• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOMOR 24 TAHUN 1997

E. Pelaksanaan Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Adat Nias

Pembagian warisan menurut hukum adat merupakan salah satu kebiasaan yang di lakukan oleh suatu keluarga terhadap harta warisan yang di tinggalkan oleh si pewaris, hal ini di lakukan untuk menghindari agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga. Dalam pembagian warisan menurut hukum adat Nias biasanya di lakukan dengan suatu acara adat keluarga dengan di hadiri oleh semua keluarga ahli waris.

Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini belum adanya suatu hukum waris adat yang berlaku secara mnyeluruh bagi setiap daerah di Indonesia yang menyebabkan masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga di kalangan masyarakat bangsa Indonesia terutama masyarakat yang hidup di pedesaan masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan adatnya.

Kabupaten Nias dengan ibu Kotanya Gunungsitoli dan sekaligus sebagai lokasi penelitian yang memiliki karakter tersendiri khususnya mengenai perkembangan kedudukan laki-laki dan wanita dalam pewarisan menurut adat istiadat pada masyarakat Nias.

Keluarga merupakan unit yang terkecil dan merupakan sendi dasar dari kedudukan masyarakat. Komposisi keluarga dalam masyarakat Nias adalah monogami yaitu anggota inti keluarga rumah tangga, suami, istri, dan anak–anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan.50

50

Mariati Zendrato, Perkembangan Kedudukan Wanita Dalam Sistem Patrilineal Terhadap

Hak-Hak Pewarisan Tanah Di Daerah Kabupaten Nias, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum

Pada umumnya kita melihat dalam satu anggota keluarga itu adanya hubungan hukum yang didasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang menimbulkan adanya akibat hukum, yang berhubungan dengan keturunan akibat hukum ini tidak sama dengan daerah lainnya.

Pewarisan merupakan proses peralihan atau perpindahan harta peninggalan /harta warisan seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris kepada ahli warisnya). Berkaitan dengan itu apa yang di uraikan diatas bahwa dalam keluarga terhadap pewarisan pada masyarakat Nias menganut sistem Patrilineal yang tentu berkaitan dengan hukum adat.

Sistem pembagian warisan pada masyarakat patrilineal lebih menitik beratkan pada kedudukan anak laki-laki dan anggota keluarga lainnya yang berasal dari pihak laki-laki.51

Hukum waris adat Nias menganut sistem patrilineal yaitu sistem yang menurut garis keturunan dari bapak dan dari segi pewarisan harta didominasi oleh kaum laki-laki sementara perempuan tidak dapat bagian sama sekali.

Terhadap sistem pembagian warisan pada masyarakat Nias yang menganut sistem patrilineal, dimana kedudukan laki-laki lebih di utamakan dari pada perempuan. Pada umumnya di antara anak laki-laki sendiri mendapat pembagian yang

51

H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Konteporer, PT Alumni, Bandung, 2002, Hlm 195.

sama, hal ini berbeda dengan sebelumnya di mana anak laki-laki yang tertua mendapat bagian yang lebih besar. 52

Namun dalam perkembangannya dan fakta sosial sekarang ini kekuatan hukum adat dalam pembagian harta warisan atas tanah telah mengalami perubahan dimana wanita diperhitungkan mendapat bagian harta dalam keluarganya, hal ini disebabkan karena kemajuan ekonomi, teknologi, pendidikan, dan sosial budaya maka menyebabkan juga pergeseran hukum adat Nias dalam hal pembahagian warisan atas tanah pada kalangan masyarakat Nias. Pembahagian warisan atas tanah pada kalangan masyarakat Nias yang tidak membedakan antara kedudukan laki-laki dan perempuan, sangat didominasi oleh suatu masyarakat yang telah memiliki dan mengetahui perkembangan zaman atas kedudukan anak laki-laki dan perempuan maupun janda yang sesuai dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yang mempertahankan hak-hak kedudukan anak yang tidak membedakan antara anak laki-laki maupun perempuan.

