• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASEPUHAN SINAR RESM

6.2. Pelaksanaan Model Kampung Konservasi (MKK)

Perluasan TNGHS dinilai menjadi ancaman bagi Masyarakat Kasepuhan karena akses yang terbatas dalam melakukan kegiatan pertanian. Oleh karena itu pihak TNGHS mencoba untuk membangun upaya kolaboratif dengan Masyarakat Kasepuhan berupa program MKK. MKK dilaksanakan tahun 2005 di Desa Sirna Resmi tepatnya di kampung Cimapag. Hal ini dikarenakan lokasi kerusakan hutan yang serius yakni Blok Pondok Injuk terletak di Kampung Cimapag.

Menurut Lembanasari (2006) kampung konservasi merupakan komunitas tertentu yang mampu hidup bersama alam, dan didalamnya dilakukan kegiatan perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya hayati di dalam kawasan konservasi secara berkelanjutan. Kegiatan MKK dilakukan untuk tujuan konservasi dan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan melalui strategi penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, strategi pemulihan kawasan bersama masyarakat dan strategi pengembangan

59 ekonomi masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Strategi tersebut dilakukan oleh pihak TNGHS sebagai suatu kerangka kebijakan dan strategi pendekatan kepada Masyarakat Kasepuhan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS.

MKK merupakan suatu program yang sifatnya proyek antara TNGHS dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan melibatkan pertisipasi aktif dari Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Alat yang digunakan dalam Model Kampung Konservasi yaitu melakukan observasi bersama dengan masyarakat lokal untuk monitoring situasi kawasan; membuat jaringan komunikasi yang kuat antara komunitas lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan TNGHS; melakukan restorasi atau rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak dengan melibatkan masyarakat lokal; dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS (Harmita, 2009). Berikut adalah kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam program MKK di Kampung Cimapag :

1. Pemberian bantuan bibit tanaman

Pemberian bantuan bibit tanaman ini merupakan kerjasama dengan Dinas Kehutanan. Bibit tanaman yang diberikan adalah bibit pohon aren dan tanaman kayu seperti Puspa (Schima walichii), Rasamala (Altingia excelsa) dan Huru (Litsea tomentosa). Selain itu Dinas Pertanian juga memberikan bantuan bibit padi varietas unggul untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat. Namun Masyarakat Kasepuhan menolak hal ini, karena padi lokal lebih baik daripada padi milik pemerintah.

60 2. Pembentukan kelompok MKK

Pembentukan kelompok MKK terdiri atas 20 orang tiap kelompok. Setelah pembagian kelompok MKK, dilakukan pelatihan pembuatan proposal oleh fasilitator (Pihak TNGHS dan LSM JICA) yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok MKK untuk pengajuan dana usaha kegiatan ekonomi tambahan seperti peternakan, perikanan, warung kelontongan, dan kerajinan. Tabel 14 menunjukan Kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) di Dusun Cimapag. Pada awal pembentukan MKK (tahun 2005) di Dusun Cimapag terdapat empat kelompok MKK. Kelompok MKK yang terbentuk mengalami penurunan menjadi dua kelompok dikarenakan kurangnya kontrol dari pihak TNGHS. Selain itu, dalam pelaksanaan MKK ini tidak membahas mengenai hukum adat yang menjadi prinsip hidup Masyarakat Kasepuhan dalam keterkaitannya dengan alam.

Tabel 14. Kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) Dusun Cimapag Tahun 2011

Kelompok Jenis Usaha

Kelompok A Usaha dagang

kelontongan

Kelompok B Kerajinan kayu

3. Pemulihan sumberdaya alam di kawasan Pondok Injuk

Kegiatan ini dilaksanakan karena Masyarakat Kasepuhan yang menjadi buruh tengkulak kayu di Sukabumi banyak melakukan illegal logging di kawasan Pondok Injuk. Hal ini mengakibatkan hutan Pondok Injuk rusak, seperti penuturan Bapak ZN (40 tahun) sebagai ketua MKK atas semua kelompok yang ada di Dusun Cimapag.

61 “Masyarakat menjadi kambing hitam atas rusaknya hutan

Pondok Injuk. Padahal yang melakukan kegiatan illegal logging adalah para cukong tengkulak kayu di Sukabumi. Masyarakat terpaksa menjadi buruh para tengkulak besar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam satu hari bisa ditemukan 20 chain saw di hutan Pondok Injuk. Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2000 sampai 2003 ketika Menteri Kehutanan mengeluarkan SK perluasan kawasan TNGHS”.

Kegiatan pengamanan kawasan Pondok Injuk melibatkan peran Masyarakat Kasepuhan dan polisi hutan TNGHS yang dilaksanakan sekitar dua kali dalam satu minggu.

