TESIS
Oleh
FEBRI SILVIA DEWI
117011007/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FEBRI SILVIA DEWI
117011007/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
Nama : FEBRI SILVIA DEWI
Nim : 117011007
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : KEKUATAN HUKUM PEMBAGIAN WARIS
MELALUI AKTA PERDAMAIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
sukarela dan cara paksaan, cara sukarela yang berujung pada perdamaian dan paksaan dengan putusan Hakim. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif.
Pembagian warisan dalam perdata mengenal dua ahli waris, yaitu ahli waris
ab intestato atau menurut undang-undang dan ahli waris testament atau menurut wasiat. Pada ahli waris menurut undang-undang ada pembagian 4 golongan, yaitu golongan pertama,kedua,ketiga dan keempat yang tiap-tiap golongan memilikki karakteristik dan sistem pembagian tersendiri, sedangkan ahli waris menurut wasiat berdasarkan penunjukan wasiat dan tidak boleh menghilangkan hak waris dari ahli waris ab intestato. Perdamaian dalam pembagian waris adanya perdamaian melalui persidangan dan di luar persidangan. Perdamaian di luar persidangan adanya bentuk akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik yang berdasarkan persetujuan Hakim(acta van vergelijk) dan tidak berdasarkan persetujuan Hakim (acta van dading) termasuk akta perdamaian yang dibuat di muka Notaris. Pelaksanaan pembagian harta warisan melalui akta perdamaian tergantung kepada kesepakatan para pihak yang berdamai, jika bagian yang ditentukan langsung berupa benda nyata maka penyerahannya kelak berupa benda nyata juga namun jika pembagian berupa taksiran harga, berarti pelaksanaannya melalui penjualan harta peninggalan dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan pembagian awal. Penyelesaian pembagian yang bersifat langsung kepada benda nyata maupun taksiran adanya proses yang harus dilaksanakan terdahulu oleh ahli waris yaitu pengurusan surat keterangan hak waris dan akta pemisahan dan pembagian.
Kekuatan hukum dari akta perdamaian dapat dilihat akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik, jika akta perdamaian di bawah tangan kekuatan hukum dalam pembuktian selama para pihak mengakui tanda tangannya maka berkekuatan hukum sama dengan akta otentik. Akta perdamaian otentik memiliki kekuatan hukum sempurna dalam pembuktian, terutama putusan akta perdamaian memiliki kekuatan yang disamakan dengan putusan akhir, dapat dieksekusi, dan tidak dapat melakukan upaya hukum untuk selajutnya. Akta perdamaian dapat dibatalkan dengan ketentuan 1859 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Penyelesaian waris tidak harus selalu melalui litigasi melainkan adanya pilihan perdamaian yang lebih menguntungkan dan dalam pebuatan perdamaian lebih baik dalam bentuk akta otentik sehingga dalam kekuatan hukum lebih sempurna.
inheritance ends in peace, while by coersion means that it ends in the court of law. This a descriptive analytical study with normative juridical approach.
In civil law, the distribution of inheritance recognizes two types of heirs; the ab inestato heir or according to law and testament heir or according to the will. According to the law, the heir is divided into 4 (four) groups – the first, second, third, and fourth groups – and each groups has its own characteristic and distribution system. According to the will, the heir is the one appointed in the will and must not eliminte the inheritance right of the ab intestato heir. Peace in the distribution of inheritance can be divided into two categaries – through a trial and and outside the court. The peace outside the court can be with underhanded peace deed and an authentic peace deed based on the judge’s agreement (acta van vargelijk) and without the judge’s agreement (acta van dading) including the peace deed made before a public notary. The implementation of distribution of inheritance through the peace deed depend on the agreement made the parties making peace. If the distribution directly determined is in the form of real object, the delivery later is also in the form of real object, but if the distribution is in the form of estimate price, the implementation of distribution of inheritance is through the sale of the legacy and the proceeds of the sale is then divided in accordance with the intial distribution agreement. The settlement of direct distribution of real object or estimade price needs a process which must be first done by the heis such as preparing the certificate of inheritance right and the separation amd division deeds.
The legal power of peace deed can be seen from the types of the peace deed hold. If it is the underhanded peace deed, as evidence, its legal power is the same as that authentic deed aslong as the parties signed the underhanded peace deed admit that the signatures on the underhanded peace deedare theirs. The authentic peace deed has a perfect legal power as evidence, especially the decision of peace deed has same legal power as the that of final decision, it can be executed but not able to perform further legal action. Peace deed can be cancelled under the provision of article 1859 to article 1864 of the indonesial Civil Codes.
The settlement of inheritance distributionshould not always be through litigation because there are better more choices. The peace deed made will be better and more benefical in the form of authentic deed that it has a more perfect legal power.
Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya
dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Kekuatan Hukum Pembagian Waris Melalui Akta Perdamaian
Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar BapakProf. Dr. Runtung, SH.,M.Hum., Dr. Syahril Sofyan, SH.,MKn.,
Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN., M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang
telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
7. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibu dan ayah tercinta serta
saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
sahaba-sahabat yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat
sehingga menjadi motivasi dan warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam
penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan Reguler tahun 2011
yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Oktober 2013
Penulis,
I. DATA PRIBADI
Nama : Febri Silvia Dewi
Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru, 6 Febuari 1989
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jln. Kaharuddin Nasution, Pekanbaru.
