• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Kondisi Fisik DAS Ciliwung Hulu

4.2.3 Partisipasi Masyarakat dan Indeks Pembangunan Manusia

Partisipasi masyarakat adalah salah satu unsur penting dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena pada dasarnya kualitas lingkungan hidup tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Umumnya faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah tingkat pendidikan jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan (Sudjono 1990; Dewi 1997). Penelitian Sabri (2004) di Sub-Das Ciliwung hulu menunjukkan partisipasi masyarakat dalam membayar iuran konservasi, yang ditunjukkan oleh nilai WTP (willingness to pay), cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang pendidikan dan penghasilannya lebih tinggi (Sabri 2004).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu ukuran kualitas kehidupan masyarakat dari perspektif pembangunan manusia, terdiri atas empat komponen yaitu: angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Keempat komponen tersebut secara tidak langsung menunjukkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat kesehatan masyarakat. Nilai IPM Kabupaten Bogor selama kurun waktu 2002-2007 relatif masih rendah (Tabel 7 ).

Tabel 7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Kabupaten Bogor 2002-2007

Tahun Rata-rata Lama Sekolah (tahun) Angka Harapan Hidup (tahun) Angka Melek Huruf (%) Kemampuan Daya Beli (Rp) IPM (tanpa satuan) 2002 6,10 66,80 92,80 550.400 67,70 2003 6,18 66,82 92,80 551.520 67,80 2004 6,26 66,94 93,22 552.450 68,10 2005 6,89 67,10 93,91 556.750 68,99 2006 td td td td 69,45 2007 td td td td 69,70

Semakin tinggi komponen rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli masyarakat, secara tidak langsung menunjukkan tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat yang semakin tinggi pula. Berdasarkan komponen pembentuk IPM tersebut, maka IPM dapat menjadi langkah awal untuk memperkirakan kecenderungan peningkatan partisipasi masyarakat.

4.3. Tutupan Lahan

Peningkatan luas kawasan permukiman diperlihatkan oleh peningkatan tutupan lahan permukiman. Sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000), atau meningkat sebesar 4,53%, akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relatif lebih cepat selama kurun waktu 6 tahun 2000 – 2006, tutupan lahan permukiman meningkat sebesar 12%. Kenaikan tutupan lahan permukiman diimbangi oleh berkurangnya luas tutupan lahan hutan/vegetasi lebat. Hal tersebut sejalan dengan semakin maraknya pembangunan kawasan perumahan baik yang berizin (ber IMB) maupun tidak berizin. Cepatnya kenaikan tutupan lahan permukiman di duga berkaitan dengan diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 dan habisnya masa berlaku HGU dan belum terbitnya HGU yang baru dari beberapa perkebunan yang berlokasi di DAS Ciliwung hulu.

Tahun 2006, tutupan lahan hutan/vegetasi lebat hanya tersisa 29,55 % dan tidak seluruhnya berstatus hutan lindung. Kawasan hutan lindung berstatus hutan negara,didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami (BP DAS Citarum-Ciliwung

dan Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS bagian atas merupakan hutan produksi yang didominasi oleh tanamanPinus sp(BP DAS Citarum-Ciliwung dan Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Tutupan lahan berupa ladang, dan tegalan sebesar 33,80 % dan tidak seluruhnya tertutup vegetasi atau sedang ditanami (Tabel 8 dan Lampiran 10).

Tabel 8. Persentase Tutupan Lahan di DAS Ciliwung Hulu Tahun 1992,1995,2000 dan 2006

1992* 1995* 2000* 2006

Bentuk Tutupan Lahan

% % % %

1. Permukiman 3,96 5,72 8,49 20,17

2.Vegetasi Lebat/Hutan 41,62 39,73 37.76 29,55

3. Perkebunan 14,93 13,15 13,41 12,80

4. Lahan Kering 35,85 36,62 36,42 33,80

5. Lahan Basah/Badan air 2,00 4,78 3,35 3,67

6. Lain-lain 1,84 0,00 0,57 0,00

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: *Biotrop (diolah) ; hasil analisis

Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung hulu secara tidak langsung dipengaruhi oleh daya tarik kawasan sebagai daerah pariwisata. Sebagai bagian dari kawasan puncak, DAS Ciliwung hulu mempunyai daya tarik bagi masyarakat sekitar Bogor dan luar Bogor untuk mendirikan rumah peristirahatan (villa, bungalow). Pemukiman yang berada di wilayah DAS Ciliwung hulu terutama di bagian atas, tidak seluruhnya berfungsi sebagai tempat tinggal (hunian), sebagian berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu (hari libur). Daya tarik DAS Ciliwung hulu secara tidak langsung diperlihatkan oleh meningkatnya permohonan IMB selama kurun waktu 1997-2007 (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah pemohon IMB yang Berdomisili di Luar Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung Tahun 1998 -2007

Tahun Pemohon IMB Non Perumahan (%) Keterangan

1998 23,53 1999 32,00 2000 42,98 2001 33,92 2002 td 2003 48,33 2004 58,33 2005 47,83 2006 41,73 2007 51,43 Asal pemohon adalah kota Bogor, Jakarta, Tangerang,

Bekasi, Bandung, Jawa tengah.

Sumber: Bidang Tata Bangunan Dinas Cipta karya Kab Bogor (2004); Bidang Tata Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2005); Bidang Perumahan Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor (2006); Bidang Perumahan Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2007).

Daya tarik kawasan DAS Ciliwung hulu (kawasan puncak), selain diperlihatkan oleh permohonan IMB dari luar DAS Ciliwung hulu yang terus

meningkat, diperlihatkan pula oleh perkembangan kawasan permukiman. Pemukiman di bagian hulu cenderung memusat ke arah sepanjang jalan raya Ciawi-Cisarua.

4.4. Kualitas Lingkungan Hidup DAS Ciliwung hulu

Degradasi DAS Ciliwung hulu ditunjukkan oleh beberapa indikator yaitu lahan kritis, erosi, sedimentasi, debit air sungai, run off, kualitas air, sampah permukiman dan kejadian longsor di kawasan permukiman. Degradasi DAS Ciliwung hulu berkaitan dengan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi permukiman. Perubahan penggunaan lahan secara umum akan mengubah: a) aliran permukaan DAS; b) kualitas air; dan c) sifat hidrologi DAS (Taufik et al. 2004). Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik aliran permukaan terutama berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi lahan. Vegetasi secara fisik mampu menahan aliran permukaan dan meresapkannya ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi volumerun off maupun debit air sungai (Taufiket al. 2004).

Perubahan penggunaan lahan dapat menyebabkan volume air permukaan di DAS Ciliwung hulu meningkat. Penelitian Sawiyo (2005) di salah satu sub DAS Ciliwung hulu yaitu di sub DAS Cibogo, menunjukkan debit puncak sungai Ciliwung meningkat dari 280 m3/det(1990) menjadi 383 m3/det (1996), dan terjadi peningkatan volume air hujan yang melimpas menjadi aliran permukaan (direct run-off) dari 53% (1990) menjadi 63%(1996). Hal tersebut menandakan kondisi hidrologi DAS terganggu sehingga volume air hujan yang turun sebagian besar tidak meresap kedalam tanah tetapi mengalir sebagai air permukaan dan memperbesar debit air sungai. Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu juga diperlihatkan oleh kecenderungan peningkatan debit air sungai Ciliwung maksimum pada musim hujan dan penurunan debit air sungai Ciliwung minimum pada musim kering di Bendung Katulampa Ciawi. Keputusan Menteri (Kepmen) Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 tentang pedoman penyelengggaraan pengelolaan

daerah aliran sungai menyatakan bahwa nisbah debit air sungai maksimum dengan debit air sungai minimum (Q maks/Qmin) antara 1-50 kondisi hidrologi DAS baik; 50-100 kondisi hidrologi DAS sedang dan >100 kondisi hidrologi DAS buruk. Tahun 1990 nilai Qmaks/Q min sebesar 28,92 artinya kondisi hidrologi DAS baik, sedangkan tahun 2005 nilai Q maks /Q min meningkat menjadi 4.274, artinya kondisi hidrologi DAS buruk. Penurunan kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu dari baik menjadi buruk menunjukkan fungsi ekologis DAS sebagai pengatur tata air menurun. Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu yang menurun juga diperlihatkan oleh debit banjir seratus tahunan yang cenderung meningkat, tahun 1973 sebesar 370 m3/dtk tahun 2000 meningkat menjadi 570 m3/dtk dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi 760 m3/dtk (Tabel 10).

Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu yang menurun disebabkan berbagai macam faktor seperti penggunaan lahan yang tidak tepat; perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan menjadi pertanian atau permukiman dan lahan pertanian menjadi permukiman; serta erosi dan sedimentasi. Selama tahun 2001 -2002 laju erosi cenderung meningkat demikian pula dengan sedimentasi (Tabel 10).

Tabel 10. Indikator Kondisi Hidrologi DAS Ciliwung Hulu Tahun

No Indikator kondisi hidrologi

A B

Keterangan

1 Debit maksimum(m3/dtk) 132,47 17.096 Data tahun 1990 Bendung Katulampa (Kadar 2003) dan data 2005 di sub DAS Ciliwung hulu (BP DAS Citarum Ciliwung 2005)

2 Debit minimum (m3/dtk) 4,58 0.004 Data tahun 1990 Bendung Katulampa (Kadar 2003) dan data 2005 di sub DAS Ciliwung hulu (BP DAS Citarum Ciliwung 2005)

3 Q maks/Qmin 28,92 4.274 Data tahun 1990 dan 2005

Q maks/Qmin < 50 baik 50-100 sedang >100 buruk

4 Direct run off (%) 53 63 Data tahun 1990 dan 1996 di sub DAS Cibogo (Sawiyo 2005)

5 Kontribusi DAS Ciliwung hulu terhadap banjir di Jakarta (%)

43,20 50,70 Data tahun 1981 dan 1999 (Irianto 2000)

6 Laju erosi (ton/ha/bln) 44 74,7 Data tahun 2001 dan 2002 (Qodariahet-al. 2004)

7 Sedimentasi (ton/ha/tahun) 19,70 36,96 Data tahun 2001 dan 2002 (Qodariahet-al. 2004)

Kualitas air sungai Ciliwung hulu dipengaruhi oleh penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu, penelitian Taufik et al. (2004) menunjukkan sumber pencemar berasal dari limbah domestik akibat meningkatnya kawasan permukiman. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Taufik et al. (2004) menggunakan Indeks Storet menunjukkan kualitas air mengalami penurunan. Pada tahun 2000 indeks Storet (-18) status baik, tahun 2002 indeks Storet menjadi (-36) status buruk Selain itu penelitian Fachrulet al.(2005) menunjukkanwater quality index (WQI) di Kecamatan Ciawi (Gadog) mengalami penurunan dari 95 pada tahun 1995 menjadi 70,65 pada tahun 2005. Penelitian KLH menunjukkan pada tahun 2007 kualitas air sungai Ciliwung di DAS Ciliwung hulu berstatus mutu D. Status mutu D menunjukkan DAS Ciliwung hulu telah tercemar berat sehingga tidak layak untuk dijadikan air minum, hanya layak untuk menyiram tanaman. Sumber pencemar air sungai Ciliwung berasal dari limbah domestik (permukiman), pertanian, peternakan, dan industri. Tahun 2002 dan 2009 parameter kimia, biologi dan fisik sungai Ciliwung mengalami penurunan. Sebagian besar parameter kualitas air telah melampaui baku mutu air kelas I dan II, artinya air sungai Ciliwung tidak layak untuk dijadikan pasokan air minuman (Tabel 11).

Tabel 11 Kualitas Air di DAS Ciliwung Hulu Tahun 2002 dan 2009

BM Kondisi

N o

Parameter Kualitas Air

I II 2002* 2009** Parameter kimia 1 pH 6-9 6-9 6,1-7,28 7,4-8,19 2 BOD (mg/l) 2 3 1,6-80,7 td 3 DO (mg/l) 6 4 6-8 6-9,96 4 COD (mg/l) 10 25 7,46-120,5 132-157 Parameter Biologi 1 Tot coliform ( mg/l) 1000 5000 110-2800 200-34.100 Parameter fisika 2 Residu terlarut (TDS)mg/l 1000 1000 80 - 1.250 51-59,25 3 Residu tersuspensi (TSS) mg/l 50 50 td 8-39,50 4 Kekeruhan - - 5-90 6-27,50

Keterangan : BM= baku mutu

Sumber : *Taufiket al (2004). **Badan Lingkungan Hidup Pemda kab. Bogor (2009) Sumber timbulan sampah di DAS Ciliwung hulu umumnya berasal dari rumah tangga, perdagangan, pariwisata, perkantoran, dan industri rumah tangga.

Pelayanan pengangkutan sampah terbatas, hanya sebagian kecil (9-27%) yang sudah terlayani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melalui dinas kebersihan dan dinas pasar. Sebagian besar penduduk mengelola sampah secara individual dengan membakar atau menimbun disekitar pekarangan rumah, bahkan sebagian masyarakat masih membuang sampah ke sungai atau lahan kosong (Tabel 12).

Tabel 12 Timbulan Sampah dan Kemampuan Pembuangan

Sampah Permukiman di DAS Ciliwung Hulu tahun 2006 Pembuangan Sampah Dibakar/ditimbun) Ke TPS

No Kecamatan Asal Sampah Timbulan

sampah (m3/hr) (m3/hr % m3/hr % Permukiman 160 142 88,75 18 11,25 1 Ciawi Pasar 30 0 0 30 100 Permukiman 200 182 91,00 18 9,00 2 Megamendung Pasar td td td td td Permukiman 200 146 73 54 27 3 Cisarua Pasar 45 0 0 45 100 4 Sukaraja td td td td

Sumber: : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2006).

Bencana tanah longsor di kawasan permukiman terjadi di beberapa desa di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Dari tiga kecamatan tersebut, Kecamatan Megamendung yang sebagian besar wilayahnya berada di bagian tengah DAS Ciliwung hulu merupakan daerah rawan longsor, selama tahun 2007- 2008 di Kecamatan Megamendung terjadi 11 kali longsor dan jumlah desa yang mengalami longsor berjumlah 12 desa (Tabel 13).

Tabel 13 Bencana Longsor Tahun 2007-2008

di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung

Tahun 2007 Tahun 2008

No Kecamatan

Desa Frek. longsor Desa Frek. longsor

1 Ciawi 2 2 - -

2 Megamendung 12 11 4 3

3 Cisarua 6 3 2 4

4 Sukaraja td td td td

Sumber : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, 2007– 2008.

Berdasarkan peta rawan longsor (BP DAS 2007), terdapat empat klasifikasi daerah rawan longsor di DAS Ciliwung hulu yaitu normal, potensial, bahaya dan sangat bahaya. Sebagian besar DAS Ciliwung hulu merupakan wilayah rawan

longsor. Klasifikasi longsor sangat bahaya terdapat di bagian tengah DAS yaitu di Kecamatan Megamendung dan di perbatasan Ciawi dengan kota Bogor (Tabel 14).

Tabel 14 Klasifikasi Kawasan Rawan Longsor di DAS Ciliwung Hulu

Luas NO Klasifikasi Kawasan Longsor ha %

1 Normal 4,870.75 32,74 2 Potensial 3,115.26 20,94

3 Bahaya 6,249.93 42,01

4 Sangat Bahaya 640.42 4,30

Jumlah 14,876.37 100

Sumber: Peta Rawan Longsor BP DAS Citarum- Ciliwung (2007)

Lahan kritis di DAS Ciliwung hulu dilihat dari prosentasenya tidaklah begitu besar, akan tetapi keberadaannya perlu menjadi perhatian karena tersebar disekitar kawasan hutan konservasi di bagian selatan DAS Ciliwung hulu yaitu di Kecamatan Cisarua (Tabel 15).

Tabel 15 Tingkat Kekritisan Lahan di DAS Ciliwung Hulu 2005 Luas

No Tingkat Kekritisan Lahan ha %

1 Tidak Kritis 13,782.65 92.65 2 Potensial Kritis 228.54 1.54 3 Agak Kritis 227.55 1.53 4 Kritis 382.25 2.57 5 Sangat Kritis 255.37 1.72 Jumlah 14,876.37 100.00

Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor

Dokumen terkait