• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam komik ini Azer menampilkan sosok pemuda yang sedang melihat tangannya yang kosong dengan tatapan miris dan sedih. Terdapat balon percakapan yang berisi „Sepi banget hidup gua gak ada hape. Gak bisa ngobrol..‟ padahal di hadapannya terdapat sosok temannya yang sebenarnya bisa diajak mengobrol. Azer mengunggah komik ini dengan judul #HasratKebendaan.

Azer meng-encode komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai bentuk komedi satir dan output dari apa yang dia rasakan. Azer berpendapat bahwa diabaikan dan mengabaikan lingkungan sekitar karena candu terhadap gawai juga pasti dirasakan oleh banyak orang sehingga dirinya men-decode komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai bentuk pengabaian dan diabaikan oleh lingkungan sekitar karena pengaruh gawai.

“Ya sebenarnya itu apa yang aku rasakan juga. Mungkin itu juga apa yang dirasakan semua orang juga. Kadang diabaikan, kadang mengabaikan.” Informan 1 memaknai komik ini sebagai wujud penggambaran ketergantungan orang terhadap gawai, sehingga ketika dirinya tidak membawa gawai, dia akan merasa kesepian. Orang-orang masa kini lebih memilih berinteraksi dengan dunia maya dibandingkan interaksi secara nyata. Informan 1 mengatakan bahwa hal ini sering terjadi, namun Informan 1 tidak menampik jika dirinya sendiri membutuhkan gawai untuk mengusir rasa bosan ketika berada pada sebuah forum.

“Menurut saya sih apa yang coba disampaikan dalam posting-an ini, dengan 1 orang cowok dan 1 orang cewek, „sepi banget hidup gua gak ada HP gak bisa ngobrol‟, ya ini sih, inilah tadi pengaruh gadget tadi gitu kan. Padahal ada orang di depannya, tapi dia tetap aja merasa sepi karena gak ada HP dia gak bisa ngobrol, nggak bisa berinteraksi dengan orang lain. Padahal di depannya itu ada manusia yang tampak nyata gitu kan. Jadi sebenarnya

sindiran halus tapi kasar buat kita semua, gitu. Karena kadang-kadang kita suka kayak gitu, gitu. Ada pun orang di sebelah kita, tapi kita sibuk main HP dan kita udah kerasa panik kali kalau misalnya kita ketinggalan handphone kayak kita gak punya kehidupan, gitu. Termasuk juga ya orang-orang di sekitar kita pasti gitu juga. Mungkin kalau ini dibilang trend kayaknya udah, ya itu tadi handphone kadang-kadang udah jadi kayak kebutuhan gitu, sama pelarian orang-orang dari kehidupan.”

“Ada sih kadang-kadang. Kadang-kadang kan kalau misalnya kita di tongkrongan, atau misalnya kita lagi ngobrol sama teman, saat kita tahu obrolan kita disitu udah basi, atau kita udah malas, kita pengen escape tapi kita gak bisa, ya pelarian kita handphone dan disaat handphone kita lagi mati atau ketinggalan, sementara kita gak punya chance untuk escape dari situasi itu, ya itu tadi kita kadang-kadang suka „Aduh, kok ketinggalan lah handphone ini. Harusnya kan bisa main handphone aja daripada harus terjebak di pembicaraan yang basi ini‟, gitu misalnya.”

Informan 2 memaknai komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai sindiran pada orang-orang yang anti sosial. Menurutnya, komik ini ironi karena jika ada acara kumpul bersama, maka orang-orang akan terlebih dahulu membuat janji melalui telepon. Informan 2 menilai dirinya tidak akan mengabaikan lingkungan sekitar hanya karena handphone kecuali jika dirinya sedang berkomunikasi dengan kekasihnya yang tinggal jauh darinya.

“Jadi kalau menurut dia itu emang harus punya HP baru bisa ngobrol? Kan gitu. Tapi paling nggak kalau misalnya mau ngobrol sama teman ya harus janjian dulu kan. Paling nggak dari telepon.”

“Gak lah, tapi banyak orang pasti kayak gitu. Ya tergantung aku lagi ngapain di HP. Ya mungkin lagi BBM-an penting sama pacarku.”

Menurut Informan 3, komik „Sepi Tanpa Handphone‟ menggambarkan realita yang terjadi saat ini. Informan 3 men-decode komik „Sepi Tanpa

Handphone‟ sebagai bentuk penggambaran kenyataan dimana gawai dapat

mendekatkan orang yang jauh dan menjauhkan orang yang dekat.

teman-teman kita, bisa ngobrol di grup Whatsapp, grup Line, grup angkatan, sedangkan kita mungkin ada teman kita yang depan-depanan kayak kita lagi ngumpul-ngumpulah, nongkrong-nongkrong semua sibuk sama handphone masing-masing malah ngobrol sama yang jauh, gitu.”

Informan 3 menceritakan pengalaman pribadinya saat handphone nya tertinggal. Ketika itu, dirinya merasa bosan meskipun lingkungan sekitarnya ramai.

“Pernah tuh waktu lebaran tahun lalu gara-gara buru-buru jadi tinggal HP, ya jadinya suntuk sih gak bisa buka-buka internet. Padahal ramai karena lebaran, tapi karena nggak bawa HP tetap aja bosan.”

Informan 4 memaknai komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai gambaran pengaruh gawai saat ini yang menjadikan orang-orang tidak lagi mementingkan interaksi secara langsung. Informan 4 tidak pernah mengalami kejadian seperti yang digambarkan Reza dalam komik tersebut karena saat berkumpul bersama temannya, dia dan teman-temannya tidak akan memegang handphone.

“Oh ini pengaruh smartphone lah, gadget. Jadi, kita udah ketergantungan sama gadget gitu. Jadi macam inilah, komunikasi langsung merasa bukan hal yang utama lagi. Melalui gadget aja gitu.”

“Kayaknya enggak sih karena memang kami pun kalau main ngumpul- ngumpul sama teman bukan orang yang heboh dengan gadget sendiri gitu. Biasanya kan kumpul gadget semua, gitu. Jaranglah itu pegang-pegang HP, gitu karena kalau ngumpul 10 orang, semua tau apa yang lagi diceritain gitu. Nggak ada yang sibuk sendiri gitu.”

Informan 4 merasa bahwa semenjak bekerja, dirinya jarang memiliki waktu untuk menggunakan gawai. Informan 4 juga menon-aktifkan pemberitahuan grup di gawainya, sehingga dia tidak merasa terganggu oleh notifikasi tersebut. Bahkan dirinya mengaku bahwa sering lupa melihat gawai.

“Hmm tergantung sih, kalau pas jam kerja mudah-mudahan masih bisa dibatasi, gitu. Pas makan siang. Kadang pun nggak ingat, gitu. Semenjak udah kerja udah gak pernah lagi. Jarang lah gitu. Megang pas betul-betul kosong gitu, karena pas kerja memang ga pernah megang gitu.”

“Dibilang sibuk sih enggak, tapi memang malas aja gitu lho. Kebetulan ya teman-teman chating pun nggak banyak kalau ibaratnya kan? Karena teman chatting pun kadang jam kerjanya pun jelas gitu ya kan pas istirahat aja. Contohnya kayak dia kan? Dia pun istirahat jam 12 (menunjuk ke arah kekasihnya yang ikut mendampingi wawancara). Sore baru bisa chating. Ya udah kalau pas waktunya, ya gitulah.”

“Cuma ada dua grup. Satu grup yang tadi, geng itu. Satu grup SMA dulu. Notifikasi sih di silent, kapan pengen baca dibaca gitu.”

Informan 5 memaknai komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai sindiran pada adiksi orang masa kini terhadap gawai. Menurut Informan 5, komik ini ironi karena media yang digunakan untuk melihat komik ini adalah handphone. Informan 5 menyatakan dirinya tidak terlalu candu pada handphone, bahkan dirinya sering mengingatkan teman-temannya agar tidak menggunakan handphone saat sedang berkumpul bersama.

“Satir lagi, adiksi orang terhadap smartphone-nya. Padahal ada teman ngobrol yang bisa nemenin. Ini untuk refleksi diri, mungkin kita seperti itu dan mungkin beberapa kebiasaan orang nge-tag temannya buat nyindir si teman karena kayak gitu.”

“Kalau dikasih nilai sampai 100, ya kurang lebih 40 kali ya. Kalau lagi nongkrong saya yang ingetin teman-teman buat ngobrol.”

Informan 6 memaknai komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai sindiran kepada orang yang selalu terhipnotis dengan kemajuan teknologi sehingga lebih

tidak terhipnotis dengan adanya gawai jika lingkungan sekitarnya dirasa nyaman untuk berinteraksi secara langsung.

“Lebih mentingin gadget daripada orang disekitarnya”

“Di hipnotis sama kemajuan teknologi. Kalau sekitar asik diajak ngobrol ya handphone tak kesampingkan mbak. Kalau temannya malesin, mending HP- an mbak. Kadang ada yang nggak nyambung karena beda pertemanan jadi ya HP solusinya.”

Informan 7 memberikan komentar sebagai bentuk decoding pada komik „Sepi Tanpa Handphone‟. Komentarnya adalah “Emangnya gua apaan? Tutup panci?”. Dirinya mengaku kesal jika berada pada situasi tersebut sehingga memberi komentar seperti itu. Menurutnya, komik tersebut merupakan sindiran kepada masyarakat masa kini agar jangan bodoh dengan tidak menganggap orang di sekitarnya hanya karena handphone.

“Hm mungkin dia pengen bilang „Jangan berusaha bodoh‟. Itu kan sama aja kayak nganggep yang di depannya tembok. Kan bego sih. Kesal kalau ada yang bilang gituan mah.”

Informan 7 juga menceritakan pengalaman pribadinya terkait dengan komik „Sepi Tanpa Handphone‟.

“Oh tadi malam juga kejadian deh kayaknya, teman aku nggak bawa HP kan pas nongkrong. Padahal kan teman-teman aku juga kalau nongkrong emang gak main HP. Bawa tapi nggak dimainin. Terus ada satu teman aku bilang, „Gak enak ya kalau gak bawa HP jadi gimana gitu‟, „Lah kan kita lagi samaan‟. Saya bilang gitu, „Oh iya‟ gitu. Jadi emang gitu.”

“Iya benar. Ada niat kan yang penting. Nggak kak, aku kalau kumpul kumpul sama teman, HP aku silent aja taruh tas. Palingan pakai buat foto- foto aja soalnya aku tahu kak rasanya diduain sama HP.”

“Emang dari awal gitu sih kak kalau udah ketemuan gitu lebih sering ngobrol-ngobrol akunya. Kalau pada sibuk sama gadget masing-masing mending aku pulang aja di rumah main laptop.”

Informan 8 sangat merasa tersindir dengan adanya komik „Sepi Tanpa Handphone‟. Dirinya mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya daripada di dunia nyata. Meskipun merasa tersindir, Informan 8 sangat menyetujui pesan yang disampaikan Reza melalui komik tersebut. Informan 8 menjadikan komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai bahan introspeksi diri.

“Ya kayak saya sendiri. Mirror banget nih. Kita terlalu kecanduan sama yang namanya gadget. Nggak ada sosialisasi secara nyata.”

“Terlalu asyik di dunia maya sih. Saya sih 24 jam pakai sosmed. Chatting sudah jadi aktivitas pagi sampai malam.”

“Iya saya mah setuju sih. Kita nggak selamanya cuma bersosialisasi lewat media sosial. Namun, sejatinya manusia itu makhluk sosial. Butuh tatap muka. Komunikasi dua arah gitu secara langsung.”

“Ya sejauh ini sebagai lewat lalu namun juga intropeksi juga. Nyesal kalau cuma ngandelin sosialisasi maya. Sosialisasi nyata lebih nikmat.”

Informan penelitian dan Reza Mustar memaknai komik „Sepi Tanpa Handphone‟ sebagai gambaran terhadap adiksi orang zaman sekarang pada gawai. Komik ini di-decode secara dominan dan negosiasi oleh para informan. Informan yang berada pada posisi dominan adalah Informan 2, Informan 3, Informan 4, Informan 5, Informan 7 dan Informan 8. Sedangkan Informan 1 dan Informan 6 berada pada posisi negosiasi. Mereka berada pada posisi negosiasi karena menilai

bahwa handphone adalah alat untuk mengusir rasa bosan ketika berada pada suatu forum atau ketika harus berhadapan dengan lawan bicara yang tidak menarik. 4.2.6 Pemaknaan terhadap Komik „Agar Semuanya Senang‟

Komik keempat memiliki nama sesuai judulnya yaitu „Agar Semuanya Senang‟. Komik ini menggambarkan sosok pria dengan keadaan telanjang. Pakaian dan aksesoris pria tersebut dilepas dan dijejerkan di sampingnya. Komik ini pernah diunggah oleh Reza pada tahun 2014, namun mendapat teguran dari Instagram karena dianggap mengandung unsur pornografi. Reza mengunggah kembali komik „Agar Semuanya Senang‟ pada tahun 2016 setelah mensensor bagian vital tokoh dalam komik tersebut.

Melalui komik „Agar Semuanya Senang‟, Azer ingin mengingatkan kepada audiensnya bahwa tanpa benda-benda tersebut, kita semua adalah manusia yang sama. Sedangkan benda-benda tersebut hanyalah benda dan tidak akan dibawa sampai mati. Ide awal munculnya komik ini adalah karena Azer merasa bahwa orang selalu menilai seseorang berdasarkan apa yang dikenakan. Azer mengaku bahwa komik ini di-repost karena dirinya mendapat teguran dari Instagram sehingga dia membuat judul „Agar Semuanya Senang #HasratKebendaan‟.

“Kalau untuk karya yang itu sebenarnya lebih simpel ya, hasrat kebendaan aja itu. Ya kita pasti meninggal ya kalau di Islam ya dikafanin aja, apa yang ada semua di badan, apa yang kita punya semua nggak bakal kita bawa. Kita lahir pun telanjang.”

“Ya mau ngingetin aja, kita semua tetap manusia. Benda-benda itu ya cuma benda. Manusia ya manusia, benda ya benda. Tapi kan kenyataannya orang dilihat sekarang dari apa yang dia kenakan kayak „Jamnya bagus‟, „Wah, bajunya merek ini, bagus ini pasti orang kaya. Atau nggak ini pasti orang

berada. Ini pasti anak band atau apa.‟ Padahal semua kita lahir sama-sama aja, seperti itu dan itu cuma penampilan luar.”

“Caption „agar semua senang‟ karena mungkin ada yang nggak senang, dilaporin ada gambar itunya.”

Informan 1 memaknai komik „Agar Semuanya Senang‟ sebagai bentuk sindiran @Komikazer terhadap orang-orang yang suka pamer barang di Instagram. Barang-barang yang dipamerkan biasanya adalah benda fashion seperti baju, sepatu dan aksesoris. Istilah yang digunakan untuk pamer barang fashion di Instagram adalah Outfit Of The Day (OOTD). Informan 1 merasa komik ini mampu membuatnya tergelitik karena mengandung sindiran yang tajam bagi orang-orang yang gemar pamer OOTD.

“Kalau yang di foto ini ya? Yang caption-nya „agar semua senang‟ ini, yang saya tangkap disini, gimana ya? Dewasa ini kan generasi muda terutama di Instagram. Instagram itu jadi kayak ajang pamer-pameran, gitu. Termasuk outfit yang digunakan, gitu. Kalau branded pasti dipamerin, kalau nggak branded gak dipamerin, gitu. Terus cara dia mem-posting apa-apa yang dipakai sehari-hari menurut saya itu apa ya? Wasting time sekali gitu. Kenapa? Kenapa sih saya harus peduli sama apa yang dia pakai, gitu. Itu sih yang bikin saya tergelitik, cara @Komikazer menanggapinya, agar semuanya senang gitu kan. Hasrat Kebendaan.”

