SMP
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
Siti Sarah Ismiani
1112013000056
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JULI 2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMP
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Satjana Pendidikan
Oleh
SITI SARAH ISMIANI NIM: 1112013000056
Mengetahui, Dosen Pembimbing
NIP. 19820628 200912 2 003
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIFHIDAYATULLAH
Skripsi betjudul Deiksis Sosial pada Surat Pembaca Harian Kompas Edisi Juli 2016 dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP disusun oleh Siti Sarah Ismiani, NIM. 1112013000056, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan
dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang
munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 15 Desember 2016
Yang mengesahkan,
Pembimbing
di SMP disusun oleh Siti Sarah Ismiani, NIM 1112013000056, diajukan kepada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada tanggal 29 Desember 2016 di
hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 29 Desember 2016
Panitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Dr. Makyun Subuki, M.Hum. NIP. 19800305 200901 1015
Tanggal
Qセ NZM
..
セNAセ N _M
P@'7
Sekertaris Panitia (Sekertaris Jurusan/Prodi)
Toto Edidarmo, M.A. ヲ セZMZM j ZZ NヲNNpNエヲ@ NIP. 19760225 200801 1020
Penguji I
Dr. Hindun, M.Pd.
NIP. 19701215 200912 2001
1?.
ェNgQZNGyセMGセ@
;<Ot1
Penguji II
Ira Mayasari, M.A. NャoNNセNqNャNZZNセ ャW@
C:.Oj-:!!,C:V'---SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
. Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Tempat/Tgl.Lahir
NIM
: Siti Sarah Ismiani
: Bekasi, 15 Mei 1994
: 1112013000056
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia J urusan I Prodi
Judul Skripsi : Deiksis Sosia1 pada Surat Pembaca Harian Kampa.<; Edisi Ju1i
2016 dan lmplikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMP.
Dosen Pembimbing :Dr. Nuryani, M.A.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar basil karya sendiri dan
saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang say a tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai snlah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 15 Desember 2016 Mahasiswa Ybs.
セUセ セ ッ セ ッ@ t""-fiisu RUPIAH
i
dan Sastra Indonesia di SMP”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Dr. Nuryani, M.A.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bentuk deiksis sosial pada kolom surat pembaca harian Kompas edisi Juli 2016 dan Implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni teknik dokumen. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari surat pembaca harian Kompas yang telah dikumpulkan selama bulan Juli 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 245 deiksis sosial berupa kata, frasa, dan klausa. Deiksis sosial berbentuk kata berjumlah 89, deiksis sosial berbentuk frasa berjumlah 154, dan deiksis sosial berbentuk kalusa berjumlah 2. Sementara itu, fungsi pemakaian deiksis sosial pada surat pembaca harian
Kompas edisi Juli 2016 yakni: 1) sebagai pembeda tingkat sosial, 2) menjaga sopan santun berbahasa, 3) untuk mengefektifkan kalimat, dan 4) sebagai pembeda identitas sosial. Wujud deiksis sosial yang ditemukan dalam surat pembaca harian Kompas edisi Juli 2016 menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan sosial antarpartisipan yang terlibat dalam komunikasi media massa cetak. Perbedaan latar belakang sosial antara pengirim surat, pembaca, dan orang yang dituju dalam kolom surat pembaca harian Kompas menyebabkan adanya pemilihan kata atau seleksi kata sebagai dasar kesopanan dan etiket dalam berbahasa.
Penelitian ini diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia siswa SMP kelas IX semester dua, berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kompetensi dasar menulis surat pembaca tentang lingkungan sekolah. Melalui hasil penelitian ini, guru dapat menerapkan pendekatan pragmatik untuk melatih siswa membuat surat pembaca yang sesuai dengan kriteria surat pembaca yang baik dan menggunakan diksi yang tepat.
ii
Indonesian Language and Literature at Junior High School”, Department of Education Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah Science and Teaching, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, Advisor: Dr. Nuryani, M.A.
The purpose of this research to describe the social deixis on reader‟s letters column on Kompas daily newspaper, July 2016 edition and the implications towards learning Indonesian language and literature in junior high school. This research used descriptive method with qualitative approach. Data collection techniques used the technique of the document. Source of data in this research were obtained from reader‟s letters in the daily Kompas newspaper that has been collected during the month of July 2016.
The results of this research showed that there were 245 social deixis in the form of words, phrases, and clauses. 89 social deixis form of words, 154 social deixis are phrases, and 2 social deixis form of clause. Meanwhile, social deixis user functions on a reader's letters in July 2016 edition of Kompas daily newspaper are: 1) as a differentiator social level, 2) maintain polite language, 3) to streamline the sentence, and 4) as a differentiator social identity. A form of social deixis found in a reader's letters in July 2016 edition of Kompas daily newspaper show their social differences from each participant involved in printed mass media communication. Differences in social background between the senders of the letter, readers and individuals referenced in the reader‟s letters column
Kompas cause their election or selection of word as a basic courtesy and etiquette in the language.
This reserach implicated to learning Indonesian language and literature for students of class IX Junior High School on their second semester, based on Curriculum KTSP with basic competence on writing reader‟s letters about school environment. Through this research, the teacher can be apply a pragmatic approach to train students to make a good reader‟s letters in accordance with the
criteria of a good reader‟s letters and used proper diction.
iii
kepada penulis, sehingga buah dari perjuangan dengan penuh kesabaran telah
terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw yang telah melakukan revolusi dari nalar jahiliah dan
mengantarkan kita kepada nalar islami yang diridhoi Allah Swt.
Skripsi yang berjudul “Deiksis Sosial pada Surat Pembaca Harian Kompas
Edisi Juli 2016 dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMP” adalah untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar sarjana
srata satu (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak sedikit
kesulitan dan aral melintang yang menghambat penulis. Namun berkat doa,
kesungguhan hati, kerja keras, dan bantuan berbagai pihak skripsi ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan yang telah memberikan pengetahuan serta pengalamannya
yang tulus ikhlas kepada penulis sebagai bekal untuk menyongsong masa
depan.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan dorongan
semangat selama penulis melaksanakan penyusunan skripsi.
3. Dr. Hindun, M.Pd. dan Ira Mayasari, M.Hum. selaku dosen penguji skripsi
yang telah meluangkan waktu untuk menguji, memberikan arahan dan
saran agar skripsi ini lebih baik sehingga dapat memberikan kontribusi
iv
dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
6. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd. selaku dosen pembimbing PPKT
yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.
7. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu dan inspirasinya kepada penulis selama perkuliahan.
8. Bapak Jito Marulloh dan Ibu Maani, kedua orangtua penulis yang selalu
melimpahkan kasih sayang, motivasi, dan doa yang tiada henti.