Telepon/Hp : 083187954532
II. KELUARGA
Nama Ayah : Armawin
Nama Ibu : Masmi
III. PENDIDIKAN FORMAL
SD Negeri 050 Pekanbaru lulus tahun 2001
MTSN Simpang Tiga Pekanbaru lulus tahun 2004
SMA NEGERI 4 Pekanbaru lulus tahun 2007
S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau lulus tahun 2011
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR SKEMA ... ix
DAFTAR ISTILAH ... x
DARTAR SINGKATAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Keranga Teori dan Konsepsional... 13
G. Metodologi Penelitian... 22
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22
2. Sumber Data ... 23
3. Metode Pengumpulan Data... 24
4. Analisi Data ... 24
5. Penarikan Kesimpulan ... 25
BAB II PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR ADANYA AKTA PERDAMAIAN ANTARA PARA AHLI WARIS ... 26
A. Pembagian Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 26
d. Golongan keempat ... 41
e. Anak luar kawin... 41
2. Ahli waristestament(wasiat) ... 50
B. Perdamaian Dalam Pembagian Waris... 52
1. Perdamaian melalui sidang Pengadilan ... 53
2. Perdamaian di luar Pengadilan ... 53
3. Bentuk perdamaian ... 60
C. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Melalui Akta Perdamaian ... 78
1. Surat keterangan hak mewaris ... 83
2. Akta pemisahan dan pembagian ... 90
BAB III KEKUATAN HUKUM DARI PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN MELALUI AKTA PERDAMAIAN ... 103
A. Pembagian Harta Warisan ... 103
B. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian ... 107
C. Pembatalan Akta Perdamaian ... 112
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Saran ... 117
Skema 2 Pembagian waris golongan pertama terhadap ahli waris dari
perkawinan lebih dari satu... 31
Skema 3 Pembagian waris terhadap golongan kedua ... 34
Skema 4 Pembagian waris terhadap golongan kedua yang mana turut serta saudara kandung... 35
Skema 5 Pembagian waris terhadap golongan kedua mengenai Pasal 855 KUHPerdata ... 35
Skema 6 Pembagian waris terhadap golongan kedua dengankloving... 37
Skema 7 Pembagian waris terhadap golongan ketiga ... 39
Ab intestato : Ahli waris menurut Undang-Undang
Acta superscriptie : Akta pengalamatan
Acta van dading : Akta perdamaian tanpa persetujuan Hakim
Acta Van Depot : Akta penyimpanan
Acta van vergelijk : Akta perdamaian dengan persetujuan Hakim
Afwezig : Tak hadir
Akil baliq : Dewasa
Aktiva : Pemasukan
Alternative Dispute Resolution : Kelembagaan penyelesaian sengkeata diluar Pengadilan
Bedrog : Penipuan
Beneficiaire boedelaanvaarding : Penerimaan harta peninggalan secara hak istimewa
Beslag : Penyitaan
Bezwaring : Pembebanan
Boedel : kesatuan harta kekayaan (harta dalam
warisan)
Boedelbeshrijving : pencatatan boedel/ inventaris kekayaan
Case by case : Kasus demi kasus
Causa : Sebab
Civil Code / Burgelijke Wetboek : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Compromis : Perdamaian
Dwang : Paksaan
Dwaling : Kekhilafan
Executeur testamentair : Pelaksana Wasiat
Fact of life : Keseharian
Fiat justitia et pereat mundus : Meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan
Geschrift : Penulisan
Homo homini lupus : Manusia serigala bagi manusia lain
Inherent : Tidak terpisahkan
Inkracht van gewijsde : Berkekuatan hukum
In-natura : Wujud asli
Kloving : Pembelahan
Law and order : Hukum dan ketertiban
Legitimaris : Ahli waris yang mendapatkan bagian yang
ditentukan Undang-Undang
Legitimportie : Bagian ahli waris yang dilindungi oleh
Undang-Undang
Levering : Penyerahan
Library research : Penelitian Kepustakaan
Lichamelijke zaken : Benda yang berwujud/bertubuh
Olograpis/olografis : Wasiat yang dibuat dan ditulis sendiri oleh pewaris
Onbeheerde boedel : Warisan yang tidak terurus
Pacta sunt servanda : Asas mengikatnya suatu perjanjian
Pasiva : Pengeluaran
Portie : Bagian
Problem : Masalah
Rekening en verantwoording : Perkiraan dan pertanggung jawaban
Resolutie : Surat yang dikeluarkan oleh Balai Harta
Peninggalan mengenai anggota teknis hukum yang berwenang menghadap dan bertindak di muka Notaris hal akta pemisahan dan pembagian
Roerende zaken : Benda bergerak
Samenleven : Hidup Bersama (tidak dalam ikatan
perkawinan)
Scheiding : Pemisahan
Splitsing : membagi;memisahkan
Taksasi : Taksiran
Taxateur : Ahli Taksir
Tegen woordig : Kehadiran seluruh ahli waris
The order by the law : Urutan berdasarkan hukum
The order of law : Urutan Hukum
Testament : Wasiat
Testamentair : Ahli waris menurut wasiat
Vermoedelijk overlijden : Seorang yang sebelumnya tak hadir dapat diputuskan kemungkinan sudah meninggal dengan keputusan Hakim
Vermogensrechtelijke betrekkingen : Hukum Kekayaan
Vrije beheer : Kebebasan dalam bertindak (tidak dalam
pengawasan)
Wettiglijk : Sah; diizinkan oleh Undang-Undang
Zaak : Benda
BPN : Badan Pertanahan Nasional
DPW : Daftar Pusat Wasiat
HIR : Herziene Indonesische Reglement
HKI : Hak Kekayaan Intelektual
IS : Indische Staatsregeling
Jo : Juncto
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
MA : Mahkamah Agung
RBG : Rechtsreglement vor Buitengeweesten
RI : Republik Indonesia
SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung
Stb : Staatsblaad
WNI : Warga Negara Indonesia
sukarela dan cara paksaan, cara sukarela yang berujung pada perdamaian dan paksaan dengan putusan Hakim. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif.
