• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.6 Pemanfaatan Vegetasi Oleh Kedua Jenis Hylobatidae

5.6.1 Pemanfaatan ruang berdasarkan klasifikasi strata dan kelas tinggi pohon

Salah satu aspek terpenting dalam studi habitat primata adalah mengetahui penggunaan ruang berdasarkan strata dan ketinggian dari tanah. Studi tersebut penting dilakukan untuk menjelaskan pola penggunaan ruang pada habitat mereka (Li 2007). Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan nilai yang minim dalam penggunaan ruang antara jenis Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus berdasarkan klasifikasi strata. Selama pengamatan berlangsung tercatat 86 individu ungko dijumpai dalam kawasan tersebut, sedangkan untuk siamang hanya dijumpai sebanyak 45 individu. Hasil pengamatan juga menunjukkan kelimpahan relatif penggunaan ruang pada vegetasi oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut. Terdapat kesamaan posisi ruang yang dimanfaatkan secara dominan oleh kedua kedua jenis Hylobatidae tersebut yaitu pada kelas strata B dan pada kelas ketinggian pohon 20-25 meter. Sedangkan strata D atau kelas ketinggian pohon 0-10 meter, merupakan kelas strata hutan yang tidak pernah digunakan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut di habitatnya dengan persentase pemanfaatan yang teramati sebesar 0,0% (Gambar 19 dan 20).

(a) (b)

Gambar 19 Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan strata vegetasi oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang.

(a) (b)

Gambar 20 Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan kelas tinggi pohon oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang.

Metode penghitungan dengan menggunakan analisis Jacob’s D value index dan crosstabs perangkat lunak SPSS 16.0 untuk menghitung penggunaan ruang berdasarkan kelas strata pepohonan antara ungko dan siamang menunjukkan nilai yang tidak memiliki perbedaan yang nyata (Value=5,69; df=4; Sig=0,225). Kedua jenis Hylobatidae tersebut memiliki preferensi pemanfaatan ruang yang sama di habitat yaitu prefensi yang tinggi pada kelas strata B dan tidak memiliki preferensi pemanfaatan pada kelas strata D (D=-1) (Gambar 21).

Pemanfaatan ruang tidak hanya dapat dikategorikan berdasarkan kelas strata hutan yang terdapat dalam habitat jenis Hylobatidae, namun juga dapat diperinci dengan menggunakan klasifikasi ketinggian dari tanah (height above ground).

Strata A 4% Strata B 67% Strata C 29% Strata D 0% Strata A 2% Strata B 69% Strata C 29% Strata D 0% 10-15 m 0% 15-20 m 29% 20-25 m 53% 25-30 m 16% >30 m 2% 10-15 m 9% 15-20 m 20% 20-25 m 49% 25-30 m 19% 30-35 m 3%

Hasil analisis data dengan menggunakan Jacob’s D value index menunjukkan persamaan penggunaan ruang pada ungko dan siamang.

Gambar 21 Grafik Jacob’s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi strata pohon.

Kedua jenis Hylobatidae tersebut tidak memiliki preferensi penggunaan ruang (D=-1) pada kelas ketinggian 0-10 m. Sedangkan tingkat preferensi penggunaan ruang yang tinggi (Skala 0-1) pada kedua jenis Hylobatidae tersebut ditunjukkan pada kelas ketinggian 21-30 meter. Perbedaan preferensi pemanfaatan ruang ditunjukkan pada kelas ketinggian 11-15 meter, dimana ungko masih memanfaatkan kelas ketinggian tersebut walaupun dalam tingkat yang rendah sedangkan untuk siamang tidak pernah menggunakan kelas ketinggian tersebut (D=-1) (Gambar 22).

Hasil penghitungan tersebut menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan dalam pemanfaatan ruang antara ungko dan siamang berdasarkan kelas strata pohon. Namun jika diklasifikasikan lebih jauh dengan menggunakan kelas tinggi pohon, ungko memiliki variasi yang lebih luas ketimbang siamang dalam pemilihan ruang. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya posibilitas tingkat adaptasi yang lebih tinggi pada ungko, khususnya dalam variasi pemanfaatan ruang dalam mendukung mobilitasnya.

-0,22 0,57 -0,47 -1,00 -0,08 0,59 -0,52 -1,00 -1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 A B C D Siamang Gibbon Kelas Strata

Gambar 22 Grafik Jacob’s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi kelas tinggi pohon.

Variasi aktivitas ungko dan siamang yang teramati dikategorikan kedalam lima kategori yaitu calling (panggilan), defecating (membuang kotoran), eating (makan), moving (bergerak) dan resting (beristirahat). Persentase aktivitas terbesar yang ditemukan adalah bergerak (moving) yaitu 53,3% pada ungko dan 43,8% pada siamang. Persentase kelimpahan relatif aktivitas yang teramati disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Kelimpahan relatif aktivitas oleh ungko dan siamang berdasarkan perjumpaan. Keterangan: (a) aktivitas ungko; (b) aktivitas siamang. Aktivitas moving (bergerak) merupakan aktivitas yang memiliki persentase relatif yang tertinggi diantara aktivitas lainnya. Tingginya nilai aktivitas bergerak yang ditunjukkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut diduga merupakan salah satu bentuk predator avoidence (penghindaran predator) terhadap keberadaan

-1,00 -1,00 0,03 0,54 0,19 -0,23 -1,00 -0,54 -0,28 0,48 0,38 -0,08 -1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0-10 11-15 16-20 21-25 26-30 >30 Siamang Gibbon Calling 15,1% Defecate 1,2% Eating 22,1% Moving 53,5% Resting 8,1% (a) Calling 16,7% Defecate 0,0% Eating 33,3% Moving 43,8% Resting 6,3% (b)

pengamat, karena secara umum seluruh populasi ungko dan siamang yang terdapat dalam kawasan tersebut belum terhabituasi dengan keberadaan manusia. Selain itu hasil tersebut juga menunjukkan tingginya aktivitas mencari makan dan calling pada saat perjumpaan dengan kedua jenis Hylobatidae tesrebut. Hal ini dikarenakan waktu perjumpaan antara pengamat dan kedua jenis Hylobatidae tersebut banyak terjadi di pagi hari. Chivers (1974) dan Palombit (1997) menyebutkan bahwa aktivitas tertinggi ditunjukkan oleh jenis Hylobatidae pada saat pagi hingga siang hari.

Penggunaan ruang pepohonan berdasarkan klasifikasi strata dan ketinggian dari tanah diduga erat kaitannya dengan ukuran tubuh dan kemampuan vegetasi dalam mendukung Hylobatidae untuk menghindar dari predator. Li (2007) menyebutkan terdapat dua faktor yang menentukan penggunaan ruang oleh suatu jenis primata yaitu faktor ekologi dan faktor morfologi. Faktor ekologi meliputi tingkat ancaman dari predator, jenis primata lain yang berkompetisi dalam sumberdaya yang sama, distribusi sumberdaya dan struktur habitat. Sedangkan faktor morfologi berkaitan dengan ukuran tubuh serta karakteristik tungkai suatu jenis primata.

Pengamatan menunjukkan tingkat penggunaan ruang yang sangat rendah pada strata D atau ketinggian 0-11 meter dari tanah oleh kedua jenis Hylobatidae. Hal ini diduga berkaitan dengan struktur vegetasi komponen pembentuknya yaitu kemampuan batang atau cabang pohon yang didominasi oleh pepohonan berfisik kecil dalam mendukung pergerakan kedua satwa tersebut. Karakteristik morfologi ungko yang memiliki bobot tubuh antara 5-6 kg dan siamang yang memiliki bobot tubuh 9-11 kg tentunya akan sulit ditopang oleh pepohonan dalam strata D yang secara fisik memiliki dahan atau percabangan dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang dahan-dahan yang terdapat dalam tajuk strata yang lebih tinggi. Selain itu apabila kedua jenis satwa tersebut melakukan pergerakan tentunya dahan/cabang yang terletak di tingkat strata yang lebih tinggi akan memberikan dukungan melalui tingkat kekokohannya sebagai landasan untuk melompat (leaping) ataupun berjalan (walking/brachiating).

Salah satu faktor pembatas dalam pergerakan primata di pepohonan adalah tingkat kelenturan batang (stem pliability) (Dunbar & Badam 2000). Batang atau

cabang pada pepohonan muda yang terdapat pada strata D tentunya memiliki tingkat kelenturan yang lebih tinggi dibanding kelas strata lainnya, hal ini akan menjadi masalah bagi pergerakan ungko dan siamang. Apabila batang tersebut terlalu lentur, akan mudah patah akibat tidak dapat menahan bobot kedua jenis Hylobatidae ketika bergerak.

Jenis Hylobatidae menurut Jhons (1986) diacu dalam Hammard et al. (2009) merupakan satwa yang secara ekslusif hidup arboreal dan menggunakan kanopi tajuk pepohonan yang kontinyu untuk melakukan pergerakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon dan Leighton (1994) dan Cheyne (2010) menyebutkan bahwa jenis ungko tidak memanfaatkan strata tajuk dan kelas ketinggian yang terendah dari tanah (<11 m). Nowak (1999) menyebutkan bahwa siamang memiliki preferensi yang tinggi pada kelas stratifiaksi B, khususnya pada kelas ketinggian 25-30 meter. Kelimpahan aktivitas yang tinggi pada strata C dan B (main canopy dan higher canopy) dari tanah, yang mengindikasikan struktur vegetasi pada strata tersebut memiliki kelimpahan dan kontinyuitas yang cukup tinggi, sehingga memudahkan ungko dan siamang dalam melakukan aktivitas bergerak (travelling) dan mencari makan (foraging). Kontinyuitas tajuk dan keberadaan ruang terbuka (gap) antar tajuk pepohonan merupakan salah satu faktor penting bagi pergerakan ungko dan siamang (Cannon & Leighton 1994).

Pemanfaatan ruang yang tinggi pada kedua kelas strata tersebut erat kaitannya dengan sebaran posisi sumber pakan di pepohonan. Jenis-jenis pohon pakan ungko dan siamang seperti Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum dan Ficus sp., merupakan pepohonan yang banyak terdapat di kelas klasifikasi tersebut. Faktor ini tentunya secara langsung akan memberikan kontribusi yang tinggi dalam pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang untuk kedua kelas strata tersebut. Gittins (1983) dalam hasil penelitiannya menyebutkan sebaran posisi sumber pakan Hylobatidae biasanya terdapat pada kelas kanopi atau strata utama (main canopy).

Ungko dan siamang dalam penelitian ini juga tercatat memanfaatkan ruang pada strata A (ketinggian >30 m) yang secara struktur merupakan pepohonan yang memiliki tajuk diskontinyu (emergents layer). Penggunaan ruang strata tertinggi tersebut salah satunya sebagai tempat melakukan calling di pagi hari.

Tercatat salah satu kelompok ungko yang berada di transek JMK 2125 menggunakan tajuk teratas pada pohon dengan ketinggian 31,5 meter sebagai tempat untuk calling. Hammard et al. (2009) menyebutkan bahwa jenis Hylobatidae termasuk ungko dan siamang lebih menyukai menggunakan strata yang lebih tinggi untuk melakukan panggilan. Hal ini dilakukan oleh jenis Hylobatidae untuk meningkatkan jarak suara panggilan mereka agar dapat terdengar lebih jauh oleh kelompok Hylobatidae lainnya (Gittins 1983). Berikut ini ilustrasi pemanfaatan ruang pada tajuk pepohonan oleh kedua jenis Hylobatidae di habitatnya (Gambar 24).

Gambar 24 Dua jenis Hylobatidae dalam pemanfaatan tajuk di habitatnya. Ket:

(A) Seekor Hylobates agilis meng-observasi pengamat dari atas tajuk pohon Casuarina sumatrana; (B) Seekor Symphalangus syndactylus sedang makan di tajuk teratas pohon Campnosperma auriculatum.

Strata tajuk yang memiliki kontinyuitas yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa terdapat banyak tajuk yang rimbun dan saling meliputi satu pohon dengan pohon lainnya, sehingga memberikan cover yang lebih aman bagi keberadaan Hylobatidae. Tajuk yang rimbun dapat memaksimalkan fungsi cover bagi keberadaan Hylobatidae. Ungko dan siamang cenderung untuk berlindung dalam tajuk yang rimbun ketika waktu hujan, sehingga sulit bagi pengamat untuk menemukan kedua jenis Hylobatidae tersebut pada saat cuaca hujan. Hal ini diduga karena ungko dan siamang menggunakan vegetasi sebagai tempat berlindung kondisi cuaca sekitar lingkungan. Weddel (2002) menyatakan dalam keadaan dingin, fungsi perlindungan tajuk dari suatu jenis vegetasi terhadap

hewan berdarah panas seperti jenis Hylobatidae dapat berupa penjagaan suhu tubuh agar tetap hangat. Hal ini dapat terjadi melalui tiga langkah yaitu tajuk vegetasi mampu menghalangi masuknya angin serta dapat menahan butiran air hujan sehingga mencegah udara dingin menyerang satwaliar (Gambar 25). Vegetasi juga mampu memberikan perlindungan bagi satwaliar ketika cuaca panas dengan menyediakan bayangan dari naungan serta memberikan kemudahan bagi aliran udara. Hal ini akan mempengaruhi satwa agar dapat meminimalisir panas yang didapat dan memaksimalkan kehilangan panas tubuh.

Gambar 25 Mekanisme perlindungan vegetasi terhadap kondisi angin bagi keberadaan satwaliar. Keterangan; (A) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk tinggi; (B) vegetasi tingkat kerapatan tajuk sedang; (C) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk rendah (Weddel 2002). Fungsi tutupan tajuk yang kontinyu dan saling overlapping bagi keberadaan jenis Hylobatidae tidak hanya sebatas perlindungan dari cuaca namun juga dapat membantu dalam proses penghindaran terhadap predator (predation avoidance). Salah satu bentuk pemanfaatan tajuk sebagai tempat berlindung oleh ungko dan siamang dari predator dengan cara memilih posisi pada tajuk yang rimbun dan memberikan suara peringatan (alarm call) ketika ada burung pemangsa seperti elang ular bido (Spilornis cheela) yang melakukan soaring disekitar mereka.

Bagi keberadaan jenis Hylobatidae sebagai satwa mangsa di suatu ekosistem, tumbuhan sebagai penyedia unsur perlindungan dari pemangsa melalui fungsi sebagai tempat mengawasi serta melihat kemungkinan datangnya satwa pemangsa dari berbagai arah. Vegetasi sebagai suatu bagian struktural dalam habitat satwaliar harus dapat memenuhi beberapa fungsi, seperti menyediakan tempat bernaung (shelter) serta ruang untuk melihat dan berlindung dari pemangsa (cover) (Weddel 2002).

Dokumen terkait