9. Fujiatur Riza, A.Md.Kom., Naila Azmi dan Muhammad Fadly Syamil,
sebagai anggota keluarga yang selalu memberikan semangat, doa, dan
dukungan.
10.Amin Nur, A.Md.Kep., teman dekat sejak SMA yang selalu memberikan
doa, motivasi, dan dukungan secara moril maupun materil. Terima kasih
atas kelapangan waktu untuk selalu menjadi tempat penulis berkeluh
kesah.
11.Teman seperjuangan PBSI angkatan 2012, kelas A dan B khususnya untuk
sahabat yang selalu ada dalam suka duka dan selalu menyemangati dalam
penyelesaian skripsi Aufalina Husna, Haiza Hazrina, Anis Rozanah,
Bernika Liana, Hasna Puspita Sari, Titih Sundari, Sa‟adah Abadiyyah,
Indah Dwi Wahyuni, Ika Farhana, dan teman-teman lainnya yang tidak
bisa saya sebutkan namanya.
12.Pusat Informasi Kompas yang telah memberikan informasi lengkap
mengenai sejarah dan penerbitan harian Kompas.
13.Teman-teman alumni MI At-Taqwa 20 Bekasi, alumni MTsN 15 Jakarta,
dan alumni SMAN 115 Jakarta dan semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah Swt membalas hal sekecil apappun yang kalian berikan
v
penulis khususnya serta pihak yang membutuhkan pada umumnya.
Jakarta, 15 Desember 2016
vi
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Perumusan Masalah ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI A. Pragmatik ... 7
B. Konteks ... 10
C. Deiksis 1. Hakikat Deiksis ... 13
2. Jenis Deiksis ... 16
D. Deiksis Sosial ... 24
1. Bentuk Deiksis Sosial ... 25
2. Fungsi Deiksis Sosial ... 28
E. Media Massa Cetak 1. Pengertian Media Massa Cetak ... 30
2. Pengertian Surat Kabar ... 31
3. Pengertian Surat Pembaca ... 32
4. Fungsi Surat Pembaca ... 33
vii
A. Metode Penelitian ... 39
B. Sasaran ... 40
C. Data dan Sumber Data ... 40
D. Teknik Pengolahan Data 1. Teknik pengumpulan Data ... 40
2. Teknik Analisis Data ... 41
E. Instrumen Analisis Data ... 43
F. Pelaksanaan Penelitian ... 43
BAB IV PEMBAHASAN A. Sejarah Singkat Harian Kompas ... 44
B. Analisis Deiksis Sosial pada Surat Pembaca harian Kompas Edisi Juli 2016 ... 46
C. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia... 152
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 155
B. Saran ... 156
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
Tabel 2.1 Bagan Pronomina Persona 18
Tabel 3.1 Contoh Judul Surat Pembaca harian Kompas yang
Dikumpulkan 41
Tabel 3.2 Contoh Instrumen Analisis Data Deiksis Sosial 43
Tabel 4.1 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Gaji
Ditahan” Kompas Edisi Jumat, 1 Juli 2016 46
Tabel 4.2 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Masalah
Sepanjang “By-Pass” Kompas Edisi Jumat, 1 Juli 2016 48
Tabel 4.3 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Lippo
Membantah” Kompas Edisi Sabtu, 2 Juli 2016 49
Tabel 4.4 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca
“Tanggapan Bumiputera” Kompas Edisi Sabtu, 2 Juli
2016 52
Tabel 4.5 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca
“Tanggapan 3” Kompas Edisi Sabtu, 2 Juli 2016 52
Tabel 4.6 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Mohon
Kembalikan SIM Saya” Kompas Edisi Sabtu, 2 Juli 2016 53
Tabel 4.7 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Berita
Lapindo” Kompas Edisi Senin, 4 Juli 2016 55
Tabel 4.8 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Telepon
ix
Tabel 4.10 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
Panitia SBMPTN” Kompas Edisi Selasa, 5 Juli 2016 59
Tabel 4.11 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Antareja
Kami Bangga” Kompas Edisi Selasa, 5 Juli 2016 62
Tabel 4.12 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
PAN Pacific Insurance” Kompas Edisi Sabtu, 9 Juli 2016 65
Tabel 4.13 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
BRI” Kompas Edisi Sabtu, 9 Juli 2016 66
Tabel 4.14 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Kenal tetapi
Tidak Kenal” Kompas Edisi Sabtu, 9 Juli 2016 67
Tabel 4.15 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Terima Kasih
Petugas Badara” Kompas Edisi Senin, 11 Juli 2016 69
Tabel 4.16 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Prosedur
Tilang” Kompas Edisi Senin, 11 Juli 2016 70
Tabel 4.17 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Menunggu
Hadiah” Kompas Edisi Senin, 11 Juli 2016 71
Tabel 4.18 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tas Plastik
Berbayar” Kompas Edisi Senin, 11 Juli 2016 71
Tabel 4.19 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Denda Kartu
Tamu” Kompas Edisi Selasa, 12 Juli 2016 73
Tabel 4.20 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Mengatasi
x
Tabel 4.22 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tagihan
Transaksi Gagal” Kompas Edisi Rabu, 13 Juli 2016 76
Tabel 4.23 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Sungkemlah
kepada Rakyat” Kompas Edisi Rabu, 13 Juli 2016 77
Tabel 4.24 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Visa „On
Arrival‟” Kompas Edisi Kamis, 14 Juli 2016 81
Tabel 4.25 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
RSUP Dr Sardjito” Kompas Edisi Kamis, 14 Juli 2016 82
Tabel 4.26 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
RSI Cempaka Putih” Kompas Edisi Kamis, 14 Juli 2016 83
Tabel 4.27 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Hak Pejalan
Kaki” Kompas Edisi Kamis, 14 Juli 2016 84
Tabel 4.28 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Kuda Hitam”
Kompas Edisi Jumat, 15 Juli 2016 86
Tabel 4.29 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Mulai
dari Diri Sendiri” Kompas Edisi Jumat, 15 Juli 2016 87
Tabel 4.30 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca
“Pendidikan Dokter” Kompas Edisi Sabtu, 16 Juli 2016 91
Tabel 4.31 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tunjangan
Sertifikasi” Kompas Edisi Sabtu, 15 Juli 2016 92
Tabel 4.32 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Idul Fitri”
xi
Tabel 4.34 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Pulsa
Hilang” Kompas Edisi Sabtu, 16 Juli 2016 96
Tabel 4.35 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Macet
“Brexit”” Kompas Edisi Sabtu, 16 Juli 2016 97
Tabel 4.36 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Semanggi
I-II dan Trisakti” Kompas Edisi Selasa, 19 Juli 2016 99
Tabel 4.37 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Stop
Pemberian Gelar Dr HC” Kompas Edisi Selasa 19 Juli
2016 104
Tabel 4.38 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Kontribusi
Tiga Duta Besar” Kompas Edisi Rabu, 20 Juli 2016 106
Tabel 4.39 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tunjangan
Sertifikasi” Kompas Edisi Rabu, 20 Juli 2016 107
