• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Pengembangan sumber benih mindi (pola pengelolaan) dipengaruhi oleh kapasitas petani ( kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan)

4.2 Teknik Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk Pengembangan Sumber Benih Di Hutan Rakyat Pengembangan Sumber Benih Di Hutan Rakyat

4.2.2 Pematahan dormansi benih

Hasil pengujian terhadap struktur anatomi dan kandungan biokimia benih

mindi menunjukkan benih mindi mengalami fase dormansi benih. Dormansi benih

adalah suatu keadaan dimana benih-benih sehat (viable) gagal berkecambah

ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan (Schmidt 2002). Dormansi benih dapat disebabkan oleh embrio dan kulit benih (Bewley dan Black 1985), dormansi kulit benih lebih disebabkan oleh struktur kulit benih sedangkan dormansi embrio dapat disebabkan embrio yang belum masak atau adanya inhibitor pada embrio. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan perlakuan awal, yaitu suatu perlakuan yang diberikan pada benih sebelum benih disemaikan, agar menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan, sehingga perlakuan awal merupakan suatu bentuk pematahan dormansi yang dipercepat (Schmidt 2002). Dalam penelitian ini dilakukan pematahan dormansi pada benih mindi yang berasal dari 6 lokasi asal benih. Metode pematahan dormansi yang digunakan adalah pematahan dormansi fisik dan kimia, terdapat sepuluh perlakuan yang digunakan pada setiap contoh benih dari setiap lokasi asal benih. Respon yang diamati adalah viabilitas benih dan vigor kekuatan tumbuh.

Daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih

Daya berkecambah (DB) dan kecepatan tumbuh (KCT) benih mindi merupakan respon yang menunjukkan viabilitas dan vigor benih. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada Tabel 22 dan Lampiran 5 dan 6, menunjukkan

bahwa perlakuan awal memberikan perbedaan yang nyata terhadap DB dan KCT benih mindi pada berbagai perlakuan pendahuluan yang digunakan

Tabel 22. Rangkuman hasil analisis sidik ragam (F hit) DB dan KCT benih mindi dari berbagai asal benih

Asal Benih DB KCT Fhit Fhit Gambung 5,457** 6,627** Kuningan 8,853** 20,141** Megamendung 6,966** 9,552** Nagrak 11,098** 12,413** Purwakarta 23,653** 24,266** Sumedang 11,168** 21,607**

Keterangan : ** sangat berbeda nyata (<0.05)

Semua perlakuan yang diterapkan memberikan pengaruh yang nyata terhadap DB dan KCT benih pada setiap asal benih, untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan respon tertinggi pada setiap asal benih, dapat dilihat pada Gambar 25 dan 26.

Berdasarkan hasil penelitian uji viabilitas benih mindi pada berbagai perlakuan awal untuk pematahan dormansi, rata-rata daya berkecambah untuk semua perlakuan masih rendah, yaitu berkisar antara 6 – 28 %. Benih yang berasal dari Sumedang menempati urutan tertinggi yaitu rata-rata DB untuk semua perlakuan adalah 28%, sedangkan jika dilihat berdasarkan jenis perlakuannya,

perlakuan awal dengan merendam benih dalam larutan H2SO4 (95%) selama 45

menit akan memberikan DB sebesar 60%. Secara umum DB tertinggi pada semua asal benih, dapat tercapai jika pematahan dormansi dilakukan dengan melakukan perendaman benih dalam larutan H2SO4, hal ini dapat dilihat pada Gambar 24. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pematahan dormansi pada benih

panggal buaya (Xanthoxylum rhetsa) yang dilakukan oleh Puspitarini (2003),

bahwa perlakuan perendaman asam sulfat 95% dengan lama perendaman 30 menit dan diikuti dengan perendaman air pada suhu kamar 1 x 24 jam memberikan hasil tertinggi pada daya berkecambah yaitu sebesar 39,7%. Penelitian mengenai perlakuan awal untuk pematahan dormansi pada benih mindi pernah dilakukan oleh Suciandri dan Bramasto (2005), daya berkecambah benih mindi setelah

disimpan selama 2 minggu dan selanjutnya direndam dalam larutan H2SO4

dapat mencapai 89% apabila dilakukan peretakan kulit benih terlebih dahulu sebelum benih disemaikan.

