• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Ruang Lingkup

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pedagang Eceran (retailing)

Retailing adalah sekumpulan kegiatan bisnis yang dilibatkan

dalam penjualan produk-produk dan jasa ke konsumen akhir (Leavy, Michael dan Weitz, Barton A dalam Soedjarwo ,1993). Kegiatan ritel merupakan aktivitas yang meliputi penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir, dimana konsumen tersebut tidak menggunakannya untuk diperjualbelikan kembali. Ritel bisa dilakukan di dalam toko, melalui email, telepon, vending machines, berbagai alat elektronik dan secara personal (Kotler dan Armstrong, 2001).

Peritel memiliki jumlah gerai yang bervariasi, mulai dari satu gerai hingga beberapa gerai. Gerai dalam segala bentuknya berfungsi sebagai tempat pembelian barang dan jasa, yaitu dalam arti konsumen datang ke gerai untuk melakukan transaksi belanja dan membawa pulang barang atau menikmati jasa. Gerai modern mulai beroperasi awal 1960-an di Jakarta. Arti modern adalah penataan menurut keperluan yang sama dikelompokkan dibagian yang sama yang dapat dilihat dan langsung diambil oleh pembeli (konsep swalayan), penggunaan alat pendingin udara, dan adanya pramuniaga profesional. Contoh gerai modern adalah department store, supermarket, dan

hypermarket (Ma’ruf, 2006).

Tjiptono (2008) mengemukakan bahwa ada empat fungsi utama ritel yaitu : (1) membeli dan menyimpan barang, (2) memindahkan hak milik barang tersebut ke konsumen akhir, (3) memberikan informasi mengenai sifat dasar dan pemakaian barang tersebut, (4) memberikan kredit kepada konsumen (dalam kasus tertentu. Menurut Berman dan Evans (2001), terdapat beberapa karakteristik khusus ritel yang membedakan dengan tipe-tipe usaha lain, yaitu :

a. Small Average Sale (Ukuran rata-rata dari transaksi penjualan para pedagang masih kecil)

Transaksi penjualan pedagang ritel relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan yang dihasilkan para pengusaha manufaktur. Para pedagang eceran harus berupaya menekan biaya-biaya yang menyertai penjualan seperti fasilitas kredit, pengiriman barang maupun pembungkus. Mereka juga harus meningkatkan jumlah konsumen yang berkunjung ke toko dengan melakukan promosi, serta mendorong pembelian impulsif.

b. Impulse Purchase (Pembelian Impulsif)

Karakteristik konsumen yang cenderung melakukan pembelian yang tidak direncanakan semakin meningkat sehingga para peritel harus mengelola displai, tata letak, dan etalase lebih baik.

c. Popularity of Store (Kepopuleran toko)

Saat ini banyak diperkenalkan cara berbelanja baru seperti berbelanja via pos, telepon, internet, atau televisi, namun pada kenyataanya konsumen tetap mengalir ke toko-toko eceran. Hal ini disebabkan oleh popularitas toko eceran dimata konsumen.

Soedjarwo (1993) mengemukakan ada 8 jenis ritel yang utama, yaitu:

1. Specialty Store Retailing 2. Department Store Retailing 3. Discount Store Retailing 4. Off-Price Retailing 5. Supermarket Retailing 6. Convenience Store Retailing

7. Superstore, Combination Store, dan Hypermarket 8. Catalog Showroom

Department Store

Departmen Perdagangan Amerika Serikat mendefinisikan

department store sebagai perusahaan eceran yang mempekerjakan

paling sedikit 25 orang dan menjual pakaian dan peralatan rumah

9 tangga dari bahan linen berjumlah sampai lebih dari 20 % dari jumlah keseluruhannya (Tjiptono, 2008). Department store tergolong dalam

general merchandise retail yang menjual produk yang luas dan

berbagai jenis produk dengan menggunakan beberapa staf, seperti layanan pelanggan (customer services) dan tenaga sales counter (Utami, 2006).

Department store adalah institusi ritel yang besar yang

menawarkan aneka barang dagangan dan diorganisasikan oleh departemen. Menurut karakteristiknya ada tiga kategori utama barang yang ditawarkan yaitu : (1) apparel untuk seluruh keluarga, (2)

appliances, home furnishings, dan furniture, dan (3) household linens

dan dry goods. Department store juga menawarkan jewelry, kosmetik, peralatan olahraga, dan mainan (Soedjarwo, 1993).