Tabel 4.40 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tentang
“Aku” dan “Saya”” Kompas Edisi Rabu, 20 Juli 2016 109
Tabel 4.41 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
Kementrian LHK” Kompas Edisi Kamis, 21 Juli 2016 110
Tabel 4.42 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Subsidi
Transjakarta” Kompas Edisi Kamis, 21 Juli 2016 111
Tabel 4.43 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Ihwal
Dosen Pindah Antaruniversitas” Kompas Edisi Jumat,
22 Juli 2016 113
xii
“Memenangkan dan Memenangi” Kompas Edisi
Sabtu, 23 Juli 2016 116
Tabel 4.46 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Sulit
Kuliah ke Luar Negeri” Kompas Edisi Sabtu, 23 Juli
2016 117
Tabel 4.47 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Masih
Ada MOS” Kompas Edisi Senin, 25 Juli 2016 120
Tabel 4.48 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Polisi
Baik” Kompas Edisi Senin, 25 Juli 2016 122
Tabel 4.49 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Vaksin
Palsu” Kompas Edisi Senin, 25 Juli 2016 124
Tabel 4.50 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “UGD
Penuh” Kompas Edisi Selasa, 26 Juli 2016 126
Tabel 4.51 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Pesawat
Batal” Kompas Edisi Selasa, 26 Juli 2016 127
Tabel 4.52 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Harga
Daging Sapi” Kompas Edisi Selasa, 26 Juli 2016 129
Tabel 4.53 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Harapan
pada Kapolri” Kompas Edisi Rabu, 27 Juli 2016 130
Tabel 4.54 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Barang Tak
Datang” Kompas Edisi Rabu, 27 Juli 2016 132
Tabel 4.55 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Kepastian
xiii
Tabel 4.57 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Masuk
Provinsi” Kompas Edisi Kamis, 28 Juli 2016 136
Tabel 4.58 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Parkir
Liar” Kompas Edisi Jumat, 29 Juli 2016 137
Tabel 4.59 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Surat Tak
Lengkap” Kompas Edisi Jumat, 29 Juli 2016 139
Tabel 4.60 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca“Tanggapan
Bank Mega” Kompas Edisi Jumat, 29 Juli 2016 140
Tabel 4.61 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
BRI” Kompas Edisi Jumat, 29 Juli 2016 141
Tabel 4.62 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Bukan
Gerilyawan” Kompas Edisi Sabtu, 30 Juli 2016 141
Tabel 4.63 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
Batik Air” Kompas Edisi Sabtu, 30 Juli 2016 142
Tabel 4.64 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Tanggapan
BPJS” Kompas Edisi Sabtu, 30 Juli 2016 143
Tabel 4.65 Deiksis Sosial pada Kolom Surat Pembaca “Macet
xiv Lampiran 1 : Lembar Uji Referensi
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3 : Surat Pembaca harian Kompas Edisi Juli 2016
1
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam
berkomunikasi karena hanya bahasa yang mampu menerjemahkan
pikiran seseorang kepada orang lain, baik berbentuk ide, informasi atau
opini. Baik bahasa lisan maupun tulisan, keduanya memiliki fungsi untuk
menyatakan dan mendukung identitas diri, membangun kontak sosial
antara satu dengan yang lainnya, berpikir, berperilaku seperti yang
diinginkan, dan lain sebagainya.
Bahasa juga digunakan masyarakat untuk meneruskan pesan
komunikasi dalam berbagai media (seperti surat, telepon, radio, televisi,
dan sebagainya). Pemakaian bahasa dikatakan tepat apabila seorang
pembicara menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi saat terjadinya peristiwa pembicaraan, baik dalam bahasa tulis
maupun lisan. Wujud bahasa yang diungkapkan seseorang biasanya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi: siapa
yang menjadi lawan bicara, apa tujuan pembicaraan tersebut, masalah
apa yang dibicarakan serta kapan, di mana, dan dalam keadaan apa orang
dituju. Faktor-faktor tersebut menunjukan bahwa penggunaan bahasa
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang disebut konteks dan ilmu yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa yang kontekstual yakni deiksis.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk
menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur
bahasa itu sendiri.1 Istilah deiksis mungkin masih terdengar asing di
telinga sebagian orang, bahkan ada yang belum mengetahuinya,
walaupun dalam ujaran sehari-hari seseorang pasti mengandung kata-kata
deiktis seperti saya, di sini, sekarang, Bapak, Ibu, dan sebagainya yang
1
T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama,
rujukannya selalu berpindah-pindah. Deiksis diartikan sebagai hal atau
fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa. Jadi, perlu pemahaman
yang tepat mengenai kata-kata deiktis antara pembicara dengan lawan
bicara.
Penggunaan deiksis tidak hanya bisa kita jumpai dalam percakapan
secara langsung, namun kita juga bisa menemukannya di dalam
percakapan radio maupun televisi. Selain itu, deiksis juga bisa kita
jumpai dalam bahasa tulis seperti cerpen, novel, naskah drama, maupun
dalam media massa cetak seperti majalah, tabloid, surat kabar, dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan ini, peneliti tertarik untuk membahas
deiksis sosial yang terdapat dalam surat kabar.
Surat kabar merupakan salah satu media cetak yang banyak
diminati oleh masyarakat sebagai sarana penuangan gagasan secara
tertulis. Masyarakat berlomba-lomba untuk menuangkan gagasannya
menggunakan bahasa yang mudah dipahami pembaca dengan gaya
bahasa jurnalistik yang dikenal lugas, longgar, dan tidak normatif. Selain
itu, di era reformasi seperti saat ini kebebasan untuk bersuara membuat
dunia jurnalistik kita semakin berkembang. Berkembangnya berbagai
media penyalur informasi pada dasarnya harus diiringi dengan
berkembangnya pemikiran masyarakat bahasa yang bisa menerapkan
bahasa yang baik, hingga akhirnya akan mewujudkan masyarakat yang
cerdas, kreatif, dan inovatif.
Media massa cetak seperti surat kabar yang hingga sekarang
berkembang pesat juga telah menjadi salah satu sarana penunjang
informasi untuk masyarakat yang haus akan berita atau peristiwa yang
sedang hangat. Meskipun telah hadir berbagai berita melalui media
online seperti yang bisa didapatkan dengan mudah di telepon genggam,
surat kabar dengan berbagai rubriknya memiliki daya tarik tersendiri bagi
para penikmatnya. Penikmat media massa cetak masih menaruh
kepercayaan yang penuh terhadap surat kabar sebagai sarana penyampai
pertimbangan berita, dan memelihara keselarasan informasi.
