• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Skema 7 Pembagian waris terhadap golongan ketiga

Pembagian waris terhadap golongan ketiga

A . . C

.(ayah) .(ibu)

Q

56 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (Teori danPraktek), Op.Cit, hlm. 205. 57Tan Thong Kie,Op.Cit,hlm. 241.

Keterangan skema 7: Q meninggal dengan meninggalakn ahli waris dari dua sisi, sisi ayah dan sisi ibu. Kakek dari sisi ayah (A) dan Nenenk dari sisi ibu (B), sehingga mengharuskan adanya pembelahan dalam pembagian waris.

Pada skema 7 di atas, Q meninggal dengan meninggalkan kakek dari sisi ayah dan nenek dari sisi ibu, dimana ayah dan ibu dari almarhum Q sudah meninggal terlebih dahulu. Sehingga adanya pembelahan terhadap dua sisi itu, yaitu sisi ayah dan sisi ibu, sehingga sisi ayah ½ (seperdua) bagian untuk kakek dan sisi ibu ½ (seperdua) bagian untuk nenek. Begitu seterusnya, dengan ketentuan derajat keatas yang terdekat lebih didahulukan, sehingga menutup kesempatan mewaris bagi derajat keatas yang lebih jauh jarak derajatnya kepada pewaris.

Berdasarkan ketentuan undang-undang Pasal 843 dan 851 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata:58

1) Tidak ada penggantian tempat atau kedudukan terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas, dan

2) Pembelahan atau kloving itu hanya terjadi satu kali saja, sehingga dalam cabang-cabang pembagian tidak terjadi lagi pembelahan.

Pada kasus terjadinya pembelahan atau kloving perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Langkah awal dilakukan pembelahan, dimana sebelum dilakukan pembagian harta warisan kepada golongan ketiga;

58 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab

b) Setelah pembelahan dilaksanakan dan dipisahkan antara bagian keluarga pihak ayah dan bagian keluarga pihak ibu, selanjutnya harta warisan tersebut dibagi secara biasa yang telah ditentukan oleh undang-undang;

c) Pada setiap golongan pihak atau keluarga yang derajatnya lebih dekat kepada pewaris mengenyampingkan yang lainnya

d. Golongan Keempat

Para ahli waris keempat ialah semua keluarga sedarah diluar ahli waris golongan pertama, kedua dan ketiga, selagi masih dalam batas derajat kekeluargaan yang masih diperkenankan oleh undang-undang untuk mewaris. Semua itu adalah keluarga sedarah garis kesamping dan keturunannya (jika adanya penggantian tempat).59

Pada pewarisan keluarga sedarah dalam garis ke samping (menyimpang) terjadi jika dalam hal golongan pertama, golongan kedua dan golongan ketiga tidak ada lagi. Jika golongan ketiga itu tidak ada maka setiap setengah bagian dari ayah atau ibu jatuh pada saudara-saudara sepupu dari si pewaris, yaitu yang sekakek atau senenek dari si pewaris secara sama rata dan tidak dibedakan antara saudara-saudara penuh atau tidak. Jika ini pun tidak ada, maka harta warisan jatuh pada keluarga yang sekakek buyut atau senenek buyut dengan pewaris. Dalam hal ini akan ada penggantian waris, apabila warisan ini meniggal dunia terlebih dahulu dari pada pewaris, maksudnya mereka digantikan oleh anak-anaknya atau keturunannya.

e. Anak luar kawin

Ahli waris ab intestato,dalam hal keturunan sedarah salah satunya adalah anak. Adanya anak sah dan anak luar kawin, anak sah merupakan anak yang dibenihkan atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, baik sah menurut agama dan sah menurut perturan perundang-undangan. Sedangkan anak luar kawin merupakan anak yang lahir dari hubungan kedua orang tua yang tidak menikah melainkan hidup bersama (samenleven). Anak yang terlahir dari hubungan hidup bersama hanya ada hubungan hukum, terutama hukum perdata terhadap ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dari ayah harus adanya pengakuan terlebih dahulu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang mana menyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawaninan yang sah, sedangkan Pasal selanjutnya yaitu Pasal 43 menyatakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.60

Bagi anak luar kawin adanya pilihan yang dapat ditempuh bagi orang tua anak luar kawin tersebut agar adanya hubungan perdata yang timbul antara anak luar kawin dan orang tuanya, terutama ayah biologis dari si anak luar kawin itu. Pilihan yang dapat ditempuh adalah dengan cara pengesahan atau pengakuan. Segala hal tersebut bertujuan untuk kesejahteraan anak diluar kawin tersebut.

Dalam hal anak luar kawin Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak membagi secara jelas yang anak luar kawin ini, namun dari Pasal 272 dan Pasal 283

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin adanya pembagian, yaitu :

1) Anak luar kawin biasa; 2) Anak zinah dan; 3) Anak sumbang.

