• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.6 Peluang Perjumpaan

Lokasi Kesamaan J eni s B_Apoi TNBK Malinau TNTP 30.64 53.76 76.88 100.00

Gambar 20 Dendogram kesamaan jenis ular di TNTP, Malinau, TNBK, dan Batu Apoi (Brunei).

Kesamaan jenis ular di TNTP dengan jenis ular di Malinau, Kalimantan Timur memiliki nilai sebesar 51,25%. Kedua lokasi ini membentuk satu komunitas dengan jenis ular di TNBK dan memiliki nilai kesamaan sebesar 41,38%. Lokasi lainnya, yaitu Batu Apoi, membentuk komunitas tersendiri dan memiliki kesamaan sebesar 30,64% dengan komunitas lain yang dibentuk oleh asosiasi antara jenis ular di TNTP, Malinau, dan TNBK.

5.1.6 Peluang Perjumpaan

Peluang perjumpaan menggambarkan jangka waktu perjumpaan dengan ular dalam 1 jam. Peluang Perjumpaan ular disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Peluang perjumpaan ular di lokasi penelitian

Jenis PP Individu (Ind/Jam) Ahaetulla prasina 3 0,010 Boiga cynodon 1 0,003 Chrysopelea paradisi 1 0,003 Dendrelaphis caudolineatus 1 0,003 Dendrelaphis pictus 2 0,007 Dryophiops rubescens 1 0,003 Enhydris enhydris 3 0,010 Gonyosoma oxycephalum 2 0,007 Naja sumatrana 1 0,003 Psammodynastes pictus 21 0,073 Python reticulatus 1 0,003 Tropidolaemus wagleri 2 0,007 Xenochrophis maculata 1 0,003 Xenochrophis trianguligera 4 0,014 44 0,153

Peluang perjumpaan ular di lokasi penelitian secara keseluruhan adalah sebesar 0,153 individu/jam. Hal ini berarti untuk dapat menemukan 1 individu ular, rata-rata diperlukan waktu pencarian minimal selama 6,5 jam. Terdapat 1 jenis ular yang relatif lebih mudah dijumpai dibandingkan dengan jenis ular lain, yaitu Psammodynastes pictus.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Kekayaan Jenis Ular

Berdasarkan hasil perjumpaan ular di lokasi penelitian (Tabel 2), suku Colubridae (11 jenis) merupakan suku yang memiliki jumlah jenis tertinggi diantara suku Pythonidae (1 jenis), Elapidae (1 jenis), maupun Crotalidae (1 jenis). Hal ini disebabkan karena suku Colubridae adalah suku ular yang memiliki jumlah jenis terbanyak di Kalimantan (Stuebing dan Inger, 1999), memiliki penyebaran terluas, serta terdapat pada berbagai tipe habitat dibandingkan suku ular lainnya yang ada di dunia (Goin et al., 1978). Oleh karena itu, jenis ular dari suku Colubridae relatif lebih mudah dijumpai.

Kekayaan jenis ular yang dijumpai di TNTP merupakan 9,09 % dari seluruh jenis ular yang terdapat di Kalimantan. Selama penelitian berlangsung, tidak dijumpai jenis ular yang termasuk endemik Kalimantan. Seluruh jenis ular yang dijumpai merupakan jenis ular yang belum dilindungi oleh Undang-undang RI dan belum termasuk dalam daftar merah IUCN. Namun, terdapat 2 jenis ular yang termasuk kategori appendix II CITES (UNEP-WCMC, 2005), yaitu Naja

sumatrana dan Python reticulatus.