Pembagian warisan dalam perdata mengenal dua ahli waris, yaitu ahli waris
ab intestato atau menurut undang-undang dan ahli waris testament atau menurut wasiat. Pada ahli waris menurut undang-undang ada pembagian 4 golongan, yaitu golongan pertama,kedua,ketiga dan keempat yang tiap-tiap golongan memilikki karakteristik dan sistem pembagian tersendiri, sedangkan ahli waris menurut wasiat berdasarkan penunjukan wasiat dan tidak boleh menghilangkan hak waris dari ahli waris ab intestato. Perdamaian dalam pembagian waris adanya perdamaian melalui persidangan dan di luar persidangan. Perdamaian di luar persidangan adanya bentuk akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik yang berdasarkan persetujuan Hakim(acta van vergelijk) dan tidak berdasarkan persetujuan Hakim (acta van dading) termasuk akta perdamaian yang dibuat di muka Notaris. Pelaksanaan pembagian harta warisan melalui akta perdamaian tergantung kepada kesepakatan para pihak yang berdamai, jika bagian yang ditentukan langsung berupa benda nyata maka penyerahannya kelak berupa benda nyata juga namun jika pembagian berupa taksiran harga, berarti pelaksanaannya melalui penjualan harta peninggalan dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan pembagian awal. Penyelesaian pembagian yang bersifat langsung kepada benda nyata maupun taksiran adanya proses yang harus dilaksanakan terdahulu oleh ahli waris yaitu pengurusan surat keterangan hak waris dan akta pemisahan dan pembagian.
Kekuatan hukum dari akta perdamaian dapat dilihat akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik, jika akta perdamaian di bawah tangan kekuatan hukum dalam pembuktian selama para pihak mengakui tanda tangannya maka berkekuatan hukum sama dengan akta otentik. Akta perdamaian otentik memiliki kekuatan hukum sempurna dalam pembuktian, terutama putusan akta perdamaian memiliki kekuatan yang disamakan dengan putusan akhir, dapat dieksekusi, dan tidak dapat melakukan upaya hukum untuk selajutnya. Akta perdamaian dapat dibatalkan dengan ketentuan 1859 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Penyelesaian waris tidak harus selalu melalui litigasi melainkan adanya pilihan perdamaian yang lebih menguntungkan dan dalam pebuatan perdamaian lebih baik dalam bentuk akta otentik sehingga dalam kekuatan hukum lebih sempurna.
inheritance ends in peace, while by coersion means that it ends in the court of law. This a descriptive analytical study with normative juridical approach.
In civil law, the distribution of inheritance recognizes two types of heirs; the ab inestato heir or according to law and testament heir or according to the will. According to the law, the heir is divided into 4 (four) groups – the first, second, third, and fourth groups – and each groups has its own characteristic and distribution system. According to the will, the heir is the one appointed in the will and must not eliminte the inheritance right of the ab intestato heir. Peace in the distribution of inheritance can be divided into two categaries – through a trial and and outside the court. The peace outside the court can be with underhanded peace deed and an authentic peace deed based on the judge’s agreement (acta van vargelijk) and without the judge’s agreement (acta van dading) including the peace deed made before a public notary. The implementation of distribution of inheritance through the peace deed depend on the agreement made the parties making peace. If the distribution directly determined is in the form of real object, the delivery later is also in the form of real object, but if the distribution is in the form of estimate price, the implementation of distribution of inheritance is through the sale of the legacy and the proceeds of the sale is then divided in accordance with the intial distribution agreement. The settlement of direct distribution of real object or estimade price needs a process which must be first done by the heis such as preparing the certificate of inheritance right and the separation amd division deeds.
The legal power of peace deed can be seen from the types of the peace deed hold. If it is the underhanded peace deed, as evidence, its legal power is the same as that authentic deed aslong as the parties signed the underhanded peace deed admit that the signatures on the underhanded peace deedare theirs. The authentic peace deed has a perfect legal power as evidence, especially the decision of peace deed has same legal power as the that of final decision, it can be executed but not able to perform further legal action. Peace deed can be cancelled under the provision of article 1859 to article 1864 of the indonesial Civil Codes.
The settlement of inheritance distributionshould not always be through litigation because there are better more choices. The peace deed made will be better and more benefical in the form of authentic deed that it has a more perfect legal power.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut
penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunanaktiva dan pasiva
orang yang meninggal dunia.1 Pewarisan hanya terjadi bilamana ada kematian (dari
pewaris). Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 830 Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata (Civil Code/Burgerlijke Wetboek).2 Seketika seseorang meninggal
dunia, para ahli waris demi hukum akan menggantikan kedudukan pewaris sebagai
pihak yang berwenang memiliki atau mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan.
Mulai terhitung sejak meninggalnya pewaris, maka hak dan kewajibannya
demi hukum akan beralih kepada para penerima waris. Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerima
waris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknya
sebagai penerima waris dari pewaris. Klaim ini serupa dengan klaim kepemilikan
lainnya dalam arti bahwa hak tersebut dapat ahli waris pertahankan terhadap siapapun
juga (ahli waris lainnya) yang memiliki klaim sama.3Harta kekayaan pewaris sebagai
satu kesatuan pada prinsipnya menjadi milik seluruh ahli waris bersama-sama.
1. M.J.A Van Mourik,Studi Kasus Hukum Waris,(Bandung : Eresco, 1993), hlm.1. 2
Wilbert D. Kolkman et.al. (eds), Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm.147.
Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa dalam hal pengalihan, semua ahli waris
harus bersama-sama menyepakati pengalihan demikian.
