• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pendidikan Nilai di Sekolah

A. Kajian tentang Pendidikan Nilai 1.Pengertian Nilai

5. Pelaksanaan Pendidikan Nilai di Sekolah

Sekolah sebagai tempat warga sekolah berinteraksi antara satu dengan lainnya dipastikan melibatkan beragam nilai kehidupan. Menurut Mulyana (2004: 141), nilai-nilai kehidupan di sekolah dapat berupa nilai yang secara sengaja dilembagakan melalui ketentuan formal dalam tatatertib sekolah atau diatur dalam kurikulum tertulis. Selain itu juga terdapat nilai-nilai yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan tindakan seseorang. Nilai yang direfleksikan melalui tampilan seseorang tersebut berperan untuk membentuk iklim budaya sekolah yang penuh makna. Pada lingkungan sekolah terdapat nilai-nilai yang sudah diatur dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Sekolah sebagai

27

salah satu tempat pelaksanaan kegiatan pendidikan tidak terlepas dari nilai-nilai sehingga sekolah mempunyai peran dalam pendidikan nilai.

Zuchdi (2010: 5) menyatakan bahwa pendidikan nilai dapat diberikan dengan cara langsung atau tidak langsung. Cara langsung diberikan dengan penentuan perilaku yang dinilai baik, sedangkan cara tidak langsung diberikan dengan menentukan perilaku yang diinginkan dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat diterapkan. Melihat kondisi masyarakat saat ini, pelaksanaan pendidikan nilai tidak cukup hanya dengan cara langsung menentukan perilaku yang dinilai baik. Cara pendidikan nilai harus komprehensif. Komprehensif mengandung maksud bahwa telah mencakup berbagai segi atau aspek.

Cara atau metode komprehensif dalam pendidikan nilai menurut Zuchdi (2010: 36) yaitu di dalam pendidikan nilai mencakup inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian keteladanan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan pengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain. Tidak cukup saat ini memberikan pendidikan nilai hanya dengan inkulkasi atau penanaman nilai saja kepada peserta didik jika keteladanan yang ada belum mencerminkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai. Hal penting bagi generasi saat ini dalam pendidikan nilai yaitu mengenai apa yang didengar dan dilihat sebagai bentuk keteladanan dan pembiasaanya dalam berperilaku sesuai dengan nilai.

Pendidikan nilai hendaknya juga terjadi dalam kesemua proses pendidikan baik di kelas, kegiatan ektrakurikuler, proses bimbingan, upacara pemberian

28

penghargaan, dan semua aspek kehidupan (Zuchdi, 2010: 36). Senada dengan hal itu, Muslich (2011: 84) menyatakan bahwa dalam pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua komponen-komponen pendidikan yaitu isi kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran, kualitas hubungan, pengelolaan mata pelajaran, pelaksanaan kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan semangat kerja seluruh warga sekolah.

Pendidikan nilai perlu menggunakan pendekatan komprehansif yang harapannya dapat menghasilkan generasi yang mempu membuat keputusan moral dan memiliki perilaku yang baik berkat adanya pembiasaan dalam proses pendidikan. Pendekatan komprehensif dalam pendidikan nilai menurut Krischenbaum (Zuchdi, 2010: 46) dapat ditinjau dari segi metode atau cara yang digunakan yaitu inkulkasi, keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan. Berikut ini penjelasan dari segi metode dalam pendidikan nilai dengan pendekatan komprehensif tersebut.

a. Inkulkasi Nilai

Inkulkasi merupakan metode pendidikan nilai dengan penanaman nilai. Inkulkasi berbeda dengan indoktrinasi, sebab keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat bertolak belakang. Berikut ini ciri-ciri inkulkasi yang dipaparkan oleh Zuchdi (2010: 46).

1) Mengomunikasikan kepercayaan disertai dengan alasan yang mendasari. 2) Memperlakukan orang lain secara adil.

3) Menghargai pandangan orang lain.

4) Mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat.

5) Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki.

29

6) Menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem.

7) Membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan.

8) Tidak membuka komunikasi dengan pihak lain yang tidak setuju.

9) Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.

Inkulkasi dilakukan untuk mendemontrasikan kepada subyek didik mengenai cara terbaik untuk mengatasi berbagai masalah. Inkulkasi (penanaman) nilai menurut Muslich (2011: 108) dinyatakan bahwa memberikan penakanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Inkulkasi merupakan metode penyampaian pendidikan nilai secara langsung, sebab dimulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik kemudian ditanamkan ke dalam diri.

b. Keteladanan

Keteladanan atau modeling merupakan metode yang biasa digunakan dalam pendidikan nilai dan spiritualitas. Untuk dapat menggunakan metode ini menurut Zuchdi (2010: 47) terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu guru atau orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi anak-anaknya, dan anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia. Perilaku yang secara alami dijadikan model oleh anak-anak adalah cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, menghargai pendapat anak, dan mengkritik orang lain secara santun. Dan apabila mereka berperilaku sebaliknya, maka anak-anak secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak agar tidak tertanam nilai-nilai negatif dalam diri anak. Sama halnya dengan inkulkasi, keteladanan juga mendemontrasikan kepada subyek didik mengenai cara terbaik untuk mengatasi masalah-masalah.

30

Keteladanan merupakan perilaku dan sikap seseorang yang patut untuk dicontoh. Kemendiknas (2010: 17) menyatakan bahwa keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk meneladani atau mencontohnya. Sementara itu, Muslih (2011: 175) mengungkapkan bahwa keteladana atau kegiatan pemberian contoh bisa dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf adminitrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi peserta didik.

Apabila sekolah ingin agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa, maka guru dan tenaga kependidikan lain yang ada di sekolah merupakan tokoh pertama dan utama yang memberikan contoh dalam berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa. Keteladanan atau pemberian contoh di sekolah misalnya berpakaian rapi, dapat tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata yang sopan, jujur, menjaga kebersihan lingkunga.

c. Fasilitasi

Berbeda dengan inkulasi dan keteladana yang mendemontrasikan mengenai cara terbaik dalam mengatasi masalah, fasilitasi lebih melatih subyek didik dalam mengatasi masalah-masalah. Zuchdi (2010: 48) menyatakan bahwa bagian terpenting dalam metode ini adalah pemberian kesempatan kepada subyek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subyek didik dalam pelaksanaan metode ini membawa dampak positif pada perkembangan kepribadiannya. Hal tersebut

31

dinyatakan oleh Kirschenbaum dalam Zuchdi (2010: 48-49) dikarenakan kegiatan fasilitasi dapat membantu beberapa hal berikut ini:

1) secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidik dan subyek didik, 2) menolong subyek didik memperjelas pemahaman,

3) menolong subyek didik yang sudah menerima suatu nilai tetapi belum mengamalkannya secara konsisten untuk meningkat dari pemahaman sampai ke bertindak,

4) menolong subyek didik berpikir lebih jauh mengenai nilai yang dipelajari, menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikiran dan perasaan subyek didik, dan

5) memotivasi subyek didik menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri.

Fasilitasi memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan perbuatan moral dalam mengatasi masalah-masalah. Pada kegiatan fasilitasi di sekolah akan membantu dalam menjalin hubungan baik antara guru dan siswa, menolong siswa dalam memahami suatu nilai, membantu siswa bertindak sesuai nilai secara konsisten, dan terus termotivasi untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan nilai. Kegiatan fasilitasi akan memberikan dorongan siswa dalam pemahaman, kesadaran, dan tindakan nilai sehingga akan menjadi suatu semangat untuk selalu menjunjung tinggi nilai dalam kehidupannya.

d. Pengembangan keterampilan akademik dan sosial

Menurut Zuchdi (2010: 49) terdapat berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Ketermpilan tersebut antara lain adalah berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, meyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial.

