• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Bivariat

Dalam dokumen Hubungan Usia Status Gizi Latihan Fisik (Halaman 100-109)

BAB V HASIL PENELITIAN

6.3 Pembahasan Bivariat

6.3.1 Hubungan antara Usia dengan Status Kebugaran

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan berusia 36-45 tahun (41.8%), 26-35 tahun (29.1%), 46-55 tahun (23.6%), dan 17-25 tahun (5.5%). Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara umur dengan status kebugaran P (value) 0.979, dan r 0.004 yaitu adanya hubungan yang lemah. Sama halnya

pada penelitian yang dilakukan oleh fauziah, nanda (2012) bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan Tingkat kebugaran karyawan. Secara teori , usia dan tingkat kebugaran memiliki hubungan yang dikaitkan dengan penurunan fungsi fisiologis paru-paru sejalan dengan bertambahnya usia yang dapat mempengaruhi tingkat kebugaran seseorang (Jackson, 2008). Namun, hasil penelitian yang sama ditunjukkan pada penelitian terhadap 40 responden di laboratorium lowa state university yang menunjukkan tidak terdapat beda signifikan pada kelompok muda dan tua yang bugar (Hernandez dkk, 2005).

Hubungan usia dengan status kebugaran yang tidak signifikan dapat terjadi karena kapasitas fungsional pada tubuh akan menurun setelah usia 30 tahun dan pada usia 50 tahun kapasitas kerja menurun 80% dibandingkan pada usia 20 tahun dimana tingkat kebugaran jasmani akan meningkat sampai dengan mencapai maksimal pada usia tersebut tetapi tingkat kesegaran jasmani dapat ditingkatkan dengan melakukan aktivitas fisik secara teratur (Astrand dan Rodahl, 1986). Hal inilah yang menyebabkan usia tidak berhubungan signifikan pada penelitian karyawan UHAMKA dimana diketahui bahwa latihan fisik karyawan UHAMKA rendah (98.2%) dan kisaran usia karyawan UHAMKA paling banyak berusia 36-45 tahun (41.8%) dimana pada usia tersebut kapasitas fungsional tubuh akan menurun.

6.3.2 Hubungan Status Gizi dengan Status Kebugaran

Hasil analisis menggunakan uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan status kebugaran. Hubungan yang signifikan memiliki korelasi dengan kekuatan hubungan yang sedang yaitu (r = 0.382). sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Komang Ayu (2011) di PT Amoco Mitsui bahwa status gizi yang baik dapat memperoleh kebugaran jasmani yang baik pula sebesar 95.2%.

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Sunita, 2002).

Dalam penelitian ini skor kebugaran diukur dengan menggunakan empat komponen yaitu kardiorespiratori, daya tahan otot, fleksibilitas dan komposisi tubuh dimana norma dari masing-masing nilai diberi skor dan dijumlahkan semuanya sehingga akan terlihat berapa orang yang memiliki status kebugaran baik, kurang, kurang sekali, dan sedang. Berdasarkan data yang didapat responden yang memiliki status kebugaran kurang dan memiliki status gizi kurus yaitu 1 responden, karyawan yang memiliki status kebugaran kurang sekali memiliki status gizi gemuk sebanyak 10 responden, 10 responden dengan status gizi obesitas, dan status gizi normal yaitu 10 responden. Sedangkan kebugaran baik memiliki status gizi gemuk yaitu 1 responden.

Zat-zat makanan diperlukan agar menghasilkan kebugaran jasmani yang baik. Dimana zat-zat makanan tersebut digunakan untuk menghasikan tenaga/kalori sehingga dapat terbentuk sempurna karena adanya tenaga yang diperoleh dari zat-zat makanan yaitu karbohidrat, lemak, dan protein dengan melalui proses pembakaran. Zat-zat gizi makro juga digunakan untuk pembentukan sel, memperbaiki sel-sel yang mati/rusak. Ketersediaan zat gizi didalam tubuh akan berpengaruh pada kemampuan otot pada saat berkontraksi dan daya tahan kardiovaskular, sehingga untuk mendapatkan kebugaran yang baik seseorang haruslah melakukan latihan-latihan olahraga yang cukup dan mendapatkan asupan gizi yang memadai untuk kegiatan fisiknya. Dengan status gizi yang baik akan menjadikan organ tubuh melakukan fungsinya secara optimal sehingga akan menghasikan tingkat kesegaran jasmani pada seseorang (Depkes, 1997).

