• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

Postpurchase dissonance menurut Hawkins, Mothersbaugh & Best

(2007)adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permananen. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa responden mengalami postpurchase

dissonance di dalam kehidupan pembeliannya. Kedua responden mengalami

keraguan terhadap harga produk yang sudah dibelinya dan hasil keputusan tersebut tidak dapat diubah.

Responden I pada umumnya mengalami postpurchase dissonance pada pembelian produk elektronik seperti laptop, handphone dan kamera.Sedangkan responden II mengalami keadaan postpurchase dissonance pada pembelian produk MP4. Baik responden1 dan responden II dinyatakan mengalami

postpuchase dissonance karena keputusan pembelian produk tersebut dianggap

responden penting bagi diri mereka. Hal ini merupakan salah satu karakteristik harus dipenuhi untuk memenuhi kondisi postpurchase dissonance oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000).

Responden I menganggap faktor harga penting dalam pembentukan keputusan pembelian. Hal ini dihubungkan dengan alasan bahwa harga produk harus sesuai dengan kesesuaian budget yang dimiliki oleh responden. Sehingga sebelum membeli produk elektronik, responden selalu melihat kesesuaian dengan budget yang dimiliki. Apabila budget sudah memenuhi, barulah responden akan pergi ke

toko yang menjual produk tersebut. Namun ketika sudah berada di toko seringkali terjadi perubahan produk yang akan dibeli, sehingga pembelian pun sering melampaui budget yang telah disediakan sebelumnya. Pada responden II menganggap faktor harga penting dalam pembentukan keputusan pembelian dikarenakan oleh beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah harga dirasa merupakan suatu indikator tetap akan kualitas produk tersebut, sehingga harga yang tinggi menjadi indikator kualitas yang tinggi pula. Selain itu harga dianggap dapat menjadi suatu indikator tingkat sosial konsumen. Sehingga ketika konsumen dapat membeli suatu produk yang mahal dapat menjadi sinyak tingkat sosial orang tersebut. Hal inilah juga yang menjadi alasan responden II mengubah rencana keputusan pembelian produk MP4. Adanya ketidakpuasan yang muncul setelah melihat langsung produk yang akan dibeli, responden II akhirnya membeli produk yang lebih mahal dua kali lipat dibanding yang direncanakan sebelumnya.Pembelian overbudget yang dirasakan responden I dan responden II ternyata memicu kondisi postpurchase dissonance pada kedua responden setelah pembelian.

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) menyatakan terdapat 3 (tiga) dimensi yang bisa mengukur postpurchase dissonance yaitu emotional, wisdom of

purchase, dan concern over deal. Ketiga dimensi ini dapat dilihat dalam

pengalaman postpurchase dissonance yang dialami oleh kedua responden. Pada kasus laptopToshiba responden Idiketahuidimensi wisdom of purchase tidak

terlihat berperan besar dalam menimbulkan postpurchase dissonance. Namun pada pembelian produk MP4 oleh responden II, ketiga dimensi ini muncul menandakan kondisi postpurchase dissonance.

Dimensi emosi (emotional) membuat perasaan ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi atas keputusan yang telah dibuat. Pada kasus responden I muncul dalam bentuk perasaan tidak nyaman, merasa diri sendiri adalah seseorang yang bodoh dan adanya penyesalan yang dirasakan, kekecewaan, keraguan dan kecemasan setelah pembelian produk. Munculnya kekecewaan setelah pembelian dipicu oleh adanya resiko yang dirasakan oleh responden setelah pembelian. Tingginya jumlah harga yang dibayarkan oleh responden serta minmnya informasi yang dipunyai responden terhadap barang membuat persepsi mengenai resiko terhadap responden. Hal tersebut terjadi pada kasus responden II, terganggunya dimensi emotional ditandai adanya perasaan takut yang dirasakan responden II setelah pembelian. Hal ini sejalan dengan dinyatakan Assael (1998), dimana informasi yang minim serta tingginya harga produk menjadi dua dari lima kondisi yang membuat persepsi mengenai resiko menjadi lebih tinggi. Pernyataan yang senada juga diungkapkan Judy Ashton pada tulisannya yang berjudul Mental Accounting, General Evaluability Theory and

the Framing Losses Posed by Partitioned Monetary and Nonmonetary Prices,

bahwa semakin besar pengorbanan yang dilakukan pembeli, semakin besar pula resiko yang dirasakan.

Perceived Risk menurut Bauer (1960) adalah resiko subjektif yang berasal

dari ketidakjelasan konsekuensi negatif. Terdapat beberapa jenis dari konsekuensi yang dihubungkan denga pembelian dan konsumsi dari suatu produk atau jasa. Sehingga resiko yang dirasakan dapat dibagi ke beberapa jenis seperti finansial, sosial, performa, waktu, dst. Pada kasus kedua responden yang diteliti, kedua responden sama-sama merasakan resiko ke dalam dua jenis

perceived risk yaitu: performance risk dan financial risk.

Performance risk adalah dimana resiko yang dirasakan responden jika produk

yang sudah dibayar tidak akan mampu menunjukkan performa sesuai dengan yang diharapkan, sedangkan financial risk adalah kerugian finansial yang dirasakan responden sesudah membayarkan harga suatu produk.

Timbulnya resiko yang dirasakan oleh responden berkaitan dengan hubungannya ke jenis kelamin ternyata sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Barsky (1997), dimana pria lebih berpeluang merasakan financial risk, dibanding wanita. Munculnya perceived risk ini pada responden membuat responden merasa bodoh dan terjadinya penyesalan setelah pembelian produk dilakukan.

Financial risk yang dirasakan responden II ternyata membuat responden

mempertanyakan kepantasan harga yang sudah dibayar sehingga meragukan apakah keputusan pembeliannya sudah tepat atau tidak. Hal inilah yang membuat

dimensi Wisdom of Purchase pada responden II muncul. Namun pembelian produk Laptop pada responden I jarang membuat dimensi Wisdom of Purchase terganggu. Hal ini dikarenakan responden, dalam hal pembelian laptop, responden selalu melakukan pembelian berdasarkan kebutuhan yang dirasakan. Sehingga, setelah pembelian produk laptop, responden tidak pernah menanyakan kepada diri sendiri apakah mereka akan membutuhkan produk tersebut atau tidak. Namun pada pembelian produk elektronik lain, seperti kamera dan handphone tidak jarang dimensi Wisdom of Purchase menjadi terganggu. Pada produk kamera, responden mengakui setelah pembelian tidak jarang mempertanyakan keputusan pembelian apakah dirinya betul-betul membutuhkan produk tersebut atau tidak. Hal ini didasari karena pembelian kamera responden terkadang pembeliannya didasari kegemarannya akan kamera. Sehingga setelah pemakaian produk, responden merasakan ketidakpuasan atas produk tersebut karena kinerja tidak jauh berbeda dengan kamera yang sudah dimiliki sebelumnya dan mengakibatkan responden tidak menggunakan produk tersebut (discontinued use).

Selain kedua dimensi diatas terdapat dimensi lainnya yang erat kaitannya dengan keputusan pembelian produk pada kedua responden yaitu dimensi

Concern over Deal. Dimensi Concern over Deal berhubungan dengan kesadaran

individu setelah proses pembelian dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual atau atas dasar pertimbangan sendiri. Pada responden I

mengakui dimensi ini terganggu akibat overbudget atas pembelian. Overbudget ini disebabkan berubahnya rencana pembelian produk oleh responden. Bakhsi (2009) menambahkan salah satu karakteristik konsumen pria adalah kecenderungan untuk melihat fungsi utama suatu produk dan pemenuhan kebutuhan berdasarkan kebutuhan yang mendesak (immediate needs). Hal ini menjelaskan mengapa responden I dapat merubah keputusannya yang sudah direncanakan dengan matang. Adanya informasi yang diterima responden I ketika berada di toko dari agen penjual seperti produk sejenis dengan fungsi/kemampuan yang dianggap lebih baik dari produk yang direncanakan membuat responden I merubah keputusan. Namun setelah pembelian dilakukan timbul suatu perasaan responden I yang menganggap ada yang salah dalam keputusan pembelian tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh anggapan responden I bahwa penambahan sejumlah uang dirasa sangat signifikan dimana responden merasa penambahan uang tersebut mubazir, mengingat adanya pengorbanan waktu yang dilakukan selama masa pencarian informasi produk.

Dengan adanya pengeluaran diatas budget, membuat responden merasa bahwa produk yang telah dibeli dihargai terlalu tinggi/overpriced. Pandangan ini dipengaruhiadanya ketidaksesuaian harga produk yang telah dibeli dibandingkan dengan kualitas dan produk yang didapatkan. Hal tersebut sejalan dengan salah satu konstruk persepsi harga yang disebutkan oleh Lichtenstein, Ridgway, & Netemeyer (1993) yaitu value consciousness, dimana adanya kesadaran

responden I tentang harga yang dibayar terhadap kualitas produk yang diterima. Selain itu adanya pengalaman yang tidak baik dialami oleh responden I terhadap harga yang tinggi, dimana membuat suatu trauma kepada responden setiap melakukan pembelian produk sejenis. Secara singkat, terganggunya dimensi

concern over deal pada responden dipicu oleh ketidakpuasan responden ketika

membandingkan jumlah uang yang telah dikeluarkannya dengan kualitas yang akan didapat. Dimana kemudian responden juga mengatribusikannya kepada faktor penjual maupun faktor situasi ketika berada di toko.

Pada kasus responden II, dimensi Concern over deal terganggu ketika responden mendapat komentar seputar tingginya harga produk yang sudah dibayar mengakibatkan munculnya value consciousness pada responden. Hal ini secara langsung makin menambah keraguan yang sudah ada pada responden II setelah keputusan pembelian.

Loundon & Bitta (1993) menyatakan bahwa postpurchase dissonance menyebabkan ketidaknyamanan dan akan memotivasi seseorang untuk menguranginya. Hal ini terjadi pada responden dimana respondenI dan responden II sama-sama mengurangi perasaan ragu dan ketidaksesuaian produk yang ia alami dengan cara menanyakan pendapat orang lain tentang keputusan pembelian yang telah ia buat sampai ia merasa yakin bahwa keputusannya benar. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk dissonance reduction yang dikemukakan oleh Loundon & Bitta (1993) bahwa salah satu cara mengurangi ketidaksesuaian yang dirasakan adalah dengan mencari tambahan informasi untuk

mengkonfirmasi kebijaksanaan dalam membuat pilihan pembelian produk yang sudah dilakukan.

Berdasarkan gambaran produk dan dimensi postpurchase dissonance yang terdapat dalam pengalaman pembelian kedua responden dapat dilihat bahwa faktor harga mempunyai peranan dalam memicu postpurchase dissonance pada kedua responden. Pada kasus pembelian laptop Toshiba faktor harga sudah memiliki peranan sebagai salah satu bahan pertimbangan sebelum melakukan pembelian. Namun, seringkali responden melupakan faktor harga tersebut ketika ditawari oleh produk lain yang dianggap lebih baik. Akhirnya, faktor harga seringkali yang membuat ketidaksesuaian setelah pembelian. Faktor harga memicu munculnya postpurchase dissonance dimana berperan besar dalam dua dimensi, yaitu emotionaldanconcern over deal. Sedangkan pada responden II harga menjadi pemicu munculnya postpurchase dissonance yang berperan besar dalam ketiga dimensi postpurchase dissonance yaitu emotional, wisdom of

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan di Bab I yaitu bagaimana dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga sebagai pemicu maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Responden I melihat faktor harga menjadi faktor yang penting dalam melakukan pembelian produk, khususnya pada produk elektronik. Menurut responden I, faktor harga selalu dikaitkan dengan daya beli atau kesanggupan finansial yang dimiliki responden. Sehingga responden Iakan melakukan pembelian produk jika budget sudah mencukupi. Namun sering sekali terjadi perubahan rencana pembelian produk elektronik antara apa yang sudah direncanakan dengan produk yang akhirnya dibeli, terutama dari segi harga. Pembelian tersebut membuat responden I mengalami postpurchase

dissonance. Postpurchase dissonance yang dirasakan responden I ditandai

dengan munculnya dimensi-dimensi pengukuran postpurchase dissonance.Pada dimensi Emotional, harga menjadi pemicu responden