32

Keterampilan akademik dan sosial dalam pendekatan pendidikan diperlukan untuk mengenal dan memahami nilai dengan kemampuan berpikir anak dalam mengatasi suatu permasalahan dengan baik. Melalui kemampuan berpikir anak mengarahkan pada sifat bijaksana dengan menganalisis informasi yang diterima secara cermat dan membuat keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat merupakan tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan solusi pemecahan terhadap suatu permasalahan. Oleh karena itu, keterampilan akademik dan sosial diperlukan dalam mengenal kemudian bertindak dengan tepat sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dipercaya.

Berdasarkan uraian mengenai metode pendidikan nilai dengan pendidikan komprehensif di atas dapat dikatahui bahwa terdapat empat metode yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial. Keempat metode tersebut merupakan inovasi agar pendidikan nilai tidak bersifat indoktrinasi. Indoktrinasi menimbulkan kekauan terhadap nilai karena pendidikan nilai membutuhkan keteladanan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedikit berbeda dengan pendapat Krischenbaum, Elmubarok (2009: 60-74) menyatakan bahwa model pendekatan pendidikan nilai yang populer berdasarkan kajian Superka terdapat lima pendekatan pendidikan nilai. Lima pendekatan pendidikan nilai tersebut yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Berikut ini penjelasan dari kelima pendekatan tersebut.

33 a. Pendekatan Penanaman Nilai

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan suatu pendekatan pedidikan nilai yang lebih memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial ke dalam diri siswa (Elmubarok, 2009: 60). Tujuan pendekatan ini adalah agar diterimanya nilai sosial tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai-nilai-nilai sosial yang diinginkan. Dengan ditanamkannya nilai-nilai ke dalam diri siswa, harapnnya siswa dapat menerima dan selanjutnya dapat merubah nilai-nilai yang tidak sesuai agar sesuai berdasarkan nilai-nilai yang telah diterimanya. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan pendekatan ini yaitu metode keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peran, dan lain sebagainya.

Sebenarnya pendekatakan ini merupakan pendekatan tradisional sehingga banyak kritik dalam berbagai litelatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini (Muslich, 2011: 108). Terdapat beberapa anggapan mengenai pendekatan ini diantaranya yaitu:

1) dipandang indoktrinasi sehingga tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi,

2) mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.

Kedua hal di atas tidak sesuai dengan keadaan pendidikan Barat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Akan tetapi, Superka dalam Muslich (2011: 108) menyatakan bahwa pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat utamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini didasarkan pada beberapa hal bahwa:

34

1) terdapat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan mempunyai kebenaran mutlak seperti dalam ajaran agama,

2) nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai sehingga harus bertitik tolak dari nilai-nilai tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan penanaman nilai merupkan pendekatan yang menekankan pada penanaman nilai-nilai sosial ke dalam diri siswa sehingga dapat menerima nilai-nilai-nilai-nilai sosial tertentu dan merubah nilai-nilai sosial ke arah yang diinginkan. Pendekatan ini mungkin tidak sesuai dengan pendidikan Barat, akan tetapi Muslich (2011: 120) menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Dan Zuchdi (2010: 46) juga telah menjelaskan perbedaan mengenai metode indoktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan penanaman. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak ada salahnya jika digunakan dalam pendidikan nilai.

b. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif

Pendekatan perkembangan moral kognitif merupakan pendekatan yang mempunyai karakteristik penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya (Elmubarok, 2009: 62). Sementara itu, Muslich (2011: 109) menyatakan bahwa pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif menganai masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Tujuan utama pendekatan ini ada dua yaitu membantu siswa membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan pada nilai yang lebih tinggi dan mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah

35

moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, yaitu dengan menggunakan metode diskusi kelompok.

Muslich (2011: 109) menyatakan bahwa diskusi kelompok dalam pendekatan perkembangan moral kognitif dilaksanakan dengan memberi perhatian pada tiga kondisi penting yaitu:

1) mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi, 2) adanya dilema baik dilema hipotetikal maupun faktual berhubungan dengan

nilai dalam kehidupan sehari-hari,

3) suasana yang mendukung bagi keberlangsungan diskusi dengan baik.