6.3.3 Hubungan Latihan Fisik dengan Status Kebugaran

Berdasarkan hasil penelitian latihan fisik diketahui bahwa frekuensi latihan fisik pada karyawan yaitu rendah 98.2% dan hanya 1.8% yang memiliki frekuensi latihan fisik baik dari 55 responden. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa latihan fisik memiliki hubungan yang signifikan dengan status kebugaran yaitu r 0.320 adanya hubungan yang sedang dan P value

0.017 yaitu terdapat korelasi yang bermakna antara latihan fisik dengan status kebugaran. Pada penelitian Fauziah, nanda (2012) adanya hubungan yang signifikan antara latihan fisik dengan status kebugaran, latihan fisik telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa latihan fisik berkontribusi cukup besar terhadap tingkat kebugaran dan daya tahan kardiorespiratori. Secara teori latihan fisik menjadi salah satu metode efektif dalam mengatur berat badan untuk mendapatkan daya tahan jantung yang baik dan terhindar dari penyakit kardiovaskular (Christou dkk, 2005). Penelitian pada 1298 responden berumur 18-62 tahun pada staf dikantor Utrecht Police Lifestyle Intervention Fitness and Training (UP-LIPI) menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara kebugaran dengan kebiasaan latihan fisik (r = 0.018) dan intensitas aktifitas fisik (r = 0.238) dengan kekuatan hubungan yang lemah (Sassen dkk, 2010). Dan Hasil penelitian Tamamu Itsnainiyah (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan status kebugaran. Olahraga merupakan bagian dari aktifitas fisik yang terencana, terstruktur, berulang, dan bertujuan untuk meningkatkan atau menjaga kesegaran jasmani (Kurpad AV, Swaminathan S, Bhat S, 2004). Olahraga juga merupakan cara aman dan efektif untuk meningkatkan kebugaran, sebab jika dilakukan dengan benar dapat bermanfaat meningkatkan kualitas fisik, psikis serta sosial (Djoko P, 1997). Kebugaran mutlak dibutuhkan pekerja baik yang menggunakan daya tahan otot maupun aktifitas fisik biasa, tujuan ini dapat dilaksanakan melalui sebuah program olahraga untuk kesegaran jasmani (Kushartanti, 2012). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aktifitas kerja dan aktifitas

waktu luang dapat berkontribusi terhadap daya tahan kardiorespiratori dengan efek yang berbeda. Aktifitas waktu luang dapat meningkatkan kebugaran. Untuk mencapai efek kebugaran yang terlatih diperlukan waktu yang singkat <1 jam/hari dengan kelelahan tinggi untuk melatih jantung agar terbiasa pada fase diastole yang lebih lama. Sedangkan aktifitas waktu kerja mungkin tidak dapat memberikan efek seperti latihan fisik, namun justru akan meningkatkan denyut nadi dan memperpendek akumulasi waktu diastole saat bekerja untuk memberikan ketahanan bagi pekerja untuk melakukan tuntutan pekerjaannya (Scand, 2010).

6.3.4 Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro (Kalsium, Zat Besi, Vitamin C) dengan status kebugaran

Hasil analisis menggunakan uji korelasi terhadap asupan gizi responden menghasilkan nilai yang bervariasi yang ditentukan berdasarkan AKG (Angka Kecukupan Gizi) yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin. Dari ketiga asupan zat gizi mikro (kalsium, zat besi, vitamin c) yang diteliti, ketiganya tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap status kebugaran.