Anak luar kawin biasa, maksudnya dimana anak tersebut dibenihkan oleh wanita dan pria yang tidak terikat perkawinan dan tidak adanya hubungan tali darah. Baik gadis dengan bujang maupun janda dengan duda ataupun kebalikannya, yang intinya wanita dan pria itu tidak dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lainnya. Sehingga adanya keleluasaan dalam pengesahan maupun pengakuan, sedangkan bagi anak zinah dan anak sumbang tidak diperbolehkan pengakuan apalagi pengesahan. a. Pengakuan

Anak luar kawin bertindak sebagai ahli waris dalam hukum waris sepanjang adanya hubungan perdata antara anak tersebut dengan pewaris. Antara anak dengan ayah hubungan waris mewaris terjadi hanya dengan adanya pengakuan. Anak yang tidak sah, hubungan perdata dengan satu orang tuanya, dinamakan anak luar kawin dari orang tua itu. Dengan kelahirannya, maka anak yang tidak sah itu menjadi anak luar kawin dari ibunya, dengan adanya pengakuan dari ayah anak tersebut merupakan anak luar kawin dari ayah yang mengakuinya. Hubungan anak luar kawin yang diakui tidak adanya hubungan perdata dengan keluarga orang tua yang mengakuinya. Sebaliknya juga begitu, keluarga dari orang tua yang mengakui anak luar kawin itu tidak ada hubungan perdata dengan anak luar kawin yang diakui.

Pengakuan merupakan suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, bahwa yang membuat pernyataan itu adalah ayah atau ibu dari seorang anak yang lahir diluar perkawinan61. Kedudukan

anak luar kawin yang diakui oleh orang tuanya mempunyai kedudukan yang terbelakang dibandingkan dengan anak yang sah. Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin maka adanya hak mewaris bagi anak yang diakui tersebut.

Pengakuan bagi anak luar kawin merupakan pengakuan yang dilakukan oleh orang tua dari anak luar kawin itu baik ayah maupun ibunya mengakui anak luar kawin tersebut sebelum perkawinan selanjutnya dari salah satu orang tuanya. Jika pengakuan dilaksanakan dalam masa perkawinan salah satu dari orang tua anak luar kawin tersebut, baik ayah maupun ibunya, maka dampak hukum waris untuk pengakuan anak tersebut tidak ada sama sekali. Hak mewaris dari anak luar kawin tersebut tidak ada, hanya sebatas pengakuan saja bagi orang tuanya.

Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan “anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak sumbang”. Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan “pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar kawin yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri

atau suaminya, tidak akan merugikan baik bagi istri maupun bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang baru”.

Pengakuan bagi anak luar kawin dalam hukum waris perdata adanya bagian hukum waris aktif dan hukum waris pasif. Hukum waris untuk bagian anak luar kawin yang diakui adanya hukum waris aktif dan hukum waris pasif. Hukum waris aktif terjadi apabila anak luar kawin adalah seorang ahli waris, sedangkan hukum waris pasif terjadi apabila anak luar kawin adalah pewaris.

Hukum waris aktif tercakup dari Pasal 862 sampai dengan Pasal 866, Pasal 872 dan Pasal 873 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak dari anak luar kawin ini atas harta warisan, pada hakekatnya sepenuhnya sama dengan hak dari keluarga sedarah yang sah. Besar bagian dari anak luar kawin dalam mewaris tergantung dari derajat kekeluargaan sedarah dari para waris yang sah.

Anak luar kawin yang diakui jika mewaris dengan golongan satu mendapat bagian 1/3 (sepertiga) bagian untuk masing-masing anak luar kawin. Jika mewarisi dengan golongan dua anak luar kawin tersebut mendapat ½ (setengah) dalam hal ini untuk kelompok bukan untuk masing-masing. Dalam hal mewaris dengan golongan ketiga anak luar kawin tersebut mendapatkan ¾ (tiga perempat) bagian. Hal ini dituangkan dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu62

“Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis keatas ataupun saudara

laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewarisi setengah dari warisan; dan jika hanya sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat. Jika para waris yang sah dengan si meninggal bertalian keluarga dalam lain-lain perderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis yang satu, pun terhadap mereka yang dalam garis yang lain, menentukan besarnya bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin”.

Pada bagian dimana si meninggal tidak adanya meninggalkan ahli waris sedarah maka anak luar kawin yang diakui tersebut dapat keseluruhan harta warisan dari si meninggal, sebagaimana bunyi Pasal 865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “jika seorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan”.63

Pengakuan anak luar kawin menurut Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilaksanakan dengan 4 cara, yaitu:64

1) Dengan akta Notaris; 2) Pada akta kelahiran;

3) Pada akta perkawinan, yang mana sekaligus pengesahan; 4) Dengan akta khusus dari Kantor Dinas Kependudukan.

Salah satu contoh kasus pewarisan bagi anak luar kawin yang telah diakui adalah kasus keluarga Boenjamin, yang mana pewaris semasa hidup menikah dua kali dan sekali hidup bersama (samenleven). Anak yang dilahirkan dari samenleven

tersebut ada 6 anak dan keenamnya di akui sebelum perkawinan ke dua oleh pewaris. Sehingga adanya hak mewaris bagi keenam anak tersebut terhadap warisan dari pewaris.

63Pasal 865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 64MU. Sembiring,Op.Cit,hlm. 15-16.

Pewarisan bagi anak luar kawin jika dituangkan dalam contoh dengan skema waris seperti yang akan terlihat di bawah ini:

Dokumen terkait