Berdasarkan informasi masyarakat Desa Tanjung Harapan, petugas lapangan, serta dokumentasi dari Orangutan Foundation International (OFI), terdapat jenis ular lain yang pernah mereka temukan namun tidak ditemukan pada saat penelitian berlangsung. Beberapa jenis ular tersebut, antara lain

Macrophistodon flaviceps, Bungarus flaviceps, Maticora intestinalis, Cylindrophis ruffus, Acrochordus javanicus, Aplopeltura boa, Oligodon octolineatus, Oligodon purpurascens, Ahaetulla fasciolata, Bioga dendrophila,

53

Tidak dijumpainya beberapa jenis ular diatas dapat disebabkan karena jenis–jenis ular tersebut diduga memiliki kelimpahan yang rendah dan terdapat pada habitat tertentu yang berbeda dengan lokasi penelitian. Faktor lain yang menyebabakan tidak dijumpainya jenis ular tersebut adalah kurangnya usaha pencarian (effort) yang dilakukan selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini, pencarian data ular hanya dilakukan oleh 2 orang pengamat dengan total waktu pengamatan selama 144 jam/orang. Kekayaan jenis ular yang dijumpai pada setiap lokasi penelitian diduga dapat bertambah apabila usaha pencarian (effort) lebih maksimal.

Kekayaan jenis ular yang dijumpai pada habitat hutan campuran di Camp Tanjung Harapan dan hutan campuran di Camp Leakey memiliki nilai yang lebih tinggi daripada tipe habitat hutan rawa sekunder di Beguruh dan S. Sekonyer Kanan, hutan rawa primer, serta semak/belukar, meskipun memiliki tingkat gangguan yang lebih besar dari habitat lainnya. Terjadinya kerusakan habitat berupa pencemaran air sungai oleh limbah pertambangan tradisional di hutan campuran di Camp Tanjung Harapan serta intensitas manusia yang cukup tinggi pada kedua habitat tersebut dapat mengancam kekayaan jenis ular yang ada.

Kedua habitat tersebut merupakan daerah peralihan/ekoton (edge) yang menghubungkan tipe habitat lain yang terdapat disekitarnya. Menurut Alikodra (2002), daerah ekoton memberikan kemudahan pada satwaliar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena banyak terdapat satwa mangsa sebagai sumber pakan. Hal ini menyebabkan kekayaan jenis ular pada kedua habitat tergolong tinggi.

Habitat hutan rawa sekunder di Beguruh (Dmg = 1,44) memiliki nilai kekayaan jenis yang hampir sama dengan habitat hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan (Dmg = 1,62). Walaupun demikian, komposisi jenis ular yang dijumpai pada kedua habitat tersebut sangat berbeda. Pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh dijumpai 2 jenis ular, yaitu Naja sumatrana dan

Tropidolaemus wagleri. Sedangkan pada habitat hutan rawa sekunder riparian di

S. Sekonyer Kanan dijumpai 6 jenis ular, yaitu Dendrelaphis pictus, Gonyosoma

oxycephalum, Enhydris enhydris, Psammodynastes pictus, Xenochrophis trianguligera, dan Python reticulatus.

Selain jumlah jenis ular yang dijumpai pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh lebih sedikit, kelimpahan individu setiap jenis pada habitat tersebut sangat rendah. Hanya dijumpai masing-masing 1 individu setiap jenisnya. Sedangkan pada habitat hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan dijumpai jenis ular dengan jumlah individu yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan nilai kekayaan jenis pada kedua habitat hutan rawa tersebut hampir sama.

Berbeda dengan habitat hutan rawa sekunder, baik di Beguruh maupun di S. Sekonyer Kanan, habitat hutan rawa primer memiliki nilai kekayaan jenis yang terendah (Dmg = 0). Nilai ini berarti pada habitat tersebut tidak memiliki kekayaan jenis. Hal ini terlihat dengan hanya dijumpainya 1 jenis ular pada habitat tersebut. Selain memiliki tajuk yang rapat serta struktur dan komposisi vegetasi yang beragam, habitat hutan rawa primer memiliki lantai hutan yang dipenuhi perakaran pohon yang tidak beraturan dan membentuk celah/lubang diantara perakaran pohon tersebut. Kondisi ini menjadi habitat yang ideal bagi ular sebagai tempat untuk berlindung (cover), sehingga sulit menjumpai ular.

Dokumen terkait