Informasi-informasi yang disampaikan di surat kabar juga sering bersifat investigasi
(dengan merekam fakta, melakukan peninjauan, percobaan, dan
sebagainya). Hal ini membuat pembaca lebih kritis dalam menanggapi
berita yang dimuat dalam surat kabar tersebut.
Salah satu surat kabar yang masih memiliki eksistensi di kalangan
masyarakat Indonesia, khususnya di Ibu Kota adalah harian Kompas.
Harian Kompas dipilih penulis karena Kompas telah dipercaya oleh
masyarakat sebagai sumber berita yang akurat dan lengkap sejak tahun
1965. Sebagai surat kabar yang sudah lama eksis di Indonesia Kompas
selalu memberikan berita aktual dan terbaru serta berita yang menjadi
sorotan publik secara rinci. Rubrik yang terdapat di dalamnya pun
beragam di antaranya yaitu Berita Utama, Bisnis dan Keuangan,
Humaniora, Opini, Sosok, Politik dan Hukum, Nama dan Peristiwa,
Nusantara, Metropolitan, dan Olahraga.
Salah satu bagian yang tak kalah penting dalam harian Kompas
bagi masyarakat yang ingin menuangkan gagasan, kritik, serta sarannya
mengenai masalah publik adalah kolom “Surat Pembaca”. Sebagai media
penyalur aspirasi masyarakat “Surat Pembaca” berisikan tulisan dari
masyarakat megenai kritikan atau protes terhadap suatu instansi ataupun
terhadap peristiwa tertentu yang tidak mampu memberikan pelayanan
yang baik. Sebagai media aspirasi publik “Surat Pembaca” bukan sekadar
sarana penyampai protes atau kritik. Lebih dari itu bisa juga dijadikan
wadah bertukar pendapat atau forum dialog mengenai banyak hal yang
terjadi di masyarakat.
Dalam kolom “Surat Pembaca” bahasa yang digunakan
mengandung ungkapan deiksis sosial yang selalu berpindah-pindah atau
berbeda makna dan rujukannya. Setiap harinya, harian Kompas selalu
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya lewat forum ini sebanyak 2-4 Surat Pembaca. Di setiap
pelayanan publik ataupun peristiwa yang berbeda. Hal tersebut
menandakan bahwa yang diacu dalam pembicaraan pun berbeda-beda.
Selain itu, latar belakang sosial sosial yang berbeda di setiap masyarakat
yang mengirimkan surat juga menimbulkan adanya sistem sapaan atau
pemilihan kata yang berbeda kepada pihak yang dituju. Seperti halnya
panggilan yang menunjukkan kehormatan, keakraban, maupun
merendahkan. Hal ini menunjukan bahwa deiksis sosial bukan hanya
sekedar mencerminkan bahasa, melainkan wujud dari sebuah budaya.
Perkembangan bahasa di media massa cetak seyogyanya dapat
mencerminkan bahasa yang tetap mengedepankan unsur kesantunan
dalam berbagai penulisan rubriknya. Terlebih, masyarakat Indonesia
terdiri dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda-beda. Hal
tersebut dapat dibuktikan dalam penggunaan deiksis sosial yang sesuai
dengan nilai rasa atau budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk mengkaji deiksis sosial lebih dalam lagi.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana wujud deiksis sosial
yang tergambar dalam kolom Surat Pembaca harian Kompas yang ditulis
oleh berbagai kalangan masyarakat.
Dengan adanya analisis deiksis sosial pada kolom Surat Pembaca,
diharapkan penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa akan lebih mudah memahami
maksud sebuah ujaran/teks apabila siswa memahami deiksis sosial.
Begitu juga saat menulis sebuah karangan, siswa akan mengetahui
deiksis sosial apa saja yang bisa digunakan sesuai dengan konteks.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji pemakaian deiksis sosial yang ada dalam Surat Pembaca harian
Kompas. Searah dengan permasalahan, judul dalam penelitian ini adalah
“Deiksis Sosial pada Surat Pembaca Harian Kompas Edisi Juli 2016 dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis dapat
menyimpulkan bahwa rubrik Surat Pembaca yang terdapat pada harian
Kompas adalah sebuah wadah bagi masyarakat dari berbagai golongan
dan tingkatan sosial yang beraneka ragam untuk menuangkan kritik,
komentar, saran atau usulan yang dituangkan dalam bentuk tulisan
terhadap suatu lembaga atau pelayanan publik.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, timbullah identifikasi
masalah sebagai berikut:
a. Perkembangan media massa cetak yang pesat harus dibarengi dengan
penggunaan bahasa yang tetap mengedepankan unsur kesantunan,
salah satunya penggunaan deiksis sosial yang tepat.
b. Perlunya pembahasan secara mendalam mengenai bentuk deiksis
sosial yang terdapat dalam Surat Pembaca harian Kompas.
c. Pemakaian deiksis sosial dalam berbagai media, bukan hanya
mencerminkan bahasa, melainkan wujud dari sebuah budaya.
d. Perlunya peningkatan pengetahuan siswa terhadap deiksis sosial
dalam memahami Surat Pembaca maupun dalam menulis Surat
Pembaca sebagai implikasi dari pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMP.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan tersebut,
agar ruang lingkup pembahasan lebih terkonsentrasi, maka penulis perlu
membatasi permasalahan yang akan diteliti pada “Deiksis Sosial pada
Surat Pembaca Harian Kompas Edisi Juli 2016 dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP”
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang
1. Bagaimana bentuk deiksis sosial yang terdapat dalam rubrik Surat
Pembaca harian Kompas edisi Juli 2016?
2. Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menganalisis lebih
rinci mengenai hal-hal yang sudah dirumuskan dalam pembatasan
masalah, yakni:
1. Untuk mendeskripsikan bentuk deiksis sosial yang terdapat dalam
kolom Surat Pembaca harian Kompas edisi Juli 2016.
