• Tidak ada hasil yang ditemukan

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

8.1. Sistem Pertanian Lokal Masyarakat Kasepuhan Sinar Resm

Sistem pertanian yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sudah menjadi bagian dari tradisi adat yang sifatnya turun temurun. Pertanian ladang (huma) dan sawah Masyarakat Kasepuhan hanya dilakukan setahun sekali pada bulan September. Hal ini didasarkan pada prinsip Ibu Bumi yang menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang Ibu hanya dapat melahirkan setahun sekali.

Varietas padi yang ditanam merupakan padi lokal yang biasa disebut pare ageung. Varietas padi tersebut memiliki perbedaan dengan varietas padi pada umumnya. Perbedaan yang mencolok pada usia tanam, tinggi tanaman, dan bulir- bulir padi yang memiliki bulu halus berwarna hitam. Pemerintah telah mencoba untuk mengganti padi lokal dengan padi verietas unggulan tetapi masyarakat menolak dengan alasan padi lokal lebih baik dan cocok dengan kondisi iklim dan topografi Desa Sirna Resmi. Terdapat beberapa jenis varietas padi lokal yang disesuaikan dengan jenis lahan yang digunakan (Tabel 18).

Tabel 18. Varietas Padi Lokal dan Jenis Lahan yang Digunakan

Jenis Lahan Varietas Padi Lokal

Huma Pare Batu, Jamudin, Loyor, dan Gadog. Sawah Tadah Hujan Pare Hawara, Cere Buni, dan Sadam. Sawah Setengah

Irigasi

Sri Kuning, Sri Mahi, Raja Denok, Raja Wesi, Para Nemol, Angsana, Para Terong, Tampeu, Pare Jambu, Pare Peteu, Cere Layung, Cere Gelas, dan Cere Kawat.

Sumber : Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi (2011)

Terdapat 46 varietas padi yang dimiliki Kasepuhan Sinar Resmi. Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan pada sesepuh girang

75 sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila musim paceklik datang bisa dipinjamkan kepada warga yang kekurangan beras, dan dikembalikan dalam jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi sebagai tempat cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan dalam upacara adat Seren Tahun setiap tahun sebagai tempat menyimpan indung pare (Ibu Padi).

Jenis lahan pertanian yang terdapat di Masyarakat Kasepuhan terdiri dari tiga jenis lahan yaitu: lahan kering atau huma, sawah tadah hujan, dan sawah setengah irigasi. Huma merupakan sistem pertanian yang secara turun-temurun diwariskan oleh leluhur mereka. Lahan yang digunakan dalam huma yaitu lahan kering yang biasanya cara penanaman padi berada disela-sela tanaman hutan. Adapun perbedaan antara sawah tadah hujan dan setengah irigasi adalah sumber airnya. Sawah tadah hujan berasal dari air hujan, sedangkan sawah setengah irigasi dari mata air dengan irigasi yang masih sederhana. Sawah tadah hujan lebih mendominasi dibandingkan sawah setengah irigasi karena tidak ada infrastruktur irigasi yang memadai. Adapun sistem pengeloaan pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terdiri dari sistem Maro dan sistem Ngepak.

1. Maro, sistem pengelolaan pertanian dengan membagi dua hasil panen setelah dipotong modal.

2. Ngepak, sistem pengelolaan pertanian 5:1 yang artinya bila mendapat hasil lima ikat, maka satu ikat untuk petani penggarap sedangkan empat ikat untuk petani pemilik lahan.

Dalam menggarap lahan pertanian, kedudukan laki-laki dan perempuan seimbang, saling bekerjasama, dan ada bagian yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan

76 perempuan. Misalnya dalam hal ngaseuk (melubangi tanah), tugas laki-laki melubangi tanah, selanjutnya perempuan yang memasukkan padi.

Penentuan waktu dalam bercocok tanam di huma maupun di sawah mengacu pada konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau tidak. Bintang yang menjadi acuan bagi Masyarakat Kasepuhan dalam kegiatan pertanian, terdiri dari bintang Kerti dan Kidang. Tanggal kerti kana beusi, tanggal kidang turun kujang yang berarti masyarakat harus sudah mempersiapkan alat-alat pertanian seperti sabit, pacul dan garu. Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga bulan Oktober pada pukul 00.00 WIB. Kidang ngrangsang ti wetan, Kerti ngrangsang ti kulon berarti musim panas yang lama dan tanda untuk membakar ranting dan daun di huma. Kerti mudun matang muncrang di tengah langit yang berarti saatnya menanam padi di huma dan sawah sudah tiba. Kidang medang turun kungkang yang berarti saatnya panen karena hama-hama akan muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang. Kidang dan kerti ti kulon yang berarti musim hujan akan tiba.

Kegiatan pertanian ladang berbeda dengan kegiatan pertanian sawah. Masing-masing sistem pertanian memiliki ritual-ritual adat tersendiri dalam pelaksanaannya. Adapun tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam pertanian ladang, yaitu :

77 2. Nyacar, membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu setelah itu

dikeringkan selama 15 hari – 1 bulan;

3. Ngahuru, membakar semak kering untuk dijadikan pupuk; 4. Ngerukan, mengumpulkan sisa-sisa yang belum terbakar; 5. Ngaduruk, membakar sisa-sisa nya;

6. Nyara, meremahkan tanah;

7. Ngaseuk, menanam bibit padi dengan menggunakan tugal atau aseuk;

8. Beberes Mager, ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik kasepuhan) dengan membaca doa;

9. Ngarawunan, ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna, dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu (pengikut) untuk meminta doa kepada Abah melalui bagian pamakayan. Ngarawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan; 10. Ngored, menyiangi rumput;

