• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pemahaman ibu terhadap anak yang berpikir kritis mencakup dua komponen berpikir kritis, yaitu kemampuan dan disposisi berpikir kritis.

a. Pemahaman terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak

Dari hasil penelitian, kemampuan berpikir kritis pada anak menurut pemahaman ibu mulai dari yang paling sering muncul hingga yang paling jarang muncul adalah kemampuan menginterpretasi, kemampuan untuk melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir kemampuan mengeksplanasi.

Kemampuan yang paling banyak muncul adalah kemampuan menginterpretasi, yaitu kemampuan menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima. Kemampuan ini dapat terlihat dari jawaban partisipan, di mana anak dianggap berpikir kritis ketika ia mampu menafsirkan sesuatu berdasarkan pemahamannya. Hal ini dapat terlihat misalnya pada kutipan berikut:

P12. Bapanya bilang ‘ade, itu terbalik’. Jadi ambil sendal dia balik (memeragakan dengan membalik telapak tangannya). ‘Ini mama, ini kan balik’. ‘Bukaan, maksudnya ganti, kiri ke kanan, kanan ke…’ (he eh…) Kalau begitu itu, mereka kritis…

Bentuk lain dari kategori ini adalah anak dianggap mampu berpikir kritis ketika sudah dapat menangkap makna tersirat dari suatu ekspresi. Hal ini terlihat dari cerita salah seorang partisipan:

P2. Jadi kalau bapanya suara besar sedikit, paling dia bilang, ‘Heii bapa, engko pung suara besar apa saja, ada masalah apa maka?’ (para partisipan bergumam pelan) ‘Ada masalah ka ema?’ atau ka dia bilang, ‘Ema itu dia marah engko ka?’ apa… ‘Engko ada masalah apa ka bapa?’ (hmmm) Sudah seperti itu kalau saya punya…

(Ha ah, berarti dia bisa lihat bapanya omong nada tinggi, berarti ada sesuatu, dia bisa lihat?)

P2. Ha ah, iya…

Kemampuan untuk memahami dan mendefinisikan istilah juga diungkapkan para partisipan sebagai kemampuan berpikir kritis pada anak, yang dapat dikategorikan ke dalam kemampuan menginterpretasi.

P6. Dia selalu bilang, ‘tunggu ee, saya buat eksperimen dulu.’ Jadi suatu kali saya tanya, ‘Eksperimen itu apa?’ Dia bilang, ‘Eksperimen itu ka, kita coba-coba dulu, jadi apa tidak.’ (partisipan tertawa)

Selain itu, salah seorang partisipan juga menceritakan pengalaman ketika anaknya dapat mengkategorisasi suatu hal sebagai salah satu bentuk kemampuan berpikir kritis. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan mengenai anaknya

yang menganggap bahwa ayah dan ibunya termasuk dalam ‘soba’ atau orang yang berpacaran.

P9. Saya punya tu macam nonton di TV tu. Mereka pacaran data, dia bilang saya dengan bapanya, bapanya dengan apa… pacar? (partisipan tertawa) Itu…

P11. Soba… Soba.

P9. Ha ah begitu… Jadi dorang lihat…

[soba=istilah dalam bahasa Nagi yang berarti pacar]

Pandangan partisipan tentang kemampuan menginterpretasi juga terlihat dari jawaban partisipan bahwa anak-anak sangat cepat tangkap, yang cukup sering muncul dalam FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan sebagai berikut:

P9. Kalau di pacaran itu kan anak-anak itu kan macam… dorang cepat sekali tangkap. Itu. (hm hm) Yang di TV pun mereka cepat sekali.

P15. Cepat tangkap to anak-anak seumuran begini.

Pandangan partisipan bahwa anak-anak cepat tangkap tersebut juga masih berkaitan dengan anggapan partisipan bahwa anak dapat memahami apa yang diajarkan dan menerapkannya. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan mengenai anaknya yang mengerti dengan yang diajarkan di sekolah (pelajaran menulis) dan menerapkannya tersebut dengan ikut menulis.

P22. Ternyata di sekolah, ooh dia sudah pintar. Tulis, ikut. Kita tulis, dia ikut. Pokoknya dia sudah bisa… apa… mengerti dengan pendidikan di sekolah.

Para partisipan juga cukup sering mengungkapkan bahwa anak yang berpikir kritis dalam pandangan mereka mampu memahami sesuatu secara mandiri, yang terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:

P6. Ha ah… Ce… Kalau buka, mulai dari buka laptop sampai cari permainan semua, sampai tau caranya main itu sendiri belajar, tidak pernah diajarin. Cara mainnya.

Setelah kemampuan menginterpretasi, kemampuan kedua yang sering muncul adalah kemampuan untuk melakukan inferensi, yaitu kemampuan menemukan pola-pola serta membentuk kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan hipotesis dari informasi yang ada.

Salah satu bentuk inferensi yang muncul adalah cerita ibu mengenai kemampuan anak untuk menarik kesimpulan. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:

“P6. Kalau tidak berdoa maka sakit. (haaa…) dia lihat sakit. Berarti kita tidak doa!”

“P18. Saya kan bilang, ‘anak kecil tidak boleh… kar… berdiri buka baju begitu nanti kita punya perut besar.’ ….. ‘Ooo.. jadi bapa punya perut besar itu karena angin ini dari kipas angin’ (moderator dan partisipan tertawa). Karena masuk angin ini…”

Selain itu, bentuk lain yang muncul terlihat dalam cerita partisipan mengenai anak yang mampu melihat alternatif-alternatif dan solusi. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:

“P6. Haa… eksperimen yang dibuat tu biasanya mencampur warna. Haaa… ‘Warna, oh warna ini tidak ada, oh gampang. Ini, ini tambah ini jadi ini.’ Bisa. Jadi warna itu, eksperimen. ……. Saya pikir eks… dengan buat coba-coba tu melatih kekritisan anak to, kalau ini tidak bisa, berarti harus begini.”

Contoh lain yang juga menunjukkan kemampuan untuk melakukan inferensi adalah membentuk asumsi dan hipotesis, yang terlihat dari jawaban ibu sebagai berikut:

P8. Dia kalau buat sesuatu dia sudah pikir, kalau kita naik ini kursi, goyang begini, dia jatuh atau tidak. (hmm) (partisipan tertawa kecil).

Para partisipan juga menganggap bahwa anak yang berpikir kritis adalah anak yang dapat berpikir jauh dan membuat prediksi, di mana anak dianggap memikirkan hal yang bahkan tidak dipikirkan oleh orangtua. Hal ini terlihat dari jawaban berikut:

P11. Jadi dia bilang, ‘heii kalau begitu kita mazmur kita pung teman-teman te lihat nanti’, jo bapa bilang ‘Hai, engko kecil begini ini engko mau berpikir mazmur?’ (para partisipan tertawa) ‘Haa iya ka’. …… Jo itu, macam dia berpikir, torang tida berpikir sampai ke situ to, (hmm) tapi dia anak kecil-kecil dia bisa berpikir seperti itu…

Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk menyimpulkan konsekuensi atau sebab-akibat dari suatu halsebagai kemampuan yang dimiliki anak yang berpikir kritis. Hal ini juga termasuk ke dalam kemampuan untuk melakukan inferensi, yang terlihat dari jawaban P15 sebagai berikut:

P15. Tapi mereka bisa berpikiran nah itu kritis itu bilang, ini saya pingin ini, saya suka ini akibatnya saya bisa beli ini. Saya buat ini, nanti dapatnya begini. Misalnya mereka main bola, main apa yang nakal-nakal nanti sebentar kecelakaan, misalnya kaki yang berdarah… oo tadi kalau saya tida main, saya tida mungkin dapat kecelakaan seperti ini… jadi apa yang… pas yang mereka…. itu… sudah tau akibatnya to, mereka lakukan, yang mereka lakukan itu sudah tahu akibatnya begini. Kalau kita melawan orang tua pasti akibatnya ada. Begitu.