Gambar 24. Daya Berkecambah (DB) benih mindi pada berbagai perlakuan awal dari 6 populasi di hutan rakyat

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 22), kecepatan tumbuh benih sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, dan hal ini terjadi pada semua asal benih. Perlakuan perendaman dengan asam sulfat memberikan respon tertinggi untuk kecepatan tumbuh pada semua asal benih, yaitu terutama pada perendaman antara 30 – 45 menit. Perendaman di bawah 30 menit diperkirakan

belum optimal. Diagram kecepatan tumbuh benih mindi dari berbagai populasi di hutan rakyat dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Kecepatan Tumbuh benih mindi pada berbagai perlakuan dari 6 populasi di hutan rakyat

Kecepatan tumbuh benih yang berasal dari populasi Sumedang dan Kuningan dengan menggunakan perlakuan awal perendaman dalam asam sulfat selama 45 menit memberikan nilai tertinggi yaitu masing-masing 6,543%/etmal dan 6,815%/etmal. Nilai kecepatan tumbuh terendah adalah pada benih yang berasal dari populasi Gambung yaitu sebesar 1,400%/etmal. Kecepatan tumbuh merupakan salah satu parameter untuk mengetahui vigor benih, sehingga diduga benih yang berasal dari populasi Sumedang dan Kuningan mempunyai vigor yang lebih baik dibandingkan vigor benih dari populasi lainnya, sedangkan benih dari populasi Gambung mempunyai vigor terendah dibandingkan benih dari populasi. Demikian pula dengan hasil pengujian viabilitas benih yang dicerminkan dengan daya berkecambah, DB benih yang berasal dari populasi Sumedang dan Kuningan pada perlakuan perendaman dengan asam sulfat selama 45 menit masing-masing adalah 60% dan 56%, sedangkan DB benih yang berasal dari populasi Gambung hanya 10% (Gambar 25). Berdasarkan dua parameter ini dapat diduga benih yang berasal dari populasi Sumedang dan Kuningan mempunyai kualitas fisiologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang berasal dari populasi Nagrak,

Megamendung, Purwakarta dan Gambung. Namun apabila dilihat dari berat benih, benih yang berasal dari Nagrak mempunyai berat tertinggi yaitu 0,44 gram/butir sedangkan berat benih asal Sumedang adalah 0,42 gram/butir (Tabel 18), akan tetapi benih asal Sumedang mempunyai kulit benih yang lebih tipis daripada Nagrak. Berat benih dapat menjadi penciri tinggi rendahnya kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih sebagai sumber energi dalam perkecambahan.

Penentuan waktu perkecambahan

Penghitungan daya berkecambah benih dan kecepatan tumbuh benih ditentukan oleh penentuan awal dan akhir perkecambahan. Perlakuan pematahan dormansi pada benih mindi mempengaruhi penentuan awal dan akhir pengamatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan perlakuan perendaman dalam asam sulfat memperlihatkan waktu perkecambahan yang paling singkat dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 26). Penentuan waktu awal dan akhir pengamatan perkecambahan diperoleh dari hasil analisa visual kurva daya berkecambah harian, daya berkecambah kumulatif dan hari setelah tanam pada perlakuan perendaman asam sulfat (Gambar 27).

 

  Gambar 26. Periode awal dan akhir pengamatan benih mindi pada berbagai

Waktu tersingkat bagi benih mindi untuk berkecambah adalah setelah perendaman dalam asam sulfat (Gambar 26), yaitu benih mulai berkecambah pada hari ke 12 dan berakhir pada hari ke 59 setelah tanam. Untuk mengetahui secara tepat awal dan akhir pengamatan, maka dibuat kurva yang berdasarkan catatan perkecambahan harian pada benih yang berasal dari Sumedang dengan perlakuan perendaman dalam H2SO4 selama 45 menit (Gambar 27).

Gambar 27. Kurva perkecambahan benih mindi asal Sumedang dengan

perlakuan perendaman dalam H2SO4 selama 45 menit

Berdasarkan catatan perkecambahan harian, persentase benih yang berkecambah sampai puncak perkecambahan, merupakan jumlah terbanyak kecambah yang muncul selama 24 jam. Puncak kurva tertinggi pada hari ke 16, yang mencapai nilai 9%. Jumlah hari yang diperlukan untuk mencapai 50% perkecambahan akhir menunjukkan nilai 31 hari, sehingga dapat dinyatakan bahwa penghitungan awal perkecambahan dapat dilakukan setelah hari ke 16 setelah tanam dan akhir perkecambahan pada hari ke 31.

Perkecambahan benih mindi tanpa perlakuan awal membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkecambah dengan persen kecambah yang rendah, hal ini dapat dilihat pada kontrol untuk semua benih dari 6 populasi (Tabel 23).