Kegiatan MKK yang dilakukan di Kampung Cimapag sudah berlangsung sejak tahun 2005. Kegiatan MKK merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi kawasan konservasi yang diikuti dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui alternatif usaha ekonomi. Masyarakat di Kampung Cimapag memanfaatkan Sumberdaya Alam (SDA) diantaranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berikut ini adalah bentuk pemanfaatan SDA oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi :

1. Air untuk sawah dan kebutuhan rumah tangga;

2. Kayu untuk bahan bangunan rumah, kandang dan kayu bakar;

3. Bambu untuk bahan kerajinan, jemuran (lantayan), bahan bangunan rumah dan kandang;

62 5. Pucuk rotan untuk upacara nganyaran;

6. Rotan untuk membuat kaneron (tas perlengkapan kerja petani);

7. Pakis-pakisan untuk membuat kerajinan gelang, pengikat sarung golok; 8. Aren diambil nira untuk gula.

Masyarakat memiliki aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam. Aturan tersebut di antaranya mensyaratkan ijin sesepuh adat untuk penebangan kayu. Mereka juga mempunyai aturan tradisi dalam memulai bertani dan membuka lahan. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mereka membagi hutan menjadi hutan tutupan, titipan dan garapan. Di Kampung Cimapag telah ditemukan beberapa ancaman dan potensi sebagai berikut :

1. Pola pengelolaan sumberdaya alam masih kuat contohnya huma dan talun; 2. Masyarakat banyak membuka lahan pertanian di hutan Pondok Injuk; 3. Pemerintah tidak memiliki tapal batas wilayah hutan yang jelas;

4. Masih memiliki perspektif sendiri dalam sistem zonasi (leuweung titipan, leuweung tutupan dan leuweung garapan).

Dari ancaman dan potensi tersebut muncul beberapa rekomendasi berikut :

1. Masyarakat Kasepuhan dan pihak Taman Nasional perlu mengambil tindakan segera pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Pondok Injuk;

2. Penegakan hukum bagi pelaku penebangan liar harus benar-benar dijalankan; 3. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan pemasaran produk

hutan non kayu (gula semut, kapol dan kerajinan) melalui pelatihan dan pendampingan secara berkelanjutan.

63 6.3. Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak Akibat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menganggap bahwa sistem zonasi yang telah dibuat taman nasional sama artinya dengan pengelolaan hutan secara adat terutama zona inti dan hutan tutupan Masyarakat Kasepuhan. Permasalahnnya adalah ketika talun, huma, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat dilarang mengakses zona tersebut karena berfungsi untuk pemulihan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh adanya kasus Pondok Injuk Kampung Cimapag yang rusak parah akibat illegal logging. Pentingnya talun, huma dan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat Masyarakat Kasepuhan tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya. Meskipun harus sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap oleh petugas TNGHS.

Menurut Masyarakat Kasepuhan, pihak TNGHS sengaja mengembangbiakkan babi hutan di lahan garapan masyarakat. Hal ini menyebabkan hasil pertanian (seperti panen pisang) Masyarakat Kasepuhan mengalami kegagalan. Pihak TNGHS juga memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat.

Konflik yang terjadi antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dikarenakan perbedaan persepsi atas sumberdaya hutan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan kayu bakar dan membangun rumah di kebun mereka sendiri dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh pihak TNGHS. Penebangan kayu di wilayah TNGHS dianggap sebagai kegiatan illegal logging oleh TNGHS.

64 Tahun 2004 terjadi penangkapan terhadap Masyarakat Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cimapag karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan satu tahun penjara. Setelah itu, pada tahun 2007 warga Kampung Cimapag kembali ditangkap karena mengambil kayu di kebun sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang didalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki pihak Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari.Gambaran konflik antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dapat dilihat di Lampiran 15.

Masyarakat Kasepuhan menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Kasepuhan terikat adat yang kuat dalam pengelolaan hutan. Kawasan leuweung tutupan dan titipan merupakan warisan leluhur yang harus terjaga keutuhannya. Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh Masyarakat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang diungkapakan oleh Bapak ASP (44 tahun), Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi.

65 “Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan titipan tidak boleh dirusak, hutan tutupan untuk memenuhi kebutuhan, hutan garapan untuk kegiatan pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi tanah dan hutan ini adalah milik adat”.

Pihak taman nasional menganggap kawasan halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Pemerintah menganggap kawasan TNGHS sebagai milik Negara didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 4 Ayat 1 dan 2.

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah milik publik. Namun karena konsep publik lah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan sumberdaya hutan juga diatur oleh pemerintah.

Kawasan konservasi taman nasional ditetapkan berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai

66 oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan- perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu pengaturan pengelolaan Hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK. Menhut No. 175 tahun 2003.

6.4. Penyelesaian Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan