• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data I

A.3. Rangkuman Hasil Wawancara

A.3.1.Dimensi Postpurchase Dissonance

1. Dimensi Emotional

Setelah pembelian produk laptop Toshiba tersebut, Responden I mengakui bahwa timbul perasaan tidak nyaman seusai membeli barang dan meninggalkan toko. Perasaan tidak nyaman ini dirasakan Responden I dari sesudah membeli sampai sebelum menggunakan produk tersebut.

“Ada, setelah membeli barang itu, dan setelah meninggalkan toko, biasanya

ada semacam keraguan(perasaan tidak nyaman).” (W1.R1/b.67-70/h.2)

“Biasanya dari saya beli sampai saya memakainya. Disitulah perasaan yang tidak enak saya rasa. Setelah saya pakai ternyata tidak seperti itu, karena yang saya beli ini ternyata sudah bagus.” (W1.R1/b.298-306/h.7)

Perasaan tidak nyaman yang dirasakan Responden I setelah membeli produk Laptop Toshiba tersebut diakui oleh Responden I sebagai perasaan seperti menyesal dengan keputusan pembelian, selain itu perasaan bahwa diri Responden I adalah seorang yang bodoh karena telah melakukan pembelian produk yang lari

dari rencana awal pembelian juga disertai perasaan suntuk dan kecewa yang dirasakan secara berulang kali.

“Iya, perasaan apalah..merasa bersalah, salah beli lah, jadi perasaan itu salah

beli kecewa.” (W3.R1/b.26-29/h.28)

“Bodohnya aku ini, hanya sekejap bisa berubah, jadi menyesali diri kan.

Kalau kasus yang satu lagi sama juga kan, jadi kesimpulannya selalu salah

beli.” (W3.R1/b.344-348/h.36)

“Cuma sebentarnya perasaan itu, tapi berulang. Perasaan tidak enak, suntuk

itu terasa kali. Salah beli selalu..salah beli selalu.. tetapi begitunya terus, bagaimana lagi dibuat hahahahha..” (W3.R1/b.157-162/h.32)

Selain adanya perasaan tidak nyaman, Responden I merasa menyesal atas keputusan pembelian yang telah dilakukan. Ini dikarenakan Responden I belum mengetahui informasi keseluruhan mengenai produk yang sudah dibeli, menyebabkan ketakutan tersendiri jika produk yang sudah dibeli tidak memenuhi harapannya.

“Iya, cemana lah lebih tinggi pula, padahal udah saya pelajari, belum tentu

nanti dia hang atau pun gini…” (W3.R1/b.120-136/h.36)

“Iya, perubahan itu, sebenarnya yang saya sesali, kenapa lah saya rubah ini, di rumah udah matang saya pikirkan, kenapa tiba dipengaruhi mau padahal ini

belum tentu..” (W3.R1/b.262-266/h.34)

2. Dimensi Wisdom of Purchase

Pada pembelian produk elektronik secara umum, Responden I mengakui bahwa kerap kali pertanyaan seputar keputusan muncul mengenai pembelian yang baru dilakukannya.

“Iya ada, setelah membeli kan, lah kenapa ya saya beli yang ini, kenapa yang ngga itu saja, tapi tetap sejenis barangnya.” (W1.R1/b.97-102/h.3)

Namun setelah digali lebih lanjut, Responden I menyatakan bahwa pada pembelian produk laptop, hampir tidak pernah muncul pertanyaan apakah produk tersebut akan memenuhi kebutuhannya atau tidak. Hal ini didorong karena pada setiap pembelian produk laptop, Responden I berada di dalam kebutuhan yang sangat mendesak sehingga pembelian produk laptop selalu didasari oleh tahap pencarian informasi yang panjang.

“Itu saya berpikir selalu, soal itu saya memang tidak ragu dalam skema ini lihat bagian kedua ini wisdom of purchase saya tidak pernah ragu karena saya pikir itu udah benar tapi faktor emosi tadi dan concern over deal nah keduanya ini membuat saya tidak nyaman. Perasaan bersalah dalam diri atau

merasa dibodohin.” (W4.R1/b.2236-246/h.44)

Hmm.. hanya saya terkadang berpikir saya. Mungkin wisdom of purchase tidak ada masalah. Tapi terkadang saya berpikir juga dengan keadaan yang sering berulang ini, mengapa begitu saya. Tapi terkadang saya juga berpikir

ntah saya membeli barang yang tidak saya butuhkan?” (W4.R1/b.299-

308/h.45)

“Jadi untuk kasus Toshiba tidak ada, memang saya memerlukan. Memang butuh, kalaupun dibilang hotel memang waktu itu butuh. Tapi terkadang saya berpikir seperti itu, terus dipikirkan lagi saya pikir ngga mungkin karena saya membeli barang yang saya butuhkan. Karena saya mau belajar juga ya kenapa saya seperti itu. Kok saya tiap beli barang begini. Kok terjadi hal yang itu tadi ya penyesalan setelah pembelian. Tapi sampai sekarang saya jalani

sajalah karena setelah saya gunakan tidak ada masalah.” (W4.R1/b.311-

328/h.46)

Munculnya dimensi Wisdom of purchase di dalam diri Responden I setelah pembelian diakui Responden I terjadi pada pembelian produk elektronik lain seperti kamera dan handphone. Dalam kasuk pembelian produk kamera, biasanya disebabkan juga oleh faktor kegemaran/hobby Responden I. Sehingga setelah

melakukan keputusan pembelian produk kamera, Responden I kerap mempertanyakan apakah produk yang sudah dibelinya akan memenuhi kebutuhan, karena fitur yang ditawarkan produk kamera tersebut mirip dengan produk kamera yang sudah dimiliki sebelumnya.