“Iya basic-nya kan ini OOTD gitu loh. Hm apa tuh namanya, ide dasarnya kan OOTD. Biasa kan orang-orang OOTD itu identiknya dipamerin apa yang jadi pakaiannya sehari-hari, gitu loh. Tapi nggak menampilkan keadaan dia gitu. Mungkin supaya ada titik lucunya, ada mungkin sama Azer dimodifikasi lagi gitu. Jadi biar orang merasa tergelitik, lucu gitu.” “Ya satu ya dia mampu, bisa beli barang-barang branded. Dua, ya udah, biasa rata-rata yang cakep-cakep sih yang OOTD itu. Kalau kita yang jelek- jelek mah, gak gak OOTD gitu. Ketiga oh ya udah lah gitu, sama aku gak penting gitu. Kalau saya kebetulan gak pernah posting OOTD ya, gitu. Ini kan konteksnya OOTD gitu. Jadi saya sih melihat ini senyum aja, gitu. Senyum aja dalam arti wah ini benar-benar mengkritik generasi muda gitu yang sering OOTD gitu lah.”

Informan 2 memaknai komik „Agar Semuanya Senang‟ dengan cara yang berbeda dari Informan 1. Menurutnya, komik tersebut menggambarkan bahwa

Pada wawancara kedua, Informan 2 menyatakan bahwa komik „Agar Semuanya Senang‟ ini berbicara tentang kompleksitas diri dimana seseorang bebas ingin menggunakan sebagian atau semua aksesoris yang dimilikinya.

“Lucu sih ini. Keren ini maksudnya. Jadi semua anggota tubuh jadi harus ada ininya, ada kebutuhannya kan? Ya harus terpenuhi gitu loh maksudnya. Semua anggota tubuh kita ada yang harus dipenuhi kebutuhannya.”

“Ini tentang kompleksitas menurut aku. Mau pakai yang wajib aja atau full aksesoris. Aku sih tergantung sikon mau dipakai kemana.”

Saat peneliti menanyakan pendapat Informan 2 terhadap orang-orang yang suka pamer outfit di Instagram, Informan 2 menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang wajar dilakukan pada zaman sekarang. Namun dirinya tidak menampik jika kebiasaan pamer outfit tersebut dapat membuat orang lain menginginkan benda-benda yang dipamerkan.

“Ya gak masalah sih asal nyambung aja dipakai kemana dan moment apa. Aku sih gak mikir gitu ya karena kan rejeki sama selera orang beda-beda. Ya secara gak langsung pasti ningkatin tingkat konsumtif kita dong karena kalau gak lihat kita pasti gak pengen.”

Informan 3 juga memiliki pendapat yang unik. Dirinya menilai bahwa komik „Agar Semuanya Senang‟ dibuat dengan tujuan menyindir orang-orang yang selalu mengikuti trend agar sesuai dengan selera publik.

“Menurutku sih itu supaya orang-orang senang, jadi si pelaku ini beli barang-barang yang sesuai trend yang orang lagi senangi sekarang. Biar dibilang gaul.”

“Kadang kan ada orang yang modis-modis gitu kan. Jadi kan biar „Eh lu kenapa nggak ngikutin ini, ini lagi trend nih sekarang,‟ Jadi biar ngikutin semua selera orang jadi dia beli semua yang, semua benda benda ini.”

Informan 3 menilai bahwa komik „Agar Semuanya Senang‟ tidak relevan dengan istilah OOTD. Meskipun begitu, Informan 3 mengakui bahwa jika dia menemui orang-orang yang berlebihan melakukan pamer outfit di Instagram, dirinya akan kesal.

“Kalau dalam batas wajar atau gak terlalu sering, gak masalah tapi kalau tiap hari pamer melulu rasanya eneg juga. Kalau buka timeline orang-orang yang macem ini biasanya di-scroll aja.”

Informan 4 memaknai komik „Agar Semuanya Senang‟ dengan cara yang sama seperti Informan 1. Menurutnya, komik tersebut menyindir orang-orang yang pamer OOTD dengan menggunakan barang-barang bermerek. Informan 4 mengetahui bahwa komik „Agar Semuanya Senang‟ pernah diunggah sebelumnya dengan menunjukkan alat vital tokoh dalam komik tersebut.

“Kalau menurut saya sih itu gambar tentang OOTD. Awalnya dia post gambar yang kelaminnya kelihatan dan banyak yang protes karena hal itu. Terus dia hapus dan post gambar baru dan kelaminnya ditutup pakai emot gitu. Dan dia buat caption agar semua senang karena itu.”

“Ini kemarin yang aku like yang belum ada emoticon-nya. Jadi kan ini lah, gaya-gaya penampilan gitu. Semua harus branded gitu kayaknya ni. Kalau menurut aku sih gitu, semua harus barang mahal, kekinian, branded. Gitu.” Informan 4 menilai bahwa aksi pamer OOTD di Instagram adalah hal yang sering dilakukan pada zaman sekarang. Baginya, tidak ada salahnya orang

menggunakan benda-benda bermerek, namun dirinya tidak menampik bahwa aksi tersebut dapat membawa dampak negatif berupa kesenjangan sosial.

“Ya sah-sah aja sih kalau menurut saya kalau masalah orang yang OOTD gitu. Manusiawi lah. Kalau kebetulan sama, sama yang saya suka ya pasti ada perasaan pengen. Tapi kalau untuk ke level iri sih belum nyampe. Ya pasti ada sisi negatifnya juga kalau dikaitkan dengan kesenjangan sosial. Pasti sedikit banyaknya buat iri bagi yang kurang mampu lah. Tapi ya mau gimana lagi? Tapi kalau umumnya sih semua orang bebas pakai barang branded selagi dia mampu. Itu menurut saya dan gak bisa dilarang juga kan orang OOTD gitu.”

Informan 4 mengaku dirinya termasuk pecinta barang bermerek. Bahkan dirinya sangat anti terhadap barang-barang palsu. Meskipun merasa tersindir, namun Informan 4 justru menganggap komik ini lucu.

“Untuk sebagian orang kan puas sendiri gitu (dengan melakukan pamer barang branded). Kalau aku sih enggak, yang penting jangan KW gitu aja. Walaupun dia produk lokal yang penting ori. Kepuasan tersendiri memang pakai barang ori walaupun lokal, tapi ori punya kepuasan”

“Tersindir juga sih, tapi itu dibawa ke lucu aja gitu.”

Menurut Informan 5, komik „Agar Semuanya Senang‟ digambarkan seperti bentuk fashion catalogue. Tokoh digambarkan tidak berbusana untuk menunjukkan bahwa tanpa benda-benda tersebut, semua manusia memiliki derajat yang sama. Komentar yang diberikan Informan 5 sebagai bentuk decoding pada komik tersebut adalah „Yang nempel di badan kurang lebih 27 juta rupiah‟. Informan 5 berkomentar demikian dengan maksud menerka harga benda-benda tersebut.

“Menurut saya, tentang begitu konsumtifnya orang-orang sekarang. Seperti komentar saya, jumlah yang ada di badan kita berjuta-juta dan cara presentasi dari post ini seperti infografik fashion catalogue gitu.”

“Mungkin untuk beberapa orang beranggapan tanpa barang-barang itu semua kita itu tetap sama ya, tapi kalau buat saya itu sedikit keisengan Azer untuk post-nya lebih kuat, dikasih gambar nude. Menurut saya aja sih. Jadi kalau menurut saya untuk beberapa seniman, untuk karyanya supaya nggak flat, pointless atau kurang kuat, seniman biasanya memasukan beberapa unsur supaya orang berfikir lebih terhadap karyanya.”

Bagi Informan 6, komik „Agar Semuanya Senang‟ menggambarkan orang yang mementingkan gaya dan penampilan agar hits di mata orang lain.

“Seorang cowok, mungkin dirinya sendiri atau orang yang dia kenal, yang mementingkan gaya agar hits di mata orang lain. Agar kekinian dan