• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA ANAK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Gabriela Elisabeth Edawani 129114041

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly. What is essential is invisible to the eye.” - Antoine de

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk:

(6)
(7)

vii

PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA ANAK

Gabriela Elisabeth Edawani ABSTRAK

(8)

viii

MOTHER’S PERCEPTION TOWARDS CRITICAL THINKING ON CHILDREN IN FLORES

Gabriela Elisabeth Edawani ABSTRACT

This research aimed to reveal the perception of mothers in Flores towards critical thinking in children, especially their understanding and judgment on this particular subject, which includes the skills and dispositions of critical thinking in children. This is a qualitative research that used qualitative content analysis as the data analysis method. The method used to collect the data is Focus Group Discussion, involving 22 mothers from 3 regions in Larantuka, East Flores, who participated in three different Focus Group Discussion sessions. This research’s credibility was based on the researcher’s efforts to clarify biases, built participant’s trust, employed thick description and collecting the data from three different groups. The researcher also made sure that there’s no change of the coding’s meaning, archived all collected data, and employed several try outs before taking the real data. The results showed that mothers’ understanding of critical thinking in children is quite comprehensive and included almost every category of critical thinking skill and disposition that the experts had made. Nevertheless, the mother’s judgment towards critical thinking in children still contains contradiction between positive and negative judgments. Some mothers are still in doubt of deciding whether critical thinking in children is evaluated positively or negatively. If compared, critical thinking skill in children tends to be perceived positively, while critical thinking disposition tends to be viewed negatively.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkat dan kasih karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan YME yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari tahap ke tahap.

(11)

xi

6. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi. dan ibu Diana Permata Sari, M.Sc., yang telah memberikan banyak masukan-masukan yang berarti demi mengembangkan dan memperbaiki skripsi yang telah saya buat ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia psikologi.

8. Mama, Papa, dan Piter yang selalu mendukung, mendorong, dan mendoakan dalam proses hingga skripsi ini selesai. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. I love you beyond words. Takkan kulupa :)

9. Agatha, Melani, dan Rezky yang selalu setia menghadapi aku dan kerumitanku, dan juga semua teman-teman di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang sudah memberi dorongan, selalu mengingatkan, mendukung dan menyemangati selama berkuliah dan selama mengerjakan skripsi. Terimakasih!

10. Teman-teman satu bimbingan skripsi “Anak-anak Profesor” yang sangat suportif dan gayeng! Bangga bisa punya kelompok bimbingan yang bisa seperti kalian! Khususnya untuk Ci Vania dan Ka Pika, juga Reka, Rikjan, Lenny, Raras, Mba Maria dan Mas Tama, dan semua anggota geng yang sudah sering sekali saya repotkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan kebingungan saya. Thank youdan semangat untuk yang masih berjuang! 11. Untuk Om Oncu, Mama Oa, dan Tanta Eda yang sudah ikut sibuk dalam

(12)

xii

semua keluarga di Larantuka yang selalu mendukung dengan tulus dan penuh kasih. Saya sangat bersyukur punya kalian semua. You are my new home. 12. Untuk Opa Ulen dan Opa Bence yang sudah jadi narasumber yang spesial dan

memberi pandangan-pandangan luar biasa mengenai Lamaholot dan Flores Timur. I’m so proud beyond words.

13. Untuk Opa Inyo Fernandez, yang sejak awal proses skripsi sudah memberi dukungan dan dorongan yang sangat berharga untuk Elni, dan berdiskusi serta memberi masukan mengenai budaya dan perkembangan di Flores Timur. Juga untuk Tante Marni yang selalu hadir dengan tangan terbuka dan membantu ketika Elni kesulitan. Thank you, thank you, I’m forever thankful!

14. Semua ibu di Larantuka yang sudah bersedia diajak berdiskusi dan berbagi, terimakasih untuk semua cerita yang berkesan, terimakasih untuk kesediaan dan keterbukaannya. Tanpa Tanta semua, skripsi ini tidak berjalan. Terimakasih!

15. Untuk teman berkesenian dalam musik maupun seni rupa, teman-teman di Sadharjazz, Jazz Mben Senen, teman-teman-teman-teman ngeband di sana sini, teman-teman melukis dan berburu event dari berbagai tempat. Terimakasih untuk kesempatan dan semua pembelajarannya. Tanpa kalian semua, saya pasti sudah menjadi zombie yang menyeret langkah tanpa nyawa. ;)

16. Untuk keluarga UKM Taekwondo Sanata Dharma baik yang masih aktif maupun yang sudah veteran. Sekali keluarga tetap keluarga! <3

(13)

xiii

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ix

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xiv

DAFTAR TABEL...xiiii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat Teoritis... 10

(15)

xv

3. Manfaat Kebijakan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

A. Berpikir Kritis... 12

1. Definisi Berpikir Kritis ... 12

2. Komponen-komponen Berpikir Kritis... 13

B. Berpikir Kritis pada Anak... 20

C. Persepsi Orangtua Terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 23

D. Orangtua di Flores ... 26

E. Kerangka Konseptual ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 31

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Partisipan ... 33

D. Peran Peneliti... 35

E. Metode Pengambilan Data... 36

1. Protokol Observasi... 37

2. Protokol FGD... 38

3. Perekaman Data ... 39

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 40

G. Kredibilitas Penelitian ... 43

H. Isu-Isu Etis yang Mungkin Muncul... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

(16)

xvi

B. Hasil Penelitian... 49

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ... 49

2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 58

3. Temuan-temuan Tambahan... 63

C. Pembahasan ... 71

1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ... 71

2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak... 76

BAB V PENUTUP... 82

A. Kesimpulan... 82

B. Keterbatasan Penelitian ... 85

C. Saran... 86

1. Bagi Peneliti Selanjutnya... 86

2. Bagi Para Ibu ... 86

3. Bagi Pemerintah atau Instansi Terkait... 87

DAFTAR ACUAN... 88

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Diri Partisipan...34

Tabel 2. Protokol FGD ...38

Tabel 3. Kriteria Koding...41

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini, berpikir kritis menjadi semakin penting untuk dimiliki setiap orang. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga perlu dilatih dan diajarkan untuk berpikir kritis. Salah satu alasannya adalah kehadiran informasi yang kini membombardir kita melalui media dan teknologi yang berkembang sangat pesat dan semakin mudah diakses bahkan oleh anak-anak, misalnya pornografi atau media yang mengandung unsur kekerasan yang dapat diperoleh melalui internet ataupun layar televisi. Apabila tidak berhati-hati, anak-anak dapat mengalami kecanduan pornografi, terpengaruh konten-konten kekerasan yang banyak ditemui di media, ataupun terjerumus ke dalam kejahatan yang berbasis online. Bahkan menurut data yang diambil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2011 hingga 2014, dalam kurun waktu empat tahun ini saja, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai 1.022 anak (Setyawan, 2015). Mengingat urgensi dari permasalahan ini, langkah yang perlu dilakukan adalah memberi anak-anak dasar yang kuat, sehingga mampu memilah informasi yang baik dan yang buruk. Salah satu dasar yang dimaksud adalah berpikir kritis.

(21)

pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, serta keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001). Berpikir kritis termasuk salah satu higher order thinking atau proses berpikir tingkat tinggi dan tidak sama dengan kemampuan-kemampuan maupun proses kognitif yang sederhana (Nieto & Saiz, 2011). Orang yang berpikir kritis tidak hanya menerima secara pasif informasi yang masuk, tapi juga memproses apa yang diterima tersebut sehingga dapat menentukan apa yang akan diyakini dan dipercaya.

(22)

adalah kemampuan menyatakan argumen dan hasil penalaran beserta prosedur yang dilakukan. Sedangkan kemampuan untuk melakukan swa-regulasi berarti kemampuan untuk memeriksa penalaran diri dan melakukan koreksi apabila ditemui suatu kesalahan (Facione, 1990).

Disposisi berpikir kritis menurut Facione, Facione dan Giancarlo (2000) adalah motivasi internal yang konsisten untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Terdapat sejumlah disposisi berpikir kritis yang telah diungkapkan para ahli (Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy, Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999) yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis. Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah adalah kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Sikap ingin tahu mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, kecenderungan untuk selalu bertanya serta ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja. Kecenderungan untuk menggunakan penalaran adalah disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan penalaran. Sedangkan kecenderungan berpikir yang sistematis merupakan disposisi untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur.

(23)

selama bertahun-tahun, asesmen dan pengajaran berpikir kritis hanya difokuskan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis, namun belakangan ini sudah mulai muncul pendapat dari para ahli bahwa penguasaan kemampuan berpikir kritis saja tidak menjamin seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang bisa saja memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, namun belum tentu ia akan menggunakannya apabila tidak memiliki disposisi sebagai komponen afektif dari berpikir kritis.

(24)

nantinya akan sulit untuk diubah. Di sinilah peran orang tua, khususnya ibu sebagai caregiver dan pendidik anak di usia awal sangat besar. Ibu di Indonesia pada umumnya lebih banyak mengasuh dan mendidik anak serta lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, terutama ketika anak berusia dini, apabila dibandingkan dengan ayah. Namun pertanyaannya adalah, apakah para ibu memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang berpikir kritis, serta apakah ibu menilai berpikir kritis sebagai hal yang baik atau justru menganggapnya sebagai hal yang buruk? Pandangan yang dimiliki ibu, yang meliputi bagaimana ibu memahami mengenai berpikir kritis serta bagaimana ibu memberi penilaian terhadap berpikir kritis pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dan penerapannya dalam pengasuhan, yang pada akhirnya menentukan apakah mereka mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuan berpikir kritis anak. Pemahaman dan penilaian ibu tersebut dapat didalami lebih jauh melalui persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.

(25)

Penelitian-penelitian yang dilakukan juga lebih banyak melihat berpikir kritis dengan anak sebagai fokusnya, bukan pada orang tua yang sebenarnya berperan penting untuk membentuk kemampuan berpikir kritis anak. Padahal menurut Seitz dan Provence (1990, dalam Duncan & Magnuson, 2004), intervensi yang berfokus langsung pada orang tua akan memberi hasil yang efisien, mengingat orang tua berperan sebagai pendidik pertama dan terbaik bagi anak. Walaupun begitu, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2008), yang mengungkap perkembangan berpikir kritis pada anak berusia 4 sampai 5 tahun beserta program yang dapat diterapkan bagi ibu untuk dapat menciptakan interaksi yang mendukung pola pikir kritis anak di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan usia sangat muda sudah menunjukkan komponen kognitif maupun afektif dari berpikir kritis, serta bahwa program intervensi yang diberikan pada ibu sebagai caregiver utama bagi anak, dapat meningkatkan perkembangan berpikir kritis pada anak. Penelitian ini menyarankan peneliti selanjutnya untuk mengambil sampel yang lebih luas atau dari settingatau konteks yang berbeda, mengingat penelitian ini hanya melibatkan para partisipan yang berdomisili di Jakarta. Selain itu, ia juga menyarankan agar peneliti selanjutnya lebih mendalami kesiapan para ibu di Indonesia untuk terlibat dalam usaha-usaha meningkatkan pola pikir kritis anak, agar selanjutnya informasi ini dapat digunakan untuk mendukung intervensi yang diterapkan pada orang tua.

(26)

berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat salah satunya melalui bagaimana ibu memahami dan menilai berpikir kritis pada anak. Penelitian yang membahas anggapan masyarakat dalam budaya Indonesia terhadap berpikir kritis memang sudah pernah dilakukan, misalnya penelitian Chandra (2004) tentang berpikir kritis pada budaya Jawa, Batak Toba, dan Minangkabau. Penelitian ini melihat nilai-nilai apa saja yang dianggap penting atau diinginkan dalam masing-masing budaya dan pandangan atau praktik apa saja dalam budaya tersebut yang dapat mendukung maupun menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Akan tetapi, penelitian ini masih lebih berfokus pada masyarakat umum, bukan pada ibu terkait pengasuhan terhadap anak. Penelitian ini memang mengungkap secara singkat bagaimana orang tua di Indonesia merespon rasa ingin tahu dan perilaku bertanya pada anak, namun hal ini tidak diteliti lebih lanjut dan mendalam. Penelitian ini juga hanya menggunakan subjek dari para petinggi adat dan kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga kurang menggambarkan masyarakat awam atau mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Penelitian ini juga tidak mendalami hingga komponen-komponen kemampuan maupun disposisi berpikir kritis.

(27)

keberagaman dan kebudayaan di antara daerah-daerah yang berbeda di Indonesia. Budaya Lamaholot di Flores juga mendukung daya kritis melalui praktik musyawarah yang demokratis, di mana terdapat anggapan bahwa pembicaraan bersama mengawali segala kegiatan bersama (Hayon, 2008). Namun menurut seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor, kekritisan yang sebenarnya dimiliki orang-orang Flores seringkali tidak diekspresikan karena lingkungan bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara, yang terbawa hingga dewasa dalam kehidupan bermasyarakat (komunikasi pribadi, 25 November, 2016). Selain itu, tingkat ekonomi, pembangunan serta kualitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur masih tergolong rendah. Dengan berusaha meningkatkan pola pikir kritis pada anak-anak sebagai generasi penerus, masyarakat diharapkan dapat berkembang hingga mencapai tingkat yang lebih baik, baik dalam hal pendidikan maupun kehidupan ekonomi dan sosial. Selain itu pula, berdasarkan pengalaman dan pengamatan peneliti, masyarakat Flores banyak yang bermigrasi ke kota-kota lain di luar pulau. Apabila tidak diimbangi dengan pola pikir kritis, dikhawatirkan mereka akan kesulitan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka di tanah perantauan. Selain itu, hidup berdampingan dengan etnis lain juga dapat menyebabkan konflik apabila tidak disertai pola pikir yang terbuka dan mau melihat sudut pandang yang berbeda.

(28)

penilaian ibu terhadap hal tersebut. Penelitian ini akan melibatkan para ibu di Flores yang sedang mengasuh anak berusia 3 hingga 5 tahun, yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dalam hal usia atau tingkat pendidikan. Penelitian ini juga tidak hanya melihat berpikir kritis secara umum, namun juga melingkupi komponen-komponen kemampuan maupun disposisi berpikir kritis, yang diharapkan dapat memberi gambaran yang mendalam mengenai persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? Pertanyaan turunan:

a. Bagaimana pemahaman ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak? b. Bagaimana penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?

C. Tujuan Penelitian

(29)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang psikologi dan menambah wawasan kepustakaan yang cukup mendalam mengenai persepsi orang tua di Indonesia terhadap berpikir kritis pada anak. Selain itu, penemuan yang terkait dengan budaya dapat memberi wawasan baru dalam bidang psikologi lintas-budaya, khususnya pada etnis Flores yang masih memerlukan pembangunan dan pengembangan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas pengasuhan orang tua di Flores. Dengan mengetahui tingkat pemahaman para ibu di Flores mengenai berpikir kritis pada anak serta melihat apakah masih banyak pandangan negatif para ibu terhadap anak yang berpikir kritis, dapat dirancang program intervensi atau sosialisasi yang dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak dan mengurangi penilaian negatif yang dimiliki ibu, agar nantinya para ibu dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif pada anak untuk berpikir kritis.

3. Manfaat Kebijakan

(30)
(31)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai berpikir kritis, dan

secara khusus berpikir kritis pada anak. Hal ini mencakup definisi dan komponen

berpikir kritis serta usia dimulainya berpikir kritis pada anak. Kemudian penulis

akan menjelaskan mengenai persepsi orang tua serta pandangan orang tua di

Indonesia pada umumnya terhadap berpikir kritis, khususnya berpikir kritis pada

anak. Penulis juga akan menggambarkan secara singkat karakteristik orang tua di

Flores beserta budaya Lamaholot yang terkait dengan berpikir kritis maupun

pengasuhan pada anak, sebelum akhirnya menjabarkan kerangka konseptual dari

penelitian ini.

A. Berpikir Kritis 1. Definisi Berpikir Kritis

Critical thinking atau berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal dan

reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau

dilakukan (Ennis, 2011). Berpikir kritis juga dijelaskan sebagai: (a) sikap mau

berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada

dalam jangkauan pengalaman seseorang; (b) pengetahuan tentang metode-metode

pemeriksaan dan penalaran yang logis; serta (c) keterampilan untuk menerapkan

metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001).

Fisher (2001) menjelaskan bahwa berpikir kritis berbeda dengan berpikir

tidak reflektif, jenis berpikir di mana kita langsung mengarah ke kesimpulan, atau

(32)

sungguh-sungguh memikirkannya. Hal ini dapat disebut sebagai cara berpikir yang pasif,

berlawanan dengan cara berpikir kritis yang aktif mencari bukti-bukti,

mempertanyakan, dan sebagainya. Dijelaskan pula bahwa berpikir kritis

merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu,

misalnya kemampuan menginterpretasi dan mengevaluasi, memikirkan

asumsi-asumsi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, serta menarik

implikasi-implikasi dalam memikirkan dan memperdebatkan isu-isu. Fisher juga

mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis meyakini bahwa terdapat

situasi-situasi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks tertentu,

yang perlu dihadapi dengan pemikiran yang kritis dan reflektif, sehingga ia akan

cenderung menerapkan berpikir kritis pada situasi-situasi tersebut. Hal-hal ini

mengarah pada dua komponen dari berpikir kritis, yaitu kemampuan dan

disposisi.

2. Komponen-komponen Berpikir Kritis

Berpikir kritis terdiri atas dua komponen, yaitu: (a) skill atau kemampuan

berpikir kritis, serta (b) disposisi, kebiasaan, dan karakter kepribadian untuk

berpikir kritis (Nieto & Saiz, 2011). Kennedy et al. (1991) mengungkapkan bahwa

kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir kritis,

sementara disposisi berpikir kritis merupakan komponen afektif, di mana

keduanya akan membentuk perilaku berpikir kritis yang diwujudkan pada diri

seseorang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, selama bertahun-tahun

pendekatan dalam berpikir kritis hanya ditekankan pada komponen kemampuan

(33)

kemampuan berpikir kritis, seseorang belum tentu berkeinginan untuk berpikir

kritis, sedangkan hanya memiliki disposisi pun tidak cukup, karena walaupun

berkeinginan, individu tersebut tidak akan tahu cara berpikir kritis (Nieto & Saiz,

2011).

a. Kemampuan berpikir kritis

Dalam review yang dilakukan oleh Lai (2011) diungkapkan bahwa

terdapat banyak pendapat ahli mengenai kemampuan berpikir kritis. Para ahli

cenderung sependapat tentang kategori-kategori kemampuan apa saja yang

dimiliki orang yang berpikir kritis, yang meliputi kemampuan menganalisis,

melakukan inferensi, menilai, membuat keputusan atau menyelesaikan masalah,

kemampuan mengajukan dan menjawab pertanyaan untuk mengklarifikasi,

mendefinisikan istilah-istilah, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menginterpretasi

dan menjelaskan, mengungkapkan penalaran secara verbal, memprediksi, dan

melihat kedua sisi dari suatu masalah (Ennis, 1985; Facione, 1990; Halpern, 1998;

Paul, 1992; Willingham, 2007; Case, 2005; Lipman, 1988; Tindal & Nolet, 1995;

Paul, 1992, dalam Lai, 2011). Penelitian dengan teknik Delphi pada tahun 1988

sampai 1989 yang melibatkan 46 ahli di bidang berpikir kritis telah

mengkategorikan kemampuan-kemampuan tersebut menjadi 6 kelompok

kemampuan, yaitu kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi,

melakukan inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi (Facione,

1990). Keenam kategori inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena

pengelompokan kategori yang komprehensif dan banyak digunakan oleh

(34)

digunakan untuk membuat alat tes dalam hal kemampuan berpikir kritis (Facione,

2013). Kemampuan-kemampuan ini pada hakikatnya merupakan proses-proses

kognitif yang dijelaskan dalam taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2000).

Namun dalam taksonomi Bloom, kategori-kategori ini diterapkan dalam berbagai

konteks yang bersifat umum, sedangkan dalam teori berpikir kritis hanya

dikhususkan pada argumen, klaim, pemikiran dan bentuk representasi lainnya.

Keenam kategori ini dijelaskan sebagai berikut:

1) Menginterpretasi. Secara umum kemampuan ini diartikan sebagai kemampuan untuk menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima.

Menginterpretasi berarti mengubah dari suatu bentuk representasi ke dalam

bentuk representasi lain (Anderson & Krathwohl, 2000). Kemampuan ini juga

mencakup kemampuan seseorang untuk memahami dan mengungkapkan arti atau

signifikansi dari suatu hal, dengan mendeskripsikan dan mendefinisikan suatu hal,

menyebutkan, mengartikan, memahami makna tersirat maupun tersurat dari suatu

pernyataan, mengelompokkan suatu hal dalam suatu kategori tertentu, serta

memparafrasekan suatu informasi dengan kata-kata sendiri atau dengan bentuk

ungkapan lain (Facione, 1990). Kemampuan menginterpretasi ini berbeda dari

sekadar mengerti dan memahami suatu hal, di mana terdapat penekanan pada

aktivitas memaknai atau menafsirkan suatu hal berdasarkan pemahaman atau

skema tertentu yang dimiliki seseorang.

2) Menganalisis. Kemampuan ini melibatkan aktivitas mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, argumen-argumen, ide-ide, serta elemen-elemen

(35)

menguraikan serta menganalisis elemen-elemen tersebut (Facione, 1990). Hal ini

sejalan dengan pengertian menganalisis secara umum, yaitu menguraikan suatu

hal menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-relasinya

(Anderson & Krathwohl, 2000). Misalnya, mampu mengidentifikasi

pernyataan-pernyataan yang mendukung atau menentang suatu opini penulis dalam suatu

paragraf, mencermati usulan-usulan terkait suatu masalah dan menelaah

persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaannya, atau menentukan mana

yang menjadi kesimpulan utama, klaim-klaim pendukung, atau elemen-elemen

lain dalam suatu argumen (Facione, 1990).

3) Mengevaluasi. Mengevaluasi berarti membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu (Anderson & Krathwohl, 2000). Standar dan kriteria

yang dimaksud di sini adalah kualitas dan kredibilitas atau seberapa suatu

pernyataan atau argumen dapat dipercaya, serta kekuatan logis yang dimilikinya

(Facione, 1990). Dalam berpikir kritis, objek yang dinilai dan dievaluasi dapat

berupa klaim, argumen, pernyataan-pernyataan, atau bentuk representasi dari

persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan, atau opini seseorang.

4) Melakukan inferensi. Kemampuan melakukan inferensi adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan

hipotesis dari informasi yang ada (Facione, 1990). Dalam melakukan inferensi,

seseorang harus dapat menemukan pola-pola dari serangkaian data atau informasi

yang tersedia (Anderson & Krathwohl, 2000). Inferensi mencakup kemampuan

(36)

memprediksi, mengungkapkan dugaan, berasumsi, memperkirakan

alternatif-alternatif terhadap suatu masalah, dan sebagainya.

5) Mengeksplanasi. Kemampuan mengeksplanasi atau menjelaskan adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menjelaskan hasil

penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan (Facione, 1990). Contohnya

adalah ketika seseorang menyampaikan argumen atau pendapatnya, menjelaskan

suatu hal baik secara lisan maupun tertulis, menjelaskan langkah demi langkah

penalarannya, menjelaskan dengan bukti dan data-data yang mendukung, dan

sebagainya.

6) Melakukan swa-regulasi. Kemampuan melakukan swa-regulasi adalah kemampuan untuk memantau proses penalaran yang dilakukan diri sendiri. Hasil

konsensus para ahli yang diperoleh melalui teknik Delphi mengartikan

swa-regulasi sebagai kemampuan memantau aktivitas kognitif diri sendiri beserta hasil

penalaran dan elemen-elemen yang digunakan dalam aktivitas tersebut, yang

mencakup pemeriksaan diri dan koreksi diri (Facione, 1990). Contohnya adalah

ketika seseorang mampu merefleksikan pemikirannya sendiri, memeriksa kembali

bukti-bukti dan langkah-langkah yang digunakannya, menyadari bias yang

mungkin dimiliki, dan mengoreksi penalaran diri sendiri apabila ditemukan

kesalahan dari hasil pemeriksaan diri tersebut.

b. Disposisi berpikir kritis

Disposisi berpikir kritis adalah motivasi internal yang konsisten untuk

menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang

(37)

para ahli di bidang berpikir kritis, disposisi berpikir kritis atau komponen afektif

dibutuhkan untuk membuat kemampuan berpikir kritis semakin mengakar dan

bertumbuh dalam individu (Facione, 1990). Terdapat beberapa disposisi berpikir

kritis yang telah diungkapkan para ahli (Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy,

Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999) yang dapat dikelompokkan dalam 4

kelompok besar yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap

ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan

berpikir yang sistematis. Masing-masing kategori tersebut dijelaskan sebagai

berikut:

1) Fair-mindedness atau kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi ini menunjukkan kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Kategori ini mencakup

berpikiran terbuka, berpikiran luas dan divergen, toleran, menghargai, dan mau

mempertimbangkan pandangan serta sudut pandang yang berbeda. Individu yang

memiliki disposisi ini juga cenderung fleksibel, peka terhadap bias, mau

mengubah pandangan dan pendirian bila bukti atau hasil penalaran berlawanan

dengan apa yang diyakini sebelumnya (bahkan jika tidak mendukung kepentingan

pribadinya), serta jujur secara intelektual. Dengan kata lain, ia dapat dikatakan

bersikap objektif dan tidak berat sebelah dalam melakukan penyelidikan atau

dalam menanggapi suatu informasi.

2) Inquiring Attitude atau sikap ingin tahu. Disposisi ini mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, sikap selalu bertanya, dan ingin tahu

(38)

penasaran terhadap hal-hal baru, mencari alasan atau penyebab dari suatu hal,

ingin mempelajari sesuatu bahkan jika penerapannya dan manfaatnya tidak

terlihat langsung. Individu tersebut juga tidak cepat puas dengan informasi atau

pengetahuan yang terbatas.

3) Inclination to use reason atau kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Kategori ini mencakup disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan

keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan

penalaran. Individu dengan disposisi ini juga memiliki keyakinan terhadap

penalarannya, menghargai penalaran dan hasil penalaran yang baik, menggunakan

dan menyebutkan sumber-sumber yang kredibel. Ia akan mencari informasi

seakurat mungkin, serta tetap bersandar pada alasan dan penalaran ketika

melakukan penilaian dalam konteks yang tidak pasti.

4) Systematicityataukecenderungan berpikir yang sistematis. Disposisi ini merupakan kecenderungan untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan

teratur. Hal ini terlihat dari kecenderungan untuk fokus dan tetap menaruh

perhatian pada isu dan topik yang sedang diselidiki atau masalah yang sedang

dipecahkan, tekun, persisten dan tidak mudah menyerah, dan memiliki cara-cara

tertentu yang tersistematis dan teratur dalam hal penyelidikan ataupun pemecahan

masalah. Individu tersebut juga akan tetap memperhatikan situasi keseluruhan

(39)

B. Berpikir Kritis Pada Anak

Biasanya, berpikir kritis dilihat sebagai sebuah kualitas yang baru akan

dimiliki setelah anak cukup besar, atau bahkan seringkali hanya ditekankan pada

sekolah atau perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dengan usia muda pun, apabila

mendapat stimulasi yang tepat, dapat memiliki baik kemampuan maupun disposisi

berpikir kritis. Sebuah studi literatur dari Lai (2011) yang membahas konsep

berpikir kritis dari pandangan berbagai ahli menemukan bahwa berlawanan

dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa anak-anak pada tahap praoperasional

belum mampu bernalar secara abstrak dan melihat perspektif orang lain, terdapat

banyak penemuan akhir-akhir ini bahwa anak-anak berusia dini sudah terlibat

dalam banyak proses kognitif yang sama dengan yang dilakukan orang dewasa.

Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia sangat

muda sudah mampu berpikir kritis atau mempelajari cara berpikir yang lebih

kompleks (Gelman & Markman, 1986; Silva, 2008; Willingham, 2007; dalam Lai,

2011).

Peneliti-peneliti awal cenderung menyimpulkan bahwa anak tidak mampu

berpikir kritis, namun menurut Kennedy et al (1991) anak seringkali dianggap

tidak mampu berpikir kritis dikarenakan kurangnya latar belakang pengetahuan

yang dimiliki anak, bukan karena anak tidak mampu berpikir kritis. Murphy et. al

(2014) juga mengungkapkan bahwa anak-anak berusia muda telah mampu

berpikir dan melakukan penalaran secara kritis, dan bahwa berpikir secara kritis

dan analitis didasarkan pada kemampuan-kemampuan yang telah berkembang

(40)

yang berusia di bawah lima tahun telah banyak mengajukan pertanyaan dan

menunjukkan rasa ingin tahu, berusaha mencari penyebab sesuatu secara deduktif,

mengapresiasi perspektif orang lain, berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan

(metakognisi), mengembangkan teori pikiran, dan menunjukkan banyak perilaku

lain yang dapat dikategorikan sebagai elemen dari berpikir kritis (Chandra, 2008).

Di samping itu, anak-anak juga memiliki disposisi untuk berpikir kritis yang

cukup menonjol dibandingkan dengan usia-usia lain.

Menurut Padji (1992), anak-anak dengan nafsu belajarnya merupakan

penyelidik lingkungan yang aktif. Mereka mengasah sifat keingintahuannya,

mencari pemecahan masalah dan gemar menghubung-hubungkan, mempelajari

secara langsung pelajaran yang berarti bagi diri mereka. Anak juga memiliki rasa

ingin tahu, yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak, di

mana masa bertanya ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada

usia sekitar 6 tahun (Syamsu, 2000).

Karena itulah, dorongan dan dukungan untuk berpikir kritis sudah harus

diberikan sejak anak-anak berusia dini. Para ahli menyatakan bahwa sejak usia

dini, anak-anak harus diajarkan untuk bernalar, mencari fakta-fakta yang relevan,

mempertimbangkan pilihan-pilihan, serta memahami pandangan orang lain

(Facione, 1990). Hal ini dikarenakan berpikir kritis, yang merupakan satu dari

beberapa bentuk berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking, sangat jarang

diperoleh hanya dengan perkembangan individu secara alamiah, melainkan harus

dipelajari melalui sejumlah instruksi atau pengajaran (Arons, 1979; Kuhn, 1993;

(41)

Pada usia dini anak, terutama sebelum anak-anak mulai bersekolah, orang

tua (khususnya ibu sebagai caregiver utama) sangat berperan penting untuk

mendidik dan mengasuh anaknya. Hal ini juga didukung dengan budaya di

Indonesia yang lebih menekankan peran ibu sebagai pengasuh utama bagi anak.

Menurut Chandra (2008), ibu memegang peranan yang signifikan bagi anak

dikarenakan ibu merupakan figur utama yang mengasuh anak terutama pada anak

berusia dini, termasuk dalam hal mengembangkan dan mendorong berpikir kritis

pada anak. Anak-anak belajar berpikir secara kritis ketika mereka memiliki

kesempatan dan alasan untuk berpikir secara kritis; ketika mereka mengamati

orang lain yang berpikir secara kritis; dan ketika mereka diminta untuk

memberikan informasi, tantangan, perdebatan yang lebih didasari oleh rasa

hormat dibandingkan kekuatan dan kekuasaan (Smith, 1986, dalam Davis-Seaver,

2000). Berinteraksi dengan individu-individu yang kompeten juga sangat

memengaruhi kualitas berpikir anak-anak. Konsep Vygotsky tentang zone of

proximal development (ZPD) menyarankan bahwa melalui bimbingan dan

bantuan dari orang-orang di lingkungan sekitar, anak-anak dapat mengembangkan

cara belajar mereka (Santrock, 2012). Bimbingan dan bantuan dari figur-figur di

sekitar anak yang sangat penting bagi anak adalah dari orangtua, terutama ibu. Ibu

memegang peranan penting dalam tahap awal anak-anak belajar, di mana

pengasuhan ibu terkait pengembangan berpikir kritis pada anak tentunya akan

sangat dipengaruhi oleh bagaimana ibu memandang, bereaksi, dan berperilaku

terhadap berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat melalui persepsi ibu

(42)

C. Persepsi Ibu Terhadap Berpikir Kritis Pada Anak

Menurut Padji (1992), orang tua memegang peranan penting dalam tahap

awal anak-anak belajar dengan memberi contoh apa yang diinginkan dan

bagaimana hal itu bisa dilakukan, melakukan koreksi dan menunjukkan kesalahan,

serta memberikan semangat dan dukungan yang penting untuk mengatasi

kemunduran dan belajar dari kegagalan. Ia juga mengungkapkan bahwa

anggapan-anggapan yang dimiliki orang tua, apabila keliru atau kurang tepat,

dapat menghambat peran penting mereka dalam meningkatkan keterampilan otak

anak-anak mereka.

Hal ini dapat dikaji lebih jauh dengan mendalami persepsi ibu terhadap

berpikir kritis pada anak. Persepsi merupakan aktivitas mengindera,

mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada objek-objek fisik maupun

objek sosial, di mana sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama

dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa

harapan-harapan, nilai-nilai, persepsi, ingatan dan lain-lain (Young, 1956). Pengertian lain

juga dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2013) bahwa persepsi merupakan

kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian dianalisa

(diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut

memperoleh makna.

Berdasarkan pengertian tersebut, dalam penelitian ini persepsi dibatasi

pada pemahaman (atau interpretasi, pemaknaan) dan penilaian (atau tanggapan

dan evaluasi) ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Pemahaman mengacu pada

(43)

pada hakikatnya terdiri dari kemampuan dan disposisi. Sedangkan penilaian

mengacu pada bagaimana ibu menilai dan menanggapi berpikir kritis pada anak,

yang menekankan pada apakah ibu menganggap hal tersebut sebagai suatu hal

yang positif atau negatif.

Persepsi ini perlu diteliti karena menurut Sherif (1969, dalam Sadli, 1977),

pengalaman dan tingkah laku merupakan sebuah kesatuan. Apa yang dilakukan

seseorang baik sebagai ucapan, ekspresi, atau perilaku tidak terlepas dari caranya

mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai

suatu hal. Berdasarkan hal ini, persepsi orang tua terhadap berpikir kritis pada

anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya, yang pada

akhirnya dapat sangat memengaruhi perkembangan berpikir kritis pada anak.

Sherif juga mengungkapkan bahwa persepsi sebagai salah satu proses psikologis

dalam diri individu dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu maupun

faktor-faktor situasi atau stimulus di luar individu. Faktor dalam diri individu

mencakup motif-motif sikap, ambisi, keadaan fisik atau mental seseorang, sikap

yang berhubungan dengan norma-norma sosial, bahasa, pengaruh dari

pengalaman yang lalu, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor situasi atau

stimulus mencakup objek, orang, kelompok, hasil kebudayaan, dan lain-lain.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap persepsi ibu di Indonesia

adalah faktor budaya. Mulyana (2005) mengungkapkan bahwa persepsi itu terikat

oleh budaya (culture-bound). Ia berpendapat bahwa bagaimana kita memaknai

pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut, di

(44)

ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa dapat sangat memengaruhi persepsi seseorang

terhadap realitas.

Sayangnya, budaya Indonesia yang kurang suportif dalam mendukung

perkembangan berpikir kritis telah diungkapkan oleh para ahli dari Eropa yang

mempelajari budaya Jawa (Magnis-Suseno, 1993; Mulder, 1984; 1996, dalam

Chandra, 2008). Dijelaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia, kepatuhan

terhadap standar-standar moral dan religius dinilai sebagai kualitas yang paling

diinginkan, sementara menjadi individu yang independen dan memiliki

kemampuan untuk mengembangkan pemikirannya dipandang tidak penting

samasekali. Keluarga, sekolah, dan masyarakat hanya memberikan kesempatan

yang terbatas bagi individu untuk mengungkapkan opini atau ide-ide mereka.

Anak-anak tidak diizinkan berbicara sebelum ditanya atau diizinkan terlebih

dahulu, terutama dalam memberi komentar yang bersifat kritis. ‘Anak yang baik’

adalah mereka yang patuh, penurut, bergantung, dan submisif. Mereka yang

independen dan menunjukkan opini pribadi yang berbeda dari pendapat

figur-figur otoritas akan dianggap tidak menunjukkan rasa hormat (Setiadi, 1986;

Chandra, 2004; dalam Chandra, 2008). Walaupun begitu, ditemukan bahwa dalam

budaya yang berbeda, pandangan terhadap berpikir kritis pada masyarakatnya

juga cukup berbeda, dan ditemukan nilai-nilai budaya yang mendukung maupun

menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Nilai-nilai yang mendukung

berpikir kritis misalnya prinsip Dalihan Na tolu dari Batak Toba yang

menekankan prinsip demokratis pada masyarakatnya. Terdapat juga atmosfer

(45)

diberi kesempatan untuk didengarkan dan dipertimbangkan. Selain itu,

penggunaan seni budaya dan artefak seringkali menjadi sarana untuk

mengungkapkan pendapat yang berbeda dalam budaya Jawa. Akan tetapi, dalam

budaya Jawa berpikir kritis dihambat oleh kepatuhan terhadap figur otoritas yang

sangat ditekankan, di mana figur otoritas dianggap selalu benar dan tidak perlu

mempertanyakan atau memperdebatkan keputusan yang diambilnya. Hal ini tidak

terlihat dalam budaya Minangkabau, yang menganggap semua orang memiliki

kedudukan yang setara dan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas.

Sedangkan dalam budaya Batak Toba, walaupun orang yang lebih tua dihormati

dan masih terdapat diskriminasi gender, terdapat prinsip-prinsip untuk teguh

dalam pendirian dan berani untuk menyampaikan pendapat yang berbeda, bahkan

untuk memberi kritik dan masukan kepada para pemimpin (Chandra, 2004). Akan

tetapi, penelitian ini maupun penelitian-penelitian lain yang dilakukan di

Indonesia belum ada yang dilakukan pada Indonesia bagian Timur, misalnya pada

masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena itulah penelitian ini difokuskan

pada para ibu di Flores, khusunya di Larantuka.

D. Orang Tua di Flores

Flores adalah salah satu dari empat pulau besar yang berada di provinsi

Nusa Tenggara Timur. Identitas budaya yang dominan terutama di daerah

Larantuka, tempat peneliti mengambil data penelitian, adalah budaya Lamaholot,

yang mencakup masyarakat dalam wilayah Flores Timur daratan, Pulau Adonara,

Pulau Solor, dan Pulau Lembata (Bebe, 2014). Masyarakat Lamaholot memiliki

(46)

masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan “kemurnian hidup”, yang memiliki

dasar-dasar yaitu kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepastian (Sanga, 2008).

Masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan seseorang untuk berkata yang

benar, bertindak dan bersikap yang benar, menjunjung tinggi kejujuran dan mau

mengakui kesalahan, bersikap adil terkait hak dan kewajiban, serta mengambil

keputusan dengan tegas dan tidak menimbulkan kebingungan. Secara umum,

peneliti beranggapan bahwa keempat dasar ini masih sejalan dengan sifat-sifat dan

kemampuan yang dimiliki orang yang berpikir kritis.

Daya kritis juga didorong melalui praktik musyawarah yang selalu

diterapkan sebagai salah satu nilai dan norma moral utama masyarakat Lamaholot,

yaitu pembicaraan bersama mengawali segala kegiatan bersama. Misalnya,

sebelum sebuah rumah adat (Koke Bale) dibangun dan kebun bersama (Eta)

dikerjakan, akan ada pembicaraan bersama yang melibatkan semua warga lewat

pemimpin sukunya. Dalam pembicaraan ini semua pihak didengarkan dan tak

seorang pun disingkirkan, dan tidak ada “kebijaksanaan” yang semata-mata turun

dari atas (Hayon, 2007).

Orang tua di Flores tidak terlepas dari nilai-nilai budaya tersebut. Dalam

penelitian ini, subjek difokuskan pada ibu, karena berdasarkan pengamatan

peneliti, budaya di Flores yang sifatnya patriarki masih menerapkan peran

tradisional para ibu sebagai caregiver utama, dan ayah sebagai tulang punggung

keluarga. Ibu seringkali menghabiskan waktunya di rumah dan menjadi ibu rumah

tangga, walau terkadang hal ini tidak berlaku di beberapa keluarga, yang ibunya

(47)

pekerjaan-pekerjaan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa para ibu di Flores pada umumnya

lebih sering menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka.

Dalam budaya Lamaholot, anak diharapkan untuk tumbuh menjadi

individu yang berkualitas. Hal ini misalnya terlihat dari ritual adat pada upacara

untuk bayi ohon ana/ohon kewae, di mana bayi diangkat tinggi-tinggi dan

diucapkan afirmasi ola dike tugu sare (“semoga sang anak menjadi seorang

pekerja yang baik/berhasil”) dan hiko ema liat bapa(“semoga anak tumbuh besar

melebihi orang tuanya”). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk

mempersiapkan, mengkondisikan dan mendorong tumbuhnya generasi yang lebih

baik sudah melekat erat dalam budaya Lamaholot (Hurit, 2016).

Walaupun begitu, masyarakat dalam kebudayaan Lamaholot cenderung

lebih memperhatikan dan mengunggulkan laki-laki, orang tua, atau yang dituakan,

serta orang kaya atau berpendidikan, dan lebih mudah mengabaikan para

perempuan, anak-anak, dan orang miskin atau tak berpendidikan (Kleden, 2007).

Bahkan dari wawancara dengan seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor,

daya kritis anak di Flores Timur seringkali mengalami hambatan kultur

dikarenakan anak harus patuh, mengikuti, dan tidak boleh mempersoalkan apa

yang dikatakan oleh orang tua sebagai kebenaran mutlak (komunikasi pribadi, 25

November, 2016). Bahkan menurutnya, tidak jarang orang tua maupun guru

membentak dan memarahi anak apabila bertanya atau menunjukkan kesalahan

orang tua. Hal ini terbawa hingga dewasa ke dalam kehidupan bermasyarakat.

(48)

memiliki daya kritis, namun kekritisan itu tidak diekspresikan karena lingkungan

bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara.

E. Kerangka Konseptual

Dari penjabaran di atas, kerangka konseptual penelitian ini berangkat dari

pentingnya berpikir kritis, yang pada hakikatnya terdiri dari komponen

kemampuan dan disposisi. Kemampuan berpikir kritis itu sendiri dibagi lagi

menjadi kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan

inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi

berpikir kritis terdiri dari kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap

ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan

berpikir yang sistematis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa berpikir kritis

ini ternyata sudah dimiliki oleh anak-anak usia dini, yang justru berada pada

masa-masa di mana mereka membutuhkan dorongan dan stimulasi dari

lingkungan sekitar untuk mengembangkan hal tersebut, terutama dari ibu sebagai

caregiver utama bagi anak. Sayangnya persepsi atau anggapan orang tua pada

umumnya terhadap berpikir kritis pada anak di Indonesia seringkali negatif,

karena anak dianggap harus patuh dan tidak mempersoalkan apa yang dikatakan

orang tua, seperti yang juga terjadi dalam etnis Flores di Nusa Tenggara Timur.

Dalam budaya Flores, terdapat visi misi dan beberapa ritual adat yang sebenarnya

mendukung berpikir kritis pada anak, namun pada kenyataannya, orangtua masih

bersikap superior terhadap anak, bahkan memarahi atau membentak anak yang

(49)

pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua yang pada akhirnya dapat

mendukung atau menghambat berpikir kritis pada anak mereka. Apakah para ibu

di Flores cukup memahami konsep berpikir kritis itu sendiri beserta

komponen-komponennya, dan apakah mereka menilai berpikir kritis pada anak sebagai suatu

hal yang dianggap positif atau negatif, menjadi inti dari penelitian ini. Skema

penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

(50)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu

jenis penelitian yang berusaha menangkap makna mengenai isu atau masalah yang

diteliti sesuai dengan apa yang diyakini atau dihayati oleh para partisipan, di mana

peneliti menginterpretasikannya secara subjektif dalam rangka membentuk

gambaran yang holistik dari topik yang diteliti (Creswell, 2009, dalam

Supratiknya, 2015).

Penelitian kualitatif mengumpulkan data dalam lingkungan alamiahnya

yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dengan analisis data yang

bersifat induktif maupun deduktif (Creswell, 2014). Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan desain penelitian analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran

secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik

berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola

(Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).

Penelitian ini dilakukan untuk menggali dan mengetahui pemahaman dan

penilaian ibu di Flores terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mencapai tujuan

ini, peneliti menggunakan focus group discussion (FGD) sebagai metode

pengumpulan data, yang diharapkan dapat lebih mendorong para partisipan untuk

(51)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk melihat persepsi ibu di Flores terhadap

berpikir kritis pada anak. Berpikir kritis, yang diartikan sebagai berpikir yang

reflektif, masuk akal, dan berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya

atau dilakukan, terdiri atas kemampuan dan disposisi. Kemampuan merujuk pada

aspek kognitif dari berpikir kritis, yang terdiri dari kemampuan menginterpretasi,

kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi, kemampuan

mengeksplanasi, serta kemampuan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi

berpikir kritis merujuk pada aspek afektif yang menunjukkan sifat atau

kecenderungan yang berulang atau konsisten, yang terdiri dari kecenderungan

berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk

menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis.

Persepsi ibu dibatasi pada pemahaman dan penilaian ibu terhadap

kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Pemahaman yang ingin dilihat dalam

penelitian ini adalah dalam pandangan ibu, komponen-komponen atau

kategori-kategori apa saja yang termasuk dalam kemampuan serta disposisi berpikir kritis

pada anak berusia 3-5 tahun, dengan kata lain, bagaimana ibu menginterpretasikan

berpikir kritis pada anak. Sedangkan penilaian ibu dimaksudkan pada apakah

kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak dinilai dan dievaluasi secara

positif ataukah secara negatif oleh para ibu, yang mencakup pikiran, pendapat,

serta perasaan ibu yang muncul ketika anak mereka berpikir kritis.

Temuan-temuan di luar fokus penelitian tersebut yang masih relevan dengan topik ini akan

(52)

C. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah para ibu dari anak-anak berusia 3-5

tahun yang berdomisili di Larantuka, Flores Timur. Dalam rangka merekrut

partisipan, peneliti bekerjasama dengan beberapa TK di tiga kecamatan di

Larantuka, Flores Timur, yaitu TK Maria Veloty Sarotari, TK Nelly Waibalun,

dan TK Muller Lamawalang untuk menghubungi sejumlah ibu dari anak-anak

yang bersekolah di TK tersebut. Peneliti memilih partisipan yang lancar berbahasa

Indonesia atau bahasa Nagi (bahasa Melayu Larantuka yang masih memiliki

banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia) untuk memudahkan pemahaman dan

komunikasi. Peneliti tidak menentukan kriteria tingkat pendidikan atau batasan

usia partisipan dikarenakan peneliti memang tidak berusaha membandingkan

jawaban yang muncul dalam tingkat pendidikan atau usia yang berbeda-beda,

melainkan berusaha melibatkan berbagai kalangan untuk dapat memperoleh

gambaran yang luas mengenai persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada

anak.

Dalam masing-masing kelompok FGD, para partisipan kebanyakan sudah

saling mengenal satu sama lain, sehingga mempermudah peneliti sebagai

moderator untuk mendorong terjadinya diskusi yang mengalir dan natural di

antara para partisipan. Hal ini juga membantu menciptakan suasana interaksi yang

lebih ‘naturalistik’ (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015).

Total partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang ibu yang

terbagi dalam 3 kelompok FGD, di mana masing-masing kelompok terdiri dari

(53)

Tabel 1

Data Diri Partisipan

Inisial Usia Pekerjaan Agama Asal daerah Pendidikan terakhir FGD 1 – TK Nelly Waibalun

P1 36 Wiraswasta Katolik Lewolere S1 – Surabaya

P2 36 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun D2 – Bali

P3 30 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Kawaliwu SD – Kawaliwu

P4 36 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Nangapanda SD – Nangapanda

P5 40 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka

P6 35 Konsultan Katolik Lewolere S1 – Surabaya FGD 2 – TK Maria Veloty Sarotari

P7 37 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Adonara Timur

D1 Public Relation – Bandung

P8 24 Guru SD Katolik Flores Timur

SMA

P9 26 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Solor SMA – Larantuka

P10 33 Ibu Rumah Tangga

Katolik Adonara Timur

SMA – Larantuka

P11 43 Ibu Rumah Tangga

Katolik Sarotari SMA

P12 34 Perawat Katolik Waibalun D3

FGD 3 – TK Muller Lamawalang P13 27 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMA – Maumere

P14 27 Guru SD Katolik Waibalun S1 – Kupang P15 38 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Waibalun SMU – Waibalun

P16 23 Ibu Rumah Tangga

Katolik Lamawalang SMK – SMK Lamaholot P17 24 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Lembata SMK – Larantuka

P18 28 Ibu Rumah Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka

P19 44 Ibu Rumah Tangga

Katolik Lamawalang SMP – SMP Ratu Damai

P20 30 Ibu Rumah Tangga

Katolik Waibalun SMA – Larantuka

P21 36 PNS Katolik Lamawalang DIII – AKBID Kartini P22 26 Ibu Rumah

Tangga

Katolik Flores Timur

(54)

D. Peran Peneliti

Seperti halnya penelitian kualitatif lainnya, dalam penelitian ini peneliti

berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti turun langsung ke lokasi penelitian

untuk mengumpulkan data melalui FGD. Peran peneliti selama FGD berlangsung

adalah sebagai moderator yang mengajukan pertantujyaan-pertanyaan dan

menjaga ketertiban dalam diskusi, namun peneliti tidak memainkan peran sentral

dan lebih mengutamakan inter-relasi atau hubungan antar partisipan (Supratiknya,

2015).

Kaitan peneliti dengan lokasi penelitian adalah peneliti berasal dari keluarga

dengan etnis Flores, walaupun peneliti hanya sesekali berlibur dan tinggal

sementara di sana. Walaupun tinggal di luar Flores, peneliti masih sering

mengikuti perkumpulan keluarga atau berinteraksi dengan masyarakat Flores yang

juga merantau. Keluarga besar peneliti tinggal di Flores, walaupun partisipan

tidak diambil dari keluarga peneliti untuk menghindari bias.

Dalam rangka merekrut partisipan, peneliti mengajukan surat permohonan

kerjasama kepada kepala sekolah dari ketiga TK yang dipilih untuk membantu

menghubungi sejumlah orang tua dari anak yang berusia 3-5 tahun. Setiap orang

tua yang direkomendasikan kepala sekolah dikirimi surat undangan dan dihubungi

kembali secara personal oleh peneliti melalui telepon untuk mengkonfirmasi

kesediaannya. Peneliti juga menjelaskan gambaran FGD yang akan dilaksanakan

dan memberikan lembar informed consent yang kemudian ditandatangani oleh

para partisipan. Dalam hal ini, peneliti berperan menjaga kerahasiaan data serta

(55)

E. Metode Pengambilan Data

Focus group discussion (FGD) merupakan metode kualitatif mendalam

menggunakan sebuah kelompok kecil yang bersifat homogen yang mendiskusikan

topik atau topik-topik yang menjadi agenda suatu penelitian (Lakshman, Charles,

Viswas, Sinha, & Aurora, 2000; Subramony, Lindsay, Middlebrook, & Fosse,

2002; dalam Supratiknya, 2015). FGD bertujuan untuk mendorong pengungkapan

diri di kalangan para partisipan (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015). Dalam

hal ini, partisipan didorong untuk saling mendalami jawaban masing-masing,

saling meminta penjelasan, dan saling mengklarifikasi maksud-maksud yang

mungkin terungkap hanya secara samar-samar, serta memudahkan partisipan yang

merasa kesulitan mengungkapkan diri untuk tetap berpartisipasi (Supratiknya,

2015).

Peneliti memilih metode ini karena kelebihan yang dimiliki FGD adalah

dapat mendorong para partisipan untuk mengungkapkan pandangan mereka dan

berdiskusi secara spontan seakan-akan sedang bercerita dan berbagi satu sama

lain. Peneliti juga beranggapan bahwa FGD cocok digunakan dalam penelitian ini

karena peneliti juga menyoroti budaya dan norma yang ada, yang ingin melihat

persepsi ibu di Flores secara normatif, sehingga dinamika antar partisipan dalam

menyampaikan pendapat atau bahkan kecenderungan untuk mengikuti pendapat

partisipan lain juga dapat menjadi data yang dapat dipertimbangkan dan

menunjukkan pandangan para ibu dalam masyarakat Flores. Sedangkan

(56)

atau bila ada partisipan yang enggan berbicara di depan banyak orang. Peneliti

sebagai moderator mengantisipasi kelemahan ini dengan mendorong setiap

partisipan yang masih sedikit mengungkapkan pendapat untuk ikut bercerita, serta

pada awal FGD peneliti menghimbau para partisipan untuk saling menghargai dan

mau mendengarkan jawaban dari partisipan yang lain.

FGD dilakukan pada 3 kelompok yang berbeda untuk mendapatkan jawaban

yang kaya dan jenuh (saturated). Hal ini juga dilakukan untuk dapat melihat

apakah jawaban yang diperoleh cukup konsisten pada ketiga kelompok, yang

dapat meningkatkan kredibilitas hasil yang diperoleh. Dalam FGD ini, peneliti

berusaha mendorong munculnya diskusi antar partisipan untuk mengungkap

persepsi partisipan terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mempermudah

mengumpulkan partisipan, FGD dilaksanakan di ruangan sekolah tempat anak

partisipan bersekolah.

Sebelum FGD dilakukan, sesuai yang disarankan oleh Creswell (2009,

dalam Supratiknya, 2015) peneliti menyiapkan beberapa prosedur perekaman data

yang dipersiapkan untuk mendukung FGD, yaitu protokol observasi, protokol

wawancara, serta prosedur perekaman data:

1. Protokol Observasi. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi

reaksi-reaksi para partisipan yang mendukung sumber data primer, yakni FGD.

Instrumen ini berisi catatan peneliti sebagai moderator terhadap reaksi-reaksi

partisipan (gestur, mimik, atau antusiasme), kondisi lingkungan (setting waktu

dan tempat) dan dinamika FGD secara keseluruhan. Hasil observasi ini

(57)

tambahan yang melengkapi jawaban verbal partisipan. Protokol observasi

dicatat oleh peneliti sebagai moderator dan didiskusikan bersama seorang

asisten moderator yang juga mengikuti jalannya FGD dan membantu dalam hal

teknis pelaksanaan FGD.

2. Protokol FGD. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang didasarkan pada

rumusan masalah dan teori-teori yang digunakan peneliti, untuk membantu

peneliti melakukan diskusi yang terarah dan dapat memunculkan informasi

yang dibutuhkan oleh peneliti. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Protokol FGD

Pertanyaan wawancara Pertanyaan

pembuka

1. Selamat pagi/siang/malam Tanta, mari kita saling berkenalan

dulu. Silahkan saling bergantian menyebutkan nama, supaya

mudah untuk berkomunikasi.

Pertanyaan

pendahuluan

1. Bagaimana sih rasanya mengasuh anak usia 3-5 tahun? Ada

pengalaman atau cerita yang paling berkesan?

2. Apa saja sih harapan Tanta terhadap anak Tanta?

Pertanyaan

transisi

1. Pernahkah Tanta mendengar istilah berpikir kritis

sebelumnya?

2. Coba ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang berpikir

kritis?

Pertanyaan

kunci

PEMAHAMAN

1. Apabila Tanta membayangkan anak yang berpikir kritis,

dalam bayangan Tanta, itu yang seperti apa? Bisa berikan

contohnya?

2. Ketika mendengar kata ‘anak yang berpikir kritis’ apa yang

(58)

3. Coba Tanta ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang

berpikir kritis pada anak.

4. Menurut Tanta, kemampuan anak apa saja/anak bisa

melakukan apa, yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis

pada anak?

5. Menurut Tanta, sifatanak apa saja/anak sukamelakukan apa,

yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis pada anak?

PENILAIAN

1. Bagaimana pendapat atau anggapan Tanta apabila melihat

anak yang berpikir kritis? (atau, bila melihat anak Tanta

berpikir kritis?) Bisa ceritakan pengalaman Tanta?

2. Apakah yang membuat Tanta berpendapat / beranggapan ….

(sesuai jawaban sebelumnya) terhadap anak yang berpikir

kritis? (Atau, mengapa Tanta berpikir bahwa … ?)

3. Dari sifat-sifat dan perbuatan anak yang berpikir kritis yang

tadi sudah tanta sebutkan, yang mana saja yang tanta

senang? Atau, adakah yang tanta tidak suka?

Pertanyaan

penutup

1. Apakah masih ada yang ingin disampaikan tentang anak

yang berpikir kritis?

3. Perekaman Data. Data utama dalam penelitian ini berupa verbatim hasil FGD

yang dipadukan dengan catatan hasil observasi untuk memperkaya hasil

temuan. Data observasi ini juga akan bermanfaat untuk melihat gestur, mimik,

atau antusiasme para partisipan yang dapat menyumbangkan informasi yang

bermanfaat mengenai reaksi partisipan terhadap pandangan atau pertanyaan

tertentu. Jenis data yang dikumpulkan adalah wawancara kualitatif yang

(59)

catatan lapangan mengenai tingkah laku para partisipan selama diskusi

berjalan. Peneliti hanya menggunakan data audio dikarenakan para partisipan

sempat menunjukkan keenganan dan rasa sungkan untuk direkam

menggunakan perekam video, sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi

keleluasaan partisipan dalam mengungkapkan pandangannya.

F. Analisis dan Interpretasi Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK),

yang dilakukan dengan cara menafsirkan data secara subjektif melalui proses

klasifikasi yang sistematis dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh &

Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015). Dengan analisis isi kualitatif ini,

peneliti akan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam sejumlah kecil

kategori yang mengungkapkan makna yang serupa, di mana tujuan klasifikasi ini

adalah untuk memperoleh deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena yang

sedang diteliti (Supratiknya, 2015).

Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, yaitu analisis isi

terarah. Dalam analisis isi deduktif, teori atau hasil penelitian sebelumnya dipakai

untuk membantu merumuskan pertanyaan penelitian, atau membantu menemukan

skema awal pengodean (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).

Transkrip FGD akan dibaca dan dikoding, di mana peneliti akan

mengklasifikasikan data tersebut, mana informasi yang termasuk ke dalam

pemahaman ibu tentang berpikir kritis, yang mencakup kemampuan dan disposisi,

(60)

negatif. Jika ada data yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kode-kode tersebut,

maka peneliti membaca ulang dan jika perlu menambahkan kode baru. Beberapa

kriteria yang digunakan untuk koding dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3

Kriteria Koding

Pemahaman Terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Kemampuan Disposisi

a. Menginterpretasi: mampu

menafsirkan dan memaknai informasi

yang diterima. Kategori ini meliputi

kemampuan memparafrasekan

dengan kata-kata sendiri atau dengan

bentuk ungkapan lain, menyebutkan,

mengartikan, memahami makna

Gambar

Tabel 2. Protokol FGD ...........................................................................................38
Gambar 1. Skema Penelitian..................................................................................30
Gambar 1. Skema Penelitian
Tabel 1Data Diri Partisipan
+6

Referensi

Dokumen terkait

a) Penerapan metode inkuiri pada matapelajaran IPA lebih meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada kategori kognitif dibanding kemampuan berpikir kritis pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara model cooperative script terhadap kemampuan berpikir kritis siswa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara keterampilan berpikir kritis dengan toleransi agama pada murid SMA di Kota Bandung..

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh antara persepsi dan berpikir kritis siswa dengan keterampilan menulis karangan argumentasi hal ini dibuktikan dari

pemahaman, tingkat berpikir kritis 0 tidak dapat membangun titik masalah dan mengungkapkan fakta, tingkat kritis berpikir 1, 2, dan 3 mampu membangun titik masalah

Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis dalam aspek merumuskan masalah antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi pembelajaran peningkatan

Dengan demikian, analisis regresi memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang sejauh mana kemampuan berpikir kritis dapat mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut berdasarkan hal-hal di atas: 1 Apakah model pembelajaran berbasis masalah meningkatkan keterampilan berpikir kritis