11. Mipit/Dibuat, memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah sebagai pertanda masuknya musim panen;

12. Ngadamel Lantayan, membuat tempat menjemur padi; 13. Nglantaykeun, menjemur padi pada lantayan;

14. Mocong, mengikat padi yang kering; 15. Ngunjal, mengangkut ke lumbung padi; 16. Ngaleuitkeun, memasukkan ke lumbung;

17. Ngadiukeun indung pare, menyimpan padi di dalam leuit; 18. Nutu, menumbuk padi pertama hasil panen;

78 19. Nganyaran, memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan

setelah masa panen;

20. Tutup Nyambut, menandakan selesainya semua aktivitas pertanian di sawah yang ditandai dengan acara selametan;

21. Seren Tahun, upacara mensyukuri hasil panen pada tahun tersebut.

Berikut adalah tahap-tahap pertanian sawah yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan mulai dari menanam padi hingga memanen padi.

1. Macul, menyangkul tanah yang akan ditanami sawah, meliputi macul badag dan macul alus;

2. Ngalur Garu, membajak sawah dengan menggunakan alat bantu garu dan hewan ternak kerbau;

3. Ngoyos, membersihkan tanaman pengganggu seperti rumput liar yang menghambat pertumbuhan tanaman padi;

4. Patangkeun, meratakan seluruh permukaan tanah di sawah yang belum rata; 5. Sebar, menumbuhkan benih padi pada tahap pembibitan awal;

6. Tandur, menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar;

7. Ngabungkil, memberikan sedikit pupuk kimia pada tanaman (TSP dan Urea) agar tanaman padi dapat tumbuh baik;

8. Ngoyos Kadua, membersihkan kembali tanaman pengganggu seperti rumput liat yangdapat menghambat pertumbuhan tanaman padi;

9. Babad, membersihkan rumput atau tanaman pengganggu yang terdapat di pematang sawah;

10. Nunggu Dibuat, menjaga padi yang sudah mulai tumbuh dari gangguan, seperti burung-burung pemakan padi;

79 11. Dibuat, yaitu panen tanaman padi yang sudah matang;

12. Nglantay, menjemur padi yang sudah dipanen hingga kering;

13. Mocong, mengikat padi dari jemuran sebelum dimasukan ke dalam leuit; 14. Aseup Leuit, memasukan padi yang sudah kering ke dalam leuit;

15. Nutu, menumbuk padi pertama hasil panen;

16. Nganyaran, memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan setelah masa panen;

17. Tutup Nyambut, menandakan selesainya semua aktivitas pertanian di sawah yang ditandai dengan acara selametan;

18. Seren Tahun, upacara mensyukuri hasil panen pada tahun tersebut.

Terdapat aturan dalam prosesi panen padi di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Setelah dipanen, padi harus dijemur dengan cara digantung disekitar areal lahan tanam menggunakan bambu yang disusun yang biasa disebut nglantay. Padi yang dipanen tersebut dipotong menggunakan ani-ani yang hanya memotong bagian ujung bulir-bulir padi. Setelah dipotong, padi diikat sebesar satu genggam ikatan tangan lalu dijemur. Seteleh kering padi diikat kembali dengan aturan dua ikat padi yang basah menjadi satu ikat padi yang kering. Padi yang kering tersebut diangkut dengan sebilah bambu dan dimasukan dalam leuit rumahtangga. Aturan dalam memasuki leuit adalah tidak diperkenankan masuk leuit yang bersamaan dengan hari lahir yang punya leuit tersebut.

Leuit merupakan bangunan yang khusus digunakan sebagai tempat menyimpan padi. Seperti halnya bangunan lain yang ada di kasepuhan, leuit pun memiliki aturan tersendiri. Aturan pendirian leuit mengikuti pola hitungan yang biasa digunakan oleh masyarakat adat. Tanggal naga digunakan untuk

80 membangun leuit. Arah leuit dikhususkan membujur dari selatan ke utara dengan salah satu ujungnya terdapat satu pintu. Masing-masing pojok bangunan terdapat daun-daun tertentu yang dimaknai sebagai penjaga leuit dari hama dan pencuri.

Hasil penen padi selain disimpan pada masing-masing leuit rumahtangga, masyarakat juga memberikan hasil panen ke leuit si jimat (kasepuhan) dengan aturan 100 : 2 yang berarti hasil panen 100 ikat memberikan ke leuit si jimat sebanyak 2 ikat. Leuit si jimat digunakan sebagai cadangan pangan bagi Masyarakat Kasepuhan saat musim paceklik dan sebagai cadangan dalam berbagai kegiatan kasepuhan seperti saren taun. Kegiatan menumbuk padi tidak boleh menggunakan mesin tetapi menggunakan halu dan ditumbuk di lesung. Padi juga harus dimasak menggunakan kayu bakar.

Upacara Seren Taun dilakukan untuk mensyukuri hasil panen tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan melakukan Serah Ponggokan. Para Kokolot Lembur (kepala kampung/dusun) berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kokolot Lembur di setiap kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makam- makam leluhurnya, mulai dari makam Abah sebelumnya hingga makam leluhurnya. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada para leluhur agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.

Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan

81 padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang wanita (lacur).

Masyarakat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang, jagung, tomat, ubi, singkong, dan tanaman buah-buahan. Selain itu warga juga menanam pohon kayu-kayuan seperti Jeunjing (Paraserianthes falcataria), Mani’i (Canarium mehenbethene), Manglid (Manglietia glauca), Tisuk (Hibiscus macrophyllus) dan Jabon (Anthocephalus chinensis) untuk keperluan kayu bakar dan membuat rumah.

8.2. Perubahan Sistem Pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi