• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

3. Temuan-temuan Tambahan

Di luar kategori-kategori yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini juga memunculkan beberapa jawaban yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam kategori-kategori tersebut. Untuk itu, peneliti memasukkannya ke dalam kategori baru. Dari hasil yang diperoleh, terdapat beberapa kategori baru baik dalam pemahaman ibu yang mengacu pada kemampuan maupun disposisi berpikir kritis pada anak.

Dalam kemampuan berpikir kritis, selain jawaban yang sudah dipaparkan sebelumnya, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan melakukan

komparasi juga dipahami oleh para ibu sebagai kemampuan berpikir kritis pada anak. Kemampuan melakukan inovasi yang dianggap ibu sebagai salah satu kemampuan berpikir kritis terlihat dari cerita seorang partisipan tentang anaknya yang mampu memberi ide baru, misalnya ketika anaknya memberi ide untuk mencampur pewarna kue dengan cara yang baru.

P1. Jadi dia bilang ‘Ema, coba ema campur talas dengan pandan itu, warna beda-beda dengan cokelat itu ema, gagah sekali itu, saya suka!’ Akhirnya saya buat ternyata hasilnya bagus! ….. Beri ide, dia beri ide. ‘Coba ema buat ini coba, campur dengan ini’. Saya, ‘haiii’ dia bilang ‘coba dulu,’ betul, warna gagah. Rasanya juga beda.

Sedangkan kemampuan melakukan komparasi terlihat dari jawaban partisipan mengenai anaknya yang mampu membandingkan dan menemukan perbedaan antara dua hal.

P1. Haaa habis, dia pulang dari sekolah ke rumah tu dia cerita, ‘heii saya punya teman tadi tu begini begini begini…’ (tertawa) Tadi ibu mia bilang gambar pola to, di sini kan pulang saya bilang saya lihat dia punya gambar. Saya punya bilang, ‘ema tadi tu saya tida gambar pola begini!’ (para partisipan tertawa). P4. Kan emanya menjahiiit! (tertawa) (para partisipan tertawa dan menimpali dengan berbicara berbarengan) (Oooh menjahiiit… Jadi dia bilang polanya beda dengan…) P5. Dengan temannya punya mungkin… (tertawa) P4. Pola menjahit…

Dalam pemahaman ibu yang mengacu pada disposisi, sikap memaksakan kehendak, vokal berpendapat, dan suka meniru juga dikelompokkan sebagai beberapa kategori tersendiri. Kategori yang paling menonjol adalah anggapan partisipan bahwa anak yang berpikir kritis adalah mereka yang memaksakan kehendak,yaitu bersikap teguh pada pendirian dan bersikeras untuk memperoleh yang diinginkannya. Jawaban partisipan yang menunjukkan bahwa anak memiliki keinginan dan kemauan yang harus dipenuhidapat dilihat dalam kutipan berikut:

P9. Kalau saya punya Monik itu dia sifatnya memaksa. (P11 tertawa) Dia itu, memaksa. Kalau dia punya kemauan itu, harus itu.

P11. Harus itu…

P9. Kita tidak bisa rubah itu, tidak bisa.

Beberapa partisipan juga menganggap bahwa anak yang memprotes bila tidak sesuai keinginan/pandangannya merupakan anak yang berpikir kritis. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut:

P7. Me adenya te, ‘jangan begitu ka, ambil sendok, baru ambil piring, taroh… baru ambil sendok lagi… begitu. Rapi ka ni…’ (partisipan tertawa) Begitu… Jadi dia suka protes apa yang kakanya buat dia. (ha ah…)

Selain itu, kategori ini juga ditunjukkan dalam jawaban partisipan bahwa anak seringkali tidak mau mengubah pendapatnya. Hal ini terlihat misalnya dari kutipan berikut:

P4. Pusing karena kita jelaskan, jelaskan, dia tetap, ‘tidak emaa! Harus begini!’ P2. Harus pikirannya dorang…

(Lalu dia punya pemikiran sendiri dan yakin juga dengan pemikirannya walaupun kita sudah bilang, begini! Tapi dia tetap.) P4. Tetap, benar… (Harus seperti ini…) P4. Harus seperti maunya.

Walaupun begitu, ada seorang partisipan dari kelompok FGD ketiga yang mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam berpikir kritis pada anak. Hal ini terlihat ketika peneliti menanyakan kembali kepada partisipan tersebut:

Kalau yang tanta sebut tadi apa yang diinginkan harus dipenuhi menurut tanta itu termasuk dalam berpikir kritis atau tidak? Menurut tanta saja. P15. Itu… itu bukan berpikir kritis (sambil tertawa). Karena itu mungkin ada paksaan begitu, dipaksakan menurut kehendak begitu, (oke tanta) tidak boleh harus dipenuhi (partisipan tertawa).

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kategori ini juga berlawanan dengan salah satu disposisi berpikir kritis yang sudah ada, yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah.

Selain sifat memaksakan kehendak tersebut, disposisi lain yang beberapa kali muncul dalam pemahaman partisipan adalah kecenderungan untuk vokal berpendapat, yaitu disposisi untuk menyampaikan pandangan dengan berani dan terkesan menentang. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan yang menunjukkan sikap anak yang berani dalam menyampaikan pendapat:

P1. Jadi pulang tu, ‘Bapa uang ka…’ Saya bilang, bapa bilang, ‘Uang tida ada!’ Bapanya ka ‘Eii uang tida ada.’ ‘Heiii kamu ni, kerja-kerja mulai pagi sampai malam ini ni, buat apa? Cari uang to? Kasih saya makan. Jadi kasih saya uang memang.’ ‘Kau tidak usah makan besok. Minta uang.’ ‘Haa besok saya tida usah makan ka, yang penting uang sini.’ (beberapa partisipan tertawa) ‘Kerja-kerja itu untuk kami ka ema, untuk siapa?’ Kategori baru yang terakhir adalah pandangan partisipan bahwa anak memiliki kecenderungan untuk meniru, yaitu kecenderungan untuk mencontoh dan mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan yang menunjukkan bahwa anaknya cenderung mencontoh apa yang dilakukan orang lain.

P12. Kadang mereka buat kasi contoh, mereka pulang tu, mereka jadi guru mereka buat seperti itu ka… (tertawa)

P11. Ibu di sini, ajar bagaimana… P12. Bagaimana…

P11. Mereka meniru.

P12. Mereka umur begitu suka meniru. P11. Meniru. Ha ah. Mereka meniru.

Temuan-temuan tersebut menunjukkan pemahaman ibu di Flores yang tidak sepenuhnya sama dengan teori yang sudah ada. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian pembahasan.

b. Temuan Tambahan dalam hal Penilaian

Sama seperti bagian sebelumnya, terdapat beberapa temuan tambahan dalam penilaian ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Salah satunya adalah keragu-raguan partisipan dalam menilai berpikir kritis pada anak, di mana partisipan masih belum dapat menentukan apakah baik kemampuan maupun disposisi berpikir kritis pada anak dinilai secara positif atau negatif.

Keragu-raguan partisipan dalam hal penilaian salah satunya terlihat dari partisipan P6 yang merasa bingung dan bertanya-tanya apakah anak sudah melebihi usia perkembangannya. Hal ini terkait dengan cerita dari partisipan tersebut bahwa anaknya sangat terobsesi dengan sains dan benda-benda luar angkasa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai sains yang membuatnya tidak mampu menjawab, serta seringkali melakukan eksperimen dengan melihat acara televisi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

P6. Kalau dia… Jangan sampe kami punya sudah lebih dari lewat, bae tida ni? (para partisipan tertawa keras) Karena kami tidak tahu to, kami belum tau batasannya harusnya anak umur begini, sampai begini, itu kan kita tidak tahu. Tapi ya itu… Tapi mudah-mudahan kecemasan kami ini tidak, tidak benar, begitu. …..Kadang-kadang berpikir, apakah ini, ini wajar kah, untuk seorang anak yang umur begini…

Jawaban ini menunjukkan bahwa salah satu alasan dari keragu-raguan partisipan adalah kurangnya pengetahuan atau informasi yang dimiliki partisipan mengenai tahapan perkembangan anak yang baik dan benar. Kebingungan dan keragu-raguan ini ternyata juga ditunjukkan oleh beberapa partisipan yang berbeda, yang beberapa kali melontarkan pertanyaan “Apa ini bae ka tida?” (apakah ini baik atau tidak), misalnya dalam menanggapi cerita anak yang sudah

mahir menggunakan komputer atau menanyakan hal-hal yang tidak terduga, atau anak yang enggan ke sekolah karena dianggap membosankan. Hal ini menunjukkan keragu-raguan partisipan dalam menilai berpikir kritis pada anak, baik dalam hal kemampuan maupun disposisi.

Selain keragu-raguan tersebut, di luar rancangan awal penelitian ini, para partisipan juga mengungkapkan jawaban yang menunjukkan perilaku mereka ketika merespon anak yang berpikir kritis, yang dapat memunculkan hal yang menarik untuk dibahas. Penilaian positif maupun negatif yang muncul dari FGD yang dilakukan diperkuat dengan jawaban yang muncul mengenai perilaku yang ibu lakukan terhadap anak yang berpikir kritis. Terkait dengan penilaian positif yang telah dipaparkan, beberapa partisipan mengungkapkan bahwa mereka berusaha menjelaskan sebisanya ketika anak bertanya, berusaha memberi teladan dan berhati-hati untuk tidak memberi contoh yang buruk, bahkan mendukung penilaian positifnya dengan membelikan sarana untuk mendukung berpikir kritis pada anak, misalnya cat air untuk bahan eksperimen yang dilakukan anaknya.

Di sisi lain, penilaian negatif juga didukung dengan respon lanjutan dari orang tua sebagai perilaku yang muncul dalam menghadapi anak yang berpikir kritis. Salah satunya adalah anggapan bahwa anak yang berpikir kritis dapat menjadi berbahaya, ditanggapi dengan usaha ibu untuk melakukan antisipasi dan selalu berhati-hati, misalnya ketika menjawab pertanyaan anak. Sedangkan ketika ibu merasa lelah atau pusing ketika anak terlalu banyak bertanya, beberapa partisipan akan menghindar atau menolak menjawab pertanyaan anak, mengusir dan menyuruh anak pergi ketika anak banyak bertanya, bahkan muncul juga

beberapa perilaku yang menurut peneliti sangat berpengaruh terhadap berpikir kritis pada anak, misalnya reaksi partisipan yang marah dan membentak anak ketika anak banyak bertanya. Bahkan, hampir semua partisipan menyatakan bahwa mereka melakukan kekerasan fisik pada anak ketika berpikir kritis, khususnya ketika anak bertanya terus-menerus. Dari jawaban partisipan, diungkapkan bahwa hal tersebut dianggap sebagai hal biasa dan lumrah oleh para partisipan. Hal menarik yang diamati peneliti adalah bahwa semua partisipan terlihat sangat bersemangat ketika menjawab pertanyaan ini, saling bersahutan secara bersamaan, bahkan tertawa.

Haaa… Tadi tanta sempat sebut tanta pukul sudah, pernah ka tida tanta? P. (berbarengan) pukul kaaaa! (moderator tertawa) P6. Tida ada yang tida pukul kami… P1. Pukul! ‘Hmh! Diam, diam, apa lagi?’ (partisipan lain tertawa) Sementara menonton film dia taaanya tanya film, itu begena? ‘Hmmhh diam!’ (memeragakan mencubit) (moderator dan para partisipan tertawa)

P4. Sampe sampe sampe yang, dia puas dulu tida tanya. Kalau saya sudah malas tu pukul! Ei! (partisipan tertawa) Haa..

Temuan-temuan ini semakin menguatkan penilaian yang bertentangan dari para partisipan, di mana muncul penilaian positif sekaligus negatif yang juga didukung oleh perilaku partisipan ketika menanggapi anaknya yang berpikir kritis. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian pembahasan. Ringkasan dari hasil FGD yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4

Ringkasan hasil FGD

Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada Anak

Kemampuan Disposisi Kategori yang muncul - Menginterpretasi - Melakukan inferensi - Mengevaluasi - Mengeksplanasi

- Sikap ingin tahu

- Kecenderungan berpikir yang sistematis - Kecenderungan untuk menggunakan penalaran Yang tidak muncul - Melakukan swa-regulasi - Menganalisis

- Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah

Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada Anak

Kemampuan Disposisi

Positif Menganggap anak mampu berpikir kritis:

- pola pikirnya maju - berbakat

- pintar dan cerdas - dewasa dan matang - membanggakan dan

membuat ibu senang - jauh lebih berkembang

dibandingkan orang tua dulu

Menganggap anak yang berpikir kritis:

- lucu

- melakukan hal yang benar, agar tidak mendapat informasi yang menyesatkan

- membuat ibu senang, dan justru ibu akan kuatir bila anak tidak pernah bertanya

Negatif Menganggap anak yang berpikir kritis:

- pemikirannya tidak masuk akal

- akan bosan untuk pergi ke sekolah

- melebihi batas

perkembangan yang sesuai dengan umurnya

Menganggap anak yang berpikir kritis:

- membuat ibu lelah dan pusing - membuat ibu stres, emosi, dan

jengkel

- menguji kesabaran ibu - menganggap berbahaya - menjadi tantangan bagi orang

tua Temuan Tambahan Dalam hal Pemahaman

Kemampuan Disposisi

Kategori baru

- Melakukan inovasi - Melakukan komparasi

- Sikap memaksakan kehendak - Vokal dalam berpendapat - Kecenderungan untuk meniru Dalam hal Penilaian

Ragu-ragu; tidak dapat menentukan apakah kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak baik atau tidak

yang muncul

penilaian positif:

- Berusaha menjelaskan sebisanya ketika anak bertanya

- Membelikan sarana untuk mendukung berpikir kritis pada anak

penilaian negatif:

- Melakukan antisipasi dengan memastikan lingkungan anak tidak memberi informasi yang berbahaya

- Menghindar atau menolak menjawab pertanyaan anak - Mengusir dan menyuruh anak

pergi ketika anak banyak bertanya

- Marah dan membentak anak yang banyak bertanya

- Melakukan kekerasan fisik ketika anak banyak bertanya (memukul, menarik,

mencubit)

Dokumen terkait