2. Untuk mendeskripsikan implikasi penelitian terhadap pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
teoritis mengenai kajian ilmu pragmatik hingga dapat memperkaya
pengetahuan mengenai deiksis terutama deiksis sosial, menambah
khasanah bahasa, serta dapat menjadi tambahan referensi ilmiah
tentang penelitian media massa cetak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan akan menjadi suatu bahan masukan untuk
menambah wawasan bagi para praktisi maupun pendidik bahasa
Indonesia untuk dijadikan acuan dalam memberikan informasi
mengenai pemakaian bahasa, khususnya pemakaian deiksis sosial
dalam surat pembaca harian Kompas. Selain itu, penelitian ini
diharapkan mampu membantu dalam memberikan masukan pada
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
Pragmatik merupakan disiplin ilmu bahasa yang mengkaji makna
yang erat kaitannya dengan penutur/pemakai bahasa dan atau lawan
tuturnya, keadaan/situasi, serta konteks yang melatarbelakangi peristiwa
tuturan tersebut. Nadar mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan
cabang linguistik yang mempelajari bahasa untuk berkomunikasi dalam
situasi tertentu.1 Sementara itu, Leech menyatakan bahwa pragmatik
adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar
(speech situations).2
Definisi mengenai pragmatik juga diungkapkan oleh beberapa
pakar pragmatik seperti Morris dalam Purwo yang mengungkapkan bahwa
“pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara lambang dan
penafsirnya”.3
Definisi tersebut juga sejalan dengan apa yang dikatakan
Verhaar, ia mengatakan bahwa Pragmatik adalah cabang linguistik yang
membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat
komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa pada hal-hal „ekstralingual‟ yang dibicarakan.4 Pragmatik
mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.5 Jadi,
pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji fungsi
penggunaan bahasa secara ekstralingual seperti maksud pembicara,
konteks, dan keadaan.
1
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 2
2
Geoffery Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2011), h.8
3
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa : Menyibak Kurikulum
1984, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h.15
4
J. W. M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), Cet. Ke-1, h.14
5
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta :
Nababan merangkum dua definisi pragmatik dari pendapat
Levinson. (1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan
konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”, merujuk kepada
fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga
pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni
hubungan dengan konteks pemakaiannya, (2) “pragmatik ialah kajian
tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.6 Dari kedua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik mengkaji makna
bahasa yang diselaraskan dengan konteks yang mendasari suatu kalimat
sesuai dengan kemampuan pengetahuan pemakai bahasa di luar kalimat itu
sendiri.
Sementara itu, Yule memberikan empat definisi penting mengenai
pragmatik.
1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Studi tentang makna
yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh
pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak
berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang
dengan tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau
frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.
2. Pragmatik adalah studi tentang kontekstual. Tipe studi ini perlu
melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam
suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh
terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang
bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan
yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara di mana,
kapan, dan dalam keadaan apa.
3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan. Pendekatan ini juga perlu
6
P.W.J. Nababan, Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), (Jakarta : Departemen
menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang
apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna
yang dimaksudkan oleh penutur. Tipe studi ini menggali betapa
banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang
disampaikan.
4. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Pandangan ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang apa yang
menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak
dituturkaan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak
keakraban, baik keakraban fisik, sosial, atau konseptual, menyiratkan
adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi tentang semakin dekat
atau jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak
kebutuhan yang dituturkan .7
Dari kempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik
adalah ilmu yang berkaitan dengan bagaimana seorang penutur
menyampaikan suatu maksud terhadap lawan tuturnya dengan
menyesuaikan konteks situasi ujaran. Pragmatik berusaha menafsirkan
makna tersirat yang terkandung di dalam ujaran/proses komunikasi.
Biasanya, seringkali seorang penutur berharap apa yang ingin disampaikan
lebih banyak daripada apa yang dituturkan. Namun, terkadang lawan
tuturnya tidak menangkap secara penuh apa yang dimaksudkan oleh
penutur. Oleh karena itu, untuk memahami setiap ujaran dalam proses
komunikasi dibutuhkan pengetahuan yang sama antara penutur dan lawan
tutur mengenai konteks yang melatarbelakangi ujaran mereka.
Pragmatik mencakup studi interaksi antara pengetahuan
kebahasaan dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiiki oleh
pendegar/pembaca. Studi ini melibatkan unsur interpretatif yang mengarah
pada studi tentang keseluruhan pengetahuan dan keyakinan akan konteks.8
7
George Yule, (Penerjemah Rombe Mustajab), Pragmatik, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2014), h. 3-4
8
T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama,
B. Konteks
Mey dalam Nadar mendefinisikan konteks sebagai situasi
lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk
dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami.
Pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijana yang
menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.
Searle, Kiefer, dan Bierwich dalam Nadar juga menegaskan bahwa
pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat
mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan
tersebut tergantung pada kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut
dalam konteks.9
Seseorang yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam peristiwa
pertuturan dapat memahami ujaran apabila ia mengetahui bagaimana
situasi lingkungan yang menyebabkan peristiwa pertuturan tersebut terjadi.
Situasi lingkungan di sini bermakna luas, yakni segala yang mendukung
peserta pertuturan untuk berkomunikasi. Bagaimana seseorang
menginterpretasikan pemahamannya mengenai sebuah tuturan tergantung
pada bagaimana cara dia memahami kondisi khusus penggunaan ungkapan
tersebut.
Konsep teori konteks dipelopori oleh antropolog Inggris Bronislaw
Malinowski. Malinowski berpendapat bahwa untuk memahami ujaran
harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi
ujaran itu, kita dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga
aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dikorelasikan. Teori
konteks intinya adalah: (a) makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas
yang berwujud kata, tetapi terpadu pada ujaran secara keseluruhan, (b)
makna tak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan acuan) atau secara
9
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h.
trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau
tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.10
Seseorang tidak bisa memahami sebuah ujaran hanya dengan
mengartikan kata demi kata yang ada di dalamnya. Namun, harus
mengartikan ujaran tersebut secara menyeluruh yang didukung oleh
situasi.
Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Sejalan dengan
pernyataan tersebut Leech dalam Nadar menyebutkan konteks merupakan
latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur
sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang
dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu. Dengan
demikian konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan
sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama
dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur
menafsirkan makna tuturan.11 Interpretasi seseorang mengenai sebuah
tuturan sangat bergantung pada latar belakang pemahaman yang
dimilikinya terkait tuturan tersebut.
Syafi‟ie dalam Lubis mengatakan bahwa konteks pemakaian
bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu; (1) konteks fisik
(physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa
dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi
itu; (2) konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara atau pendengar;
(3) konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat
atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu
dalam peristiwa komunikasi; (4) konteks sosial (social context), yaitu
relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara
(penutur) dengan pendengar.12
10
Mansoer Pateda, Linguistik (Sebuah Pengantar), (Bandung: Angkasa, 2011 ), h. 118
11
Nadar, Op.Cit., h. 6-7
12
Konteks erat kaitannya dengan tempat terjadinya pertuturan, latar
belakang pengetahuan yang dimiliki peserta pertuturan, kalimat-kalimat
lain yang mendukung kejelasan makna keseluruhan tuturan, dan relasi
sosial/latar sosial yang melengkapinya.
