengan rebana, marawis dan kecipring. Hal tersebut menandai bahwa sang calon suami telah memahami ilmu agama dan seorang yang ahli ibadah.50

G. Sejarah Sanggar SABA

Sanggar SABA didirikan oleh Ahmad Darif, SE yang lahir di Cengkareng Timur Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1975 yang terletak di kampung Pendongkelan Jakarta Timur. Beliau adalah lulusan managemen perusahaan sarjana ekonomi di Universitas Mercu Buana tahun 1998. Beliau mulai mempelajari bela diri beksi pada tahun 1991 di bangku Sekolah Menengah Atas oleh kakeknya bernama H. M. Aba Bin Naming sampai 1993. Setelah menguasai ilmu bela diri beksi, Darif diberikan kepercayaan oleh kakeknya untuk mengajar bela diri tersebut untuk generasi berikutnya.

Pada tahun 1993 murid pertama Darif sebanyak sepuluh orang tapi dengan kegigihannya, beliau mengajar ilmu tersebut dari tahun ke tahun, sehingga murid beliau menjadi seribu murid. Kemudian Darif dan muridnya mempunyai inisiatif mendirikan organisasi masyarakat Betawi yang diberi nama SABA (Solidaritas Anak Betawi Asli/ Solidaritas Anak Batavia) yang diambil dari nama kakeknya Aba yang terletak di jalan Wijaya I Jakarta Barat.

Darif mengajarkan ilmu beksi yang merupakan pertahanan dari empat penjuru atau beksi juga berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak terlihat dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel.

Adapun Jurus beksi Sanggar SABA terdiri dari sembilan jurus, yaitu: 1. Jurus beksi dasar (pembuka)

Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka pukulan dengan tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan kiri dan tepak sikut ke depan.

50

(43)

Setiap jurus menggunakan hentakkan kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan mematahkan tangan.

2. Jurus oleng badan

Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk sebuah sikut diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk menghindari serangga.

3. Jurus junjung (tunjangan langit)

Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan penyerangan lawan. 4. Jurus rambet

Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan disertai dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan tangan lawan disertai dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar lawan tidak menyerang.

5. Jurus gedor

Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut atau tangan. Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi dengan menggunakan gerakan gedor di ulu hati.

6. Jurus broneng

Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk menjepit, mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini bisa melawan lebih dari satu orang lawan.

7. Jurus lokbe (cabut pisau)

Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah kiri dan kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir lawan dibarengi mencabut pisau dan diarahkan ke lawan.

8. Jurus cauk debug

(44)

berfungsi untuk mempertahankan diri dimana saat kondisi terdesak baik debu atau pasir dilemparkan ke mata lawan untuk membela diri.

9. Jurus loseng

Jurus loseng merupakan jurus yang diarahkan ke bagian kaki lawan. Jurus ini berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun dalam posisi berdiri, dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan tubuh lawan.

Selain beksi kesenian Betawi yang diajarkan oleh Darif adalah palang pintu. Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan mempunyai tantangan dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan tantangan dari ujian tersebut, dapat dikatakan pantas untuk melakukan pernikahan bagi kedua mempelai. Jadi palang pintu itu berisi tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai wanita dan mempelai pria. Namun, tidak ada yang mengetahui sejarah dari palang pintu, tetapi ada istilah palang pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai perjuangan dalam pernikahan.

H. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP

Menurut Rahmanto, pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cangkupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.51

Pada dasarnya belajar sastra adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan. Kita sadar bahwa tak ada informasi dari luar baik berupa pengantar, komentar guru, cara membaca, gambar maupun kritik yang sebelumnya lebih dapat menuntut perhatian siswa kecuali pengalaman siswa itu sendiri. Pengalaman dari karya sastra bagaimanapun hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan mempelajari

51

(45)

analisis verbal. Karena kita banyak membaca, kita merasa mudah sekali menerima isi bacaan. Padahal sebenarnya proses membaca itu sangat rumit karena kita dituntut memahami dengan cepat kumpulan huruf yang merupakan simbol dari bahasa yang dipakai. Walaupun demikian, kesulitan itu menjadi tidak terasa setelah kita menjalani banyak latihan setiap kali kita membaca. Tapi bagaimanapun, sebagai guru sastra kita sering dihadapkan pada simbol-simbol bahasa yang menuntut pemahaman dengan lebih hati-hati daripada pembaca pada umumnya. Di samping harus mengerti minat dan cara berfikir siswa, guru sastra diharapkan benar-benar dapat memahami seluk-beluk kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra yang disajikan pada siswanya.52

