• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Partisipasi

a. Pengertian Partisipasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Partisipasi adalah perihal

turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta”.

(Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 831)

Menurut Pretty, dkk yang dikutip oleh Moehar Daniel, dkk (2006:

59) “Partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu

menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya”.

“Pengertian partisipasi (pasticipation dalam kamus Inggris) adalah

pengambilan bagian, pengikutsertaan”. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59)

Murbyarto mendefinisikan partisipasi yaitu, “sebagai kesediaan

untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang

tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri”. (Taliziduhu Ndraha,

1990: 102)

Nelson dalam Taliziduhu Ndraha (1990: 102) menyebut dua macam

partisipasi,

Partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang

dinamakan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh

bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara

masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah, yang diberi

nama partisipasi vertikal.

“Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan,

dapat disebut sebagai partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual

dalam kegiatan kelompok dapat disebut partisipasi individual”. (Taliziduhu

commit to user

Menurut pendapat Totok Mardikanto (1988: 101) “Partisipasi adalah

keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu

kegiatan”.

Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan, Verhangen menyatakan

bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan

komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab

dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh

adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan mengenai:

1) Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki.

2) Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia (masyarakat)

sendiri.

3) Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan, dan

4) Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang

bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan. (Totok Mardikanto, 1988:

101)

Disini maksud partisipasi adalah keterlibatan seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu kegiatan. Partisipasi harus dilakukan dengan

kesadaran dan rasa tanggung jawab.

1) Bentuk Partisipasi

Partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses

pembelajaran sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain:

a) Inisiatif/spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi

bersama. Ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi

spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh suatu keadaan yang

tiba-tiba, seperti bencana atau krisis

b) Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat disengaja, yang dirancang

dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk

membantu menyelesaikan bersama

c) Induksi, yaitu masyarakat dibujuk berpartisipasi melalui propaganda

atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotism

d) Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi untuk berpartisipasi untuk

keuntungan-keuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan oleh

mereka

e) Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau

sanksi-sanksi yang diberikan penguasa. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59)

commit to user

2) Macam-Macam Partisipasi

Berdasarkan derajat kesukarelaan partisipan, menurut Dusseldorp

yang dikutip oleh Totok Mardikanto (1988: 105-107) membedakan

macam-macam partisipasi yaitu “partisipasi bebas dan partisipasi paksaan

atau partisipasi tertekan”. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Partisipasi bebas, yaitu partisipasi yang dilandasi oleh rasa

kesuka-relaan yang bersangkutan untuk mengambil bagian dalam suatu

kegiatan. Partisipasi bebas ini dibedakan dalam:

(1) Partisipasi spontan, yaitu partisipasi yang tumbuh secara spontan

dari keyakinan atau pemahamannya sendiri, tanpa adanya pengaruh

yang diterimanya dari penyuluhan atau bujukan yang dilakukan

oleh pihak lain (baik individu maupun lembaga masyarakat).

(2) Partisipasi terinduksi, jika partisipasi sukarela itu tumbuh karena

terpengaruh oleh bujukan atau penyuluhan agar ia secara sukarela

berpartisipasi dalam kegiatan tertentu yang dilaksanakan dalam

atau oleh masyarakatnya.

b) Partisipasi paksaan atau partisipasi tertekan, yang pada dasarnya

dibedakan dalam dua macam, yaitu:

(1) Partisipasi tertekan oleh hukum atau peraturan, yaitu keikut-sertaan

dalam suatu kegiatan yang diatur oleh hukum atau peraturan yang

berlaku bertentangan dengan keyakinan atau pendiriannya sendiri,

tanpa harus memerlukan persetujuannya terlebih dahulu.

(2) Partisipasi paksaan karena keadaan sosial-ekonomi, yaitu hampir

sama dengan partisipasi bebas, hanya jika ia tidak melakukan

kegiatan tertentu maka ia akan menghadapi tekanan, ancaman, atau

bahkan bahaya yang akan menekan kehidupannya sendiri dan

keluarganya.

(3) Partisipasi karena kebiasaan, yaitu suatu bentuk partisipasi yang

dilakukan karena kebiasaan setempat.

commit to user

b. Arti Penting Partisipasi Warga Negara

Pengertian warga negara dan kewarganegaraan dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Warga Negara adalah

“warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan”, sedangkan Kewarganegaraan dalam Pasal 1 angka 2 adalah

“segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara”.

Pendidikan kewarganegaraan memiliki nilai strategis dalam rangka

meningkatkan kesadaran komprehensif terhadap bangsa. Nilai strategis ini

pada gilirannya akan berujung pada tindak keterlibatan atau partisipasi warga

negara yang efektif dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas

kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan. Untuk dapat berpartisipasi

dengan efektif dan bertanggung jawab serta dilandasi dengan pengetahuan

yang cukup, warga negara perlu memiliki kemampuan tertentu untuk

berpartisipasi atau bisa disebut sebagai kecakapan partisipatoris (participatory

skill).

Menurut Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii),

”Kecakapan partisipatoris meliputi tiga hal yaitu proaktif berinteraksi, kritis

dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik, kemampuan

mempengaruhi (influencing) kebijakan publik”. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Proaktif berinteraksi

Proaktif berinteraksi ini merupakan kemampuan pokok yang

harus dimiliki oleh warga negara dalam melakukan komunikasi dan

bekerjasama dengan warga negara lainnya. Keberhasilan melakukan

interaksi sama artinya dengan mampu menyatu dalam sebuah komunitas

yang berarti pula mampu bertanya, menjawab dan berbicara dengan baik.

Lebih dari itu kemampuan ini harus didukung pula dengan kecakapan

berkoalisi; dan mengelola konflik sedemikian rupa.

Proaktif dalam berinteraksi berarti pula mau dan mampu:

a) mendengarkan dengan penuh perhatian

commit to user

b) bertanya dengan kritis dan efektif

c) mengutrakan pikiran dan perasaan

d) mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, dan kesepakatan

(solusi).

2) Kritis dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik

Kecakapan memantau persoalan sosial politik dan pemerintahan

mengacu kepada kemampuan warga negara untuk mengamati dan

memahami penanganan persoalan yang terkait dengan proses politik dan

pemerintahan. Kata lain warga negara harus menempatkan diri untuk

ambil bagian dan sekaligus menjadi pengawas (semacam watch dog) bagi

proses politik dan pemerintahan itu.

Kemampuan memantau isu politik itu meliputi kemampuan untuk:

a) menelaah isu publik melalui studi pustaka (media massa, informasi

elektronik, dan perpustakaan), hingga studi lapangan (observasi,

wawancara, dan kuesioner)

b) menghadiri pertemuan-pertemuan publik

c) mengamati proses peradilan dan mekanisme kerja sistem hukum

3) Kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publik

Kemampuan dalam mempengaruhi proses politik dan

pemerintahan penting dimiliki warga negara agar terjadi keseimbangan

antara masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan

masyarakat. Dengan adanya keseimbangan ini (bargaining position) antara

keduanya dan di luarnya akan lebih mudah dibangun.

Keahlian mempengaruhi kebijakan publik meliputi kemampuan untuk:

a) membuat petisi

b) berbicara di depan umum

c) bersaksi di depan badan-badan publik

d) terlibat dalam kelompok advokasi ad-hoc

e) membangun aliansi

Selanjutnya, Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii-ix)

menjelaskan bahwa:

commit to user

Implementasi partisipatoris harus dilaksanakan dengan suatu target

yang jelas. Membangun keahlian partisipasi mensyaratkan upaya

merangkai dua wilayah, yaitu sisi dalam (internal) komunitas dan sisi

luar (eksternal) komunitas. Sisi dalam komunitas merupakan anggota

forum warga yang merupakan masyarakat kebanyakan. Sedangkan sisi

luar komunitas merupakan proses politik atau pemerintah dan

kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang dapat mendorong

terciptanya perubahan kebijakan.

Jadi arti penting partisipasi warga negara adalah sebagai upaya

mempengaruhi dan memonitoring jalannya pemerintahan dan proses

pengambilan kebijakan publik, mengadakan koalisi, kerjasama dan mengelola

konflik.

Permasalahan eksploitasi seksual komersial anak menyangkut

pelanggaran terhadap hak asasi manusia, konsep dari hak asasi manusia sudah

dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat

hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

Pencegahan eksploitasi seksual komersial anak dapat diwujudkan

dengan partisipasi warga negara melalui penegakan dan perlindungan hak

asasi manusia. Penegakan dan perlindungan hak asasi manusia tidak hanya

dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk negara. Masyarakat dapat

pula berpartisipasi dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM.

Masyarakat dapat membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Lembaga swadaya yang dimaksud adalah organisasi atau lembaga yang secara

khusus dibentuk oleh masyarakat dengan tugas perlindungan dan penegakan

HAM di Indonesia. Lembaga ini mengonsentrasikan kegiatannya pada upaya

penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, misalnya dengan melindungi

korban HAM, menuntut pihak-pihak yang melanggar HAM, melakukan upaya

pencegahan tindak kejahatan terhadap HAM dan sebagainya. Contohnya

commit to user

Lembaga Swadaya Masyarakat ini misalnya di Surakarta yaitu Yayasan

KAKAK.

Dokumen terkait