merasakan perasaan menyesal, takut, kecewa ataupun anggapan diri responden adalah seseorang yang bodoh. Hal ini dikarenakan pembelian produk tersebut yang melibatkan harga yang besar, tidak diimbangi dengan informasi produk yang cukup. Pada dimensi Wisdom of Purchase, harga jarang menjadi pemicu, hal ini disebabkan pada pembelian produk elektronik secara umum responden I selalu berangkat dari kebutuhan yang dirasakan. Sehingga jika dimensi Wisdom of Purchase muncul pada pasca-pembelian produk, hal ini dikarenakan karena kemampuan produk yang dianggap tidak berbeda jauh dengan produk yang sudah dimiliki sebelumnya. Harga juga menjadi faktor pemicu dalam memunculkan dimensi postpurchase dissonance yang lain, yaitu Concern over Deal. Kesadaran yang dirasakan responden I bahwa pembelian produk telah dipengaruhi oleh agen penjual dan bertentangan dengan beliefawal membuat responden I merasa telah melakukan keputusan pembelian yang salah. Keputusan pembelian yang berubah diyakini disebabkan oleh kemampuan agen penjual dalam membujuk dan meyakinkan responden bahwa harga produk yang ditawarkan tidak berbeda jauh dari harga produk yang direncanakan responden I, sehingga akhirnya terbujuk dan merubah rencana pembeliannya yang telah disiapkan sebelumnya. Dimana pembelian tersebut akhirnya membuat suatu ketidaknyamanan setelah pembelian dilakukan.

Responden II melihat harga mempunyai fungsi tambahan dibandingkan pandangan terhadap harga oleh responden I. Dimana responden

II selain menganggap harga merupakan suatu indikator kualitas, harga juga dipandang sebagai indikator tingkat sosial konsumen.Pada kasus responden II, harga menjadi pemicu kondisi postpurchase dissonance. Hal ini dapat dilihat dari munculnya indikator perilaku postpurchase dissonance yang timbul akibat analisis harga oleh responden II. Pada dimensi emotional, responden II merasakan perasaan takut setelah terjadinya keputusan pembelian. Perasaan ini dihubungkan dengan besarnya jumlah uang yang dibayar tidak sesuai dengan performa yang akan didapat sehingga memunculkan resiko bagi responden II. Munculnya resiko ini dipengaruhi juga adanya pengalaman responden dimana ketika harga yang besar tidak selalu menunjukkan kualitas yang tinggi. Pada dimensi Wisdom of Purchase, responden II

mempertanyakan ketepatan keputusan pembelian dipicu oleh minimnya informasi mengenai harga pasaran produk. Hal ini yang kemudian membuat responden bertanya-tanya pada diri sendiri apakah produk tersebut telah dibayar dengan harga yang sepantasnya atau tidak. Dimensi concern over deal pada responden dipicu oleh second opinion yang menghubungkan dengan kualitas yang akan didapat. Dimana opini tersebut membuat satu pandangan mengenai value consciousness pada responden II dimana responden sebenarnya dapat membeli produk yang lebih murah namun dengan fungsi yang sama, sehingga hal ini membuat responden semakin ragu terhadap keputusan pembelian yang telah dilakukan.

B. Saran-saran

Berdasarkan hasil dan proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini. Saran-saran berikut diharapkan dapat berguna bagi perkembangan studi ilmiah mengenai

postpurchase dissonance.

a. Saran teoritis

1. Penggunaan metode observasi ketika subjek penelitian melakukan pembelian sehingga data penelitian yang diperoleh lebih kaya.

2. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan penggalian informasi juga dapat dilakukan pada orang-orang yang biasanya dilibatkan subjek dalam keputusan pembelian. Orang-orang tersebut dapat berupa anggota keluarga, rekan seprofesi atau significant person subjek.

b. Saran praktis

1. Bagi responden I & II, pentingnya untuk meyakinkan diri bahwa keputusan yang telah direncanakan sebelumnya merupakan keputusan yang tepat untuk kebutuhan yang sedang dirasakan. Bilamana di tempat membeli dihadapkan dengan informasi baru serta tawaran menarik oleh agen penjual, responden dapat mengatasinya dengan cara membawa teman yang paham mengenai produk tersebut dalam situasi pembelian sehingga mendapat second opinion mengenai produk tersebut ataupun menunda pembelian dan kembali melakukan evaluasi terhadap alternatif produk.

Usaha-usaha ini dilakukan agar memperkecil kemungkinan responden merasakan keraguan pasca pembelian.

2. Pihak penjual produk, agar menyadari perbedaan harga produk dengan harga pasar dapat membentuk satu persepsi harga yang negatif, dimana akan berakibat toko penjual di evaluasi secara negatif pula oleh konsumen.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A. 1. Pengertian Postpurchase Dissonance

Cornwell (2007) menjelaskan bahwa konsep postpurchase dissonance adalahkonsep cognitive dissonance yang dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Festinger (Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000) mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut:

“Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a person perceives that two cognitions (thoughts), both of which he believes to be true, do not fit together”

Kehadiran disonansi akan menimbulkan tekanan untuk mengurangi atau menghilangkannya. Setelah diperkenalkannya konsepcognitive dissonance, banyak ahli telah mengaplikasikannya dalam berbagai jenis penelitian dan yang paling mencolok terdapat pada penelitian di perilaku konsumen (Chou, 2012). Dimana cognitive dissonance yang terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah yang dinamakan dengan postpurchase dissonance (Schiffman dan Kanuk, 2004).

Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang dapat dialami oleh setiap konsumen setelah melakukan

prosespembelian suatu produk. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) mendefinisikan postpurchase dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan

yang dialamioleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen.Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut beradadalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan alternatif lainnya yangtidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Oleh karena itu kebanyakan pembuatankeputusan terbatas (limited decision making) tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance karena konsumen tidak mempertimbangkan tampilan tampilanyang menarik yang ada dalam merk atau produk yang tidak dipilihdimana hal tersebut juga tidak ada dalam produk atau merk yang dipilih.

Loudon & Bitta (1993) berpendapatbahwa postpurchase dissonance terjadi sebagai hasil dari perbedaan antarakeputusan konsumen dan evaluasi sebelumnya.Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyatakan bahwa

postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada

tahap pasca pembelian (postpurchase) suatu produk oleh konsumen. Tahap ini sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencaripenguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan.

Pada skema di atas, Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membuat suatu diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan fenomena yang disebut postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen meragukan kebijakan pembelian (wisdom of purchase) yang telah dilakukan. Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase

dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint

behaviors sedangkan kepuasan (satisfaction) dapat memberikan peningkatan dan

pengulangan pembelian kembali dari konsumen.

Berdasarkan skema tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase

dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli

produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang. Dari uraian penjeleasan mengenai postpurchase dissonance dapat disimpulkan bahwa

postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen

setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen terhadap suatu produk.

A. 2. Indikator pengukuran Postpurchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan 3 (tiga) dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu:

1. Emotional (Kondisi Emosi)

Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi dari keputusan membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah membeli suatu produk yang dirasakan penting bagi dirinya mengindikasikan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance. 2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan dalam Pembelian)

Kesadaran individu setelah melakukan pembelian apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dilakukan

apakah keputusan pembelian yang dilakukan memang benar. Jika dia merasa bahwa produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan)

Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) atau atas dasar pertimbangan sendiri. Pada saat hendak melakukan pembelian, individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada informasi- informasi dari luar diri individu. Kondisi ini dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance.

Ditambahkan pula oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) bahwa pada pengukuran terhadap tarafpostpurchase dissonance konsumen maka ada sejumlah karakteristik sampel yang harus dipenuhi:

1. Konsumen menganggap keputusan untuk membeli produk tersebut adalah penting bagi dirinya.

2. Ketika membeli produk tersebut konsumen membelinya atas dasar kemauan sendiri tanpa adanya tekanan atau paksaan dari orang lain.

A. 3. Faktor-faktor Postpurchase Dissonance

Hawkins. Mothersbaugh, & Best, (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu:

1. The degree of commitment or irrevocability of the decision (Derajat

Komitmen dan Keputusan yang Tidak Dapat Diubah)

Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.

2. The importance of the decision to the consumer (Tingkat Kepentingan

Keputusan oleh Konsumen)

Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami keraguan (dissonance). Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) yang akan dialami oleh konsumen tersebut.

3. The difficulty of choosing among alternatives (Kesulitan Mengambil

Keputusan Diantara Sejumlah Alternatif)

Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk

Dokumen terkait