• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASEPUHAN SINAR RESM

6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan

hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar). Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan ke Direktorat Pelestaraian Hutan dan Perlindungan Alam (PHPA) di bawah Departemen Kehutanan. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani. Tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan.

Sumberdaya alam hutan dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan oleh deforestasi yang tinggi akibat kegiatan produksi dan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, atas dorongan pihak yang peduli akan

54 konservasi seperti Departemen Kehutanan dan beberapa LSM, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsi menjadi hutan konservasi. Hal ini dikarenakan perlu zona penyangga antara Gunung Halimun dengan Gunung Salak dan Gunung Endut. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts- II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Tabel 12 menjelaskan riwayat pendirian dan penetapan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Tabel 12. Riwayat Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Periode Tahun Keterangan

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941 ha

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat

1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990-1992 Status cagar alam di bawah pengelolaan Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat eselon III 2003-sekarang Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak seluas 113.357 ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi terbatas sekitarnya.

Sumber : Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2007)

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNGHS umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam Masyarakat Kasepuhan dan non

55 kasepuhan. Salah satu masyarakat yang termasuk dalam kawasan perluasan TNGHS adalah Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati, UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU No. 24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, dimana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS memiliki aturan zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Pembagian zonasi taman nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 adalah sebagai berikut :

1. Zona inti adalah kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam yang masih asli dan belum diganggu oleh manusia yang berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati.

2. Zona rimba adalah kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan adalah kawasan taman nasional yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya.

4. Zona tradisional adalah kawasan taman nasional yang dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional oleh masyarakat yang karena faktor sejarah dimana mereka mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.

5. Zona rehabilitasi adalah kawasan taman nasional yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

56 6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah kawasan taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya dan sejarah.

7. Zona khusus adalah kawasan taman nasional dimana telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Pada dasarnya penetapan zonasi oleh TNGHS juga dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan. Dalam pengelolaan hutan, Masyarakat Kasepuhan membagi hutan (leuweung) ke dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung bukaan.

1. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Kawasan ini dipercaya dijaga oleh roh- roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan (kabendon). Kawasan ini memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai). Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah (Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi) untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada didalam hutan tutupan. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas izin Abah. Hutan tutupan digunakan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk membuat bangunan dan hasil hutan non kayu berupa tanaman obat-obatan. Setiap warga yang ingin mengambil kayu harus

57 menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah pohon yang ditebang.

2. Leuweung titipan adalah kawasan yang diamanatkan leluhur kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk (kabendon). Pemerintah juga harus ikut serta menjaga kelestarian kawasan ini sampai tiba waktunya kawasan ini dibuka sebagai awisan atas izin leluhur di masa mendatang.

3. Leuweung garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa huma, sawah dan talun

Tabel 13 menjelaskan alokasi penggunaan lahan bagi Masyarakat Desa Sirna Resmi.

Tabel 13. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sinar Resmi

Penggunaan lahan

Zona di Kasepuhan

Luas (ha) Kontribusi penggunaan lahan (%)

Pemukiman Hutan bukaan 36 0,73

Sawah Hutan bukaan 1.000 20,34

Ladang Hutan bukaan 400 8,14

Tanah Kuburan Hutan bukaan 7 0,14

Hutan titipan Hutan titipan 1.474 29,97

Hutan tutupan Hutan tutupan 2.000 40.68

Total luas desa 4.917

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi (2010)

Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau

58 kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan- perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Hak kepemilikan taman nasional, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Menurut pasal 34 UU No 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kementrian Kehutanan (Hanafi et al., 2004)