Firth dalam Wijana mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak
dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi
partisipasi, tindakan partisipasi (baik tindak verbal maupun nonverbal),
ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung dan
dampak-dampak tindakan tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk
perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan.13 Jadi, kontekslah yang
menjadi pijakan utama di dalam analisis pragmatik. Yang dimaksudkan
dengan konteks termasuk ihwal siapa yang mengatakan, kepada siapa,
tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan
mengenai yang terlibat di dalam tindakan yang mengutarakan kalimat
itu.14 Jika kita menganalisis sebuah bahasa, terutama dalam analisis
pragmatik, maka tidak mungkin dapat kita lepaskan dari konteks yang
melingkupinya, berupa segala yang relevan yang terlibat/terkait dalam
kalimat yang diujarkan.
Konteks merupakan ciri/gambaran yang berfokus pada budaya dan
linguistik sesuai dengan ujaran yang dihasilkan dan interpretasinya.
Beberapa ciri/gambaran konteks adalah adanya pengetahuan tentang:
1. Norma (norma pembicaraan dan kaidah sosial) dan status
(konsep-konsep tentang status sosial
2. Ruang dan waktu,
3. Tingkat formalitas,
4. Media (sarana),
5. Tema,
6. Wilayah bahasa.
13
I Dewa Putu Wijana, Dasar-Dasar Pragmatik, (Yogyakarta : ANDI, 1996), h. 5
14
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa : Menyibak Kurikulum
Konsep konteks mencakup pula dunia sosial dan psikologis yang
dimanfaatkan oleh pemakai bahasa terhadap latar temporal, sosial, spasial,
aksi (verbal dan nonverbal) serta tingkat pengetahuan dan kepedulian
dalam interaksi sosial.15
Dapat disimpulkan bahwa ketika kita berbicara pragmatik, konteks
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Pragmatik sebagai ilmu yang
mempelajari kaitan antara bahasa dan konteks berusaha untuk menafsirkan
dan mengaitkan suatu kalimat dengan berbagai aspek yang
melatarbelakanginya. Termasuk di dalamya pengetahuan yang dimiliki
penutur dan lawan tutur, situasi bahasa, situasi sosial, dan lain sebagainya.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai konteks yang telah
dijabarkan, penulis mengambil fokus konteks menurut Syafi‟ie yang akan
penulis gunakan dalam menganalisis temuan data.
C. Deiksis
1. Hakikat Deiksis
Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos, yang berarti „hal
penunjukan secara langsung‟. dalam logika istilah Inggris deictic
dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung sebagai
lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah untuk pembuktian
tidak langsung. Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila
referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti tergantung pada siapa
yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat
dituturkannya kata itu.16 “The most obvious way in which the
relationship between language and context is reflected in the
structures of languages themselves, is through the phenomenon of
deixis.” (Levinson dalam bukunya menyebutkan bahwa cara yang
paling jelas untuk mencerminkan hubungan antara bahasa dan konteks
15
T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama,
2012), h. 48-49
16
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
dalam struktur bahasa itu sendiri adalah melalui deiksis.)17 Deiksis
memang terkait erat dengan konteks. Hal-hal penunjukan yang
terdapat dalam suatu kalimat yang dituturkan seseorang tentu dapat
kita kaitkan dengan segala konteks yang melingkupinya.
Alwi mengatakan bahwa deiksis adalah gejala semantis yang
terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan
acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau
konstruksi seperti itu bersifat deiktis. Deiksis merujuk kepada waktu,
tempat, persona, dan semua hal yang berhubungan dengan situasi
pembicaraan.18 Sementara itu, Verhaar mempunyai definisi tersendiri
mengenai deiksis, menurutnya deiksis adalah semantik (di dalam
tuturan tertentu) yang berakar pada identitas penutur. Semantik itu
dapat bersifat gramatikal, dapat bersifat leksikal pula bila hal yang
diacu merupakan akar referensi sehingga perlu diketahui identitas.19
Seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali
menggunakan kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu
maupun tempat. Kata-kata yang lazim disebut sebagai deiksis tersebut
berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi
antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan tergantung pada
pemahaman deiksis yang digunakan oleh seorang pentur.20 Suatu
ungkapan deiksis dapat dipahami benar apabila kalimat yang
diujarkan seseorang dapat dipahami oleh lawan tutur/pembacanya.
Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata yang deiktis.
Kata-kata seperti ini tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda
halnya dengan kata seperti kursi, rumah, kertas. Siapa pun yang
mengucapkan kata kursi, rumah, kertas, di tempat mana pun, pada
17
Stephen C. Levinson, Pragmatics, (England : Cambridge University Press, 1983), h. 54
18
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
h. 42
19
J. W. M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), h. 397
2020
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009),
waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi,
referen dari kata saya, sini, sekarang, barulah dapat diketahui jika
diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata
itu diucapkan.21 Hal tersebut dapat tergambar dalam contoh berikut:
1. Buku ini saya beli di situ
2. Buku itu saya beli di sana
Pada (1) buku ini dan pada (2) buku itu, kata ini dan itu
sebagai penanda takrif (definite). Buku ini maksudnya buku yang ada
di sini atau buku yang dekat dengan pembicara; buku itu maksudnya
buku yang ada di situ atau buku yang tidak dekat dengan pembicara.22
Seseorang bisa memahami acuan kata di sini, di sana, ini, dan itu
secara benar dalam kalimat tersebut apabila ia terlibat dalam
pembicaraan atau tidak terlibat tetapi mengetahui bagaimana konteks
yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut.
Ciri khas ungkapan deiksis adalah selalu berpindah-pindah pada
tiap situasi maupun konteksnya. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Alan Cruse “Deixis means different things to different
people”23 (deiksis berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda).
Deiksis berhubungan erat dengan cara menggramatikalisasikan
ciri-ciri konteks ujaran atau peristiwa ujaran yang berhubungan pula
dengan interpretasi tuturan yang sangat bergantung pada konteks
tuturan itu sendiri.
Deiksis disebut juga sebagai informasi kontekstual secara leksikal
maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda,
tempat, ataupun waktu, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu
merupakan beberapa kata deiktik yang memberi penunjuk pada
konteks tertentu yang berarti bahwa makna ujaran tersebut harus
21
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa : Menyibak Kurikulum
1984, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 17
22
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik II Relasi Makna
Paradigmatik-Sintagmatik-Derivasional, (Bandung : PT Refika Aditama, h. 66
23
Alan Cruse, Meaning In Language; An Introdustion to Semantic and Pragmatic, (New
dipahami dengan tegas. Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis,
misalnya then hanya dapat dirujuk dari situasinya. Untuk menafsirkan
deiksis-deiksis itu, semua ungkapan bergantung pada penafsiran
penutur dan pendengar dalam konteks yang sama.24
Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila
acuan/rujukan/referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti
bergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan bergantung
pula pada saat tempat dituturkannya kata itu. Makna dari kata atau
kalimat yang bersifat deiksis disesuaikan dengan konteks. Artinya,
makna tersebut berubah bila konteksnya berubah. Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah
kata yang memiliki referen atau acuan yang berubah-ubah bergantung
pada pembicara saat mengutarakan ujaran tersebut dan dipengaruhi
oleh konteks dan situasi yang melatarbelakanginya.
2. Jenis-jenis Deiksis
Deiksis dapat dibedakan ke dalam beberapa macam. Beberapa
pakar mengemukakan pendapat yang berbeda-beda mengenai jenis
deiksis. Bambang Kaswanti Purwo dalam bukunya menyebutkan
bahwa deiksis dapat dibedakan menjadi (1) deiksis luar-tuturan, yang
terdiri dari: deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu, (2)
deiksis dalam tuturan (endofora), (3) pembalikan deiksis, dan (4) peka
konteks.25 Di pihak lain Nababan membagi deiksis dalam kajian
pragmatik menjadi lima macam deiksis, yakni: (1) deiksis orang, (2)
deiksis tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, (4) deiksis
sosial.26 Dalam penelitian ini penulis mengacu pada pembagian
deiksis menurut Nababan.
24
George Yule, (Penerjemah Rombe Mustajab), Pragmatik, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2014), h. 14
25
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984)h. 7-8
26
P.W.J. Nababan, Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), (Jakarta : Departemen
a. Deiksis Orang/persona (person deixis)
Deiksis orang yang menjadi kriteria ialah peran peserta
dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibedakan
menjadi tiga macam. Pertama ialah orang pertama yaitu kategori
rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang
melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, kami. Kedua ialah orang
kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang
pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya
kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori
rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar
ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.27
Person deixis concerns the encoding of the role of the
participants in the speech event which the utterance in question is
delivered.28 (deiksis persona berhubungan dengan pemahaman
mengenai peserta pertuturan dalam situasi pertuturan di mana
tuturan tersebut dibuat)
Acuan yang ditunjuk oleh pronomina persona
berganti-ganti bergantung kepada peranan yang dibawakan peserta tindak
ujaran. Orang yang sedang berbicara (aku, saya, kami) mendapat
peranan yang disebut persona pertama. Apabila ia tidak berbicara
lagi, dan kemudian menjadi pendengar maka ia berganti menjadi
persona kedua (engkau, kami, anda, kalian). Orang yang tidak
hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi menjadi bahan
pembicaraan) atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan
(tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan secara aktif) disebut
persona ketiga (ia, dia, beliau, mereka).29 Oleh karena itu, untuk
mempelajari ungkapan-ungkapan deiksis, kita harus menemukan
27
Bambang Yudi Cahyono, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya : Airlangga
University Press, 1995), h. 218
28
Stephen C. Levinson, Pragmatics, (England : Cambridge University Press, 1983), h. 62
29
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik II Relasi Makna
pergantian percakapan masing-masing orang dari kedudukannya
sebagai saya menjadi kamu secara konstan.30
Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk
pronominal. Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai
untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu
pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada
orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau
mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona
ketiga). Di antara pronomina itu ada yang mengacu pada jumlah
satu atau lebih dari satu. Ada yang bersifat eksklusif, inklusif, dan
ada yang bersifat netral. Berikut ini pronomina persona yang
[image:37.595.114.517.119.690.2]disajikan dalam bagan.31
Tabel 2.1 Bagan Pronomina Persona
Persona Makna
Tunggal Jamak
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama Saya, aku, ku-, -ku, daku
kami kita
Kedua Engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -mu
Kalian, kamu, sekalian, Anda sekalian Ketiga Ia, dia, beliau,
-nya
Mereka
Dalam ragam nonstandar, jumlah pronomina lebih banyak
daripada yang terdaftar tersebut karena pemakaian nonstandar
tergantung dari daerah pemakaiannya.32 Ragam nonstandar yang
sering kita gunakan sehari-hari mislanya kata gue/elu, atau dalam
bahasa Jawa misalnya mengguakan kowe, dan lain sebagainya.
30
George Yule, (Penerjemah Rombe Mustajab), Pragmatik, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2014), h.15
31
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
h.249
32
Harimurti Kridalaksana, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia
Intinya, acuan yang ditunjuk oleh kata ganti persona
berganti-ganti sesuai dengan peranan yang digunakan oleh peserta tutur.
b. Deiksis Tempat/ruang (place deixis)
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut
peserta dalam peristiwa bahasa. Lokasi dalam sebuah bahasa
biasanya terbagi menjadi yang dekat dengan pembicara (di sini),
yang bukan dekat kepada pembicara/yang dekat dengan
pendengar (di situ), dan yang bukan dekat dengan pembicara dan
pendengar (di sana). Dalam tata bahasa, kata/frasa seperti ini
disebut kata/frasa keterangan tempat.33
Place deixis concerns the encoding of spatial locations
relative to location of the participants in the speech event.34
(deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi atau
tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi
pertuturan).
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relatif penutur dan
mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Dalam hal tertentu
tidakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak
menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya,
kita memakai kata begini. Jika kita merujuk pada suatu tindakan,
kita memakai kata begitu.35 Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa deiksis tempat berhubungan erat antara orang dan benda
yang ditunjukkan. Seperti yang dekat atau jaraknya terjangkau
oleh penutur dan jaraknya jauh; tidak terjangkau oleh penutur.
Berikut adalah contoh kalimat yang mengandung deiksis tempat:
1. Duduklah kamu di sini.
2. Di sini dijual gas elpiji.
33
P.W.J. Nababan, Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), (Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), h. 41
34
Stephen C. Levinson, Pragmatics, (England : Cambridge University Press, 1983), h.62
35
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta :
3. (Jakarta sangat padat dengan mobil). Di sini manusia
harus hidup dengan prinsip selaras, serasi, dan
seimbang.
4. (Indonesia adalah negara budaya Timur). Di sini
manusia harus hidup dengan prinsip selaras, serasi,
dan seimbang.
Frasa di sini pada kalimat (1) mengacu pada sebuah kursi
atau sofa. Pada kalimat (2) acuannya lebih luas, yakni suatu toko
atau tempat pejualan yang lain. Pada kalimat (3) ruang
lingkupnya Jakarta, dan pada kalimat (4) ruang lingkupnya
Indonesia.36 Dari beberapa contoh kalimat yang mengandung
deiksis tempat tersebut terlihat bahwa yang diacu dalam
pernyataan berbeda-beda. Meskipun semua kalimat terdapat kata
di sini, namun masing-masing memiliki rujukan yang
berbeda-beda sesuai dengan konteks yang mendukungnya.
c. Deiksis Waktu (time deixis)
Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentan waktu
seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa, yaitu
sekarang, pada waktu itu, kemarin, bulan ini, dan sebagainya.37
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis
dan mitra tutur atau pembaca. Penggunaan waktu di setiap bahasa
berbeda-beda yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu
dengan kata tertentu.38 Intinya deiksis ini berhubungan dengan
struktur temporal.