Lebih lanjut Soedjarwo (1993) mengungkapkan bahwa jika dilihat dari titik pandang management, keuntungan dari department

store adalah dapat membeli barang dalam jumlah besar dengan harga

yang murah. Hal ini disebabkan department store merupakan retail yang berukuran besar dan kekuatan keuangannya cukup besar, sehingga mampu menggaji spesialis pembelian, marchandising, store

design, promosi penjualan, dan bidang lain.

2. In-store Promotion

Menurut Yusriyanti (2008), in store promotion merupakan kegiatan promosi yang dilakukan di dalam toko dan bertujuan untuk menimbulkan keinginan konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Berdasarkan bauran promosi ritel yang dikemukakan Lewison dan Delozier (1989) dalam Yusriyanti (2008) , yang termasuk ke dalam in-store promotion adalah sales promotion, store

display dan personal selling.

Bagi para supplier, aktivitas in store promotion mempunyai lima keuntungan. Pertama, produk atau merek tersebut menjadi lebih menonjol dibandingkan produk atau merek lain dari kategori yang sama. Kedua, konsumen akan bisa mengingat kembali iklan yang

10 pernah dilihatnya di media lain. Ketiga, mendorong konsumen untuk mencoba sesuatu yang baru. Keempat, bagi produk atau merek yang sudah populer dan banyak digemari oleh konsumen dapat mempertahankan diri dari serangan merek baru. Kelima, dapat memperkuat komunikasi pemasaran (Kertajaya, 1994).

Penjualan Pribadi (Personal Selling)

Suyanto (2007) mengemukakan bahwa penjualan pribadi (personal selling) merupakan komunikasi personal bayaran yang mencoba menginformasikan kepada konsumen tentang suatu produk dan membujuknya untuk membeli produk tersebut. Penjualan perseorangan merupakan bentuk komunikasi yang lebih tepat karena menjamin perusahaan dalam berkomunikasi dan kontak langsung dengan calon konsumen. Menurut Lubis (2004), Sedikitnya terdapat 7 aktivitas dalam personal selling :

1. Mencari dan menjalin hubungan dengan mereka;

2. Mengalokasikan kelangkaan waktu penjual dari pembeli;

3. Memberi informasi mengenai produk perusahaan kepada pelanggan;

4. Mendekati, mempresentasikan, mendemonstrasikan, mengatasi penolakan serta menjual produk kepada pelanggan;

5. Memberikan berbagai jasa dan pelayanan kepada pelanggan; 6. Melakukan riset jasa dan intelijen pasar;

7. Menentukan pelanggan yang akan dituju

Lovelock dan Wright (2005) menjelaskan bahwa penjualan pribadi merupakan komunikasi dua arah antara karyawan jasa dengan pelanggan yang dirancang untuk langsung mempengaruhi proses pembelian. Sifat langsung dari personal selling memungkinkan wakil penjualan menyesuaikan pesan tersebut agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Manfaat pelaksanaan personal selling antara lain lebih mudahnya penyesuaian cara menjual ke konsumen, transaksi penjualan langsung saat terjadi kontak dengan calon pembeli,

11 langsung menjawab pertanyaan konsumen tentang informasi produk dan dapat membantu calon pembeli tentang petunjuk mengenai barang yang ditawarkan (Suyanto, 2007).

Dalam industri ritel, khususnya department store, personal

selling adalah elemen terpenting dalam pembentukan image ritel. Ritel

seperti department store biasanya menggunakan Sales Promotion Girl (SPG) sebagai orang pertama yang berinteraksi dengan konsumen secara langsung (tatap muka). SPG merupakan faktor yang signifikan meningkatkan total kesan konsumen. (Tjiptono, 2008)

Displai Toko (Store Display)

Displai toko merupakan penataan toko dalam memamerkan produk disertai dengan informasi yang relevan dengan produk tersebut. Menurut Lewison dan Delozier dalam Yusriyanti (2008), interior toko merupakan hasil desain displai secara keseluruhan yang digunakan peritel untuk menjual produknya. Displai toko dibedakan menjadi:

a. Selectioning display yaitu kedekatan penempatan produk oleh peritel yang menekankan pada pelayanan dan pemilihan produk sendiri oleh konsumen. Selectioning display didesain oleh peritel untuk mempermudah konsumen dalam memilih produk sendiri dan mengakses produk di toko secara menyeluruh.

b. Special display menampilkan suatu produk tertentu dalam penempatan yang strategis dan didesain sedemikian rupa sehingga menarik perhatian konsumen.

c. Point of purchase display didesain untuk menarik perhatian dan ketertarikan konsumen, menguatkan tema toko dan menyesuaikan dengan interior toko. Point of purchase display melibatkan displai meja kasir, displai jendela, efek peluas ruangan, kereta makanan, displai lantai, menghias lorong dan sebagainya. Menurut Suyanto (2007), Promosi Point of Purchase (POP) sangat efektif karena digunakan di dalam toko dimana 70%-80% konsumen menentukan keputusan pembelian.

