• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil FGD yang menunjukkan bagaimana ibu menilai kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak, yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu penilaian positif dan penilaian negatif. Penilaian positif menunjukkan bahwa partisipan memandang anak yang berpikir kritis secara positif, di mana partisipan memiliki pandangan bahwa berpikir kritis adalah hal yang baik, serta menunjukkan emosi dan tanggapan yang positif ketika anaknya berpikir kritis. Sedangkan penilaian negatif berarti partisipan memandang anak yang berpikir kritis secara negatif, di mana partisipan memiliki pandangan bahwa berpikir kritis adalah hal yang tidak baik atau menunjukkan emosi dan tanggapan negatif ketika anaknya berpikir kritis.

a. Penilaian Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak

Dalam penilaian ibu terhadap kemampuan berpikir kritis pada anak, muncul penilaian positif dan penilaian negatif. Walaupun begitu, kemampuan berpikir kritis pada anak lebih sering dinilai partisipan secara positif ketimbang secara negatif. Salah satu bentuk penilaian positif yang muncul adalah menganggap pola pikir anak yang berpikir kritis sudah maju dibandingkan orang tua dulu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

P2. Ini, iya… Haa sekarang tu, pemahamannya sudah…

P1. Sekarang ni, anak-anak juga gizi tinggi to… (ha ah…) jadi pemahamannya cepat sekali.

P4. [karena sekarang anak] minum susu… P1. Pola berpikirnya semakin maju.

P6. Begitu ka, eksperimen eksperimen segala macam.

Beberapa partisipan juga menganggap anak yang berpikir kritis sebagai anak yang dewasa dan matang.

P4. Tanda-tanda pintarnya, dewasanya juga… Matang. P4. Eiii dia bisa… omongnya… seperti orang tua, begitu.

Jawaban salah seorang partisipan juga menunjukkan bahwa mereka menganggap anak pintar dan cerdas bila berpikir kritis. Hal itu juga membuat partisipan merasa senang.

P6. Senang ka, karena… artinya tanda-tanda pintarnya sudah di depan mata (sambil tertawa kecil) …. Anak-anak ni, tanda-tanda cerdasnya sudah di sekitar kita (partisipan tertawa)

Pemikiran anak yang semakin berkembang juga membuat partisipan merasa senang dan bangga ketika anaknya mampu berpikir kritis. Ungkapan senang dan bangga ini cukup sering diungkapkan dan konsisten dalam ketiga kelompok FGD yang dilakukan. Bahkan, salah seorang partisipan juga mengungkapkan bahwa ia merasa sedih bila anaknya belum bisa berpikir kritis.

P7. Senang dan bangga. P8. Bangga. P11. Iya, bangga, bangga.

P15. Jadi dia celaka, kita yang sedih, ah anak saya ini belum bisa berpikir kritis, mana yang dia lakukan, ini bisa dilakukan dengan baik, ataukah… belum bisa dilakukan.

Salah seorang partisipan juga menganggap berpikir kritis pada anak sebagai bakat. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:

P6. Balon terbang, jadi macam-macam. Jadi selalu saja. (tertawa) Saya juga kadang (tertawa). Saya pikir eks… dengan buat coba-coba tu melatih kekritisan anak to, kalau ini tidak bisa, berarti harus begini.

P1. Ha ah… harus begini. P6. Jadi bakat.

Di sisi lain, partisipan juga mengungkapkan penilaian negatif terhadap anak yang mampu berpikir kritis. Misalnya, beberapa partisipan menganggap bahwa pemikiran anak terkadang tidak masuk akal, yang terlihat dari jawaban berikut:

P9. Kadang dorang berpikir… kita bisa masuk otak, kadang tidak. P4. Tidak, tidak pas dengan kita punya logika to?

Selain itu, para partisipan juga memiliki ketakutan di mana mereka menganggap berpikir kritis pada anak membuat anak bosan ke sekolah.