Oleh karena itu melalui pendekatan ini diharapkan siswa dapat menuju tingkat perkembangan moral lebih tinggi dengan diskusi yang dilakukan melalui dilema moral. Proses diskusi tersebut dapat dimulai dengan penyajian cerita yang memuat dilema kemudian siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang seharusnya dilakukan orang yang terlibat dengan disertai alasannya.

Konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg dalam Muslich (2011: 112) terdiri dari empat ciri utama yaitu:

1) tingkat perkembangan moral terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang,

2) tingkat perkembangan moral selalu tersusun berurutan secara bertingkat, 3) tingkat perkembangan moral terstruktur sebagai suatu keseluruhan, dan

4) tingkat perkembangan moral memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.

Berdasarkan keempat ciri utama tersebut maka dapat diketahui bahwa seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat perkembangan dan perkembangannya selalu kearah tingkat yang lebih tinggi. Jika seseorang membuat pertimbangan moral pada tingkat tinggi, maka sudah tentu dapat dengan

36

mudah memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Hal tersebut karena menurut perkembangan moral, pertimbangan moral seseorang selalu konsisten. Dan yang lebih diutamakan adalah struktur pertimbangan moralnya.

Muslich (2011: 112-113) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menyatakan bahwa pendekatan ini dapat digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, diantaranya yaitu:

1) memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir, 2) memberikan perhatian sepenuhnya terhadap isu moral dan penyelesaian

masalah yang berkaitan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat sehingga pendekatan ini menjadi menarik, dan

3) dapat menghidupkan suasana kelas.

Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan salah satunya adalah menampilkan bias budaya Barat, yaitu:

1) menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal,

2) tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan sebab yang terpenting adalah pertimbangan moralnya.

Berdasarkan pemaparan mengenai pendekatan perkembangan moral kognitif di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang memberi penekanan pada aspek kognitif dan perkembangan moral. Pendekatan ini dapat menghidupkan suasana kelas dan menjadi menarik dengan adanya perhatian pada isu moral dan penyelesaian masalah serta penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Akan tetapi, dalam proses pendidikan dan pengajaran tidak mementingkan kriteria benar salah mengenai suatu perbuatan karena yang terpenting adalah pertimbangan moralnya. Dengan demikian, pendekatan ini dapatlah tetap digunakan dalam pendidikan nilai dengan catatan perlu adanya arahan sampai pada kesimpulan akhir yang sama sesuai

37

dengan nilai-nilai sosial tertentu yang bersumber dari nilai dan budaya luhur bangsa Indonesia (Muslich, 2011: 122).

c. Pendekatan Analisis Nilai

Pendekatan analisis nilai merupakan pendekatan yang memberikan penekanan kepada perkembangan kemampuan anak dalam berpikir secara logis melalui cara anak dalam menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial (Elmubarok, 2009: 68). Tujuan utama pendidikan nilai-nilai menurut pendekatan ini ada dua yaitu membantu siswa menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berkaitan dengan nilai tertentu, dan membantu siswa menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dalam menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka. Adapun metode pengajaran yang digunakan adalah pembelajaran secara individu atau kelompok, mengenai masalah sosial yang memuat nilai, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas.

Terdapat enam langkah analisis yang perlu dan penting diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini yang dikemukakan oleh Hersh dan Elias dalam Muslich (2011: 114-115), yaitu:

1) mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait, 2) mengumpulkan fakta yang berhubungan,

3) menguji kebenaran fakta yang berkaitan,

4) menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan, 5) merumuskan keputusan moral sementara,

6) menguji prisip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

Keenam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam tugas tersebut yaitu: 1) mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,

38

2) mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan,

3) mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan, 4) mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutab, 5) mengurangi perbedaan dalam merumuskan keputusan sementara, dan

6) mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima (Muslich, 2011: 115).