Namun berdasarkan teori peranan gizi mikro didalam tubuh berhubungan dengan status kebugaran seseorang. Vitamin adalah sekelompok komponen organic yang kompleks dan ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam tubuh. Vitamin sangat penting untuk dapat berfungsi secara optimal dari banyak proses fisiologis dalam tubuh. Tingkat aktivitas dari proses fisiologis ini meningkat secara besar selama lahihan fisik dan suplai vitamin yang cukup harus dipenuhi untuk proses fungsional yang terbaik (Williams, 2002). Mineral adalah elemen anorganik yang ditemukan di alam dan kebanyakan dari elemen tersebut adalah berbentuk padat. Saat ini terjadi peningkatan penelitian pada status kebugaran terhadap efek dari mineral pada performa fisik dan sebaliknya. Zat Besi (Fe) memiliki fungsi utama dalam tubuh sebagai alat transportasi dan utilisasi atau metabolisme oksigen di

dalam tubuh, kekebalan, perkembangan kognitif, pengaturan suhu, metabolisme energy, dan performa kerja (Yuliarti, 2009). Fe memiliki fungsi yang sangat kritis dalam penggunaan oksigen dalam tubuh dan penting bagi seseorang yang melakukan latihan aerobic berupa daya tahan dan harus memiliki asupan yang cukup karena berhubungan dengan rasa lelah dan daya tahan tubuh (Williams, 2002). Untuk mendapatkan penampilan fisik yang optimal serta status kebugaran dan kesehatan yang baik maka mengkonsumsi makanan yang mengandung mikronutrien sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Mikronutrien yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sehubungan dengan dampaknya terhadap penampilan fisik dan kebugaran adalah Kalsium, Zat Besi (Fe), Vitamin C.

6.3.4.1Hubungan Asupan Kalsium dengan Status kebugaran

Hasil analisis menggunakan uji korelasi menunjukkan bahwa pada penelitian ini tidak signifikan antara asupan kalsium dengan status kebugaran. Nilai korelasi (r) menunjukkan -0.171 yaitu tidak ada hubungan/hubungan yang lemah, dan P value 0.212 tidak terdapat korelasi yang bermakna atau tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan kalsium dengan status kebugaran. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erwin Christianto (2006), yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kalsium dengan aktifitas fisik yang berkaitan dengan resorpsi tulang pada usia lanjut. Kalsium diketahui memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai pembentukan tulang dan gigi. Hasil yang berbeda dapat disebabkan karena karyawan yang memiliki status kebugaran kurang sekali memiliki asupan kalsium kurang dari kebutuhan ( 50.0%) dan kurangnya asupan responden mengkonsumsi makan-makanan yang tinggi kalsium, ini juga diketahui berdasarkan hasil penelitian bahwa asupan kalsium karyawan UHAMKA kurang yaitu 67.3% dari Angka Kecukupan Gizi.

6.3.4.2Hubungan Zat Besi dengan Status Kebugaran

Hasil analisis menggunakan Uji korelasi menunjukkan bahwa pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan zat besi/fe terhadap status kebugaran. Nilai korelasi r menunjukkan arah hubungan negatif -0.034 dengan kekuatan hubungan lemah. Hal ini berarti semakin kurangnya asupan zat besi/fe akan semakin berkurangnya status kebugaran. Penelitian mengenai fungsi zat besi terhadap performa atletik dan kebugaran sudah sejak lama menjadi pembahasan para peneliti. Salah satu pengaruh asupan zat besi terhadap status zat besi dan performa atletik dikaji melalui pendekatan sebagai berikut. Pada kondisi tertentu, latihan fisik dapat memicu terjadinya kehilangan zat besi dari tubuh, salah satu solusi untuk memenuhi kekurangan ini adalah melalui asupan zat besi. Salah satu kondisi saat asupan zat besi membutuhkan tambahan adalah pada saat wanita mengalami menstruasi (Connie, 1992).