P6. Terus ada ketakutan juga terkait dengan, di sekolah itu ka, kadang saya pikir anak ini tida mau ke sekolah ini apakah karena dia merasa bahwa dia sudah bisa lalu dia tidak ke sekolah… begitu…

P2. Iya… tidak ke sekolah…

P6. Itu ka nona takutnya itu. Buat mereka malas, bosan to. Hmm karena kadang, kadang saya dengar, heii malas ke sana ni kami tidak pernah tulis. Kami hanya menyanyi-menyanyi saja…

b. Penilaian terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak

Seperti penilaian terhadap kemampuan, disposisi berpikir kritis pada anak juga dinilai partisipan secara positif sekaligus negatif. Namun berkebalikan dengan penilaian terhadap kemampuan, disposisi berpikir kritis pada anak lebih sering dinilai secara negatif ketimbang positif. Salah satu bentuk penilaian positif yang muncul adalah anggapan partisipan bahwa anak yang bertanya itu baik, agar tidak mendapat jawaban yang salah dari luar. Hal ini dimaksudkan pada anak yang bertanya pada orang tua, bukannya pada orang lain misalnya dalam lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk. Hal ini terlihat dari pernyataan berikut:

P2. Ya… Anak bertanya. P4. Anak lihat di film-film itu to, film sinetron… Ha ah, jo itu… Ha ah, jo tanta reaksinya atau respon tanta menurut tanta, itu baik ka tida? P1. Kalau saya itu tu… anak-anak juga perlu tau ee? Haa… supaya karena ini kan perkembangan zaman to, (ha ah…) jadi kalau kita sembunyi-sembunyi, jangan sampai mereka pengaruh dari luar lebih apa lagi… Kalau dari rumah kita ajarkan ini begini, tida boleh seperti ini, Oa nonton film, tapi film ini tida boleh…

Berpikir kritis juga dipandang sebagai tingkah anak yang lucu. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:

P8. Dia toleh keluar jo masih gelap, ‘matahari belum naik tu le mamaaa’ aaa… (beberapa partisipan tertawa). Begitu anaknya tu. Lucu.

P8. Kalau itu… lucu, dia tu… dia berpikir mungkin kritis juga.

Penilaian positif juga dapat dilihat dari ungkapan partisipan yang merasa senang ketika anaknya berpikir kritis, khususnya ketika anak bertanya. Bahkan seorang partisipan juga mengatakan bahwa ia justru akan kuatir jika anak tidak pernah bertanya.

P19. Pasti orang tua kalau anak bertanya pasti senang. Dan pasti berusaha memberikan jawaban sesuai dengan pemahaman anak.

P6. Kita senang ka daripada anak yang tidak pernah… Tidak pernah bertanya… (iya, tanya…) kan kita pasti kuatir. Malah lebih kuatir lagi. Malah lebih kuatir lagi tanta? P2. Iya… P4. Suka pendiam… Kenapa tanta Filo? P4. Suka diam, suka duduk diam… Suka diam, terus suka menyendiri, itu yang torang kuatir.

Sedangkan bentuk penilaian negatif yang muncul adalah pernyataan partisipan yang menganggap anak yang berpikir kritis membuat orang tua lelah dan pusing. Hal ini sangat sering muncul dalam ketiga kelompok FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:

P1. Pusing… P4. Artinya pusing… P1. Tanya terlalu banyak…

P19. Cape… karena anak ini tanya terus-terus. P20. Sampai kita tidak bisa menjawab. P14. Kita jawab setengah-setengah juga mereka tetap tanya… P19. Tetap tanya… Ini bagaimana? P22. Atau kemarin pulang dari toko… (beberapa partisipan tertawa) Baru pulang kerja… P21. Capek…

Sejalan dengan jawaban tersebut, banyak partisipan juga mengungkapkan pandangan bahwa berpikir kritis pada anak membuat orang tua emosi, stress, dan jengkel, khususnya ketika anaknya terlalu banyak bertanya, yang terlihat dari jawaban berikut:

P7. Jengkel… Menjengkelkan. P10. Iya. P9. Iyaa, tanya terus-terus… (partisipan tertawa) P7. Tanya terus-terus kita pun jengkeel… P12. Tanya-tanya yang kita jawab dia Tanya-tanya ulaaaang… Haaa, jadi… (tertawa) P10. Tanya ulang lagi… P11. Apalagi kita lagi sementara kerja. P12. Benar… P11. Apalagi sementara kerja, lagi sibuk. P12. Haaa… P11. Dia tanyanya yang sama yang sama. P12. Saaama sama itu. P11. Kadang menjengkelkan. (partisipan tertawa) Karena kita capek. Baru… (tertawa) P10. Pulang jo…

Karena kejengkelan tersebut, para partisipan juga menyatakan bahwa mereka merasa harus bersabar bahkan berpura-pura ketika menghadapi anak yang berpikir kritis.

P12. Umur-umur begitu tu kita harus sabar. P10. Harus sabar betul-betul tu. P9. Mesti sabar.

P12. Heeiii kita mesti jadi artis, ee kadang senyum… (para partisipan tertawa) Iya… Jadi artis… Bisa acting begitu ya tanta… P12. Bisa acting… P11. Heii tapi… tida bisa le. (para partisipan tertawa)

Penilaian negatif dari partisipan juga terlihat dari pernyataan partisipan yang menganggap berbahaya anak yang berpikir kritis. Jawaban ini muncul ketika partisipan menceritakan anaknya yang melakukan eksperimen yang berbahaya, atau ketika anak menunjukkan rasa ingin tahu terhadap adegan bunuh diri dalam sinetron yang ditontonnya.

P6. Kadang juga bisa berbahaya to, sekali, pasang apa di tengah rumah ni ka. Dia angkat gorden semua, dia angkat jo susun, api unggun ni… (para partisipan dan moderator tertawa)

P4. Haa saya takut ngeri, tiba-tiba kita merasa begitu dia… Pikir ke arah situ… P4. Pikir ke arah situ baru dia buat itu yang bikin saya… (para partisipan tertawa) Tida bisa omong le… ‘ade mau te’ ‘Tidak! Saya cuman ee… tanya saja ema. Bunuh diri tu begitu ka?’ Jo dia lihat orang pegang dengan tali ikat di leher lagi saya juga takut… (moderator dan para partisipan tertawa).

Beberapa partisipan juga menganggap anak yang berpikir kritis sebagai tantangan bagi orang tua, yang juga menunjukkan anggapan orang tua bahwa anak yang berpikir kritis menjadi sulit untuk dihadapi, yang terlihat dari jawaban berikut:

P6. Tida, memang kritis ini jadi… tantangan kita orang tua untuk mengasuh anak ni. Karena ini sharing saja, tapi saya masih ingat kalau jaman dulu kan, orang tua sering apa, mengajar kita, misalnya hal-hal yang tabu, tidak boleh dibuat kan. Dengan larangan-larangan yang dibuat misalnya dengan mengarang cerita bahwa, oh itu tidak boleh karena ini. Tapi anak sekarang tidak bisa lagi. Tidak bisa… P2. Karena perkembangan… P6. Karena, karena kenapa begitu? Oh tidak begini, ha ah, pasti akan begitu. Jadi kita akan sulit, sangat sulit.

P6. Makanya soal sikap kritisnya anak-anak itu kan buat kita apa… P4. Tantangan tersendiri… P2. Tantangan untuk orang tua…

Sama seperti penilaian terhadap kemampuan, hasil ini juga menunjukkan adanya penilaian ibu terhadap disposisi yang berlawanan, walaupun lebih didominasi oleh penilaian negatif ketimbang positif.

3. Temuan-temuan Tambahan

Dokumen terkait