Hazim Amir dalam buku membaca 2 karya Kisyani Laksono, dkk menjelaskan bahwa ada beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai persiapan pembacaan puisi, seperti dalam uraian berikut.53

a. Mempertimbangkan aspek kesastraan

Langkah awal yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah memilih puisi yang akan dibacakannya. Puisi yang akan dibacakan harus mengandung nilai-nilai kesastraan yang tinggi.

b. Pertimbangkan potensi oratoris

Langkah yang kedua dalam persiapan membaca puisi adalah mempertimbangkan potensi puisi jika dibacakan. Pada tahap ini pembaca puisi mempertimbangkan apakah larik-larik yang tertulis dalam sajak tersebut jika dibacakan memiliki potensi satuan-satuan bunyi yang oratoris. Artinya, satuan-satuan bunyi yang dapat menimbulkan efek kenikmatan, keharuan, dan menggiring pembaca pada proses perenungan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

c. Pelatihan membaca puisi

Pada umumnya pelatihan membaca puisi dikerjakan secara berkelompok pada tempat dan waktu tertentu. Untuk latihan, sebaiknya disepati jadwal tertentu.

52

Bernardus Rahmanto. op.cit., h. 38-39. 53

(46)

Misalnya, latihan dilaksanakan setiap akhir pecan pada sore hari. Latihan dapat dilaksanakan di dalam maupun luar ruangan.

Adapun tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Tujuan ini sering kali dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:54 a. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Umum

Tujuan instruksional umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih umum dan belum menggambarkan tingkah laku spesifik. Tujuan instruksional umum ini dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu bidang studi yang ada di dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran).

b. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan instruksional umum. Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan instruksional umum tersebut dapat lebih dispesifikkan dan mudah diukur tingkat ketercapaiannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan KTSP, yaitu untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian wewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.55

Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:56

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.

3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

54

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan Pembelajaran. (Jakarta: Rajawali Press.2012). h. 150.

55

E. Mulyana. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011). h. 22.

56

(47)

Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) semester 2, sesuai dengan tujuan KTSP dengan Standar Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu: Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi, sedangkan Kompetensi Dasar (KD): 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi, dengan indikator, sebagai berikut.

1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi. 2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.

I. Penelitian Relevan

Penelitian yang baik, yaitu penelitian yang tidak menyerupai penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain dan menghasilkan informasi baru. Jadi, untuk menghindari kesamaan penelitian perlu diadakan kajian terhadap penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Rojab Dian Puspitasari dari Universitas Indonesia (UI) dengan judul skripsi, “Pantun Betawi dalam Siaran Bensradio: Tinjauan Fungsi dan Amanat”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2008. Pada penelitian ini Puspitasari memberikan gambaran mengenai fungsi dan amanat pantun. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Puspitasari meneliti pantun Betawi dalam siaran bensradio: tinjauan fungsi dan amanat, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

(48)

konten dan sampiran. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Mahayana, yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian Mahayana, yaitu subjek kajiannya berbeda. Mahayana meneliti pantun sebagai potret sosial-budaya tempatan: perbandingan pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

istilah yang digunakan untuk menggambarkan objek sangat tepat tetapi tidak beragam. 3) Pemakaian kata atau istilah kurang tepat tetapi beragam.Kekurangtepatan

- Gambaran diri : Klien merasa tidak nyaman dengan kondisi.. tubuhnya

Berdasarkan teori Takmilah, isu infertiliti patuh Maqasid Shariah yang digambarkan oleh pengarang sebagai persoalan pokok novel CIV dapat dianalisis menggunakan

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah hasil yang terarah dicapai siswa setelah mengalami proses belajar

Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan pembelajaran keterampilan mencuci sepeda motor di SLB G Daya Ananda berjalan dengan baik, guru dapat mengenal karakteristik setiap

“ disekolah kami memberikan bimbingan kesesuaian gerakan dan bacaan shalat kepada siswa lebih dini, siswa juga di berikan bimbingan satu persatu menggunakan pembelajaran

Penyelamatan terhadap kredit macet dilakukan dengan cara : Rescheduling (penjadwalan ulang), Reconditioning (persyaratan ulang), dan Retructuring (penataan ulang). b)