12 d. Audiovisual display merupakan displai toko yang menggunakan

berbagai peralatan audiovisual seperti pengeras suara, microphone, televisi dan sebagainya.

Menurut Lewison dan Delozier (1989) dalam Yusriyanti (2008) dalam prakteknya, displai toko digunakan untuk:

- memaksimalkan penjelasan tentang produk - meningkatkan penampilan produk

- merangsang ketertarikan terhadap produk - menjelaskan informasi tentang produk - memfasilitasi transaksi penjualan - memastikan keamanan produk

- menyediakan tempat penyimpanan produk - mengingatkan rencana pembelian konsumen

- menghasilkan penjualan tambahan berdasarkan impulse Promosi Penjualan (Sales Promotion)

Promosi penjualan adalah bentuk persuasi langsung melalui penggunaan berbagai insentif yang dapat diatur untuk merangsang pembelian poduk dengan segera dan atau meningkatkan jumlah barang yang dibeli pelanggan (Soedjarwo, 1993).

Promosi penjualan pada ritel disebut juga sales incentive (insentif penjualan) yaitu rangsangan baik secara langsung atau pun tidak langsung yang menawarkan nilai tambah bagi konsumen. Promosi penjualan mencakup beraneka macam alat perangsang jangka pendek seperti kupon (coupon), sampel (sampling), premi, kontes, potongan harga, undian, iklan khusus, dan tie-ens. (Suyanto, 2007).

Promosi penjualan merupakan insentif jangka pendek yang disertakan dalam penjualan produk (Kotler dan Armstrong, 2001). Dengan kegiatan promosi penjualan, diharapkan dapat mempercepat keputusan pembelian dan memotivasi pelanggan menggunakan jasa tertentu lebih cepat dalam volume lebih banyak atau frekuensi yang lebih sering (Lovelock dan Wright, 2005).

13 Promosi harga jangka pendek dapat menawarkan keuntungan-keuntungan, salah satu keuntungannya adalah dapat menambah keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang dan menarik bagi konsumen yang sadar akan harga (Lovelock, 2005).

Menurut Kotler (2005), tujuan promosi penjualan bagi perusahaan antara lain untuk menarik pembeli baru, memberi penghargaan kepada konsumen lama, meningkatkan daya beli ulang, menghindarkan larinya konsumen ke merek lain dan meningkatkan loyalitas.

3. Perilaku Pembelian Konsumen

Menurut Engel et al. (1995), konsumen mengutarakan niat pembelian dalam dua kategori yaitu, (1) niat membeli produk ataupun merek dan (2) niat membeli hanya kelas produk (misalnya, niat membeli permen, tetapi keputusan tambahan harus dibuat mengenai merek apa yang akan dibeli).

Lebih lanjut Engel et al. (1995), mengemukakan bahwa dari kedua kategori tersebut, maka perilaku pembelian konsumen dalam membeli produk atau jasa, yaitu:

1. Pembelian yang Terencana Sepenuhnya

Niat membeli produk atau merek dapat dikatakan pembelian yang sepenuhnya direncanakan, artinya sebelum melakukan pembelian konsumen telah menentukan pilihan produk dan merek apa yang nantinya akan dibeli.

2. Pembelian yang Separuh Terencana

Konsumen sering kali sudah mengetahui produk yang ingin dibeli sebelum masuk ke swalayan, tetapi belum merencanakan merek apa yang akan dibeli sampai ia bisa memeperoleh informasi yang lengkap dari pramuniaga atau displai di swalayan (Sumarwan, 2002).

3. Pembelian yang Tidak Terencana (Impulse Buying)

Pembelian impulsif didefinisikan sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu

14 pertimbangan, atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko (Mowen dan Minor, 2000).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuvita (2001), tingkah laku konsumen berdasarkan gaya berbelanja terdiri dari:

1. Shopping for pleasure, yaitu gaya berbelanja sebagai suatu jenis hiburan (entertainment). Kecenderungan impulse buying lebih besar.

2. Basic Shopper, yaitu gaya berbelanja hanya sebagai kebutuhan. Konsumen jenis ini sudah memiliki tujuan terhadap produk yang akan dibelinya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Wayne Hoyer (1984)

dalam Soedjarwo (1993) terungkap bahwa lebih dari setengah dari

pembelian yang dilakukan di supermarket adalah impulse purchase.

Impulse purchase berarti bahwa pembeli tidak niat membeli produk

sebelum pergi ke pasar. Dari penelitian ini terungkap bahwa lebih dari 80% dari semua keputusan pembelian adalah untuk permen, makanan kecil, serta aneka saus adalah tidak direncanakan.

4. Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian

Engel et al. (1994) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian pada konsumen menjadi tiga, yaitu pengaruh lingkungan, perbedaan individu, dan proses psikologis. Pengaruh lingkungan terdiri dari budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga, dan situasi (Engel et al., 1994). Budaya adalah kumpulan nilai, persepsi, preferensi, serta perilaku keluarga dan lembaga-lembaga penting lainnya. Budaya adalah penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar (Kotler, 2005). Kelas sosial adalah pembagian didalam masyarakat yang terdiri atas individu dan berbagai nilai, minat dan perilaku yang sama, atau kelompok-kelompok yang relatif homogen dalam suatu masyarakat lama yang tersususn secara hirarki (Kotler, 2005). Terdapat lima kelompok relevan yang akan mempengaruhi perilaku konsumen dimana konsumen melibatkan dirinya. Kelompok tersebut adalah kelompok

15 keluarga, kelompok teman atau sahabat, grup sosial formal yang diperlukan konsumen untuk mencapai tujuannya, kelompok belanja, dan kelompok kerja (Schiffman dan Kanuk, 1994). Keluarga adalah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang dihubungkan melalui darah, perkawinan atau adopsi, dan yang tinggal bersama (Engel et al., 1994). Situasi yang mempengaruhi konsumen dapat dibagi menjadi tiga, yaitu situasi konsumsi, situasi pembelian, dan situasi komunikasi (Engel et al., 1994).

Faktor pribadi atau pengaruh individu terdiri dari pengetahuan, sikap, motivasi, kepribadian, gaya hidup, dan demografi (Engel et al., 1994). Pengetahuan dapat diartikan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan konsumen mencakup informasi, seperti ketersediaan dan karakteristik produk, dimana dan kapan untuk membeli, serta bagaimana menggunakan produk. Pengetahuan adalah faktor penentu utama perilaku konsumen. Apa yang dibeli, dimana mereka membeli, dan kapan mereka membeli tergantung pada pengetahuan yang relevan dengan keputusan (Engel et al., 1994). Sikap merupakan evaluasi perasaan emosional dan kecenderungan tindakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama terhadap beberapa objek atau gagasan (Kotler, 2005). Menurut Sumarwan (2002), motivasi muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen. Kepribadian merupakan karakteristik psikologis atau pola respon yang berbeda dari setiap orang dalam menghadapi lingkungan yang relatif konsisten. Gaya hidup merupakan pola hidup di dunia yang diekspresikan oleh kegiatan, minat, dan pendapat seseorang (Kotler 2005). Sasaran demografi adalah mendeskripsikan pangsa konsumen dalam istilah seperti usia, pendapatan, dan pendidikan (Engel et al., 1994).

Faktor psikologi terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap konsumen. Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Persepsi adalah bagaimana konsumen mengartikan

16 Perluasan logis dari proses motivasi dan persepsi adalah pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses menggali atau memperluas pengetahuan berdasarkan pengalaman masa lalu. Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995) sikap merupakan suatu eveluasi menyeluruh yang memungkinkan orang berespon terhadap objek yang diberikan.

Menurut Kotler dan Armstrong (2001), keputusan pembelian konsumen ada dua faktor dapat muncul antara niat untuk membeli dan keputusan pembelian. Faktor pertama adalah sikap orang lain, dan faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak diharapkan.

Menurut Levy (1992) dalam Soedjarwo (1993), langkah-langkah dalam proses pembelian dapat dibagi menjadi dua, yaitu

pre-store visit dan in-pre-store visit. Pre-pre-store visit meliputi : adanya

kebutuhan, mencari informasi, menilai sumber, dan memilih sumber. Sedangkan in-store visit meliputi : ada kebutuhan, mencari informasi mengenai produk, menilai sumber, memilih produk, dan menilai setelah pembelian.

Menurut Sciffman dan Kanuk (2004) model keputusan konsumen terdiri dari tiga komponen, yaitu input, proses, dan output. Komponen input merupakan pengaruh eksternal yang memberikan informasi kepada konsumen tentang produk. Pengaruh eksternal ini terdiri dari pengaruh aktivitas pemasaran dan pengaruh sosial budaya. Proses berfokus pada bagaimana konsumen membuat keputusan. Sedangkan output merupakan keputusan pembelian.

5. Impulse Buying

Pemahaman tentang konsep pembelian impulsif (impulse

buying) dan pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh

beberapa peneliti tidak dibedakan. Philipps dan Bradshow (1993)

dalam Bayley dan Nancarrow (1998) tidak membedakan antara unplanned buying dengan impulse buying, tetapi memberikan

perhatian penting kepada periset, pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara point-of-sale dengan pembeli yang sering diabaikan.

17 Engel dan Blacwell (1982) dalam Asmoro (2009), mendefinisikan

unplanned buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa

direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko.

Mowen dan Minor (2000), mendefinisikan pembelian impulsif sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Beberapa konsumen sering kali membeli produk atau jasa tanpa direncanakan terlebih dahulu. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti displai pemotongan harga 50%. Displai atau peragaan tersebut telah membangkitkan kebutuhan konsumen, sehingga konsumen merasakan kebutuhan yang mendesak untuk membeli produk yang dipromosikan tersebut. Keputusan pembelian seperti ini disebut sebagai pembelian impulsif (impulse

purchasing/impulse buying) (Sumarwan, 2002).

Utami (2006), mendefinisikan impulse buying (pembelian spontan) adalah keputusan pembelian yang dibuat oleh pelanggan secara spontan dengan menggunakan pemajangan (display) yang menonjol untuk menarik perhatian pelanggan dan merangsang suatu keputusan belanja berdasarkan analisis yang tidak berkesinambungan. Bayley dan Nancarrow (1998), mengklasifikasikan suatu pembelian impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Beberapa peneliti pemasaran beranggapan bahwa impulse sinonim dengan unplanned ketika para psikologi dan ekonom memfokuskan pada aspek irasional atau pembelian impulsif murni.

Berdasakan penelitian Rook (1982) dalam Engle et al. (1995) pembelian berdasar impulse tidak didasarkan pada pemecahan masalah konsumen dan paling baik dipandang dari perspektif hedonik atau pengalaman. Pembelian berdasar impulse mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik sebagai berikut:

18 a. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi

konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan.

b. Dorongan untuk membeli dengan segera. Ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika. c. Kesenangan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli

sering disertai dengan emosi.

d. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

Menurut Berman (2001) impulse buying terjadi ketika konsumen membeli produk dan/atau merek yang tidak direncanakan sebelum masuk kedalam toko, membaca katalog penawaran, melihat TV, online di WEB, dan yang lainnya. Dengan impulse buying, pembuatan keputusan membeli oleh konsumen dipengaruhi oleh peritel. Ada tiga jenis pembelian dengan dorongan (impulse buying), yaitu:

1. Completely Unplanned (tidak terencana seluruhnya), yaitu jika konsumen tidak berniat membeli kategori produk atau jasa sebelum datang ke toko.

2. Partially Unplanned (tidak terencana sebagian), yaitu jika konsumen sudah berniat membeli kategori produk atau jasa tetapi belum menentukan merek apa yang akan dibeli sebelum mengunjungi toko.

3. Unplanned Substitution (penggantian yang tidak direncanakan), yaitu jika konsumen telah menetapkan merek apa yang akan dibeli tetapi merubah pilihannya setelah tiba di toko.

Menurut Ma’ruf (2006) pembelian impulsif terjadi pada barang-barang seperti pakaian dalam wanita, pakaian pria, produk

bakery, perhiasan, dan barang-barang grocery (food based).

Pembelian impulsif terjadi karena impulsif semata-mata, impulsif karena diingatkan ketika melihat barangnya, impulsif karena timbul

19 kebutuhan (suggestion impulse), dan impulsif yang direncanakan. Impulsif yang direncanakan adalah pembelian sudah direncanakan tetapi merek, jenis, ukuran atau info spesifik lainnya belum diputuskan. Keputusan membeli dibuat di dalam toko ketika melihat barang yang tersedia.

Menurut Amir (2004), perilaku impulse buying banyak didominasi oleh wanita. Atau yang dalam pembelian barang tersebut proses pengambilan keputusan banyak dipegang oleh wanita. Asosiasi peritel di Canada menunjukkan, permen merupakan barang yang paling tinggi tingkat impulse buying-nya di setiap convenience store. Hampir 55% dari pembeli mengaku itu hanya impulse buying. Untuk mendorong terjadinya impulse buying, hal yang dapat dilakukan adalah menggunakan displai dengan warna yang menarik, menggunakan tema yang unik, dan sering mengubah tampilan.

Dokumen terkait