Salah satu cara yang menarik dari penelitian zat besi terhadap performa fisik pekerja dibuktikan oleh beberapa studi lapangan seperti penelitian Edgerton dkk (1979) yang menunjukkan pemberian suplementasi zat besi yang nantinya dapat meningkatkan performa pada wanita.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Dian Nurwidiastuti (2012) pada mahasiswa FTUI yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan zat besi dengan kebugaran. Dalam literature zat besi memang mempengaruhi kebugaran, kadar zat besi yang terlalu rendah dapat mengakibatkan anemia zat gizi dimana hal ini diakibatkan karena kurangnya latihan fisik yang dilakukan sehingga tingkat kebugaran juga rendah (Hueger & Boyle, 2001). Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara zat besi dengan status kebugaran kemungkinan diakibatkan oleh sebagian besar responden dari sampel penelitian ini memiliki rata-rata asupan zat besi kurang dari AKG (54.5%) dan karyawan yang memiliki status kebugaran kurang sekali memiliki asupan zat besi kurang dari kebutuhan yaitu (53.6%). Latihan fisik yang rendah pada karyawan (98.2%) dapat mengakibatkan tingkat kebugaran yang rendah dimana kadar zat besi yang rendah merupakan salah satu penyebab

dari kurangnya latihan fisik. Zat besi merupakan hal penting dalam penggunaan oksigen dalam tubuh yang melakukan latihan aerobic untuk membutuhkan daya tahan (Williams, 2002) dan zat besi berpengaruh terhadap kardioespiratori yang dibuktikan bahwa suplementasi zat besi dapat mempengaruhi tambahan daya kardiorespiratori (Brownie, 2002).

6.3.4.3Hubungan Vitamin C dengan Status Kebugaran

Pada penelitian ini didapatkan persentase asupan vitamin c karyawan, yaitu Asupan kurang (63.6%), Asupan Vitamin c cukup (36.4%). Uji statistic korelasi menunjukkan kekuatan korelasi (r) -0.218 adanya hubungan yang lemah, dan P value 0.109 tidak terdapat korelasi yang bermakna atau tidak terdapat hubungan antara asupan vitamin c dengan status kebugaran. Hasil lain ditunjukkan dari penelitian terhadap anak usia 7 hingga 10 tahun menunjukkan asupan vitamin c diketahui memiliki hubungan bermakna terhadap kapasitas aeerobik dan daya tahan fisik jika dikonsumsi bersama-sama dengan mikronutrien lain (Vaz, 2011). Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Dian Nurwidiastuti (2012) pada mahasiswa FTUI menyebutkan bahwa pada penelitiannya tidak terdapat hubungan signifikan antara vitamin C dengan status kebugaran karena asupan Vitamin C mahasiswa kurang dari AKG. Vitamin C telah diketahui memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, salah satu implikasi penting bagi individu yang aktif adalah dalam pembentukan hormone dan neurotransmitter yang dibutuhkan saat latihan fisik. Dengan mempertimbangkan stressor dari latihan fisik, merekomendasikan kepada responden yang aktif, vitamin C dapat diberikan 200-300 mg dari kebutuhan normal. Suplementasi vitamin C dianggap dapat meningkatkan performa fisik hanya bila responden mengalami defisiensi vitamin C, namun tidak pada responden yang tidak mengalami defisiensi.

Vitamin C juga berperan pada performa fisik seseorang dimana vitamin c sebagai antioksidan dan dapat menangkal stress oksidatif yang ditimbulkan dari peningkatan konsumsi oksigen akibat latihan fisik (Ramayulis, 2010). Namun pada penelitian in berbeda dengan teori tersebut. Kemungkinan tidak

berhubunggannya vitamin c dengan status kebugaran diakibatkan oleh sebagian besar responden dari sampel penelitian memiliki rata-rata asupan vitamin c kurang dari AKG (63.6%) dan karyawan yang memiliki status kebugaran kurang sekali memiliki asupan vitamin c kurang dari kebutuhan yaitu (48.4%).

Dalam dokumen Hubungan Usia Status Gizi Latihan Fisik (Halaman 100-109)

Dokumen terkait