• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOMOR 24 TAHUN 1997

B. Masyarakat Nias dan Sistem Perkawinannya 1.Masyarakat Nias

2. Sistem Perkawinan

Laki-laki Perempuan 217527 224493 49,21 50,79 Jumlah 442020 100

Sumber: Nias dalam angka, 2007

Ono Niha dengan masyarakat pendatang dapat di bedakan dari segi marga, bahasa dan adatnya. Marga adalah merupakan konsep kekerabatan masyarakat Nias, artinya bahwa setiap Ono Niha (Orang Nias) mempunyai mado (marga) yang merupakan konsep mendasar dalam sistem kekeluargaan karena mado merupakan identitas bersama dari kelompok-kelompok orang yang merupakan keturunan dari sambua ama ( seorang bapak) atau sambua tua (seorang kakek).

Seluruh anggota kelurga yang berasal dari bapak atau kakek yang sama maka dibelakang nama kecilnya harus menggunakan mado (marga) bapaknya atau kakeknya dengan memakai mado (marga) menandakan bahwa mereka-mereka itu berasal dari suatu keturunan yang sama yang lazim disebut oleh masyarakat Nias sambua ama (satu bapak) atau masih sambua-tua (satu kakek).

2. Sistem Perkawinan

Berbicara tentang sistem perkawinan pada masyarakat Nias, tidak terlepas dari aturan adat istiadat yang hidup ditengah-tengah masyarakat Nias itu sendiri. Perkawinan pada masyarakat Nias dimulai dari tingkat pertunangan sampai pada upacara perkawinan dan perlu dijelaskan bahwa sebelum melakukan pertunangan

sampai pada perkawinan ada ketentuan-ketentuan adat yang dilakukan. Pada masyarakat Nias tidak ada larangan kawin antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai marga yang sama, hal ini berbeda dengan sistem kekeluargan patrilineal yan berlaku di daerah lain yang ada di Indonesia.

Pada zaman dahulu perkawinan yang ideal menurut masyarakat Nias adalah perkawinan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan dari saudara laki-laki ibu si anak laki-laki tersebut. Dalam bahasa Nias disebut dengan sifasibaya atau ono zibaya yaitu anak paman dan dalam bahasa Karo disebut dengan impala atau marimpal dalam bahasa Batak Toba disebut dengan pariban atau marpariban.

Masalah perkawinan pada masyarakat Nias, bukan semata-mata urusan pribadi yang mau kawin saja, tetapi merupakan urusan semua pihak atau kerabat orang yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan perkawinan di kalangan masyarakat Nias tidak terlepas dari pengaruh hukum adat, artinya bahwa perkawinan pada masyarakat Nias masih diliputi oleh hukum adat sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat sekalipun tidak tertulis dalam bentuk undang-undang negara.

Adapun sistematika perkawinan yang dimaksud dalam hukum adat masyarakat Nias yaitu:

a. Sebelum melakukan pertunangan

Sebelum dilakukan pertunangan menurut hukum adat Nias selalu diawali dengan melakukan musyawarah oleh keluarga pihak laki-laki. Setelah ada musyawarah kemudian orang tua silaki-laki mengambil keputusan untuk

mengembangkan isi musyawarah tersebut disampaikan kepada keluarga dekat mereka, untuk diusulkan bahwa anak laki-laki mereka akan di pertunangkan dengan anak gadis keluarga tersebut.

Sebelum pertunangan, pihak orang tua keluarga laki-laki menyuruh seseorang yang dianggap dewasa dan cakap untuk bertindak sebagai perantara atau samatofa (telangkai) untuk menyampaikan kehendak kepada pihak keluarga sigadis. Samatofa dari pihak laki-laki membawa sirih atau afo dan untuk seterusnya perantara tadi menyampaikan pesan dari pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.

Kemudian pihak keluarga perempuan setelah menerima pesan dari perantara pihak laki-laki maka keluarga pihak perempuan akan mengadakan musyawarah diantara mereka dan untuk seterusnya nanti hasil musyawarah tersebut disampaikan kepada keluarga pihak laki-laki melalui samatofa, dan apabila pihak keluarga perempuan menerima pesan dari pihak keluarga laki-laki selanjutnya pihak perempuan dan laki-laki mengatur jadwal pertunangan atau famatuasa sekaligus dilaksanakan acara tukar cincin atau fame’e laeduru. Sementara itu yang melanjutkan segala urusan dan kepentingan perkawinan dilakuakan oleh Si’o, (telangkai yang berfungsi sebagai perantara orang tua pihak laki-laki dengan orang tua pihak perempuan.

Dari pihak perempuan dikenal istilah telangkai yaitu samatofa dan sanema li. Samatofa dari pihak perempuan mempunyai peran dan fungsi serta keberadaannya yang sama dalam acara fame’e laeduru atau famatuasa dengan samatofa dari pihak laki-laki. Tetapi sanema li yang keberadaannya pada pihak perempuan mempunyai

peran dan fungsi untuk menerima segala keluh kesah yang disampaikan oleh pihak keluarga laki-laki melalui Si’o.29

b. Famatuasa atau pertunangan

Famatuasa artinya suatu acara yang menandakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikat janji sehingga orang lain tidak berniat lagi mengikat janji kawin dengan mereka baik dengan keluarga anak laki-laki maupun pihak keluarga anak perempuan yang bersangkutan. Sementara fame’e laeduru artinya pemberian cincin dan ini merupakan suatu tanda telah terjadinya famatuasa dan oleh karena itu orang lain tidak mendekati mereka lagi. fame’e atau memberi, laeduru atau cincin, famatuasa atau bertunangan.