Ketentuan Pasal 1066 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa pemegang hak waris tidak dapat dipaksa untuk membiarkan atau
mempertahankan warisan dalam keadaan tidak terbagi. Pembagian waris dapat
dituntut setiap saat, terlepas dari adanya kesepakatan bersama para ahli waris yang
melarang pembagian demikian. Sekalipun begitu, para ahli waris dapat membuat
perjanjian atau kesepakatan untuk menunda pembagian atau pemberesanboedelatau
kekayaan pewaris untuk sementara waktu. Perjanjian demikian akan berlaku dan
mengikat hanya selama 5 tahun, dan dapat diperbaharui setiap kali jangka waktu
tersebut terlampaui.
Setelah harta warisan dibagi-bagikan, maka masing-masing ahli waris satu per
satu sesuai porsi yang diterimanya menggantikan kedudukan pewaris sebagai pemilik
harta kekayaan pewaris. Maka itu pula masing-masing ahli waris tidak dapat
dianggap memperoleh kebendaan yang bukan bagiannya. Notaris dapat dilibatkan
dalam proses pembagian ataupun pemberesan harta warisan. Setelah dibagi-bagi dan
dibereskan, harta kekayaan pewaris tidak lagi berstatus sebagai milik bersama para
ahli waris.
Pada pembagian waris dimana Notaris dapat dilibatkan dalam hal pembuatan
akta-akta yang berkaitan untuk harta peninggalan yang akan dibagi sesama ahli waris.
bentuk dan cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.4 Dalam pembagian
harta peninggalan Notaris salah satunya membuat akta Pemisahan dan Pembagian
yang akan memuat dengan jelas keseluruhan ahli waris serta harta peninggalan.
Pembagian warisan atau harta peninggalan melalui dua cara, yaitu adanya cara
sukarela dan cara paksaan. Terlepas dari unsur Pasal 1321 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pembagian harta
peninggalan melalu cara sukarela ialah pembagian yang dilaksanakan sesuai dengan
kehendak seluruh ahli waris, baik secara undang-undang yang menyatakan tegas
bagian masing-masing para ahli waris, termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maupun terlepas dari peraturan pembagian tersebut. Maksudnya lebih kepada
pembagian berupa barang langsung tidak dinominalkan terlebih dahulu.
Pembagian warisan dengan cara sukarela tidak selamanya harus langsung
dibagi untuk masing-masing ahli waris, bisa saja pada mulanya untuk pemilikan
bersama terhadap harta tersebut, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan
pelaksanaan secara sukarela adanya perdamaian yang ahli waris buat di hadapan
Notaris untuk awal permulaan pelaksanaan pembagian waris. Perdamaian mana
dibuat sesuai dengan pernyataan setiap ahli waris setuju dengan pelaksanaan
pembagian waris yang mana telah disepakati bersama.
“Perdamaian yang dalam bahasa Belanda disebut juga “dading” atau juga “compromis” merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana para pihak,dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara”.5
“Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub didalamnya; pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sekedar hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi lantaran perdamaian tersebut. Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan".6
Pada pembagian waris yang melalui cara sukarela yang diawali dengan akta
perdamaian bukan berarti menutup kemungkinan timbulnya sengketa. Karena dalam
hal pembagian waris kebanyakan timbul permasalahan setelah adanya pembagian
secara sukarela sesama ahli waris. Hal yang memicu timbulnya sengketa adanya
hal-hal yang oleh sebagian atau salah seorang ahli waris merasakan hak mewarisnya
hilang atau bagiannya yang tidak sepadan.
Salah satu contoh mengenai pembagian waris atau kepemilikan bersama yang
melalui perdamaian pada mulanya yang memicu konflik dikemudian hari adalah
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 841 K/Pdt/2012. Dalam kasus
ini adanya kakak beradik berenam saudara, telah meninggal dunia satu orang. Dimana
pada awalnya yang berlima saudara ini membuat akta perdamaian mengenai harta
peninggalan dari kedua orang tua mereka, berupa beberapa bangunan rumah dan 200
kg emas. Dari berlima saudara tersebut, anak pertama atau anak yang tertua
merasakan hak warisnya dihilangkan oleh saudara-saudaranya. Dalam gugatan
5Komar Andasasmita,Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya,(Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 498.
dinyatakan adanya penandatanganan akta perdamaian dengan blanko kosong oleh
anak tertua, yang mana ternyata isi dari perdamaian tersebut ada klausula yang
menyatakan penguasaan, penempatan ,dan pemeliharaan untuk harta peninggalan
yang dikuasai oleh saudara-saudara kandungnya. Sehinga adanya penghilangan hak
waris bagi anak tertua.
Pada penyelesaian sengketa waris melalui luar Pengadilan melalui jalur
musyawarah dengan mediasi atau negosisasi. Sebenarnya negosiasi dan mediasi
terdapat pada sengketa bisnis namun tidak menutupi untuk diterapkan dalam sengketa
perdata lainya, yang berujung pada akta perdamaian nantinya. Negosiasi merupakan
fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan
sehari-hari. Negosiasi adalah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang
bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga
penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang
berwenang.7 Sedangkan mediasi merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa
berdasarkan perundingan.8
Pembagian warisan yang berujung konflik atau sengketa, adanya pilihan
penyelesaian baik secara mufakat dan musyawarah keluarga maupun dengan jalur
hukum, yaitu mengajukan gugatan waris ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini putusan
7Suyud Margono.ADR (Alternavie Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan
Hakim yang telah berkekuatan tetap merupakan paksaan untuk pembagian waris atau
harta peningalan, yang demikianlah disebut dengan pembagian waris atau harta
peninggalan secara paksa.