Benih mindi tanpa perlakuan awal untuk berkecambah akan mengeluarkan semua energi yang ada untuk dapat tumbuh dengan menembus kulit benih yang cukup tebal. Kendala tersebut mengakibatkan daya berkecambah benih menjadi tidak optimal, sehingga diperlukan upaya untuk memberikan kondisi perkecambahan yang tepat agar benih dapat berkecambah dengan optimal.

Sehubungan dengan jenis mindi sebagai salah satu jenis tanaman yang banyak ditanam di hutan rakyat, maka perkecambahan atau penyediaan bibit menjadi masalah.

Tabel 23. Daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan waktu perkecambahan benih mindi tanpa perlakuan

No Seed lot DB (%) KCT (%/etmal) Waktu kecambah (Hari)

1 Nagrak 3 0.14 33-47 2 Megamendung 19 0.726 40-62 3 Sumedang 3 0.1690 36-42 4 Kuningan 1 0.059 34 5 Purwakarta 2.5 0.098 45-56 6 Gambung 1 0.0290 68  

Permasalahan ini harus diatasi dengan mencari metode pematahan dormansi yang paling tepat untuk dapat diadopsi oleh masyarakat, yaitu dengan melakukan penjemuran atau perendaman dalam air kelapa. Teknik penjemuran dibawah sinar matahari yang terik dilakukan dengan harapan agar terjadi perekahan pada kulit benih sehingga memudahkan keluarnya radikel. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian benih mindi dengan cara diretakkan satu per satu

menggunakan roghum, daya kecambah dapat mencapai 89% (Danu , 2000). Cara

ini cukup efektif, namun tidak efisien apabila dilakukan pada jumlah benih yang banyak, sehingga dilakukan pendekatan dengan cara menjemur benih mindi. Kemungkinan cara penjemuran belum memberikan efektifitasnya terhadap perkecambahan dalam penelitian ini karena cuaca yang tidak menentu (anomali cuaca) selama kurun waktu penelitian ini, yaitu musim penghujan yang terus menerus sehingga sinar matahari tidak dapat terserap efektif.

Cara kedua yang diharapkan mudah dan tidak berbahaya untuk diadopsi oleh masyarakat adalah dengan melakukan perendaman benih dalam air kelapa. Penelitian pematahan dormansi dengan perendaman dalam air kelapa telah dilakukan pada benih kemiri yang direndam selama 4 jam dan benih cempaka direndam selama 2 jam (Suita et al. 2005; Kurniaty et al. 2003), dengan DB untuk kemiri 53,33%. Penggunaan air kelapa untuk pematahan dormansi pada beberapa jenis benih tanaman hutan dilakukan karena dalam air kelapa terkandung

berbagai phytohormon yang diharapkan dapat memicu perkecambahan benih.

walaupun belum memberikan hasil yang optimal, namun secara umum DB benih mindi yang diberi perlakuan perendaman dalam air kelapa mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada kontrol (5%) . Terjadi peningkatan rata-rata-rata-rata 5% dari pada kontrol.

Cara lain yang digunakan dalam pematahan dormansi benih mindi adalah

dengan melakukan perendaman dalam larutan asam sulfat (H2SO4) dengan

kepekatan yang berbeda, yaitu asam kepekatan rendah digunakan air accu dan

untuk kepekatan yang tinggi digunakan larutan H2SO4 (95%), dengan lama

perendaman yang berbeda, untuk air accu waktu perendaman lebih lama (30

menit, 60 menit dan 90 menit) sedangkan perendaman dalam larutan H2SO4

(95%) lebih singkat (15 menit, 30 menit dan 45 menit). Penggunaan air accu dilakukan karena larutan ini mudah didapat, namun diharapkan efektifitasnya sama seperti larutan H2SO4 (95%). Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 25), rata-rata DB benih pada perendaman dalam air accu masih lebih rendah dibandingkan DB rata-rata pada perendaman H2SO4 pekat. Rata- rata DB untuk

penggunaan air accu pada semua seedlot adalah 13% sedangkan untuk H2SO4

pekat adalah 37%. Efektifitas larutan H2SO4 konsentrasi pekat dalam pematahan dormansi benih, khususnya pada benih berkulit keras, adalah larutan ini mampu menguraikan lignin, sehingga ikatan-ikatannya menjadi lebih longgar, hal ini dibuktikan pada penelitian benih panggal buaya (Xanthoxylum rhetsa). Kerapatan

sel-sel penyusun kulit benih panggal buaya adalah ±2000 sel/mm2 sebelum

perendaman dalam larutan H2SO4 dan terlihat sangat kompak, namun setelah perendaman selama 30 menit terlihat susunan sel lebih longgar dengan kerapatan sel menjadi ± 1800 sel/mm2 (Puspitarini 2003).