Dalam acara famatuasa ini si’o memberitahukan tujuan dan maksud mereka kepada keluarga itu. Setelah itu keluarga pihak perempuan melalui sanema li menjawab atau menanggapi pemberitahuan tujuan kedatangan keluarga pihak laki-laki tersebut. Untuk seterusnya kalau sudah ada kesepakatan maka kesepakatan itu akan di bawa kepada keluarga pihak perempuan dan selanjutnya penyerahan emas kepada si’o untuk diberikan kepada keluarga pihak perempuan.

Dalam acara ini biasanya pihak keluarga perempuan mengapuri sirih atau menyuguhkan sirih secara lengkap kepada keluarga pihak laki-laki sebagai tanda mempererat hubungan persaudaraan diantara mereka, acara ini dikenal dengan istilah famidi afo, sambil membahas mengenai adat yang harus dilakukan dalam acara famatuasa tersebut.

29

Wawancara dengan Loozaro Zebua, Tokoh masyarakat Nias, Kabupaten Nias, tanggal 5 April 2008.

Dalam acara famatuasa akan dilakukan suatu pembicaraan untuk saling mengikat janji tentang besarnya pemberian keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan yang disebut dengan beli niha, menentukan waktu pelaksanaan upacara perkawinan, besarnya denda sebagai sanksi jika di antara salah satu pihak memutuskan hubungan pertunangan tersebut. Sehingga untuk mengikat janji tersebut, si’o menyerahkan laeduru beserta dengan sekhe-sekhe laeduru, yaitu perak yang mana pada zaman sekarang di berikan dalam bentuk uang yang berfungsi sebagai pendukung cincin tersebut supaya tidak mudah berguling, artinya di dalam acara pertunangan tersebut adalah supaya anak laki-laki dan anak perempuan tersebut tidak mudah untuk tergoda dengan orang lain (sekhe-sekhe atau pendukung).

Setelah pertunangan maka yang merupakan proses hukum adat yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan perkawinan, dalam penyerahan dan penerimaan boli niha di langsungkan secara bertahap yaitu:

1). Famalua li, (famalua atau menjadiakan li atau suara atau cakapan), maksudnya adalah bahwa pertunangan itu di lanjutkan. Oleh karena itu keluarga pihak laki-laki meminta kepada keluarga pihak perempuan untuk mengurangi jumlah boli niha yang telah di sepakati sebelumnya demi meringankan beban calon menantu.

2). Fame’e fakhe toho, maksudnya adalah si’o dan beberapa orang dari kerabat pihak laki-laki menyerahkan beras dari kepada keluarga pihak perempuan di rumah orang tua pihak perempuan melalui sanema li untuk keperluan pada acara pesta perkawinan.

3). Fangandro li nina, artinya memohon kepada ibu si perempuan supaya ibu dari pihak perempuan dapat menentukan hari pelaksanaan upacara perkawinan yang sesungguhnya. Dimana dalam jadwal atau waktu yang di tentukan oleh kedua pihak baik perempuan maupun laki-laki kadang-kadang tertunda atau tidak terlaksana sesuai dengan waktu yang di tentukan.

4). Fangandro ba dekhe mbowo, artinya membuat calon pengantin perempuan untuk mengingat segala sesuatu yang telah di ajarkan oleh ibunya selama hidup bersama dalam keluarga orang tuanya.

5). Famaola lib a nuwu atau fanaba’o li ba nuwu yaitu masing-masing calon pengantin bersama ibu dari masing-masing calon pengantin pergi kerumah pihak paman yang bersangkutan dapat hadir pada acara perkawinan kedua belah pihak tersebut.

c. Famalua fangowalu atau pelaksanaan perkawinan

Jarak antara pertunangan dan penyelenggaraan perkawinan di tentukan berdasarkan kesepakatan kerabat dari dua belah pihak karena tidak ada ketentuan adat mengenai hal tersebut.

Bentuk perkawinan yang di kenal dalam hukum adat pada masyarakat Nias yaitu perkawinan yang di lakukan dengan penyerahan beberapa jujuran sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan.

Perkawinan menurut masyarakat Nias, di samping bersatunya seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam menciptakan satu rumah tangga bahagia untuk meneruskan keturunan serta untuk mempererat dan memperluas hubungan

kekeluargaan antara kedua belah pihak yang berbeda. Dengan adanya hubungan perkawinan tersebut maka akan selalu terbina hubungan yang baik diantara kedua belah pihak, yaitu hubungan antara menantu (umono) dan mertua (matua) serta hubungan antara keluarga atau orang tua si laki-laki dengan keluarga atau orang tua perempuan dalam hal ini hubungan yang terbina tidak itu saja, malahan bisa terbina hubungan yang lebih luas yang mencakup golongan kekerabatan yang dalam istilah kiasan bahasa Niasnya sering disebutkan sebagai berikut:

Sanano tanomo magai (bagaikan menanam bibit mangai/sejenis tanaman) Ha sara magai (hanya sebiji bibit mangai)

Siwa hili oi fakhai (Sembilan gunung jadi berangkai) Oi fakhai zoya sibai (semua jadi terkait)