“Tuntutan hukum untuk membatalkan suatu pemisahan meliputi setiap akta yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan harta tidak terbagi di antara para kawan waris, tak peduli apakah akta tersebut telah dilakukan dengan nama jual-beli, pertukaran, perdamaian, atau lain sebagainya. Namun apabila pemisahan harta peninggalan atau suatu akta yang seperti itu telah dilaksanakan, maka tak dapatlah dimintakan pembatalan terhadap suatu perdamaian yang kiranya telah dibuat untuk menghilangkan keberatan-keberatan yang nyata, yang terdapat dalam akta pertama”.9
Pembagian waris atau harta peninggalan secara paksa dimana adanya
pelaksanaan pembagian waris ditentukan oleh Hakim dengan putusan hukum yang
berkekuatan tetap bahkan dapat dengan eksekusi.
Pasal 18510 BW di Belanda atau New BW di Belanda memberikan kepada
Hakim wewenang untuk memerintahkan cara mengadakan pembagian atau
menetapkan sendiri pembagian tersebut. Menurut ayat (1) Hakim wajib
memperhatikan kepatuhan dalam pembagian tersebut, baik yang menyangkut
kepentingan para pihak maupun kepentingan umum. Ayat 2 memberikan Hakim
peluang untuk memilih tiga cara pembagian, yaitu:11
9Pasal 1117 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
10Pasal 185 BW Belanda dengan tegas mengatur mengenai pembagian warisan dengan kekuasaan atau kewenangan Hakim, sedangkan di BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak adanya pengaturan yang tegas dan jelas mengenai kewenangan Hakim dalam pembagian waris, melainkan pembagian waris yang dimohonkan kepada Hakim atau masuk dalam Pengadilan, maka Hakim dengan pertimbangan berdasarkan ketentuan undang-undang dan literatur pendukung untuk memutuskan pembagian dan pembagian tersebut keseringan kepada pembagian taksiran bukan berupa pembagianin-natura. Sehingga menunculkan ketidak puasan para pihak yang bersengketa atau pihak yang memohonkan memohonkan pembagian waris kepada Hakim.
a. Memberikan sebagian dari barang tersebut kepada masing-masing rekan
peserta pembagian;
b. Memberikan bagian lebih kepada seorang atau lebih rekan peserta dengan
membayar ganti rugi atas nilai lebih;
c. Pembagian hasil bersih barang tersebut atau sebagian dari barang itu, setelah
ini dijual menurut cara yang telah ditetapkan oleh Hakim.
Putusan Hakim mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang
berperkara, dan kekuatan pembuktian, yang berarti bahwa dengan adanya putusan
telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu, serta kekuatan eksekutorial yaitu
kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa
oleh alat-alat Negara.12Putusan Hakim tersebut tidak selalu memberikan kenyamanan
serta rasa keinginan yang tidak terpenuhi, karena dari itu tidak memungkinkan
adanya akta perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim tersebut.
Perdamaian dilaksanakan untuk menghindari serta menyelesaikan
permasalahan, baik permasalahan tersebut masih bersifat musyawarah keluarga yang
tidak terpecahkan maupun permasalahan yang telah masuk ranah hukum, dalam hal
ini maksudnya sedang proses peradilan atau telah proses peradilan. Perdamaian yang
dilaksanakan ketika putusan Hakim telah keluar dan para pihak masih tidak merasa
nyaman serta keinginan tidak terpenuhi, maka para pihak mengenyampingkan
putusan Hakim dan membuat akta perdamaian di hadapan Notaris. Hal yang
12 Rima Nurhayati, Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan
demikian bukan berarti salah, karena hukum perdata selalu memberi peluang untuk
perdamaian, lain dengan hukum pidana.
Salah satu contoh kasus perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim
adalah perdamaian yang dilaksanakan para pihak dalam upaya menyelesaikan
sengketa waris melalui proses persidangan, yang pada akhirnya diputus oleh
Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor perkara : 305/ Pdt. G/2007/PN. Bks.
Realisasi putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) dapat dijalankan dengan sukarela dan eksekusi. Para pihak berkehendak
untuk upaya damai. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Akta
perdamaian yang dijalankan bukan perdamaiandading, tetapi akta perdamaian yang
dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris yang merupakan bentuk perjanjian pada
umumnya.13
Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim pada
tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi
kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.14
Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu putusan Hakim
telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua
belah pihak atau salah satu pihak, adalah batal. Jika keputusan yang tidak diketahui
13Ibid.
itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai sengketa yang
bersangkutan adalah sah.15
Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, adanya ketertarikan untuk
melakukan penelitian yang dirangkai dengan Judul “ Kekuatan Hukum Pembagian
Waris Melalui Akta Perdamaian Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa
masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar
adanya akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata?
2. Bagaimana kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan
melalui akta perdamaian?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian pembagian harta warisan
yang dilakukan atas dasar dengan akta perdamaian antara para ahli waris
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum dari pembagian harta
warisan yang dilakukan atas dasar adanya akta perdamaian antara para ahli
waris.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Secara Teoritis
Penulisan ini sekiranya dapat memperkaya khasanah pengetahuan di bidang
Hukum Waris, khususnya Hukum Waris BW mengenai pembagian waris
yang diawali dengan akta perdamain , sehingga dapat bermanfaat bagi
pengembangan hukum waris di Indonesia.
2. Manfaat Secara Praktis
Hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat secara
praktis, yaitu kepada:
a. Masyarakat, memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai dasar hukum
pembagian warisan bagi ahli waris khususnya Warga Negara Indonesia yang
tunduk kepada hukum waris perdata.
b. Instansi terkait dan praktisi hukum, untuk memberikan masukan mengenai
pembagian warisan menurut hukum waris perdata.
c. Peneliti, memberikan masukan dan bahan pembandingan bagi para peneliti
yang tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum waris,
khususnya hukum waris menurut perdata.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas
menunjukan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan
topik tesis ini antara lain:
1. Penelitian dengan judul “Pembagian Harta Warisan Orang Yang berbeda
Agama Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 51K/Ag/1999)”, oleh Sahriani NIM.
077011084. Rumusan Masalah:
a. Hak-hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan
pewaris?
b. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama?
c. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat
wajibah untuk orang yang berbeda agama?
2. Penelitian dengan judul “Penerapan Pasal 916 a Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Oleh Balai Harta Peninggalan Bagi Perlindungan Hak
mewaris Anak Dibawah Umur Bagi Golongan Tionghoa (Studi Kasus Harta
Peninggalan Tan Tjoen Kiah”, oleh Rasanty Sribulan L Siallagan
NIM.027011055. Rumusan Masalah :
a. Bagaimanakah penerapan Pasal 916a Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang dilakukan dalam penyelesaian warisan dalam kasus harta
peninggalan Tan Tjoen Kiah?
b. Mengapa Balai Harta Pemninggalan Medan melakukan penuntutan untuk
kepentingan harta anak dibawah umur dalam kasus harta peninggalan Tan
c. Kendala apa-apa sajakah yang dihadapi oleh Balai Harta Peninggalan
Medan sebagai wali pengawas dalam melaksanakan tugasnya dalam
kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?
3. Penelitian dengan judul “Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian
Sengketa Tanah Di luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara
Pemilik Tanah Adat Ahli waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank
Sumatera Utara Di Kabanjahe)”. Oleh Syafruddin Adi Wijaya, NIM :
057011088/Mkn. Rumusan Masalah :
a. Bagaimanakah bentuk dan isi Akta Perdamaian dalam menyelesaikan
sengketa tanah antara pemilik tanah adat yaitu ahli waris dari Pa Nampati
Purba dan PT. Bank Sumatera Utara di luar Pengadilan ?
b. Apakah faktor-faktor yang harus dperhatikan dalam membuat akta
perdamaian ?
c. Apakah hambatan-hambatan dan apakah upaya mengatasi hambatan yang
dihadapai dalam pembuatan akta perdamaian ?
4. Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang
Menyampingkan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum
Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi)”. Disusun oleh
Rima Nurhayati, NIM : B4B008226. Dengan rumusan masalah :
a. Bagaimana akibat hukum dari akta perdamaian yang isinya
b. Bagaimana akibat hukum putusan Pengadilan yang disampingkan
dengan akta perdamaian?
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk
berbifikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.16 Kerangka teori
merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai
sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan ,
pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.17 Kerangka teori
adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang
tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.18
Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap
sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan
eksternal bagi penelitian ini.19 Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan
16
HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto,Teori Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm.22.
17
M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27 dan 80.
18Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm.129. 19
simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.20
Keberadaan teori dalam dunia ilmu pengetahuan sangat penting karena teori
merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli
dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu
masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.21
Pembahasan mengenai kekuatan hukum pembagian warisan pada
hakekatnya tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum,
dimana adanya kepastian hukum dalam pembagian warisan. Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian
hukum dari kekutan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari
aspek hukum perdata.
Menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu:
“Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim
20Mukti Fajar dan YuliantoAchmad, Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2010), hlm. 134.
antara putusan Hakim yang satu dengan putusan Hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.22
“Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pemikiranmainstream
beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya. Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and ordermenyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial.
Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian
hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.23
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang
telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku
pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh
subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan
secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang
menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.
Penganut aliran positivisme lebih menitik beratkan kepastian sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih
dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada umumnya kurang
bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum.
Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori tentang kepastian
hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek
hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya.
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan
sosial, kepastian adalah mensyaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh
negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian
dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau
menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam
hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum
melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang
memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum
yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam
memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu
kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar
subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum
adalah perwujudan dari itikad baik.
Kepastian dalam melakukan suatu perbuatan hukum terutama perjanjian tidak
hanya dari suatu akibat suatu perjanjian yang hendak diinginkan, akan tetapi juga
pada substansi perjanjian itu sendiri. Pembentuk Undang-undang juga mewajibkan
kepastian dalam merumuskan suatu perjanjian. Pasal 1342 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas
sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena
perjanjian merupakan undang-undang bagi para subjek hukum maka segala sesuatu
yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek hukum. Jika suatu perjanjian tidak
memberikan kepastian dalam hal isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah
akan tidak terlindungi dan menjadi tidak pasti.
Pada kepastian hukum mengenai perjanjian tidak terlepas dari hal mengenai
yang sah apabila telah memenuhi empat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain :24
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat dimaksudkan kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia-sekata untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
dengan demikian tanpa adanya kesepakatan tersebut maka tidak akan lahir suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu sepakat
yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena adanya kekhilafan
(dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog). Jadi dapat disimpulkan
bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian harus
benar-benar bebas dari tekanan dan murni atas kehendak sendiri yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya setiap orang yang
sudah dewasa atauakil baliq25 dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang yang
oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap yakni, orang di bawah umur dan orang
yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan perempuan yang telah kawin
dicabut sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak
dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili oleh walinya atau
pengampu/kuratornya.
24R. Setiawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta, 1978), hlm.
c. Suatu hal tertentu
Hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu
barang yang cukup jelas atau tertentu, yang mana tertuang dalam Pasal 1332-1334
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat ini diperlukan untuk menetapkan
kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.26
d. Suatu sebab yang halal.
Maksudnya adalah isi dan tujuan perjanjian itu tidak dilarang atau tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat (Pasal 1335-1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang yang melakukan
perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif
dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya, pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang tidak menyetujui perjanjian tersebut, apabila perjanjian
tersebut dilakukan secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat
selama tidak dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa
perjanjian itu tidak pernah ada.
2. Konsepsional
Konsep (Inggris:conceptual,Latin : Conceptus dari concipere (yang berarti
memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata con (bersama)
dancapere( menangkap, menjinakkan). Konsep memiliki banyak pengertian. Konsep
dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas
fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang menunjuk pada hal-hal universal
yang diabtraksikan dari hal-hal yag pertikular. Salah satu fungsi logis dari konsep
ialah memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan
praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu.
Penggagabungan itu memungkinkan ditentukannya arti kata-kata secara secar tepat
dan menggunakannya dalam proses pikiran.27
Konsepsional penting dirumuskan agar tidak adanya kesalah pahaman dalam
mengartikan maksud penulisan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh
hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan
untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan
penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu suatu yang
dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
analisi.28
27
Johnny Ibrahim,Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Media, 2008), hlm.306.
Pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :
a. Hukum Waris yaitu serangkaian ketentuan yang mengatur peralihan warisan
seseorang yang meninggal dunia kepada seorang lain atau lebih.29
b. Pewarisan adalah merupakan tindakan menggantikan atau meneruskan
kedudukan orang yang meninggal yang ada kaitan atau hubungannya dengan
hak atas harta benda, demikian menyangkut hukum kekayaan
(vermogensrechtelijke betrekkingen) orang itu.30
c. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang msih hidup.31
d. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia.32
e. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum
mengenai kekayaanya.33 Orang-orang yang berhak menerima harta warisan
(harta pusaka).34
29Than Thong Kie,Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : IchtiarBaru Van Hoeve,2007), hlm. 224.
30Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Teori & Praktek), (Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat,1990), hlm. 149.
31R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur,1991), hlm.13. 32Pengertian meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami (natuurlijke dood). Apa penyebabnya tidak relevan, apakah karena sakit, kecelakaan atau akibat pembunuhan, termasuk bunuh diri. Lihat M.U. Sembiring, Beberapa bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Medan : Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,1989), hlm. 32.
33
MR. A. Pitlo,Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid 1,( Jakarta : Intermasa,1986), hal . 1.
f. Hak mewarisi adalah hak yang telah ditentukan secara tegas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bagi ahli waris, baik karena Undang-undang
maupun karena penunjukan atau wasiat.
g. Bagian mutlak atau legitime portie35 adalah bagian seorang ahli waris yang
dilindungi oleh Undang-undang.36
h. Perdamaian merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan
mana para pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk
mencegah timbulnya suatu perkara.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.37
1. Sifat dan Jenis Penelitian
a. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh
35Bagian mutlak ataulegitime portieadalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Lihat Pasal 913 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
36Than Thong Kie,Loc.Cit.
gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai kekuatan hukum
pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata.
Bersifat analitis maksudnya bahwa penelitian ini tidak hanya memaparkan
apa yang telah diteliti, akan tetapi juga dianalisis terhadap aspek hukum dari hukum
waris Perdata.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis
normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hukum waris
Perdata. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang
hukum atau bahan rujukan bidang hukum.38 Maka pendekatan yang yang dilakukan
adalah pendekatan peraturan hukum yang berlaku baik itu dalam peraturan peraturan
perundang-undangan hukum nasional terutama hukum waris.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau
materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.39Data sekunder berasal
dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari :
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm .33.
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
4) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi di Pengadilan
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti rancangan undang-undang, hasl-hasil penelitian, hasil
karangan dari kalang hukum, dan seterusnya40.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus dan seterusnya41.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah artikel,
putusan Pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta
tulisan-tulisan yang terkait dengan kekuatan hukum pembagian waris melalui akta
perdamaian.
4. Analisis Data
Keseluruhan data atau bahan yang diperoleh dianalisis secara kualtitatif, yaitu
dengan memberi penilaian terhadap hasil penelitian berdasarkan peraturan
perundang-undangan, pendapat para ahli, dan akal sehat dengan uraian
kalimat-kalimat dan tidak menggunakan angka-angka. Analisis data ini bertolak dari
teori-teori dan konsep yang telah disusun dan dikemukakan dalam kerangka teori-teori dan
kerangka konsepsional. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana
pelaksanaan pembagian warisan dan hak mewaris.
5. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan pada penelitian ini yang berpedoman pada cara
deduktif induktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum
BAB II
PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR ADANYA AKTA PERDAMAIAN ANTARA PARA AHLI
WARIS
A. Pembagian Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika
terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Dalam hukum waris
perdata untuk mewarisi harus adanya orang yang meninggal yang disebut dengan
pewaris. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.42 “Peristiwa kematian
menurut hukum mengakibatkan terbukanya warisan dan sebagai konsekwensinya
seluruh kekayaan (baik berupa aktiva maupun pasiva ) yang tadinya dimiliki oleh
seorang peninggal harta beralih dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya
secara bersama-sama”.43Untuk waktu pelaksanaan pembagian warisan tidak adanya
ketentuan tersendiri dari peraturan waris perdata yaitu yang termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Namun adanya ketentuan mengenai tidak
dibenarkan harta warisan atau harta peninggalan dibiarkan dalam keadaan tidak
terbagi yang mana dituangkan dalam Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan
siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar
42Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian
pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang
berhak dalam pembagian harta warisan tersebut.
Pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan atau harta peninggalan
adalah ahli waris, ahli waris merupakan “orang-orang yang berhak menerima harta
warisan (harta pusaka)”44. Ahli waris dalam waris perdata ada dua pembagian, yaitu
ahli waris karena undang-undang (ab intestato) dan ahli waris karena wasiat
(testamentair).
1. Ahli waris karena undang-undang (ab intenstato)
Ahli waris karena undang-undang atau ab intestatomerupakan keluarga yang
sedarah, baik sistem kekeluargaan ke atas maupun ke bawah. “Prinsip yang dipegang
oleh undang-undang ialah bahwa dalam pewarisan menurut undang-undang, keluarga
sedarah yang terdekat selalu mengenyampingkan atau menindih keluarga yang lebih
jauh sehingga keluarga yang lebih jauh itu tidak ikut mewaris”45.
Pada pewarisan karena undang-undang adanya beberapa golongan yang
ditentukan, sehingga golongan yang terdekat dari pewaris memiliki prioritas utama
untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Golongan tersebut yaitu, golongan pertama,
golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Setiap golongan adanya
kategori tertentu dan pembagian yang berbeda pula.
a. Golongan pertama
Golongan pertama merupakan golongan paling dekat dengan pewaris, yaitu
istri dan anak-anak. Dalam hal ini berlaku adanya posisi penggantian46, maksudnya
bila mana anak dari pewaris meninggal dunia namun adanya keturunan dari anak
tersebut (cucu) maka keturunan dari anak pewaris naik menggantikan ayah atau
ibunya sebagai ahli waris. Begitu juga selanjutnya kepada ahli waris yang di
bawahnya, jika ahli waris yang diatasnya telah meniggal terlebih dahulu dari pewaris.
“Menurut Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawaninan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.
Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti”.47
Pewarisan perdata tidak membedakan jenis kelamin dalam pembagian
warisan, selagi keluarga sedarah dan diakui sah bagi anak luar kawin maka adanya
hak untuk menuntut bagian dari pembagian warisan. Begitu juga dengan status anak
dari perkawinan terdahulu maupun perkawinan yang baru, jika pewaris meninggal
maka anak yang sedarah dengan pewaris tetap berhak mendapatkan warisan, dan
anak dari perkawinan keberapapun selagi masih sedarah dan adanya pengakuan bagi
anak luar kawin tetap mendapatkan bagian warisan. Lain hal dengan istri atau suami,
46
Penggantian maksudnyadimana ahli waris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka ahli waris dari yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris tersebut naik menggantikan posisi ahli waris sebenarnya.
jika putusnya perkawinan karena perceraian48 maka hubungan harta dan hubungan
perdata antara suami dan istri telah berakhir dan adanya pemisahan tersendiri. Namun
anak tidak dapat diperlakukan dengan demikian, sehingga sampai kapanpun adanya
hak anak dalam pewarisan terhadap ibu dan atau ayahnya.
Begitu juga dengan keturunan dari anak-anak si pewaris, jika anak dari
pewaris meninggal dunia terlebih dahulu, maka warisan turun kepada cucu atau
keturunan sah dari si anak (masih hubungan darah). Yang mana kalimat dari Pasal
852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan mewarisi pancang demi
pancang yang bermaksud sebatas hanya sebagai pengganti dalam pewarisan.
Pada golongan pertama adanya hak suami atau istri dalam pewarisan untuk
saat ini, namun tidak demikian sebelum tahun 1935.
“Persamaan waris suami atau istri dengan seorang anak sah itu baru terjadi setelah adanya perubahan undang-undang, yaitu di Indonesia tahun 1935 (staatsblaad tahun 1935 nomor 488), sebelum tahun 1935 suami atau istri terpanggil sebagai ahli waris apabila tiada atau musnahnya sanak keluarga sedarah sampai dengan derajat ke 12, sehingga pada sebelum tahun tersebut jarang sekali seorang janda atau duda medapatkan warisan dari almarhum atau almarhumah suami atau istrinya. Sebagai akibat dari dipersamakannya janda atau duda dengan seorang anak sah itu, maka apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau keturunan lain, maka janda atau duda tersebut berhak atas harta peninggalan almarhum atau almarhumah suami atau istrinya mendahului orang tua, saudara-saudara kandung dan yang lainnya”.49
Pembagian pada golongan pertama dengan anak-anak sah dan janda atau
duda, maka pembagiannya sama rata, yang mana pembagian janda atau duda setara
dengan anak-anak. Seperti contoh :
48
Perceraian merupakan salah satu hal yang mengakibatkan bubarnya perkawinan, Pasal 199 angka 4e Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
49 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab
Skema 1
Pembagian waris terhadap golongan pertama
A B
C
Keterangan skema 1: A (pria) semasa hidup menikah dengan B (wanita) dan memiliki anak C (pria).
Penjelasan dari skema 1 ialah A meninggal dunia dengan ahli waris B dan C,
maka istri dan anak merupakan golongan pertama dan mengenyampingkan
golongan-golongan yang lain. Pembagiannya masing-masing B dan C mendapat ½ (seperdua)
atau setengah bagian untuk masing-masing. Begitu juga jika anaknya lebih dari satu,
misalnya dua atau tiga dan seterusnya maka pembagian sama besarnya. Dalam
perhitungan tersebut berlaku jika tidak adanya harta persekutuan dalam perkawinan
pewaris, namun jika adanya harta persekutuan setiap hendak mulai pembagian
warisan maka awalnya dikeluarkan harta persekutuan terlebih dahulu.
Pada kasus skema 1 di atas jika adanya harta persekutuan maka
perhitunganya:
1) Langkah awal pisahkan harta persekutuan, yang mana harta perseketuan
merupakan ½ (seperdua) bagian dari harta peninggalan. Sehingga sisa harta
peninggalan menjadi ½ (seperdua) bagian;
2) Sisa harta peniggalan ½ (seperdua) bagian tersebutlah yang merupakan bagian