Pembagian Waris Menurut Hukum Perdata Barat
Prinsip Pewarisan dan Penggologan Ahli Waris Menurut Hukum Perdata Barat prinsip dari pewarisan :
1. Pada asasnya yang dapat beralih kepada para ahli waris ialah hak dan kewajiban pewarisan yang terletak dibidang hukum harta benda atau harta kekayaan ;
2. Dengan meninggalnya seseorang maka seketika itu juga beralihlah semua hak dan kewajiban pewaris kepada para ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata
3. Yang berhak untuk mewaris adalah keluarga atau ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Oleh karena itu, pada awalnya suami atau isteri yang hidup terlama tidak mempunyai hak untuk mewaris.
4. Pada asasnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, kecuali jika hal itu terjadi, dengan persetujuan para ahli waris.
5. Pada asasnya setiap orang sekalipun bayi yang baru dilahirkan adalah cakap untuk mewaris, kecuali mereka yang dinyatakan tidak patut untuk mewaris. Bahkan lebih lanjut KUHPerdata Pasal 2 menyatakan bahwa bayi yang belum lahir (masih dalam kandungan) mempunyai hak waris.
Dalam Hukum Perdata Barat, pada hakekatnya pembagian waris (pewarisan) dapat terjadi berdasarkan 2 cara, yaitu :
- Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh undang undang, yang disebut pewarisan ab-intestato dan para ahli waris disebut ahli waris abintestaat.
- Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh testament atau surat wasiat.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam hukum perdata barat dikenal 4 penggolongan ahli waris yaitu :
Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
Golongan II : orang tua, saudara laki laki, saudara perempuan dan keturunan dari saudara laki laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 859 KUHPerdata)
Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua (Pasal 853 KUHPerdata)
Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke enam (Pasal 858 KUHPerdata)
Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Golongan pertama: mereka yang pertama kali dipanggil oleh Undang Undang sebagai ahli waris adalah anak dan keturunannya beserta suami atau isteri dari pewaris. Anak-anak mewarisi untuk bagian yang sama besarnya dan suami atau isteri yang hidup terlama mewarisi bagian yang dengan anak. Pasal 852 KUHPerdata menjelaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, baik dilahirkan dari lain lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek atau nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas, dengan tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri dan mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.
Diantara keturunan, orang lebih dekat derajatnya kecuali pelaksanaan aturan penggantian, menyampingkan orang yang lebih jauh derajatnya. Apabila cucu mewarisi untuk diri sendiri, mereka mewarisi untuk bagian yang sama besarnya. Sebagai contoh harta peninggalan suami atau isteri, dua orang anak, dan tiga orang cucu dari anak yang meninggal lebih dahulu, maka harta peninggalannya dibagi dalam empat bagian yang sama besarnya. Suami atau isteri yang hidup terlama, tiap anak dan ketiga cucu bersama-sama menerima seperempat. Apabila ayah dari ketiga cucu itu tidak meninggal lebih dahulu, atau ia tidak pantas, atau menolak haknya untuk mewarisi untuk pewaris, maka harta peninggalan dibagi antara suami atau isteri yang hidup terlama dan kedua anak dalam tiga bagian yang sama besarnya. Apabila suami atau isteri dari pewaris berikut ketiga anaknya telah meninggal dunia terlebih dahulu maka ketiga cucu tersebutlah yang menjadi ahli waris pewaris dengan besar bagian masing masing adalah 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Disini ketiga cucu tersebut mewaris tetapi bukan dengan penggantian melainkan karena kedudukannya sendiri.
Golongan ketiga: kakek dan nenek serta leluhur selanjutnya merupakan golongan ketiga dari ahli waris. Apabila pewaris tidak meninggalkan suami/isteri, keturunan, orang tua, saudara dan keturunan dari saudara, maka harta peninggalan itu sebelum dibagi, dibelah lebih dahulu (kloving). Setengah dari harta peninggalan diberikan kepada sanak keluarga dipihak ayah, dan setengah lagi kepada yang dipihak ibu. Setiap bagian itu dibagi suatu harta peninggalan yang berdiri sendiri.
Kloving (pembelahan) didalam KHUPerdata baru terjadi apabila tidak ada lagi ahli waris golongan kedua termasuk keturunan dari saudara laki-laki dan perempuan dari pewaris. Sebagaimana dijelaksan sebelumnya setiap bagian yang dibagi melalui kloving tersebut adalah suatu harta peninggalan yang berdiri sendiri. Sehingga membawa kemungkinan bahwa dalam garis keturunan yang satu, yang menerima harta peninggalan adalah ahli waris dalam golongan keempat, sedangkan dalam garis keturunan yang lain yang menerima harta peninggalan adalah ahli waris dari golongan ketiga.
Disinilah letak arti kloving. Akibat dari sifat mandiri masing-masing bagian adalah: Apabila ada penolakan dari salah seorang ahli waris, maka hal ini hanya berarti didalam garis ahli waris yang menolak itu. Hanya apabila didalam salah satu garis tidak ada lagi keluarga sedarah dari derajat itu, maka seluruh warisan jatuh pada keluarga sedarah dari garis lainnya. Dalam tiap-tiap garis dilaksanakanlah aturan yang biasa sehingga orang-orang dari golongan ke empat barulah dipanggil, apabila tidak ada ahli waris golongan. Dalam tiap golongan orang yang lebih dekat derajatnya menyampingkan yang lain sehingga apabila dalam garis keturunan ayah ada kakek pewaris, dan orang tua dari nenek pewaris, maka kakek pewaris menyampingkan kedudukan orang tua dari nenek pewaris (disini nenek pewaris telah meninggal terlebih dahulu) yang karena undang-undang tidak mengenal penggantian dalam garis keatas. Besarnya bagian yang diterima oleh masing masing ahli waris dalam satu garis keturunan adalah sama besarnya.
Golongan keempat: sanak keluarga selanjutnya dalam garis menyamping. Sesudah garis keatas dipanggillah sanak keluarga dari garis menyamping diluar golongan kedua. Sama seperti ahli waris golongan ketiga, harta peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu menjadi dua bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris menyampingkan sanak saudara yang lain. KUHPerdata menetapkan sanak saudara menyamping yang dapat mewaris hanyalah sampai derajat ke enam.
Oleh karena itu apabila dalam garis menyamping keluarga yang bertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih jauh dari derajat keenam maka mereka tidak mewaris. Kalau hal ini terjadi pada satu garis keturunan, maka bagiannya akan menjadi hak keluarga pada garis keturunan yang lain, kalau orang itu mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidak melebihi derajat keenam.
bagian yang harus mereka dapat, andaikata mereka anak anak yang sah, jika si meninggal tak meninggalkan keturunan, suami atau isteri akan tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka mewaris ½ dari warisan dan jika pewaris hanya meninggal sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh maka bagian anak luar kawin yang diakui adalah sebesar ¾ bagian.
Jadi Pasal 863 KUHPerdata ini membatasi hak mewaris anak luar nikah pada ½ (separuh) warisan, apabila ia mewaris bersama orang tua pewaris, saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka (golongan II). Apabila anak luar kawin mewaris bersama sama dengan golongan III dan IV maka ia berhak atas ¾ bagian dari harta peninggalan.
Dalam menentukan bagian anak luar nikah, harus diperhatikan Pasal 285 ayat 1 KUHPerdata, yang menentukan pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami isteri atas keuntungan anak luar nikah, yang sebelum menikah olehnya diperbuahkan pada orang lain dari suami isteri itu tidak dapat membuat kerugian pada suami isteri itu maupun anak anaknya yang dilahirkan dalam perkawinan itu.
Maksudnya bahwa demi kepentingan suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, maka pengakuan itu harus tidak diperhatikan sehingga hak dari suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu harus dihitung seolah-olah anak luar nikah itu tidak diakui (tidak ada anak luar kawin).
Terhadap anak zinah dan anak sumbang, berdasarkan Pasal 867 KUHPerdata mereka tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkannya namun undang undang memberikan hak pada mereka untuk menuntut nafkah untuk hidup yang besarnya ditentukan menurut kekayaan ayah/ibunya serta jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 868 KUHPerdata.
Mengenai golongan pertama yang meliputi suami/isteri yang hidup terlama dan keturunannya, mendapatkan bagian yang sama besar. Sedangkan golongan kedua terdiri dari bapak, ibu, saudara dan keturunan saudara dari orang yang meninggal dunia dimana mereka hanya akan menjadi ahli waris apabila tidak ada ahli waris dari golongan pertama.
Pembagian Harta Waris dalam Islam
Machfud Ilahi
07.27
Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta waris.
Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta waris itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan dari mayit:
1. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenasa;
2. Wasiat dari orang yang meninggal; dan
3. Hutang piutang sang mayit.
Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pembagian harta waris dalam islam telah ditentukan dalam al-qur'an surat an nisa secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu
Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh (1/2):
1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini
(anak tiri).
2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.
3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.
Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperempat (1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya
1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah dagingnya atau bukan.
2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu, tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.
Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.
Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris duapertiga (2/3):
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara laki-laki se-ayah. Dan pewaris tidak memiliki saudara kandung.
Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3):
1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau bukan)
2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.
Mengenai Pembagian harta waris menurut para ulama sejak dari zaman dahulu sampai sekarang menyatakan bahwa tidak ada aturan pembagian harta warisan yang dapat menjamin keadilan kecuali aturan pembagian warisan yang diatur oleh syariat islam
Orang-orang yang hidup pada zaman jahiliyah tidak memberi hak waris kepada wanita dan anak-anak, dengan alasan karena keduanya tidak ikut angkat senjata dalam sebuah peperangan. Adapun pada zaman sekarang ini, orang-orang membagi harta warisan dengan mengikuti kehendak manusia.
Pada zaman sekarang banyak yang memberikan harta waris kepada seorang saja tanpa membagikannya kepada pasangan maupun anaknya. Ada pula seseorang yang mewasiatkan hanya kepada salah seorang anaknya saja dan membiarkan begitu saja anak-anaknya yang lain dalam keadaan merana.
Selain itu, ada juga orang yang membagikan harta warisannya hanya kepada binatang kesayangannya dan membiarkan para ahli warisnya hidup dalam kesusahan.
Hanya aturan waris dalam islamlah yang sanggup menjamin hak seluruh ahli waris, menjaga kehormatan dan sesuai dengan hati nurani manusia.
Hak Waris Bagi Perempuan
perempuan dari kewajiban tersebut, meskipun perempuan boleh saja ikut mencari nafkah.
Kaum lelaki juga diwajibkan oleh agama islam untuk mengeluarkan mas kawin untuk diberikan kepada istrinya sebagai jaminan cinta kasih sayangnya ketika keduanya menikah, sedangkan perempuan tidak dibebani apa-apa
Oleh sebab itu, maka sudah tepat dan adil jika dalam pembagian warisan, laki-laki mendapatkan bagian yang melebihi bagian perempuan. Karena jika tidak demikian, maka hal itu justru akan menzalimi kaum laki-laki. Meskipun waris bagi perempuan lebih sedikit, sebenarnya akan tertutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari seorang suami.
Perlu juga diketahui bahwa dalam pembagian waris bagi perempuan tidak selalu mendapat bagian yang lebih kecil dari bagian waris lak-laki. Ada kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi perempuan sama besarnya dengan bagian waris laki-laki.
Contohnya adalah jika seseorang yang wafat meninggalkan ayah, seorang ibu, dan anak, maka pembagiannya mengikuti firman Allah swt yang berbunyi,
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dar harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” (QS. An-Nisa`:11)
atau dua orang anak perempuan yang ditinggal mati oleh ayahnya, berhak mewarisi duapertiga dari harta ayahnya, jika mereka tidak memiliki saudara laki-laki. Jika pun si mayit memiliki seorang ayah, maka ayahnya hanya berhak mewarisi seperenam dari harta si mayit. Aturan in termaktub dalam firman Allah swt yang berbunyi,
“… Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan…” (QS An-Nisa`:11)
Islam telah mengatur hak waris dengan sedemikian rupa dengan memperhatikan keadilan kepada pihak keluarga yang ditinggalkan dengan permasalahan yang akan di hadapi tidak peduli pada zaman apapun. Hal ini guna menjamin keadilan dan keharmonisan dalam sebuah keluarga sehingga tidak terjadi perselisihan, seperti yang kerap terjadi sekarang ini.
Pengantar Hukum Waris
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Berkata Rasulullah SAW., ‘Belajarlah ilmu faraid dan ajarkanlah ilmu itu. Ilmu tersebut merupakan separuh dari ilmu yang ada. Ilmu ini merupakan ilmu yang pertama kali dilupakan orang’.”
(H.R. Ibnu Majah nomor 2710 dari Abu Hurairah)
Ilmu waris adalah ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam Islam.
Hukum waris Islam merupakan salah satu syariat yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Pembagian warisan sesuai hukum Islam adalah pembagian yang paling adil sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Bukan pembagian menurut tradisi, ataupun pembagian sama rata, apalagi pembagian yang mengatasnamakan Hak
Asasi Manusia (HAM) .
Pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu faraid Islam tidak akan merugikan pihak mana pun karena cara tersebut merupakan ketentuan Allah SWT. Dengan demikian cara pembagian harta menurut ilmu faraid merupakan cara yang terbaik untuk membagi harta warisan, baik dalam pandangan Allah SWT maupun manusia.
Ilmu waris disebut juga ilmu faraid. Kata faraid berasal dari kata farada yang berarti ketentuan atau ketetapan Allah swt. Adapun bahasannya meliputi pengetahuan tentang harta peninggalan (harta pusaka), cara menghitung pembagiannya, dan
bagian ahli warisnya.
1. Tujuan dari ilmu faraid / hokum waris adalah:
 Untuk mengetahui secara jelas siapa yang berhak menerima harta warisan serta bagiannya.
 Untuk menghindari perselisihan diantara ahli waris.
2. Dasar hukum waris dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku II. Pembagiannya dilakukan oleh
pengadilan agama berdasarkan Kompilasi Hukum tersebut.
3. Rukun hukum waris
Agar sah menurut hukum, pewarisan harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:  Harta yang ditinggalkan (maurus)
 Orang yang meninggal dunia (muwarris)
 Orang yang akan mewarisi (ahli waris)
 Harta warisan tidak menanggung hak-hak orang lain , contohnya hak orang lain seperti utang, wasiat dan biaya penguburan jenazah.
4. Syarat hukum waris
 Meninggalnya muwarris
 Hidupnya ahli waris saat mawarris meninggal
 Tidak adanya penghalang untuk saling mewarisi
5. Hilangnya waris mewarisi
 Pembunuh, yakni apabila ahli waris membunuh pewaris.
 Berbeda agama, yakni apabila ahli waris murtad dari agama Islam dan memelu agama lain.
 Hamba sahaya
Mengenai bagian ahli waris, insyaAlllah akan dibahas paa tulisan lain.
Pengantar Hukum Waris Islam
Warisan adalah permasalahan yang sangat rumit dan riskan. Di mana pun dan kapan pun warisan menjadi persoalan yang sangat polemik. Tak seorang pun mampu berbuat adil. Kecendrungan manusia yang tamak dengan harta membuat keadilan mustahil ada dalam diri setiap manusia. Apalagi jika pembagian harta warisan tidak dibagi dengan cara syri’at Islam, hal ini akan menjerumuskan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan soal pembagian tersebut ke dalam kemungkaran. Tidak hanya saling bermusuhan, tetapi nyawa pun bisa menjadi taruhannya demi mendapatkan bagian yang besar. Bahkan, hubungan persaudaraan pun lambat laun hilang seiring berjalannya rasa iri dengki.
Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal.
Sejak zaman dahulu, pembagian harta warisan bagi orang yang ditinggalkan sudah menjadi ketetapan umum. Akan tetapi, sebelum Islam datang pembagian tersebut belum sepenuhnya dikatakan adil. Hal ini disebabkan belum adanya ketetapan secara pasti siapa saja yang berhak mendapatkan harta warisan. Bahkan, pada zaman jahiliyyah, wanita yang tidak mempunyai andil besar dalam perjuangan tidak mendapatkan bagian. Pedihnya lagi, para wanita dijadikan tumbal dan dibunuh secara keji karena dianggap tidak memberikan kontribusi yang baik bagi keluarganya, selain dianggap sebagai pembawa mudharat. Oleh karena itu, kemudian Islam datang dan memperbaiki semua itu.
Setelah Islam datang, ketetapan ahli warispun menjadi jelas. Hal ini tidak disangkal lagi bahwa ternyata Islam sangat teliti dan cermat dalam masalah perhitungan warisan. Tidak cukup hanya anak dan orang yang behubungan darah langsung bagi mayit yang diperhatikan, tetapi, saudara yang jauh pun masih dikaitkan dalam perhitungan meskipun tidak selamanya mereka memperoleh harta warisan. Ini pun dijelaskan secara lengkap penyebab mereka tidak mendapatkan harta warisan.
Hukum waris termasuk salah satu ketentuan Allah. Barang siapa mengamalkan hukum waris, ia akan ditunjukkan ke jalan kebenaran. Sedangkan, yang megabaikannya, akan tersesat dan tempatnya adalah neraka.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar bersegera dalam pembagian harta warisan. Hal ini diterangkan dalam QS An- Nisa’: 9. Ayat tersebut menggambarkan bahwa Allah begitu memerhatikan orang-orang yang tidak mampu dam membutuhkan. Begitu juga, kita sebagai hamba Allah harus ikut peduli dengan sesamanya. Bahkan, dalam masalah pembagian harta warisan jika kerabat yang miskin dan tidak mendapatkan harta warisan, hendaknya kita memberinya sebagian harta tersebut sebagai hibah.
Islam sangat berhati-hati dalam masalah warisan. Bahkan, harta benda bagi anak yang massih dibawah umur pun harus dijaga dengan baik oleh orang yang dapat dipercaya hingga mereka dewasa. Setelah mereka dewasa hartanya harus segera dikembalikan. Islam mengajarkan bagi umatnya untuk memenuhi kewajiban bagi para ahli waris yang ditinggalkan. Memenuhi pembayaran utangnya adalah kewajiban pertama yang harus dilaksanakan para ahli waris, diikuti pelaksanaan wasiat. Jika seandainya pemenuhan wasiat dan utang tidak dilaksanakan, dampaknya akan tidak baik bagi si mayit dan para ahli waris yang ditinggalkan, baik dari segi psikis maupun fisik.
Harta yang diwariskan, “baik sedikit maupun banyak telah ditetapkan bagiannya masing-masing.” (Q.S An-Nisa’:7)
Wahai orang-orang yang masih menempuh jalan jahiliah, takutlah kepada Allah! Mengapa mereka masih saja mengutamakan kaum pria dengan memberikan bagian warisan yang jauh lebih banyak dari bagian wanita, bahkan kaum wanita hanya diberi sebagian kecil dari harta warisan atau kalau bisa kaum wanita dihalangi untuk memperoleh warisan?
Jika seluruh ahli waris adalah anak perempuan, mereka yang menempuh jalan jahiliah ini akan melarikan seluruh harta warisan. Mereka melakukan hal itu karena takut harta warisan tersebut akan dimiliki seluruhnya oleh anak-anak si mayit. Mereka pura-pura tidak mengetahui bahwa dalam warisan itu ada yang memperoleh bagian secara furudh (memperoleh bagian tertentu) dan ada pula yang memperoleh bagian ‘ashabah (memperoleh bagian sisa). Semoga Allah memberi kita petunjuk ke arah jalan yang lurus.
Hukum Waris Dalam Islam
31 Jan 2013 Tinggalkan komentar
by abisyamsul dalam Fiqih islam Tag:ajaran agama islam, hal waris dalam islam, harta waris, kitab suci, laki laki, mawaris, nabi muhammad, pusaka
9 Votes
Pada zaman jahiliyah sebab – sebab seseorang memperoleh harta warisan telah memiliki aturan, diantaranya sebagai berikut:
dipusakai itu, tetap masing-masing mendapat bagian yang tertentu menurut ketentuan yang telah ditentukan dalam kitab suci al-qur’an surat An-Nisa:7 2. Anak angkat, saat itu anak angkat berhak atas harta yang ditinggalkan oleh
ibu dan bapak angkatnya. Karena mereka diakui mutlak sebagaimana anak kandung. Hal ini kemudian dilarang oleh allah melalui firmannya “ allah tidak membenarkan anaka angkat kamu itu menjadi anak yang sebenarnya, demikian hanya perkataan yang di mulut kamu saja, tidak dengan sebenarnya. Yang berkata benar ialah allah dan Dia-lah yang member petunjuk kepada jalan yang lurus “ Al-Ahzab : 4
3. Dengan sebab perjanjian / sumpah. Keadaan ini dimisalkan dua orang yang berjanji dengan sumpah bahwa antara keduanya akan pusaka-mempusakai. Hal ini kemudian dilarang oleh allah.
B.Sebab Yang Diperbolehkan Untuk Pusaka Mempusakai
Dalam ajaran agama Islam, sebab – sebab pusaka mempusakai terdiri atas 4 sebab :
1. Kekeluargaan, sebagai mana telah dijelaskan dalam surat an-nisa ayat 7 diatas, dengan syarat dan ketentuan yang diperjelas melalui ayat lain.