Pendekatan ini mempunyai kekuatan untuk mudah diaplikasikan dalam ruang kelas. Hal tersebut dikarenakan adanya penekanan pada pengembangan kemampuan kognitif dan menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral. Akan tetapi, pendekatan ini hanya berdasarkan pada prosedur analisis nilai yang ditawarkan dan metode pengajaran yang digunakan. Selain itu, pendekatan ini juga sangat penekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan perilaku, serta sangat memberi penekanan pada proses dan kurang mementingkan isi nilai seperti dalam pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai (Muslich, 2011: 115-116). Dengan demikian, dapatlah mungkin pendekatan ini digunakan dalam pendidikan nilai dengan metode pengajaran pada pendekatan ini khususnya prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkannya.

d. Pendekatan Klarifikasi Nilai

Pendekatan klarifikasi nilai menekankan pada usaha untuk membantu anak dalam mengkaji perasaan dan perbutannya sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai mereka sendiri (Elmubarok, 2009: 70). Menurut pendekatan ini, tujuan pendidikan nilai ada tiga yaitu membantu menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai diri sendiri dan orang lain; membantu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain yang berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; dan membantu menggunakan secara bersama-sama

39

kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, memahami perasaan, nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dengan pendekatan ini, proses pengajaran dilakukan dengan metode dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain sebagainya.

Menurut Zuchdi (2010: 10), pendekatan ini digunakan untuk mengajarkan suatu bentuk inkuiri nilai yang melibatkan tiga proses yaitu menghargai kepercayaan dan perilaku pribadi, memilih kepercayaan dan perilaku pribadi, dan bertindak sesuai dengan kepercayaan pribadi. Sejalan dengan hal tersebut, Muslich (2011; 117) juga menyatakan bahwa terdapat tiga proses klarifikasi menilai menurut pendekatan ini yaitu memilih, menghargai, dan bertindak. Dengan pendekatan ini menyebabkan seseorang lebih menyadari kepercayaan diri dan kepercayaan orang lain, dan apa yang harus dianggap bernilai. Pendekatan ini mencoba membuat siswa menyadari nilai-nilai yang mereka yakini dan nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain. Isi nilai dalam pendekatan ini tidak terlalu penting, sebab yang terpenting adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

Menurut pendekatan ini, Elias dalam Muslich (2011: 117) menyatakan bahwa guru bukan berperan sebagai pengajar nilai, akan tetapi sebagai role model dan pendorong. Guru mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sehingga pendekatan ini mempunyai kekuatan dalam memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri.

40

Tetapi sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga menampilkan bias budaya Barat. Kriteria benar salah dalam pendekatan ini sangat relatif karena sangat mementingkan nilai perseorangan.

Muslich (2011: 122) menyatakan bahwa metode pembelajaran dalam pendekatan ini dapat digunakan dalam pendidikan nilai. Hal tersebut dengan memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajaran yang relevan. Akan tetapi, Prayitno dalam Muslich (2011: 122) juga menyatakan bahwa perlu kehati-hatian supaya tidak membuka kesempatan bagi siswa untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.

e. Pendekatan Pembelajaran Berbuat

Pendekatan pembelajara berbuat merupakan pendekatan pendidikan nilai yang menekankan kepada usaha untuk memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, yang yang dilakukan secara individual maupun secara berkelompok (Elmubarok, 2009: 73). Terdapat dua tujuan utama pendidikan nilai menurut pendekatan ini yaitu memberi kesempatan siswa untuk melakukan perbuatan moral baik secara individu atau kelompok, dan mendorong siswa untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama. Metode pengajaran dalam pendekatan ini yaitu pembelajaran secara individu atau kelompok, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, diskusi kelas, projek-projek tertentu di sekolah atau masyarakat, praktik keterampilan dalam berorganisasi.

Pendekatan ini diprakarsai oleh Newmann dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa dalam melakukan perubahan-perubahan

41

sosial. Menurut Eliash (dalam Muslich, 2011: 119), tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis sehingga akan menghasilkan warga negara yang aktif. Warga negara aktif yaitu yang memiliki kompetensi yang diperkuat dalam lingkungan hidupnya yaitu kompetensi fisik, kompetensi hubungan antarpribadi, dan kompetensi kewarganegaraan.

Keunggulan pendekatan ini adalah pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan pada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam