LAMPIRAN 3
INFORMED CONSENT
Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden
Tema Penelitian : Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Pria dengan
Faktor Harga sebagai Pemicu.
Peneliti : Jeremy Bastanta Ginting
NIM : 091301031
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada
unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai
responden dalam penelitian mengenai Dinamika HargaSebagai Pemicu Postpurchase
Dissonance Pada Konsumen Pria.
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan
manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak
berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada saya.
Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian
saja.
Medan, 2013
LAMPIRAN 4
PEDOMAN WAWANCARA
1) Boleh diceritakan, faktor-faktor apa sajakah yang menurut Anda penting sebelum
terjadinya proses pembelian suatu produk?
2) Pembelian produk-produk seperti apa yang menurut Anda penting?
3) Dapatkah Anda ceritakan mengapa faktor harga penting bagi Anda?
4) Coba ceritakan pengalaman Anda membeli produk dengan mempertimbangkan
faktor harga nya sebagai faktor yang penting?
5) Pernahkah Anda merasa ragu setelah membeli produk tersebut? Apakah ada peran
harga dalam membentuk keraguan tersebut? Coba diceritakan. Bagaimana peran
harga dalam memicu keraguan Anda?
6) Dapatkah Anda menceritakan bagaimana cara Anda akhirnya memutuskan untuk
membeli produk tersebut?
7) Setelah membeli produk tersebut, dapatkah Anda menceritakan bagaimana Anda
mengevaluasi keputusan yang sudah Anda lakukan tersebut?
8) Coba ceritakan, seberapa besar serta bagaimana pengaruh informasi dari orang lain
(seperti misalnya penjual produk, teman, atau media massa, dll) pada saat tahap
DAFTAR PUSTAKA
Akturan, U. (2009). A Review of Cyber Ethnographic research: A Research
Technique to Analyze Virtual Consumer‟, Boğaziçi Journal, 23(1-2), pp. 1– 18.
Assael, H., (1990). Marketing. Prentice Hall, New Jersey: Englewood Cliffs.
Bakshi, S. (2009). Impact of Gender Consumer Purchase Behavior., Volume No 1, Issue No.9 [On-line] Available FTP: www.abhinavjournal.com. Tanggal diakses 2 Juli 2013.
Barsky, R., F. Juster, M. Kimball and M. Shapiro (1997). „Preference Parameters and
Behavioral Heterogeneity: An Experimental approach in the Health and
Retirement Study,‟ Quarterly Journal of Economics, 112 (2), pp.537-579.
Bauer, R. A. (1960). “Consumer Behavior As Risk Taking”, In D. Cox (ed.), Risk Taking and Information Handling in Consumer Behavior, Harvard
UniversityPress, 23-34.
Block, L. G., and Morwitz, V. G. (1999). Shopping Lists as an External Memory Aid for Grocery Shopping: Influences on List Writing and List Fulfillment.
Journal of Consumer Psychology, 8(4), 343-375.
Chang, T. & Wildt, A. R. (1994). Price, Product Information, and Purchase Intention: An Empirical Study. Journal of the Academy of Marketing Science. Volume 22, No.1,(16-27).
Chou, S. Y., (2012). Online Reviews and Prepurchase Cognitive Dissonace: A Theoretical Framework and Research Propositions. Journal of Emerging
Cornwell, T. (2007). Theory of Cognitive Dissonance. [On-line] Available FTP:
www.ciadvertising.org/student_account/spring_02/adv382j/wanhsiu/tcornwell /paper1.htm - 28k. Tanggal diakses 6 Oktober 2013
Dickson, P. R., and Sawyer, A. G. (1984). Entry/Exit Demand Analysis. Advances in
Consumer Research, Volume 11, Pages: 617-622.
Diehl, K.., Kornish, L. J., & Lynch, J. G. (2003). Smart Agents: When Lower Search Costs for Quality Information Inc rease Price Sensitivity. Journal of
ConsumerResearch, June 2003, pp. 56–71.
Engel, J. F., Blackwell, R. D., & Miniard, P. W. (1995). Perilaku Konsumen, Edisi
ke-6.(terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
Hawkins, D. I., Mothersbaugh, D. L., & Best, R. J. (2007). Consumer Behavior:
Building Marketing Strategy, (10th Edition). New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Hadi, A. (2003). Teknik Mengajar Sistematis. Jakarta: Rineka Cipta.
Hoyer, W. D., & MacInnis, D. J. (2010). Consumer Behavior. (5thEdition). USA:
South Western, Cengage Learning.
Jacoby, J. and Jerry C. Olson (1977). Consumer Response to Price: An attitudinal,
Information Processing Perspective in Moving Ahead with Attitude Research.
Y. Wind and P. Greenberg, eds, Chicago: American Marketing Association, 73-86
Leliana & Suryandari, R. T. (2004). Persepsi Harga dalam Perilaku Belanja Konsumen (Studi Kasus pada Perusahaan Ritel di Surakarta. Jurnal Bisnis & Manajemen, Vol 4, No.2, hal. 111-129
Lichtenstein, D. R., Ridgway, N. M., & Netemeyer, R. G. Price perceptions and Consumer Shopping Behavior: A Field Study. Journal of Marketing
Research, May 1993, pp.234-235.
Lindsey-Mullikin, Joan. (2003), Beyond Reference Price: Understanding Consumers‟ Encounters with Unexpected Prices. Journal of Product and Brand
Management: Pricing Strategy and Practice, 12 (3)
Loudon, D. L., & Bitta, A. J. D. (1993). Consumer Behavior: Concepts &
Applications (4th Edition). Singapore: McGraw-Hill Book Company.
Maharani, M. A. “Marketing to The Emerging Middle Class”. The Marketeers.
Januari 2012. h.32-33
Mitchell, V.W., Walsh, G., (2004). Gender differences in German consumer decision making styles. Journal of Consumer Behavior, 3 (4): 331-346
Monroe K (1990). Pricing: making profitable decisions. New York: McGraw-Hill Inc.
Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia
O‟Cass, A. and Fenech, T. (2003). Web retailing adoption: Exploring the nature of
internet users web retailing behavior. Journal of Retailing and Consumer
Services, 10, 81-94.
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sawyer & Alan, G. (1975). Demand Artifacts in Laboratory Experiments in Consumer Research. Journal of Consumer Research, 1(March), 20-30
Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (1994). Consumer Behavior. (5thEdition).
Singapore: Prentice Hall.
. (2000). Consumer behavior (6th edition).
Singapore: Prentice-Hall International
Situmorang, S., H. (2011). Bisnis, Konsep dan Kasus. Medan: USU Press.
Sweeney, J. C., Hausknecht, D., & Soutar, G. N. (2000). Cognitive Dissonance After Purchase: A Multidimensional Scale. Journal of Psychology &Marketing, 17, (5), 369 – 385
Taufik. “Mencegat Kelas Menengah Indonesia”. The Marketeers. Mei 2012. h. 84-87
Tjiptono, F. (2000). Strategi Pemasaran. Yogyakarta: ANDI.
Van Raaij, W.F., (1991). Companion to Contemporary Economic Thought. London/New York: Routledge.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian mengenai dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria
dengan faktor harga sebagai pemicu, menggunakan penelitian kualitatif. Metode
penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena
metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian
tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Metode penelitian kualitatif ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika Postpurchase
dissonance pada konsumen pria dengan faktor hargasebagai pemicu.
A. Pendekatan Kualitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali dan
mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam mengenai dinamika Postpurchase
dissonance pada konsumen dimana harga dilihat sebagai faktor pemicu. Alasan
peneliti memilih metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin melihat bagaimana
dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen dimana harga dilihat sebagai
faktor pemicu.Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana
pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari
kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebagai mahluk yang memiliki
pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2007).
Adapun metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah metode studi
kasus. Dimana metode studi kasus yang digunakan bersifat eksplanatori, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk menggali penjelasan kausalitas atau sebab akibat
yang terkandung di obyek peneliti. Pemilihan metode ini digunakan untuk
memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenani interrelasi fakta dan
dimensi fenomena tersebut serta karena dalam penelitian ini yaitu
dinamikaPostpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor hargasebagai
pemicuharuslah dipandang sebagai suatu proses yang disebabkan tidak hanya sebuah
faktor saja, melainkan banyak faktor. Selain itu, bagaimana presepsi individu
memandang hargajuga dapat berbeda-beda. Peneliti juga dapat menemukan hal-hal
baru dalam dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen dimana harga dilihat
sebagai faktor pemicu(Poerwandari, 2007).
B. Responden Penelitian
1. Karakteristik Responden Penelitian
Penelitian ini menggunakan duaorang responden dengan ciri sampel sebagai berikut:
a. Konsumen pria yang pernah mengalami kondisi postpurchase dissonance dipicu
oleh faktor harga
c. Pembelian produk untuk pemakaian diri sendiri. Hal ini didasarkan oleh teori
Sweeney & Soutar (2003) yang menyatakan salah satu karakteristik postpurchase
dissonance terhadap produk yang digunakan untuk kepentingan individu tersebut.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat di kota Medan. Hal ini
berhubungan dengan masalah praktis yaitu kemudahan dalam pengambilan data,
karena baik responden dan peneliti berdomisili di kota Medan.
3.Teknik Pengambilan Responden
Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan
berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory based/operational
construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa
penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan
studi-studi sebelumnya atau sesuai dengan tujuan penelitian berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai konsumenpria yang telah
mengalami postpurchase dissonance yang dipicu oleh faktor harga. Pemilihan sampel
C. Metode Pengumpulan Data
Rancangan penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes serta terbuka terhadap
kemungkinan bagi suatu perubahan serta penyesuaian-penyesuaian ketika suatu
proses berjalan. Meskipun tetap menjadi pedoman awal untuk masuk ke lapangan,
rancangan penelitian yang disusun tidak membelenggu peneliti untuk tunduk
terhadap pedoman awal manakala kenyataan di lapangan menunjukkan
kecenderungan yang berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya (Bungin, 2003).
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau
tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Sedangkan Banister (dalam
Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa wawancara merupakan percakapan dan
tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut,
suatu hal yang dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari,
2007).
Ada tiga jenis wawancara yang dikemukakan oleh Patton (Poerwandari,
2007), diantaranya adalah wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum
wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan
pedoman umum.
Pada wawancara mendalam, peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai
berbagai segi kehidupan responden secara utuh dan mendalam. Wawancara
mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background
life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak
diteliti. Sedangkan wawancara dengan pedoman umum, peneliti menetapkan
pedoman umum wawancara sebelum proses wawancara dilakukan, namun tidak
menutup kemungkinan akan beralih pada wawancara informal yang memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spontan.
D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Untuk mempermudah peneliti dalam mencatat hasil wawancara maka peneliti
menggunakan alat bantu berupa alat perekam (tape recorder) dan pedoman
wawancara. Penggunaan tape recorder diharapkan tidak ada informasi yang
terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Tape recorder tentunya dapat
digunakan dengan izin dan sepengetahuan responden. Selain penggunaan tape
recorder, peneliti juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk
mengkategorikan jawaban responden. Pedoman tersebut digunakan untuk
mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara
Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi responden, lingkungan
tempat wawancara berlangsung, tampilan responden dan hal-hal yang dapat
memperkaya konteks wawancara. Informasi yang diperoleh hanya digunakan sebagai
alat perantara antara apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dengan catatan yang
diperoleh dari lapangan sebenarnya.
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam
penelitian, diantaranya adalah:
a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan dinamika
postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga
sebagai pemicu. Peneliti mengumpulkan informasi dan teori-teori
yang berkaitan dengan harga dan postpurchase dissonance.
Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang
akan disertakan dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan
fenomena-fenomena yang didapat melalui komunikasi personal
dengan sampel.
b. Menyusun pedoman wawancara dan pedoman observasi.
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan
penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan
c. Persiapan untuk mengumpulkan data.
Mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian.
Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon
responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan
dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam
penelitian.
d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.
Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti
kemudian menghubungi responden, membangun rapport dan
menentukan jadwal wawancara.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap
pelaksanaan penelitian.
a. Mengkonfirmasi ulang waktu wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang
waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama
dengan responden. Percakapan yang berlangsung akan direkam
dengan tape recorder mulai dari awal sampai akhir percakapan.
Wawancara dilakukan sebanyak lima kali dengan seorang
responden. Keseluruhan wawancara dilakukan di tempat yang
Tabel 1. Waktu wawancara
No. Responden Tanggal Waktu Tempat
1. I 28 Mei 2013 13.00-13.45 Kantor Responden
I
2. 31 Juli 2013 15.00-15.35
3. 15 September 2013 14.00-14.20
4. 18 Maret 2014 14.00-14.20
3. 13Oktober 2013 18.00-18.20
b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.
Sebelum melakukan wawancara, reponden diminta untuk
memahami tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang
diajukan serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk
transkrip verbatim.
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil
wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti
melakukan koding dengan memberikan kode-kode pada materi
yang telah diperoleh. Koding dilakukan untuk dapat
mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang
topik yang dipelajari.
d. Melakukan analisa data.
Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian
dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan
menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di
koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya
berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat
wawancara.
e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran.
Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk
menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan
diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah
itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan,
diskusi dan data hasil penelitian.
3. Tahap Pencatatan Data
Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat
perekam dengan persetujuan partisipan penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman
ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah
salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan
F. Metode Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Menurut Poerwandari
(2007), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif, yaitu:
1. Organisasi Data
Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan
data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban
untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin.
Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan
lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkripsi
wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan
dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah
analisis.
2. Koding dan Analisis
Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalahmembubuhkan
kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat
mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail
sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan
demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya.
Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi
data yang diperolehnya.
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola
muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus
menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang
memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.
4. Strategi Analisis
Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan
mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang dilakukan.
Patton (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa proses analisis dapat
melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden
sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan
fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa
setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan
responden.
5. Tahapan Interpretasi
Menurut Kvale(dalam Poerwandari, 2007), interpretasi mengacu pada upaya
memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki
perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, akan diuraikan analisis data dan pembahasan hasil penelitian
mengenai dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor
harga pemicu. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, akan
diuraikan mengenai hasil observasi masing-masing responden, rangkuman hasil
wawancara dan analisis data. Sedangkan pada bagian kedua, akan diuraikan
interpretasi mengenai hasil penelitian yang diperoleh.
Kutipan dalam setiap bagian analisisakan dilengkapi dengan kode-kode
tertentu untuk mempermudah diperolehnya pemahaman yang jelas dan utuh. Contoh
kode yang digunakan adalah: (W1.R1/b.100-105/h.6). Maksud kode ini adalah
kutipan dari Wawancara I, Responden I, baris 100 sampai 105, verbatimhalaman 6.
Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara kedua responden pada penelitian
A. Deskripsi Data I
A.1. Identitas Responden I
I. Tabel 2. Deskripsi data RespondenI
1. Nama Responden I
2. Usia 54 tahun
3. Suku Batak Karo
4. Agama Kristen Protestan
5. Pendidikan terakhir S-1
6. Pekerjaan Arsitek
7. Pendapatan 10-20 juta/bulan
8. Hobby Hal yang berhubungan dengan dunia elektronik
A.2. Rangkuman Hasil Observasi
Untuk memahami lebih jelas mengenai keadaan ruangan kantor, peneliti akan
menggambarkan terlebih dahulu bagaimana kondisi di sekeliling kantor responden.
A.2.1. Observasi Lingkungan Kantor Responden
Kantor responden merupakan tiga bangunan ruko dua lantai yang saling
berdampingan. Ruko yang terletak di bagian paling kiri merupakan tempat responden
sehari-hari melakukan aktivitas kerja. Sedangkan dua ruko lainnya digunakan sebagai
tempat penyimpanan bahan material bangunan. Kantor ini tepat berhadapan dengan
kelapa muda, sedangkan di samping kiri bangunan terdapat jalan masuk menuju
perumahan yang lebarnya dapat dilalui dua mobil sekaligus.
Sebelum masuk ke kantor responden, peneliti bertemu dengan satuan
pengaman yang bertugas di kantor Responden. Setelah itu baru diperobolehkan
masuk ke dalam kantor. Sebelum masuk ke dalam kantor, peneliti menjumpai
disebelah kiri pintu masuk terdapat tempat pakir sepeda moto yang berada dan tepat
disebelah kanannya terdapat satu meja kayu dan satu pasang kursi kayu tempat untuk
para satuan pengaman kantor beraktivitas. Pintu masuk ke kantor responden terbuat
dari kaca seluruhnya, sehingga aktivitas di dalam kantor dapat terlihat dari luar
ruangan dan berlaku sebaliknya.
Setelah masuk di kantor responden, peneliti bertemu dengan salah satu
karyawan dan diantar ke pojok ruangan dimana disitu terdapat meja yang berbentuk
lingkaran dan mempunyai sepasang kursi. Ruangan pertama yang ditemui setelah
masuk di kantor responden ini adalah ruangan yang digunakan pegawai kantor untuk
melayani pembeli. Ruangan ini diisi oleh tiga meja pegawai yang berbentuk L,
lengkap dengan peralatan kantor seperti komputer, mesin print di setiap meja
pegawai tersebut. Tepat di samping kanan meja terdapat pintu masuk ke ruangan
berikutnya, Tiap ruangan kantor dipisahkan oleh triplek untuk membuat batas antar
Sekitar lima menit duduk, peneliti dipersilahkan terlebih dahulu melihat
ruangan-ruangan yang terdapat di kantor responden. Masuk ke ruangan berikutnya
peneliti mendapati tiga buah meja kantor yang digunakan oleh karyawan kantor, meja
ini tersusun membentuk dua baris. Selain itu, di ruangan ini terdapat tangga menuju
ruangan lantai dua juga pintu masuk ke ruangan kerja responden, tepat di sebelah kiri
pintu masuk ruangan kerja responden, terdapat satu buah meja tempat asisten
responden bekerja. Di atas meja ini terdapat satu buah komputer, mesin print, dua
buah telepon, serta tumpukan kertas yang terletak di atas mesin print.
Setelah melewati ruangan yang kedua, peneliti berencana untuk naik ke lantai
dua. Untuk mencapai lantai dua peneliti harus menaiki tangga dimana tepat di depan
tangga ini terdapat wastafel, rak gelas dan cangkir, serta dispenser air. Di bawah
wastafel terdapat empat buah galon air yang kosong. Sebelum peneliti mencapai
ruangan yang terdapat di lantai dua peneliti menemukan satu buah ruangan kosong
yang memiliki satu buah jendela. Di dalamnya terdapat kardus, map-map yang
berserakan, galon air minum, serta beberapa perangkat keras komputer yang disusun
rapi.
Pada lantai dua kantor responden terdapat satu ruangan yang didominasi oleh
warna putih, dan diisi oleh tiga buah meja beserta empat kursi. Pada meja yang
pertama dan kedua membentuk huruf L dan meja terakhir terpisah dengan kedua meja
tersebut. Di atas meja pertama terdapat tumpukan map yang terletak pada satu tempat
hijau yang ditimpa oleh remote pendingin ruangan. Tepat di belakang kedua meja ini
terdapat ruangan kosong yang memiliki empat ventilasi udara. Di samping kiri
ruangan terdapat sebuah lemari untuk menyimpan berkas dan diatas lemari tersebut
terdapat kalender, beberapa map serta kertas-kertas yang tersebar secara tidak
beraturan. Di ruangan ini mempunyai tangga yang berhubungan langsung dengan
lantai satu bangunan yang berada di sebelah kantor responden.
A.2.2. Observasi Ruangan Kantor Responden
Wawancara kedua dan seterusnya dilakukan pada ruangan ini. Ketika peneliti
masuk ke dalam ruangan ini, langsung dipersilahkan duduk di sofa berwarna putih
yang tersedia di dalam ruangan kantor responden. Di hadapan sofa ini terdapat meja
kecil yang diatasnya terdapat map berwarna merah dan sebuah asbak rokok. Ruangan
ini didominasi oleh warna putih, namun langit-langit ruangan ini mempunyai
ornamen-ornamen berwarna cerah seperti merah, kuning, putih dan biru yang disusun
berbaris. Di samping kiri sofa tempat penulis duduk terdapat sebuah pot bunga yang
berada diatas meja kecil. Sedangkan di samping kanan sofa adalah pintu masuk,
dimana dibalik pintu masuk ini terdapat karton-karton yang berisikan berkas dan
disususun secara bertingkat.
Meja kerja responden tepat berhadapan dengan sofa tempat peneliti duduk.
Meja tersebut berwarna coklat kayu dimana pada meja itu terdapat laptop berwarna
membaca dan kalender tahun 2013. Di dinding dekat meja kerja responden terdapat
kertas-kertas dengan tulisan yang ditempel menggunakan isolatip. Di seberang meja
kerja responden terdapat sebuah meja yang menghadap sudut ruangan, lengkap
dengan sebuah kursi. Di meja ini terdapat buku-buku yang disusun secara bertingkat
dan puluhan map serta kertas yang disusun menutupi permukaan meja.
Ruangan Kantor responden mempunyai satu pendingin ruangan dan ruangan
ini berbatasan langsung dengan ruangan depan kantor tempat para karyawan bekerja.
Pembatas ruangan ini merupakan kaca sehingga aktivitas karyawan responden dapat
dilihat dari dalam ruangan. Namun, ketika peneliti ada pada saat itu, pembatas
ruangan ini ditutupi oleh tirai jendela.
A.2.3. Observasi Wawancara
1. Wawancara I
Responden pertama bernama Responden I (bukan nama sebenarnya).
Responden adalah seorang pria yang berumur 54 tahun. Peneliti berjumpa dengan
responden atas saran dari saudara peneliti. Melalui saudara peneliti, peneliti
mendapatkan nomor telepon responden.Selama pembicaraan di telepon, peneliti
menanyakan beberapa pertanyaan untuk memastikan apakah responden termasuk
kriteria yang dicari oleh peneliti. Setelah akhirnya merasa cocok peneliti
mendapatkan jadwal wawancarra, waktu serta tempat dilangsungkannya
Pada hari yang telah dijanjikan, peneliti telah berada di kantor responden 15
menit lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Ketika pertama kali sampai di
kantor responden, peneliti langsung ditemui oleh penjaga keamanan kantor untuk
menanyakan keperluan dan hendak bertemu dengan siapa. Peneliti menyebutkan
nama responden dan ternyata responden yang dimaksud sedang tidak berada di
dalam kantor, sehingga penjaga keamanan mempersilahkan peneliti masuk ke
dalam dan menunggu kedatangan responden atau tetap menunggu di luar kantor.
Peneliti memutuskan untuk tetap berada di luar untuk menunggu. 10 menit
berselang, tiba-tiba peneliti ditelpon oleh responden mengabarkan bahwa
pertemuan akan terlambat sekitar 20 menit dan responden sedang berada di jalan
menuju kantor. Peneliti kemudian meminta izin kepada penjaga keamanan kantor
untuk masuk ke dalam kantor sambil menunggu kedatangan responden. Penjaga
keamanan itu langsung mengantar peneliti masuk dan mempersilahkan peneliti
duduk di meja yang berbentuk lingkaran yang berada di sudut ruangan.
Beberapa menit kemudian, peneliti melihat mobil Inova hitam masuk ke
halaman parkir kantor, kemudian seorang pria memakai kemeja berwarna putih
turun dari mobil membawa tas kerja, masuk ke dalam kantor dan menjumpai
peneliti. Peneliti yang baru pertama kali berjumpa dengan responden langsung
mengucapkan salam perkenalan dengan responden. Responden kemudian
menanyakan apakah wawancara langsung bisa dilakukan, dan peneliti
mengajak peneliti untuk naik ke lantai dua, karena di lantai dua terdapat ruangan
yang tidak dipakai.
Sampai di lantai dua, peneliti mendapati suatu ruangan yang kosong dan gelap
seketika responden menghidupkan lampu ruangan melalui saklar yang terletak di
belakang sebuah meja kerja. Sambil menghidupkan lampu, responden
mempersilahkan peneliti mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan
responden. Sebelum memulai wawancara, peneliti terlebih dahulu menceritakan
maksud dan tujuan penelitian serta latar belakang penelitan yang sedang
dilakukan. Dan responden sangat terbuka dalam menanggapi pernyataan peneliti,
ini disebabkan karena menurut responden, tema penelitian peneliti sangat
berkaitan erat dengan kejadian keseharian yang dialami responden.
Mendapat tanggapan yang positif dari responden, peneliti berniat melakukan
wawancara awal dengan responden. Sebelum memulai wawancara, peneliti
terlebih dahulu meminta izin kepada responden dalam pemakaian alat perekam
suara dengan alasan agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar.
Responden pun tidak berkeberatan dengan permintaan peneliti dan peneliti
meletakkan alat perekam suara tepat di tengah antara responden dengan peneliti.
Pada awal wawancara, responden terlihat fokus dalam menjawab setiap
pertanyaan peneliti. Ini dibuktikan adanya tatap mata antara responden dan
santai dan diselingi oleh tawa responden. Responden juga antusias menjawab
pertanyaan yang diajukan peneliti karena pertanyaan peneliti menyangkut hal-hal
yang menjadi hobinya.
Pada tengah wawancara, karyawan responden datang membawa sebuah teh
manis dan diletakkan di samping kiri peneliti. Kemudian responden
mempersilahkan peneliti untuk minum dan setelah itu wawancara dilanjutkan
kembali. Ketika wawancara sudah hampir berakhir, peneliti mempersilahkan
responden untuk bertanya jika ada pertanyaan seputar wawancara, dan ternyata
responden bertanya banyak hal terutama bagaimana topik yang diajukan peneliti
dapat dijadikan untuk membuat skripsi, kemudian peneliti menjawab dan terjadi
semacam proses tanya jawab mengenai topik penelitian yang sedang diteliti.
Setelah sekitar lima menit untuk proses tanya jawab, peneliti pun mengakhiri
wawancara dengan responden.
Untuk wawancara awal ini, peneliti menganggap tidak ada gangguan yang
berarti dalam proses berjalannya wawancara. Suasana ruangan yang hening
membantu peneliti berinteraksi dengan responden. Letak ruangan yang di lantai
dua juga mengurangi suara mobil yang lalu-lalang di depan kantor responden.
2. Wawancara II
Proses terjadinya wawancara II tidak jauh berbeda dengan wawancara I.
melalui handphone. Ketika peneliti sudah berada di kantor responden sesuai
dengan kesepakatan, tiba-tiba responden menelpon dan membatalkan jadwal
wawancara II karena ada urusan pekerjaan yang sifatnya mendadak, dan
responden meminta agar wawancara diundur ke hari dan jam yang lain. Dan
peneliti pun menyetujuinya.
Pada hari dan jam yang sudah dijanjikan, peneliti pun datang ke kantor. Dan
kemudian ditanyai oleh penjaga keamanan kantor seputar keperluan dan hendak
bertemu dengan siapa. Peneliti pun menyebutkan nama responden dan seketikan
penjaga keamanan kantor itu pun mempersilahkan peneliti duduk sambil
menunggu kedatangan responden.
Sekitar 10 menit menunggu, responden yang memakai kemeja biru bergaris
putih tipis datang dan menanyakan apakah peneliti sudah lama berada di kantor,
dan peneliti mengatakan tidak begitu lama. Kemudian responden mengajak
peneliti untuk ke ruangan kantornya dan mengatakan agar wawancara II
dilakukan di ruangan tersebut. Sambil berjalan menuju ke ruangan tersebut,
responden menyuruh salah satu karyawannya untuk membuat teh manis sebanyak
dua buah dan diantar ke kantornya. Begitu sampai di ruangan yang dituju,
responden menghidupkan lampu ruangan melalui saklar yang beradai di balik
pintu masuk. Responden langsung menuju meja kerjanya dan mempersilahkan
Sebelum proses wawancara II dimulai, peneliti menyampaikan tujuan
wawancara II yang akan dilakukan dan ketika memulai wawancara II, dua teh
manis diantar ke ruangan diletakkan di samping kanan peneliti. Proses wawancara
II pun dapat dikatakan lancar dari awal hingga akhir wawancara. Interaksi tatap
mata tetap terjaga selama proses wawancara. Bahasa tubuh responden juga
terlihat stabil dan tidak tegang. Wawancara II juga diselingi oleh tawa responden
mengenai kebiasaannya dalam membeli barang. Hal ini didukung oleh posisi
duduk yang ditunjukkan responden menunjukkan kesan yang santai dan rileks.
Dalam proses wawancara II, hal-hal yang dianggap mengganggu adalah selain
adanya nada dering pesan masuk pada handphone responden ketika proses
wawancara II, juga suasana ruangan kantor yang tidak sehening ketika wawancara
I, karena ruangan kantor responden berbatasan langsung dengan ruangan para
karyawan bekerja dan dalam melayani pembeli.
3. Wawancara III
Proses penentuan jadwal dan jam untuk wawancara III sama pada wawancara
sebelumnya. Namun pada wawancara III ini, ketika peneliti sudah berada di
kantor dan mengabari responden melalui pesan singkat, ternyata responden sudah
berada di dalam ruangannya dan menyuruh peneliti untuk langsung masuk ke
ruangannya. Ketika masuk dalam ruangannya, responden terlihat sedang
di sofa, karena ada pekerjaan yang sedang dikerjakan. Di sofa tempat peneliti
duduk pun, tersebar kertas-kertas yang berisikan tulisan. Sambil menunggu,
responden siap dengan urusannya, peneliti melihat-lihat kembali urutan
pertanyaan yang hendak diajukan.
Sekitar 15 menit berselang, responden memanggil peneliti untuk datang ke
meja kerjanya dan memulai wawancara III. Kemudian peneliti meninggalkan tas
peneliti dan membawa beberapa kertas, pulpen dan alat perekam suara menuju
meja kerja responden. Sebelum memulai wawancara III, responden mengutarakan
kembali tema-tema pertanyaan yang akan diajukan di wawancara III ini dan
menghidupkan alat perekam suara, diletakkan di antara responden dan peneliti.
Pada bagian awal dan tengah wawancara III, suasana wawancara berlangsung
dengan lancar begitu juga dengan interaksi tatap mata yang tetap terjaga. Tapi,
pada menit ke 20 menjelang akhir wawancara, bahasa tubuh yang ditunjukkan
responden adalah melihat ke arah jam tangan serta melihat handphone. Melihat
bahasa tubuh tersebut, peneliti pun menanyakan apakah ada urusan pekerjaan
yang sedang dikejar, dan ternyata hal itu dibenarkan oleh responden. Hal ini
didukung oleh bahasa tubuh responden dimana tangan responden berada di bawah
meja sedang memegang handpone sepanjang akhir wawancara. Melihat hal itu,
peneliti langsung menutup wawancara III dan mengucapkan terima kasih buat
Wawancara III tidak banyak menemui gangguan yang berarti. Namun adanya
telepon masuk pada bagian tengah wawancara, sepertinya merusak konsentrasi
responden dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal itu dibuktikan adanya
perbedaan bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh responden setelah melihat daftar
panggilan masuk di telepon genggam.
4. Wawancara IV
Proses terjadinya wawancara yang ke-4, hari yang dijadwalkan responden
tidak dapat melakukan wawancara karena tiba-tiba mempunyai urusan pekerjaan
yang lebih penting sehingga proses wawancara dilakukan pada esok harinya, pada
jam yang sudah ditetapkan oleh responden sendiri.
Pada hari yang dijanjikan, peneliti tiba di kantor responden 15 menit lebih
cepat dari jam yang dijanjikan kedua pihak. Sebelum masuk ke kantor responden,
peneliti terlebih dahulu sudah melihat mobil responden sehingga peneliti
langsung bergegas ke dalam kantor responden. Ternyata di ruangan pertama yang
biasa dijumpai terjadi perubahan posisi kursi dan meja. Hanya terdapat dua meja
saya, meja yang berbentuk lingkaran yang biasanya berada di sisi sudut ruangan
menjadi meja yang langsung berhadapan dengan pintu masuk ke dalam kantor. Di
meja tersebut responden sudah duduk dan sedang menelpon. Melihat kedatangan
Pada hari itu responden memakai kemeja ungu dengan motif kotak-kotak
dengan celana kain berwaran coklat terang. Setelah 3 menit berselang, responden
sudah menyelesaikan kegiatan bertelepon dan dari pintu masuk datang seorang
perempuan mengantarkan minuman responden. Sambil bertanya mengenai topik
wawancara hari ini responden menanyakan pada peneliti untuk memesan
minuman. Setelah peneliti memberitahu topik wawancara responden menanyakan
agar wawancara dimulai dan masuk ke dalam ruangan kantor responden.
Di dalam ruangan kantor responden, khususnya di meja kerja terdapat banyak
kertas yang menutupi meja kerja responden. Sebelum mempersilahkan duduk,
responden terlebih dahulu merapikan kertas-kertas yang terdapat di atas meja
kemudian mengajak responden untuk duduk. Sebelum memulai, peneliti terlebih
dahulu meminta izin untuk memakai mesin perekam suara serta memberikan
gambaran besar mengenai topik yang akan ditanyakan.
Selama proses wawancara, responden mampu menjawab pertanyaan peneliti
dengan rileks. Proses komunikasi dua arah terjalin dengan baik, hubungan kontak
mata jarang terputus serta tidak ada hambatan serius yang dirasakan peneliti
selama wawancara dilakukan dari awal wawancara hingga sampai penutupan
wawancara. Posisi tubuh yang ditunjukkan responden juga menunjukkan kesan
yang rileks dan santai, serta posisi tangan sekali-sekali bergerak ketika responden
5. Wawancara V
Pada wawancara yang ke-5, sebelumnya responden dan peneliti belum
membuat janji terlebih dahulu mengingat jadwal aktivitas kerja responden yang
padat sehingga dalam wawancara yang ke-5 bergantung pada kesiapan waktu
responden untuk melakukan wawancara. Seperti sebelumnya, peneliti terlebih
dahulu menanyakan kesiapan waktu responden dan langsung mendapatkan kabar.
Peneliti langsung bergerak menuju kantorresponden.
Ketika tiba di kantor responden, tidak seperti biasanya, responden tidak
berada di bagian depan kantor. Sehingga peneliti langsung masuk ke dalam
ruangan kantor responden, ternyata responden berada di dalam ruangan kerjanya.
Di ruang kerja responden sendiri terlihat penuh dengan berkas-berkas kertas,
terkhususnya di meja kerja responden. Peneliti dipersilahkan masuk dan duduk.
Responden pada siang itu memakai kemeja biru dengan motif kotak kecil. Sambil
menanyakan sekitar wawancara, responden terlihat membersihkan meja kerja
yang penuh dengan kertas. Setelah peneliti menyampaikan maksud dan tujuan
wawancara, responden pun langsung meminta agar wawancara dimulai.
Selama wawancara berlangsung, tidak ada kendala berarti yang ditemui oleh
peneliti. Kontak mata tetap terjaga selama wawancara berlangsung, responden
pun menjawab pertanyaan peneliti dengan rileks, dilihat dari bahasa tubuhnya.
proses wawancara, karena ada telepon yang masuk. Selain itu selama wawancara
terdengar 2-3 dering pada handphone yang lain menandakan adanya pesan masuk.
Setelah semua pertanyaan yang telah disiapkan ditanyakan, maka peneliti
mengucapkan terima kasih kepada responden karena telah meluangkan waktu
untuk melakukan wawancara.
A.3. Rangkuman Hasil Wawancara
A.3.1.Dimensi Postpurchase Dissonance
1. Dimensi Emotional
Setelah pembelian produk laptop Toshiba tersebut, Responden I mengakui
bahwa timbul perasaan tidak nyaman seusai membeli barang dan meninggalkan
toko. Perasaan tidak nyaman ini dirasakan Responden I dari sesudah membeli
sampai sebelum menggunakan produk tersebut.
“Ada, setelah membeli barang itu, dan setelah meninggalkan toko, biasanya
ada semacam keraguan(perasaan tidak nyaman).” (W1.R1/b.67-70/h.2)
“Biasanya dari saya beli sampai saya memakainya. Disitulah perasaan yang tidak enak saya rasa. Setelah saya pakai ternyata tidak seperti itu, karena yang saya beli ini ternyata sudah bagus.” (W1.R1/b.298-306/h.7)
Perasaan tidak nyaman yang dirasakan Responden I setelah membeli produk
Laptop Toshiba tersebut diakui oleh Responden I sebagai perasaan seperti
menyesal dengan keputusan pembelian, selain itu perasaan bahwa diri Responden
dari rencana awal pembelian juga disertai perasaan suntuk dan kecewa yang
dirasakan secara berulang kali.
“Iya, perasaan apalah..merasa bersalah, salah beli lah, jadi perasaan itu salah
beli kecewa.” (W3.R1/b.26-29/h.28)
“Bodohnya aku ini, hanya sekejap bisa berubah, jadi menyesali diri kan.
Kalau kasus yang satu lagi sama juga kan, jadi kesimpulannya selalu salah
beli.” (W3.R1/b.344-348/h.36)
“Cuma sebentarnya perasaan itu, tapi berulang. Perasaan tidak enak, suntuk
itu terasa kali. Salah beli selalu..salah beli selalu.. tetapi begitunya terus, bagaimana lagi dibuat hahahahha..” (W3.R1/b.157-162/h.32)
Selain adanya perasaan tidak nyaman, Responden I merasa menyesal atas
keputusan pembelian yang telah dilakukan. Ini dikarenakan Responden I belum
mengetahui informasi keseluruhan mengenai produk yang sudah dibeli,
menyebabkan ketakutan tersendiri jika produk yang sudah dibeli tidak memenuhi
harapannya.
“Iya, cemana lah lebih tinggi pula, padahal udah saya pelajari, belum tentu
nanti dia hang atau pun gini…” (W3.R1/b.120-136/h.36)
“Iya, perubahan itu, sebenarnya yang saya sesali, kenapa lah saya rubah ini, di rumah udah matang saya pikirkan, kenapa tiba dipengaruhi mau padahal ini
belum tentu..” (W3.R1/b.262-266/h.34)
2. Dimensi Wisdom of Purchase
Pada pembelian produk elektronik secara umum, Responden I mengakui
bahwa kerap kali pertanyaan seputar keputusan muncul mengenai pembelian yang
“Iya ada, setelah membeli kan, lah kenapa ya saya beli yang ini, kenapa yang ngga itu saja, tapi tetap sejenis barangnya.” (W1.R1/b.97-102/h.3)
Namun setelah digali lebih lanjut, Responden I menyatakan bahwa pada
pembelian produk laptop, hampir tidak pernah muncul pertanyaan apakah produk
tersebut akan memenuhi kebutuhannya atau tidak. Hal ini didorong karena pada
setiap pembelian produk laptop, Responden I berada di dalam kebutuhan yang
sangat mendesak sehingga pembelian produk laptop selalu didasari oleh tahap
pencarian informasi yang panjang.
“Itu saya berpikir selalu, soal itu saya memang tidak ragu dalam skema ini lihat bagian kedua ini wisdom of purchase saya tidak pernah ragu karena saya pikir itu udah benar tapi faktor emosi tadi dan concern over deal nah keduanya ini membuat saya tidak nyaman. Perasaan bersalah dalam diri atau
merasa dibodohin.” (W4.R1/b.2236-246/h.44) butuh, kalaupun dibilang hotel memang waktu itu butuh. Tapi terkadang saya berpikir seperti itu, terus dipikirkan lagi saya pikir ngga mungkin karena saya membeli barang yang saya butuhkan. Karena saya mau belajar juga ya kenapa saya seperti itu. Kok saya tiap beli barang begini. Kok terjadi hal yang itu tadi ya penyesalan setelah pembelian. Tapi sampai sekarang saya jalani
sajalah karena setelah saya gunakan tidak ada masalah.” (W4.R1/b.311
-328/h.46)
Munculnya dimensi Wisdom of purchase di dalam diri Responden I setelah
pembelian diakui Responden I terjadi pada pembelian produk elektronik lain
seperti kamera dan handphone. Dalam kasuk pembelian produk kamera, biasanya
melakukan keputusan pembelian produk kamera, Responden I kerap
mempertanyakan apakah produk yang sudah dibelinya akan memenuhi
kebutuhan, karena fitur yang ditawarkan produk kamera tersebut mirip dengan
produk kamera yang sudah dimiliki sebelumnya.
“Setelah beli, ada..kamera pun pernah.. ceritanya udah saya beli ada kamera saya udah ada kamera saya kan soalnya saya kolektor juga, jadi saya beli, kenapalah saya beli ini, apalah gunanya saya beli ini pun, toh sudah ada yang mirip seperti ini. Kalau laptop ngga, karena itu tadi kamera ada saya simpan, jadi ketika saya beli, untuk apa saya beli, miripnya sama yang satu itu kan. Pernah saya seperti itu. Kalau laptop enggalah..kalau hp ngga, karena bisa dijual atau dikasi. Kameran kan saya simpan. Untuk apalah ini kan miripnya, sia-sia aja ini..ada..kenapa? karena sudah ada yang mirip, sikit beda modelnya, ambil, padahal setelah dipakai sama ajanya sepertinya.” (W5.R1/b.382-405/h.58)
Sehingga terkadang dalam pembelian kamera, Responden I merasa kecewa
dengan keputusan pembeliannya. Hal ini dikarenakan setelah produk kamera
digunakan, fasilitas yang didapat tidak jauh berbeda dengan kamera yang sudah
dimilik atau kemampuan produk tidak sesuai dengan yang diharapkan Responden
I sebelumnya. Kekecewaan yang dirasakan mengakibatkan Responden I berhenti
menggunakan kamera tersebut dan menyimpannya (discontinued use).
“Ya adalah mubazir aja kita rasa. setelah beli ada ragu namun setelah pakai
pun ragu, kenapalah beli yang ini.” (W5.R1/b.409-412/h.60)
“Eh…paling itu kamera yang canon itulah. Tapi yang terakhir ini saya ga
suka, jarang saya pakai kan terjadi dia berulang. Malah yang pocket saya pakai terus sampai sekarang bukan yang terbaru itu. Eh..artinya terjadi pengulangan lagi seperti itu, kurang senang dengan yang baru itu.” (W5.R1/b.327-337/h.58)
Responden I menambahkan postpurchase dissonance yang dirasakannya
ketika setelah membeli produk elektronik tidak muncul ketika ia membeli suatu
produk yang sedang diberi potongan harga (discount). Hal ini diakuinya karena
pembelian tersebut bukan berdasarkan kebutuhan namun hanya karena produk
tersebut sedang berada diberi potongan harga yang tinggi, sehingga Responden I
merasa sayang jika tidak membeli produk tersebut.
“Ya sering, walaupun saya tidak perlu, ya saya ambil, itu sering, contohnya senter, padahal tidak perlu, tapi karena harganya banting sekali, saya ambil.” (W1/R1/b.221-229/h.6)
“Engga, biasanya senter gitu kan, itu ga ada masalah karena itu kan istilahnya untuk enjoy saja hahaha iya, pas murah sepertiga harga taunya kita harganya
itu tapi sepertiga.” (W5.R1/b.468-473/h.61)
“Ngga ada, ngga jadi pikiran memang, dan itu ga jadi pikiran memang, kadang-kadang udah hilang pun tapi kalau hp kamera saya simpan dan rawat
itu.” (W5.R1/b.476-481/h.61)
3. Dimensi Concern over Deal
Adanya kesadaran yang dirasakan oleh Responden I setelah membeli produk
bahwa keputusannya telah dipengaruhi oleh bujukan agen penjual. Kenyataan
rencana, membuat Responden I merasa keputusannya merupakan suatu kesalahan
dan membuat keraguan pasca pembelian.
“Tapi setelah saya ambil itu, muncul keraguan setelah membayar, setelah saya tinggalkan toko itu muncul keraguan. Kenapa yang ini? Kenapa ngga yang
“Karena kalau yang 12 itu sudah dipikir matang-matang. Tapi sama aja yang
udah matang pun gitulah. Karena sebelumnya udah ada persiapan merasa
salah beli juga.” (W3.R1/b.107-116/h.30)
Selain adanya bujukan dari agen penjual, Responden I juga dihadapkan
informasi di luar dirinya seperti tampilan-tampilan produk yang belum pernah
diliat sebelumnya dan banyaknya pilihan alternatif produk yang tersedia dimana
kualitasnya, menurut Responden I, lebih bagus daripada produk yang
direncanakan. Adanya informasi-informasi baru tentang produk sejenis yang
dicari Responden I membuat Responden I mudah merubah rencana
pembeliannya. Sehingga walaupun sematang apapun rencana pembelian yang
telah dibuat Responden I terhadap suatu produk, keputusan pembelian biasanya
dipengaruhi oleh faktor situasional ketika berada di toko tersebut.
“Kalau mereka ya biasa lah, memberikan barang yang lebih bagus, lebih baru supaya pembelinya ngga kecewa. Gitunya penjual semua. Ini sedikitlah beda harga katanya, tapi lebih bagus dan terbaru ini, jauh ini tertinggal ini udah sistem ini. Kan, pasti diberikannya keunggulan-keunggulan seperti itu.” (W3.R1/b.212-221/h.33)
“Setelah ke toko, ya itu tadi ada memang waktu itu Toshiba yang lebih tinggi, jadi yang lebih tinggi itu, saya pikir pun bagus juga, karena dia lebih tinggi ngomong anak ini. Bukannya kusalahkan. Merasa dipengaruhin lah.” (W3.R1/b.225-233/h.33)
Munculnya perasaan salah beli yang dirasakan Responden I ternyata dipicu
oleh faktor harga, dimana Responden I pada pembelian produk laptop tersebut
merasa overbudget. Perbedaan jumlah uang yang akhirnya dikeluarkan untuk
mendapatkan produk tersebut dirasa signifikan dengan yang direncanakan
membuat Responden I merasakan ada yang salah dengan pembeliannya.
“Ehh..Itu ada, memang lebih tinggi dia harganya. Cuma pengaruh harga itu dalam arti kata lebih mahal ini, jangan-jangan yang tadi saya rencanakan dari rumah udah bagusnya itu, kenapalah saya ambil ini, lebih mahal lagi. Kalau
kamera tidak ada, tidak ada masalah.” (W2.R1/b.339-346/h.18)
“Sebenarnya ngga, karena rencana memang ambil produk yang 12 juta itu, udah jelas dari rumah tekad itu karena sudah dipelajari dari rumah, diliat speknya ini mantap ini. Ternyata di toko itu ada yang lebih. Kan gitu, ada yang lebih dengan harga yang lebih mahal. Dan sekejap saya lihat itu mantap dan uang pun lagi ada. Ya udahlah ambil saja. Keluar dari toko menyesal,
aduh kenapa lah ini tadi dibeli.” (W3.R1/b.91-103/h.30)
Namun perasaan salah beli ini berangsur-angsur hilang setelah penggunaan
setelah menggunakan laptop ini. Rasa puas setelah penggunaan produk yang baru
dibeli biasanya dirasakan pada produk laptop. Hal ini didukung oleh pernyataan
Responden I seperti berikut: tapi kalau kamera dan hp saya sendiri merasa saya salah beli. Karena setelah
saya pakai ternyata ga pas seperti yang saya butuhkan.” (W5.R1/b.311
-321/h.58)
“Ya ada..ya setelah meninggalkan toko, waktu kita menego tidak ada masalah apa-apa. Semacam ada rasa ragu, ya ada rasa menyesal. Menyesal lah kenapa diambil ini tadi..tapi itu setelah sampai dirumah, ketika dipakai, ngga ada lagi masalah itu, udah hilang. Karena uda kita pakai barang itu, bagus juganya
kan.” (W2.R1/b.298-307/h.17)
A.3.2. Dinamika postpurchase dissonance pada responden dengan faktor harga
sebagai pemicu.
Munculnya kondisi postpurchase dissonance pada responden pada pembelian
produk laptop Toshiba dipicu oleh faktor harga laptop seharga 16 juta. Sebelum
terjadinya pembelian, responden sudah terlebih dahulu melewati tahap-tahap
pencarian informasi, evaluasi alternatif pilihan sehingga keputusan akhir jatuh
pada produk laptop Toshiba seharga 12 juta. Namun ketika sudah sampai di toko,
banyaknya produk sejenis yang ditawarkan serta kelebihan-kelebihan dibanding
produk yang sudah direncanakan membuat responden mengubah keputusan
pembelian dengan membeli produk seharga 16 juta.
“Harganya karena saya rasa dari 12 ke 16 cukup besar.tapi waktu dijelaskan itu, saya pikir wajar, wajarnya harga lebih, speknya lebih tinggi, kemampuan yang lebih tinggi, vga nya lebih tinggi. Nah..jadi sekitar sebelum membeli saya sudah yakin, kalau memang ini sudah pas. Tapi setelah dibayar keluar dari toko, timbul rasa perasaan salah beli saya ini. Mengapalah dibeli yang ini
ya. Yang 12 pun sudah bagus ya.” (W3.R1/b.51-63/h.29)
Timbulnya postpurchase dissonance yang dirasakan responden adalah hasil
dari analisis harga yang timbul setelah pembelian produk laptop Toshiba.. Pada
pembelian produk Laptop Toshiba seharga 16 juta, terdapat beberapa analisis
harga yang muncul. Analisis harga yang pertama adalah perbedaan sejumlah
uang yang direncanakan untuk membeli dengan jumlah uang yang akhirnya
digunakan untuk membeli produk/overbudget. Hal ini, menurut penuturan
responden, sangat berpengaruh signifikan dalam membentuk keraguan yang
dialaminya setelah pembelian.
“Tidak, sesudah membeli kan ragu. Kenapalah kubeli ini, kenapa ngga yang
tadi aja, harganya lebih murah lagi. Jadi berarti kan penambahan harga 4 juta
terlalu signifikan saya rasa.” (W2.R1/b.378-384/h.19)
“Ngga, Cuma kemahalan jadinya. Kenapa lah kubeli jadi lebih mahal 4 juta,
Besarnya perbedaan jumlah uang yang dibayar membuat responden merasa
usaha pencarian informasi yang selama ini dilakukan menjadi sia-sia.
“Yah saya rasa sia-sia aja toh tadi yang 12 ini saya sudah pelajari. Udah
cukupnya tadi ngapainlah ambil yang mahal ini orang saya udah pelajari sebelumnya bahwa itu udah sesuai dengan kebutuhan dan kinerja nya sudah
dipelari dan canggihnya tapi kan gitu.” (W2.R1/b.497-504/h.22)
“Nah setelah membeli timbul aja dia perasaan itu, kenapa ngga barang yang
sudah saya cari, inilah yang terbaik inilah kebutuhan saya. Kenapalah saya
ambil yang satu ini, lebih mahal lagi.” (W2.R1/b.519-524/h.22)
“Karena kalau saya pikirkan kalau tadi misalnya saya beli sesuai dengan saya rencanakan, sudah memenuhi sebenarnya. Ngapain saya harus buang-buang lagi biaya itu seperti perasaan mubazir. Karena sebelumnya sudah memenuhi tapi saya ambil yang lebih tinggi karena ada faktor penjual. Jadinya saya ambil sehingga ada perasaan penyesalan soal harga tadi. Karena toh sebelumnya yang direncanakan sudah cukup ngapain lah dibuang lagi uang lebihnya itu. Padahal belum tentu mutunya..kan ada keraguan seperti itu.tapi toh sudah terjadi pembelian.. mau apalagi hahaha. Jadi yang ada penyesalan..salah beli, tapi akhirnya begitu tadi setelah saya pakai hilang
sendirinya perasaan itu tadi.” (W4.R1/b.335-341/h.46)
“Yah besarlah karena yang 12 itu pun sudah besar pada waktu itu sudah mahal sekali, tambah lagi empat kan sudah harga itu sudah besar bagi saya. Untuk
harga laptop sudah mahal itu.” (W4.R1/b.375-380/h.47)
Tingginya harga yang dibayar juga membuat responden merasa telah
membayar melebihi dari kemampuan produk yang sudah dibayar (overpriced).
Walaupun sebelum membayar, responden telah diberitahu oleh penjual
kelebihan-kelebihan produk dibanding produk awal yang sudah direncanakan,
setelah pembelian responden tetap merasa perbedaan harga tersebut tidak
diimbangi kualitas produk yang sudah dibeli.
tinggi,waktu itu masalah memori lebih besar, vga nya lebih besar itu yang membuat saya berpikir ini berarti lebih bagus ya ya padahal yang sebelumnya saya udah cukupnya sebenarnya kebutuhan yang Toshiba yang dibawahnya
itu.” (W2.R1/b.273-384/h.16)
“Ada perasaan seperti itu. Walaupun tokonya saya yakin harganya ini ga mungkin salah karena toko ini saya sangat tahu, toko yang saya masukin ini sudah saya kenal jadi harga produknya wajar. Jadi tetap saja saya memikirkan
apakah tidak terlalu mahal setelah pembelian.” (W4.R1/b.200-209/h.41)
Munculnya perasaan overpriced pada responden karena disebabkan oleh
beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah responden menilai, besarnya
jumlah uang yang dikeluarkan tidak sepadan dengan kualitas yang didapat dari
produk tersebut. Kualitas yang dimaksud oleh responden dilihat dari
fasilitas-fasilitas produk, seperti kinerja dan kemampuan.
“Kalau harga ini maksudnya, mungkin artinya ga sepadan saya rasa harganya ini dengan yang saya ambil ini.” (W2/R1/b.204-207/h.15)
Hal ini disebabkan oleh kualitas produk dirasa responden (perceived quality)
tidak seimbang dengan pengorbanan yang dikeluarkan dalam bentuk uang.
Sehingga menyebabkan perasaan salah mengambil keputusan pada saat
pembelian.
“Itu makanya saya bilang tadi, mungkin ga berdiri sendiri uang itu, terkait dengan kinerja itu. Karena saya pikir toh, sikitnya bedanya mungkin ini. Ngapainlah saya ganti, padaha udah saya pilih yang itu.” (W2.R1/b.378 -384h.19)
Alasan selanjutnya adalah adanya pengalaman responden dengan pembelian
produk yang melibatkan pembelian produk dengan harga yang tinggi. Responden
responden mengetahui dari temannya bahwa barang tersebut dapat dibeli dengan
harga yang jauh lebih murah. Hal ini menyebabkan rasa trauma responden
terhadap harga produk. Pengalaman tentang harga ini berpengaruh secara
signifikan pada responden dalam membentuk keraguan yang dirasakan
responden setelah pembelian.
“Setelah saya menggunakan, tanya sama kawan, dia beli ngga segitu. Mungkin itu menjadi semacam trauma dalam hati. Tapi itu kejadiannya setelah uda dipakai, berhari-hari ketemu sama kawan, berapa belinya.kok gitu, dimana belinya..nah ternyata tokonya itu barang mahal. Menyesal kemudian
lah.” (W2/R1/b.428-437/h.20)
“Mungkin saya rasa ada pengaruh pengalaman masa lalu itu. Jadi pernah ada
rasa salah beli, terlalu mahal yang saya beli itu.” (W4.R1/b.211-215/h.43)
“Ada itu ya membentuk sekali keraguan karena takut salah. Seperti
pengalaman sebelumnya dan itu membekas dalam hati saya.” (
W4.R1/b.135-139/h.41)
Kedua alasan ini menjadi latar belakang mengapa responden merasakan
pembelian yang overpriced pada pembelian produk laptop tersebut. Analisis
harga selanjutnya yang muncul pada diri responden adalah adanya resiko yang
dirasakan atas pembelian produk/perceived risk. Besarnya jumlah uang yang
dibayarkan ditambah minimnya informasi yang dipunyai responden terhadap
produk yang dibeli membuat responden merasakan resiko-resiko atas keputusan
pembelian, dimana kemudian resiko-resiko ini menyebabkan tergganggunya
aspek emosional responden setelah pembelian.
“Ya karena itu tadi, mungkin disitu perasaan saya itukan belum saya tau pasti,
perasaan kecewa..salah beli lah istilahnya.” (W3.R1/b.33-41/h.29)
Terdapat dua jenis resiko yang dirasakan responden pasca pembelian produk
laptop Toshiba tersebut. Resiko pertama menurut responden adalah situasi ketika
produk yang sudah dibeli tidak mampu memenuhi harapan responden dari segi
kemampuan dan ketahanan. Minimnya informasi yang dipunyai responden
dibanding informasi produk laptop sebelumnya (yang direncanakan) membuat
responden meragukan kemampuan produk tersebut.
“Kalau ngga mengapa menyesal pasti ada penyebabnya kan? Kan ga mungkin menyesal itu ga ada dasarnya. Pasti ada. Ada ekspektasi kita lebih tapi kita menyesal takut sesuai ga harapan. Padahal dirumah sudah dipersiapkan.” (W4.R1/b.120-136/h.31)
“Iya, perubahan itu, sebenarnya yang saya sesali, kenapa lah saya rubah ini, di rumah udah matang saya pikirkan, kenapa tiba dipengaruhi mau padahal ini belum tentu. Sampai di rumah, ternyata mantap setelah dipakai. Habis dibeli
itu aja masalahnya.” (W3.R1/b.262-266/h.34)
“Yah itu mungkin juga karena keputusan diambil dalam waktu yang singkat. Bukan seperti yang kita rencanakan sebelumnya. Jadi takut tidak sesuai,
karena lari dari rencana sebelumnya.” (W4.R1/b.111-117/h.41)
Resiko selanjutnya yang dirasakan responden adalah kerugian finansial yang
dirasakan responden setelah melakukan pembayaran. Hal ini dilatarbelakangi
diketahui informasinya secara menyeluruh membuat responden merasakan
semacam kerugian atas pembelian produk tersebut.
“Iya, cemana lah lebih tinggi pula, padahal udah saya pelajari, belum tentu nanti dia hang atau pun gini. Bodohnya aku ini, hanya sekejap bisa berubah, jadi menyesali diri kan. Kalau kasus yang satu lagi sama juga kan, jadi
kesimpulannya selalu salah beli.” (W3.R1/b.341-343/h.36)
”Yah pasti itu muncul selalu dalam pemikiran saya, kenapa..karena yang saya beli inikan diluar dari budget saya. Yang saya rencakan..jadi saya merasa
rugilah karena yang saya rencanakan bukan seperti ini.” (W4.R1/b.121
-128/h.41)
Resiko-resiko yang dirasakan responden menjadi pemicu terganggunya aspek
emosional responden seperti merasa diri sendiri adalah seorang yang bodoh,
munculnya rasa menyesal setelah pembelian, perasaan tidak nyaman setelah
keluar dari toko, serta perasaan bersalah dalam diri. Dimana aspek-aspek
emosional tersebut merupakan salah satu dimensi postpurchase dissonance.
A.4. Gambaran umum pembelian produk
Responden I adalah seorang pria berdarah Batak Karo bertubuh kurus,
berkulit coklat, mempunyai tinggi badan sekitar 170 cm dan menggunakan
kacamata berwarna kuning keemasan dalam kesehariannya. Responden I sudah
berkeluarga dan sekarang bekerja sebagai seorang arsitek di perusahaan swasta
dan menjadi dosen di salah satu universitas swasta di kota Medan.
Responden I biasanya melakukan pembelian produk elektronik seperti laptop,
dalam bidang elektronik. Dalam bekerja sehari-hari bahkan tidak jarang
membawa lebih dari dua buah handphone untuk membantu dalam hal
berkomunikasi. Khusus pada produk kamera, Responden I bahkan mempunyai
koleksi tersendiri akan produk yang satu ini, hobi mengoleksi kamera sudah
dimulainya sejak usianya masih muda. Pembelian produk elektronik, diakui
responden I, jauh menyita perhatiannya dibanding pembelian produk lain seperti
pakaian, aksesoris atau parfum.
Pola pembelian produk elektronik pada responden I selalu dimulai dengan
adanya kebutuhan yang dirasakan. Dalam bidang pekerjaan misalnya,
membutuhkan grafis pada laptop untuk mempermudah pekerjaan di lapangan.
Sehingga, tawaran potongan harga terhadap produk-produk elektronik tidak
terlalu mempengaruhi dalam pembelian karena berangkat dari kebutuhan yang
dirasakan sebelumnya. Selain itu, dalam melihat harga, responden I mempunyai
batasan harga tersendiri untuk setiap produk elektronik. Untuk produk laptop, jika
harganya sudah berada diatas kisaran harga 6 juta (7, 8, 9, dst) maka responden I
mengatakan produk itu sudah berharga mahal. Lain halnya dengan produk
kamera, jika berharga 10 juta keatas, maka harga kamera itu sudah dirasa mahal
oleh responden I.
Setelah adanya kebutuhan tadi, Responden I biasanya melakukan pencarian
informasi mengenai produk yang dibutuhkannya melalui media cetak seperti
informasi melalui pendapat rekan sekerja atau orang-orang yang mempunyai
pengalaman memakai produk yang sedang dicari. Setelah mendapatkan range
harga produk tersebut, disinilah faktor harga berperan penting. Apabila range
harga masih sesuai dengan budget plan yang disiapkan oleh Responden I maka,
tidak butuh waktu yang lama, Responden akan segera ke toko untuk membelinya.
Namun, apabila masih belum sesuai biasanya Responden I menunggu sampai
budgetnya mencukupi. Menurut Responden I tahap-tahap sebelum pembelian ini
sering memakan waktu yang lama hingga berminggu-minggu, lamanya pencarian
informasi tergantung juga pada besarnya harga produk yang akan dibeli.
Secara umum, Responden I jarang ditemani ketika hendak membeli suatu
produk (khususnya elektronik), baik dari anggota keluarga maupun rekan sekerja.
Menurut Responden I keberadaan orang yang menemani tidak mempunyai
pengaruh yang besar dalam keputusan pembelia, selain hanya bersifat menemani
tetapi juga rencana pembelian yang sudah direncanakan Responden I sebelumnya
dirasa sudah bulat dan tidak mungkin dipengaruhi lagi.
Rencana pembelian yang sudah disiapkan Responden I selama berhari-hari,
diakui Responden I, sering kali berubah ketika sudah berada di tempat atau toko
yang menjual produk tersebut. Hal ini dikarenakan ketika berada di toko
banyaknya informasi baru, baik dari yang dilihat sendiri ditambah bujukan dari
penjual, mengenai kelebihan produk lain yang tidak dimiliki oleh pilihan produk