2. Perkawinan.(penjelasan khusus).
3. Dengan sebab memerdekakan dari perbudakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW “ Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba itu seperti hubungan turunan dengan turunan tidak dijual dan tidak diberikan “ HR Ibnu Khuzaifah, Ibnu hibban dan Hakim.
4. Hubungan islam. Bila orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris yang ditentukan, maka harta peninggalanya diserahkan ke baitulmall untuk umat islam dengan jalan pusaka. Sabda Rosulluah SAW: “saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris” HR Ahmad dan Abu daud. Dalam hal ini rosullullah tidak menerima harta tersebut untuk dirinya sendiri, tapi dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh umat islam.
C.Siapa Saja Yang Dimaksud Dengan Ahli Waris .
Dalam agama islam orang yang boleh mendapat pusaka dari yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan :
- Penerima harta waris dari pihak laki-laki.
1. Anak laki-laki dari yang meninggal dunia.
2. Anak laki-laki dari cucu laki-laki yang berasal dari pihak anak laki-laki dan terus kebawah, asalkan pertaliannya masih laki-laki.
3. Orang tua laki-laki (bapak) dari yang meninggal.
5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
6. Saudara laki –laki yang seibu saja.
7. Saudara laki-laki yang sebapak saja.
8. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10. Saudara laki-laki dari bapak (paman) dari bapak yang seibu sebapak. 11. Saudara laki- laki dari bapak (paman) yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak. 13. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja. 14. Suami.
15. Laki-laki yang mmerdekakan mayat.
Jika dari 15 orang ini masih ada semua, maka yang lebih berhak untuk mendapatkan harta pusaka dari yang meningal hanya 3 orang saja, yakni:
1. Bapak
2. Anak laki-laki
3. Suami
- Penerima harta waris dari pihak perempuan. 1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan) dan seterusnya kebawah, asalkan pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki –laki.
3. Ibu.
4. Ibu dari bapak.
5. Ibu dari ibu (nenek) terus keatas pihak ibu sebelum terhalang laki-laki.
6. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7. Saudara perempuan yang yang sebapak.
8. Saudara perempuan yang sebapak.
9. Isteri.
Jika 10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi hanya 5 orang saja, yaitu: 1. Isteri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
4. Ibu.
5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Seandainya ke-25 orang yang tersebut diatas baik dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan masih lengkap, maka yang paling berhak mendapatkan hak waris hanya salah seorang dari laki isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Lalu bagaimana dengan anak yang masih dalam kandungan?
Anak yang masih dalam kandungan ibunya pun berhak mendapat hak waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW “ apabila menangis anak yang baru lahir ia mendapat pusaka” HR Abu Dawud.
D.Sebab Seseorang Tidak Mendapatkan Hak Waris/Pusaka.
Ada beberapa sebab yang mejadikan seseorang itu tidak mendapat hak harta waris/pusaka dari yang meningal dunia.
1.Hamba / Budak. Seseorang yang dijadikan budak/hamba sahaya/pembantu, tidak mempunyai hak waris ataupun pusaka dari majikannya ataupun keluarganya. Firman Allah SWT “Abdan mamluukan laa yaqdiru ‘alaa syaiin” QS An-Nahl : 75.
Artinya : : Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga” (An-Nahl : 75)
2. Pembunuh. Orang yang membunuh kluarganya tidak berhak untuk mempusakai/mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang dibunuh.
Sabda Rosullullah Muhammad SAW : “ Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya “ ( HR : Nasa’i).
3.Murtad atau telah keluar dari agama Islam/ berpindah agama. Orang yang telah keluar / berpindah dari keyakinan agama islam, tidak berhak atas harta peninggalan keluarganya yang masih memeluk agama islam. Sebaliknya juga, orang yang memeluk islam tidak dapat menerima waris/pusaka dari keluarganya yang telah murtad.
menyuruh supaya saya bunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan, sedang laki-laki tersebut murtad”
4.Orang yang tidak beragama islam (kafir). Orang kafir tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang memeluk agama islam. Demikian pula sebaliknya, orang islam tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang tidak beragama islam.
Sabda Nabi Muhamad saw : “Laa yaritsu almuslimu alkaafiru walaa alkaafiru al muslima “.
Artinya: “ Tidak mewarisi orang islam akan orang yang bukan islam, demikian pula yang bukan islam tidak pula mewarisi akan orang islam “.(HR. Mutafaqun alaih.)<<>>