Kemampuan ketiga yang sering muncul adalah kemampuan mengevaluasi, yaitu kemampuan untuk membandingkan suatu argumen atau klaim dengan standar dan kriteria tertentu terkait dengan kualitas dan kekuatan logisnya. Hampir semua jawaban partisipan yang dikategorikan dalam kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan anak untuk memberi penilaian berdasarkan logika dan bukti yang ada. Bukti yang ditampilkan di sini adalah pernyataan dari partisipan P6:

P6. Atau hal-hal kecil kan, kadang suka apa tu, untuk meloloskan supaya kami bisa pi kerja ni. ‘Mama mau pi kantor’ ‘Pi kantor tapi pakai celana pendek?’ atau kadang-kadang kita sudah pulang, ‘Tadi dari mana?’ ‘Dari kantor.’ ‘Kantor kenapa so pakai baju rumah?’ Itu kan sebenarnya hal-hal yang kritis…

Walaupun begitu, terdapat jawaban-jawaban ibu mengenai kemampuan mengevaluasi yang sedikit berbeda dari teori yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu kemampuan mengevaluasi pada anak yang dikenakan pada objek yang lebih umum, misalnya ketika anak menilai apakah suatu tarian bagus atau tidak. Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk menilai mana yang baik dan buruk sebagai kemampuan anak untuk berpikir kritis, yang masih dapat dikaitkan dengan kemampuan untuk mengevaluasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengevaluasi yang dipandang para ibu sebagai kemampuan berpikir kritis tidak terbatas pada argumen dan klaim seperti pada teori berpikir kritis, tapi juga pada objek lain secara umum.

Setelah kemampuan mengevaluasi, kemampuan yang juga muncul adalah kemampuan mengeksplanasi, yaitu kemampuan mengungkapkan dan menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan. Walaupun begitu, kemampuan ini hanya muncul satu kali dalam cerita salah seorang partisipan mengenai anaknya yang memberi penjelasan mengenai alur berpikirnya:

P6. Susun apa, bongkar pasang yang… sekarang kan ada to, kayak di poni tapi ada konektornya tu ka. (haa…) ‘Aaaa lihat, kalau ini digabung ini, ema lihat, perhatikan.’ Dia suruh saya ni. (hm hm) ‘Ini, tida bisa bergerak begini. Terus kalau begini, tangannya bere… hayo kenapa?’ Kenapa? Heii, dia yang jawab sendiri, ‘Karena saya kancingnya begini, jadi tangannya… (tertawa)’ So mulai… Ini anak ini…

Dari penjabaran tersebut dapat dilihat bahwa dari keenam kategori yang telah dirumuskan dalam teori, terdapat empat kategori kemampuan berpikir kritis yang muncul, yaitu secara berturut-turut kemampuan menginterpretasi, kemampuan melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir kemampuan mengeksplanasi. Keempat kategori ini merupakan kemampuan-kemampuan yang dipandang sebagai kemampuan-kemampuan yang banyak diamati sebagai bentuk berpikir kritis pada anak menurut ibu di Flores.

b. Pemahaman terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disposisi mengarah pada kecenderungan yang dimiliki, atau dapat dikatakan sebagai sifat yang menetap yang cenderung berulang pada individu. Pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak yang mengacu pada komponen disposisi sangat sering muncul dalam penelitian ini, bahkan jumlah jawaban partisipan yang mengacu pada disposisi berpikir kritis mencapai dua kali lipat jumlah jawaban yang mengacu pada kemampuan berpikir kritis. Dari hasil FGD yang dilakukan, kategori disposisi berpikir kritis secara berturut-turut mulai dari yang paling banyak muncul adalah sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis, kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Sedangkan kategori yang tidak muncul adalah kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah.

Keingintahuan atau sikap ingin tahu adalah sikap ingin mengetahui banyak hal dan ingin memiliki pengetahuan yang luas. Sikap ingin tahu ini adalah kategori yang sangat mendominasi jawaban subjek dalam keseluruhan proses FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari jawaban para partisipan yang

beranggapan bahwa anak yang berpikir kritis adalah anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

P9. Ingin tahunya tinggi sekali. P12. Iya tinggi sekali ingin mencari tahu. P8. Kritis…

P20. Memang pada dasarnya anak-anak umur begini kan ingin tahu, to? (he eh)(ingin cari tahu…) ...buat, dia bertanya, ini untuk apa, ini untuk apa… bagaimana ini…

Setelah sikap ingin tahu, kategori kedua yang sering muncul adalah kecenderungan berpikir yang sistematis, yaitu memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur dalam penyelidikan atau pemecahan masalah. Hal ini terlihat dari jawaban ibu yang menceritakan anaknya yang tetap persisten dengan berbagai cara dalam penyelidikan atau pemecahan masalah.

P6. Oo menangis main game, atau apa, lihat-lihat gambar, lihat-lihat gambar yang disuka begitu di internet, terus kita bilang, ‘Eii pulsa internet so tidak ada lagi’. ‘Pergi isi ka…’ Begitu to, sampe kepada harus bisa dapat itu. ‘Eii uang tidak ada lagi’ atau ‘Malam ni sudah tutup’… ‘Di ATM itu kan bisa’ Jadi semuaa, semua… (Semua caranya…) Sampai kepada, kalau memang tida ada, ‘Kalau begitu kita ambil di nene punya kios saja’ (tertawa). Sampe… sampe harus bisa menemukan… (tertawa) jawabannya, untuk memenuhi keinginannya.

Jawaban berikut ini juga masih terkait dengan persistensi tersebut, di mana anak yang berpikir kritis juga dianggap fokus dan tekun dalam melakukan penyelidikan. Hal ini terlihat misalnya dari jawaban salah seorang partisipan:

P6. Dia angkat gorden semua, dia angkat jo susun, api unggun ni… (para partisipan dan moderator tertawa) ‘Saya mau buat api unggun ini, saya eksperimen, saya punya eksperimen ini jangan ganggu.’ (para partisipan tertawa dan menimpali dengan berbicara bersamaan) ….. Kadang eksperimennya dibawa sampai ke tempat tidur. (partisipan tertawa)

Disposisi ketiga yang cukup sering muncul adalah kecenderungan untuk menggunakan penalaran, di mana anak cenderung bersandar pada bukti dan

penalaran. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan di mana anaknya bersikap tidak mau menerima begitu saja dan mempertimbangkan sebab akibat.

P13. Anak, menurut saya anak yang kritis itu anak yang tidak mau menerima begitu saja. Harus ada sebab, akibat, kenapa kalau kita buat harus ada sebabnya, harus ada akibatnya.

P12. Hmm hmm. Tidak menerima begitu saja..

P13. Haaa tidak menerima begitu saja. Kenapa kita buat sesuatu harus ada sebab, dan harus ada akibatnya.

Disposisi ini juga terlihat dari jawaban beberapa partisipan bahwa anak dianggap berpikir kritis jika tidak mudah percaya tanpa bukti:

P21. Anak yang berpikir kritis itu menurut saya kalau anak itu tidak berpikir mau menerima apa saja. Mereka akan membutuhkan bukti. Contoh saja setiap anak umur-umur begini, kalau kita orang tua menjanjikan sesuatu ke mereka, biasanya mereka mau bukti dulu.

Selain itu, jawaban lain yang muncul adalah anak yangsenang melakukan uji coba untuk membuktikan, yang terlihat dari kutipan berikut:

P11. Dia senang eksperimen begitu. Kita coba dulu ee, betul ka ne [arti bahasa Indonesia: betul atau tidak]. Begitu dorang.

P8. Macam ade tadi, goyang ka tidak, berarti jatuh… [partisipan mengacu pada cerita anak yang menyuruh adiknya naik di kursi untuk melihat apakah bisa jatuh atau tidak bila kursinya digoyang] (partisipan tertawa) P11. Uji coba. Mereka sering mencoba. Mencoba.

Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa hampir semua kategori disposisi berpikir kritis muncul pada jawaban partisipan, kecuali kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi yang paling banyak muncul adalah sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis, kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran.

Dokumen terkait