Kata-kata penunjuk waktu dapat bersifat deiktis dan tidak
deiktis. Kata-kata penunjuk waktu seperti pagi, siang, sore, dan
malam tidak bersifat deiktis karena perbedaan masing-masing
36
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
h. 42
37
Nababan, Op.Cit., h. 41
38
kata itu ditentukan berdasarkan patokan posisi planet bumi
terhadap matahari. Kata-kata penunjuk waktu dapat bersifat
deiktis apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara. Kata
sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata
itu (dalam kalimat) atau yang disebut saat tuturan. Kata kemarin
bertitik labuh pada satu hari sebelum saat tuturan. Kata besok
bertitik labuh pada satu hari sesudah saat tuturan.39
Time deixis concerns the encoding of temporal points and
spans relative to the time at which an utterance was spoken (or a
writen message inscribed.40 (deiksis waktu berhubungan dengan
pemahaman titik ataupun rentang waktu saat tuturan dibuat (atau
pada saat pesan tertulis dibuat). Dengan demikian, deiksis waktu
merupakan pemberian bentuk tentang waktu yang mengacu pada
berlangsungnya kejadian, baik masa lampau, kini, maupun
mendatang. Contoh mengenai deiksis waktu adalah sebagai
berikut:
1) Kita harus berangkat sekarang.
2) Harga barang naik semua sekarang.
3) Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana.
Pada kalimat (1) sekarang merujuk ke jam atau bahkan
menit. Pada kalimat (2) cakupan waktunya lebih luas, mungkin
sejak minggu lalu sampai ke hari ini. Pada kalimat (3)
cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak
mustahil bertahun-tahun pula. Kata sekarang beroposisi dengan
kata deiktis penunjuk waktu lain, seperti besok atau nanti, acuan
kata sekarang selalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan.41
d. Deiksis Wacana (discourse deixis)
39
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h. 71
40
Stephen C. Levinson, Pragmatics, (England : Cambridge University Press, 1983), h. 62
41
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian
tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang
dikembangkan. Dalam tata bahasa ini disebut anafora (merujuk
kepada yang sudah disebut) dan katafora (merujuk kepada yang
akan disebut). Bentuk-bentuk yang termasuk dalam deiksis
wacana adalah kata/frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut,
yang pertama disebut, begitulah, dan sebagainya.42
Berikut adalah contoh anafora dan katafora dalam deiksis
wacana:
(1) Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
(2) Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.
Dari kedua contoh di atas dapat diketahui bahwa –nya pada
kalimat (1) mengacu ke Paman yang sudah disebut sebelumnya,
sedangkan contoh (2) mengacu ke mangga yang disebut
kemudian.43
Dalam deiksis wacana ungkapan linguistik digunakan untuk
mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas
(baik teks tertulis maupun/ataupun teks lisan) tempat terjadinya
ungkapan-ungkapan ini. Hal tersebut berupa adanya aspek-aspek
ruang dan waktu, maka sudah biasa bila deiksis wacana harus
diungkapkan melalui banyak unsur linguistik yang sama yang
digunakan untuk mengungkapkan ruang deiksis ruang dan
waktu44
Deiksis wacana berkaitan dengan bagian-bagian tertentu
dalam wujud kebahasaan yang merujuk pada suatu wacana
tertentu. Bahasan deiksis wacana yang lebih luas juga
42
P.W.J. Nababan, Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), (Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), h. 42
43
Bambang Yudi Cahyono, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya : Airlangga
University Press, 1995), h. 219
44
Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta :
dikarenakan di dalamnya melibatkan aspek orang, ruang, dan
waktu yang dirujuk dengan sebutan anafora dan katafora.
e. Deiksis Sosial (social deixis)
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan
perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara
dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan
kata. Dalam masyarakat Jawa pada umumnya digunakan etiket
bahasa, yaitu pemilihan tingkatan bahasa yang menurut
kedudukan sosial pembicara, pendengar, atau orang yang
dibicarakan. Sebagai contoh bentuk sapaan yang sepadan dengan
Anda dapat dinyatakan dengan kowe, sampeyan, panjenengan,
yang bertentangan dari tingkatan kesopanan berbahasa dari paling
rendah hingga paling tinggi.45
Deiksis mencakup ungkapan-ungkapan dari kategori
gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya seperti
kata ganti dan kata kerja, menerangkan berbagai entitas dalam
konteks sosial,linguistik, atau ruang-waktu ujaran yang lebih
luas.46 Deiksis sosial mencakup rujukan yang biasanya dikaitkan
dengan konteks sosial di masyarakat, sehingga wujudnya bisa
beragam dan banyak. Berikut adalah contoh kalimat yang
mengandung deiksis sosial:
“Kepada Prof. Dr. Fadly Syamil, M.Pd. selaku Wakil
Rektor dipersilakan untuk memberikan sambutan”
Kalimat di atas menunjukan bahwa terdapat adanya rasa
ketakziman terhadap seorang yang status sosialnya lebih tinggi,
yakni adanya sebutan gelar. Kalimat tersebut dapat diungkapkan
karena pembicara telah mengetahui konteks yang terkait dalam
pembicaraanya. Jadi, deiksis sosial mengungkapkan adanya
45
Cahyono, Op.Cit., h. 219
46
Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta :
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat yang terwujud dalam
peristiwa berbahasa.
D. Deiksis Sosial
Social deixis concerns the encoding of social distinctions that are
relative to participant-roles, particularly aspects of the social relationship
holding between speakers and adresses or speaker and some referent.47
(Deiksis sosial berhubungan dengan suatu ungkapan yang menunjukkan
perbedaan-perbedaan sosial yang terdapat di antara peran-peran peserta
pembicara terutama aspek peran sosial antara pembicara dengan rujukan
yang lain). Deiksis sosial adalah suatu ungkapan yang menunjukkan
adanya perbedaan sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam peristiwa
berbahasa antarpartisipan. Deiksis ini berhubungan dengan aspek sosial
budaya suatu masyarakat dan menyebabkan timbulnya kesopanan atau
etiket berbahasa. Semua itu disesuaikan dengan aspek sosial budaya yang
ada pada partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.
Dalam beberapa bahasa perbedaan tingkat sosial antara pembicara
dengan si alamat/ pendengar diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau
sistem morfologi kata-kata tertentu. Dalam bahasa Jawa misalnya,
memakai kata nedo dan kata dahar (makan); memilih kata omah dan griyo
(rumah); menyebut si alamat kowe atau sampeyan atau panjenengan,
menunjukan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara,
pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara
tradisio