BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUN
C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi, dan Awal Kebangkitan Kembal
Depresi ekonomi yang melanda dunia turut berimbas besar pada industri
batik di Yogyakarta. Pasca krisis tersebut, Jepang mulai memasukkan produk
morinya ke pasaran Indonesia melalui sistem dumping.16 Akibatnya, Pemerintah
Kolonial Belanda mengalami kesulitan dalam membendung pesatnya produk
Jepang tersebut, sehingga kemudian pada tanggal 1 Maret 1934, Pemerintah
Kolonial Belanda mulai memberlakukan Undang-undang Contingenteering yang
membatasi masuknya mori impor dari Jepang. Harga kain mori melambung
sangat tinggi sehingga bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi sulit
didapatkan. Keadaan ini semakin memperburuk kondisi industri batik di
Yogyakarta.17
15
Siska Narulita, op. cit, hal. 27
16
Sistem dumping merupakan suatu strategi pemasaran dimana suatu negara eksportir menjual barangnya lebih murah daripada di dalam negeri bahkan lebih murah daripada biaya produksinya sendiri. Hal ini dilakukan untuk memenuhi target pemasaran, atau untuk menguasai pangsa pasar atau kawasan tertentu di luar negeri. Sistem ini diciptakan untuk menciptakan ketergantunan akan suatu produk, sehingga kemudian ketika suatu negara sudah sangat tergantung pada produk tersebut, maka negara produsen akan mulai melakukan berbagai trik politik yang pada akhirnya menguntungkan negaranya. Jepang merupakan salah satu pencetus politik dumping ini, dan politik dumping tersebut merupakan salah satu bagian dari politik penjajahan Jepang di Asia.
17
Diberlakukannya peraturan dalam Undang-undang Contingenteering
tersebut tidak disambut secara antusias oleh para pengusaha batik di Yogyakarta.
Para pengusaha batik tersebut merasa bahwa mereka lah yang terancam
mengalami kerugian sangat besar akibat perubahan kualitas kain yang digunakan.
Oleh karena itu, aksi protes mulai dilancarkan. Pertemuan demi pertemuan
diadakan baik dari delegasi Jepang, Pemerintah Kolonial Belanda dan perwakilan
dari pengusaha batik. Sebagai jawabannya, didirikanlah suatu organisasai sebagai
wadah dan alat perjuangan yang dinamakan “Persatuan Perusahaan Batik Bumi
Putera (PPBBP).”18 Pada mulanya jumlah anggota koperasi batik PPBBP terdiri
dari 74 pengusaha batik, dan seiring berjalannya waktu anggotanya mulai
betambah banyak dan diikuti dengan pendirian koperasi sejenis di berbagai daerah
yang lain, seperti Solo, Cirebon, dll.
Tujuan didirikannya batik PPBBP antara lain adalah untuk mendapatkan
bahan baku batik, baik kain mori ataupun bahan pewarna batik tanpa melalui
perantara, mendirikan badan kredit untuk menolong dan melindungi anggotanya
dari jeratan lintah darat, serta untuk mencari pemasaran batik dan penjualan
bersama. Namun demikian, kendala yang ditemui koperasi batik PPBBP dalam
praktek dan pelaksanaannya masih banyak, salah satunya dalam hal harga,
18
Ibid. hal. 32. Organisasi Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera
tersebut berjiwa koperasi dan didasarkan pada Undang-undang No. 91/1927 yaitu
Reglement Voor de Oprichting Van Inlandse Cooperative (Peraturan Pendirian
Perkumpulan Koperasi Bumiputera). Pelopor berdirinya koperasi PPBBP ini antara lain, M. Djajengkarso, H. Bilal, M. Mangunprawira, Zarkasi, H. Abubakar, Saebani, Ronosentiko, ramelan, H. Muchadi, H. Romowiruno dan M. Ng. Suraprawira. M. Djajengkarso dan M. Mangunprawira kemudian diangkat sebagai Ketua I dan II.
pedagang Cina menjual bahan baku batik dengan lebih murah daripada koperasi.
Kemudian keharusan membeli secara kontan di koperasi, padahal selama ini para
pengusaha batik tersebut melakukan pembelian secara kredit melalui pedagang
Cina. Sehingga pembelian melalui pedagang Cina masih lebih disukai, dan hal ini
berdampak pada kurang lancarnya pertumbuhan koperasi batik PPBBP itu.19
Meskipun demikian, koperasi batik PPBBP ini masih tetap bertahan.
Pada waktu pemerintah militer Jepang masuk dan menduduki wilayah
Jawa pada tahun 1942, perkembangan koperasi batik PPBBP ini semakin
memburuk dan mengalami berbagai kemunduran karena Jepang membekukan
seluruh kegiatan koperasi, dan menganjurkan jenis koperasi yang baru yang
disebut Kumiai. Namun sayangnya koperasi ini hanya merupakan alat bagi
pemerintah militer Jepang untuk mengumpulkan hasil-hasil produksi rakyat bagi
pemenuhan kebutuhan logistik mereka.20
Kekurangan bahan baku batik juga berlangsung selama masa perjuangan
dan revolusi. Berbagai usaha dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan
usaha batik. Salah satunya dengan menyembunyikan kain batik setengah jadi.
Selain itu, ada pula penjual batik yang menjual kain batik bekas yang dibatik
ulang dan dikenal dengan sebutan batik lawasan/sengguhan.21
19
Ibid., hal 34 - 36 20
Ibid., hal. 37. 21
Chiyo Inui Kawamura, op. Cit. Hal. 49 - 50. Sebutan itu berasal dari kata sengguh dan maksudnya batik yang disengguhke dalam Bahasa Jawa. Artinya sama dengan batik yang dianyarke yang dalam Bahasa Jawa bermakna diperbaharui.
Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia perubahan kembali
terjadi. Proklamasi Kemerdekaan tersebut secara politis membawa banyak
dampak positif dalam berbagai bidang, termasuk dalam sektor ekonomi dan
perkembangan industri batik. Pemerintah berupaya untuk menciptakan sistem
perekonomian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan nasionalisme ekonomi.
Sehingga kebijakan yang kemudian muncul lebih mengarah kepada pembangunan
perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga turut memberikan dukungan dalam
perkembangan usaha perkoperasian. Namun demikian agresi militer yang
dilancarkan Pemerintah Kolonial Belanda menyulitkan perkembangan gerakan
koperasi tersebut. Terlebih lagi dengan dilakukannya blokade ekonomi oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, kesulitan untuk mendapatkan bahan baku
pembuatan batik menjadi semakin meningkat. Melihat situasi yang demikian,
semangat dan antusiasme berkoperasi muncul kembali. Koperasi-koperasi
kemudian mengambil peran sebagai distributor barang-barang kebutuhan rakyat,
termasuk koperasi batik PPBBP yang ikut berjuang untuk mendatangkan kain
mori dari luar negeri.
Besarnya antusiasme dan semangat perjuangan koperasi batik PPBBP itu
juga diikuti dengan perubahan namanya karena nama Bumi Putera tidak sesuai
lagi dengan semangat dan jiwa nasionalisme Indonesia yang sedang berkobar
pada saat itu. Sebagai gantinya kemudian didirikan Persatuan Pengusaha batik
Indonesia atau PPBI.22
22
Perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh PPBI di kemudian hari,
memberikan andil besar terhadap berdirinya sebuah organisasi gabungan yang
bersifat nasional. Tujuannya adalah sebagai wadah untuk mengorganisasi
koperasi-koperasi batik di seluruh wilayah Indonesia yang telah berdiri pada
tahun-tahun sebelumnya. Organisasi tersebut diberi nama Gabungan Koperasi
Batik Indonesia (GKBI) dan didirikan pada tanggal 18 September 1948 bertempat
di kantor Kementrian Kemakmuran, Jalan Malioboro no. 85 Yogyakarta.23Sejalan
dengan pemindahan kembali ibu kota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, kantor pusat
GKBI juga ikut dipindahkan ke Jakarta. Dengan berdirinya GKBI tersebut,
seluruh koperasi batik yang berada pada tingkat lokal menjadi berstatus koperasi
batik primer yang digabungkan pada GKBI. Organisasi ini juga yang kemudian
akan menjadi wadah dan basis bagi kejayaan industri batik pada masa-masa
berikutnya.24