Namun demikian praktek penerapan sistem kekeluargaan patrilineal ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Nias, khususnya yang bertempat tinggal atau berdomisili dipedalaman serta masyarakat yang masih memiliki paham klasik dan mencintai hukum adat tersebut yang sangat mengutamakan kedudukan laki-laki dari pada perempuan.

52

Mahadi, Laporan Hasil Penelitian Fakultas Hukum USU Tentang Garis-Garis Besar

Hukum Kekeluargaan Dan Warisan Dikalangan Suku Batak dan Nias, Lembaga Penelitian USU,

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa di setiap daerah di seluruh Indonesia menganut hukum adat yang berbeda-beda, karena sistem kekerabatan yang tidak selalu sama dan bahkan di dalam kelompok masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan yang samapun akan dijumpai perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol, salah satu perbedaan yang dapat ditemukan adalah dalam sistem pembagian warisan.

Pelaksanaan pembagian warisan dalam masyarakat adat Nias dapat dilakukan ketika pewaris masih hidup. Jika pewaris masih hidup, maka pewaris akan memanggil anak sulungnya dan memberitahukan bahwa ia (pewaris) hendak melakukan pembagian warisan. Oleh karena itu, maka anak sulung tersebut akan membicarakan hal itu kepada seluruh ahli waris dan kemudian melakukan musyawarah keluarga yang dinamakan dengan huhuo yomo atau huhuo bambato. Selanjutnya mengambil suatu kesepakatan untuk mengadakan suatu acara yang disebut dengan fangandro howu-howu zatua (meminta do’a atau berkat dari orangtua). Dalam acara ini, pihak anak perempuan harus dengan sepintar-pintarnya mengambil hati orangtua karena acara tersebut merupakan kesempatan bagi mereka untuk memperoleh bagian lebih besar atas harta orang tua yang sifatnya sebagai pemberian orangtua atau masi-masi zatua. Hal ini disebabkan dalam masyarakat adat Nias tidak ada aturan besarnya bagian pemberian orangtua kepada anak perempuannya (masi-masi zatua). Jadi, besarnya

bagian masi-masi zatua bisa saja melebihi bagian mutlak (legitieme portie53) dalam KUHPerdata atau bagian yang telah ditentukan dalam Hukum Islam.

Namun dalam hal pewaris telah meninggal dunia, maka sebelum pelaksanaan pembagian warisan tersebut, para ahli waris mengadakan sebuah acara yang disebut dengan mombagi harato zatua (membagi harta orangtua) dan selama persiapan acara tersebut, para ahli waris secara bersama-sama mempertimbangkan mengenai bagian masing-masing ahli waris.

Oleh karena itu menurut hukum adat Nias yang sangat berperan untuk menguasai harta kekayaan terletak pada pihak laki-laki sementara pihak perempuan tidak berhak untuk menguasainya. Namun demikian, perempuan mempunyai hak untuk menerima pemberian dari orang tua yang dinamakan dengan masi-masi zatua ( tanda kasih sayang orangtua).

Menurut H. S. Zebua bahwa menurut hukum adat Nias, yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki (ono matua) saja, sedangkan istri dan anak perempuan tidak mempunyai hak atau menjadi ahli waris. Apabila tidak ada anak laki-laki dari si pewaris, maka yang berhak menjadi ahli waris adalah saudaranya laki-laki.54

Dalam hal pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat Nias yang dilakukan secara musyawarah oleh para ahli waris atas harta peninggalan dari si pewaris kadang–kadang mengalami hambatan ataupun kendala-kendala, adapun

53

Legitimie portie, yaitu: suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1977, hal.79

54

H. S. Zebua, “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nias”, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumen Daerah, Gunungsitoli, 1985), hal.70.

kendala-kendala yang di hadapi itu seperti tidak tercapainya kata mufakat antara sesama ahli waris. Akibat tidak tercapainya kata mufakat sesama ahli waris dalam pembagian warisan maka akan menimbulkan sengketa di antara mereka.