“Setelah beli, ada..kamera pun pernah.. ceritanya udah saya beli ada kamera saya udah ada kamera saya kan soalnya saya kolektor juga, jadi saya beli, kenapalah saya beli ini, apalah gunanya saya beli ini pun, toh sudah ada yang mirip seperti ini. Kalau laptop ngga, karena itu tadi kamera ada saya simpan, jadi ketika saya beli, untuk apa saya beli, miripnya sama yang satu itu kan. Pernah saya seperti itu. Kalau laptop enggalah..kalau hp ngga, karena bisa dijual atau dikasi. Kameran kan saya simpan. Untuk apalah ini kan miripnya, sia-sia aja ini..ada..kenapa? karena sudah ada yang mirip, sikit beda modelnya, ambil, padahal setelah dipakai sama ajanya sepertinya.” (W5.R1/b.382-405/h.58)

Sehingga terkadang dalam pembelian kamera, Responden I merasa kecewa dengan keputusan pembeliannya. Hal ini dikarenakan setelah produk kamera digunakan, fasilitas yang didapat tidak jauh berbeda dengan kamera yang sudah dimilik atau kemampuan produk tidak sesuai dengan yang diharapkan Responden I sebelumnya. Kekecewaan yang dirasakan mengakibatkan Responden I berhenti menggunakan kamera tersebut dan menyimpannya (discontinued use).

“Setelah beli, ada..kamera pun pernah.. ceritanya udah saya beli ada kamera saya udah ada kamera saya kan soalnya saya kolektor juga, jadi saya beli, kenapalah saya belini, apalah gunanya saya beli ini pun, toh sudah ada yang mirip seperti ini. Kalau laptop ngga, karena itu tadi kamera ada saya simpan, jadi ketika saya beli, untuk apa saya beli, miripnya sama yang satu itu kan. Pernah saya seperti itu. Kalau laptop enggalah..kalau hp ngga, karena bisa dijual atau dikasi. Kamera kan saya simpan. Untuk apalah ini kan miripnya, sia-sia aja ini..ada..kenapa? karena sudah ada yang mirip, sikit beda modelnya, ambil, padahal setelah dipakai sama ajanya sepertinya.” (W5.R1/b.382-405/h.60)

“Ya adalah mubazir aja kita rasa. setelah beli ada ragu namun setelah pakai

pun ragu, kenapalah beli yang ini.” (W5.R1/b.409-412/h.60)

“Eh…paling itu kamera yang canon itulah. Tapi yang terakhir ini saya ga

suka, jarang saya pakai kan terjadi dia berulang. Malah yang pocket saya pakai terus sampai sekarang bukan yang terbaru itu. Eh..artinya terjadi pengulangan lagi seperti itu, kurang senang dengan yang baru itu.” (W5.R1/b.327-337/h.58)

Responden I menambahkan postpurchase dissonance yang dirasakannya ketika setelah membeli produk elektronik tidak muncul ketika ia membeli suatu produk yang sedang diberi potongan harga (discount). Hal ini diakuinya karena pembelian tersebut bukan berdasarkan kebutuhan namun hanya karena produk tersebut sedang berada diberi potongan harga yang tinggi, sehingga Responden I merasa sayang jika tidak membeli produk tersebut.

“Ya sering, walaupun saya tidak perlu, ya saya ambil, itu sering, contohnya senter, padahal tidak perlu, tapi karena harganya banting sekali, saya ambil.” (W1/R1/b.221-229/h.6)

“Engga, biasanya senter gitu kan, itu ga ada masalah karena itu kan istilahnya untuk enjoy saja hahaha iya, pas murah sepertiga harga taunya kita harganya

itu tapi sepertiga.” (W5.R1/b.468-473/h.61)

“Ngga ada, ngga jadi pikiran memang, dan itu ga jadi pikiran memang, kadang-kadang udah hilang pun tapi kalau hp kamera saya simpan dan rawat

itu.” (W5.R1/b.476-481/h.61)

3. Dimensi Concern over Deal

Adanya kesadaran yang dirasakan oleh Responden I setelah membeli produk bahwa keputusannya telah dipengaruhi oleh bujukan agen penjual. Kenyataan bahwa ternyata Responden I akhirnya membeli produk yang berada di luar

rencana, membuat Responden I merasa keputusannya merupakan suatu kesalahan dan membuat keraguan pasca pembelian.

“Tapi setelah saya ambil itu, muncul keraguan setelah membayar, setelah saya tinggalkan toko itu muncul keraguan. Kenapa yang ini? Kenapa ngga yang saya set dari rumah tadi. Kenapa ngga saya bikin dari rumah tadi.” (W2.R1/b.194-200/h.15)

“Ya itu tadi saya bilang dipengaruhi itu. Kan jelas saya berubah karena ada pengaruh di toko itu. Ada pengaruh dari penjualnya ada juga pengaruh dari barang-barang yang muncul disitu….kalo laptop itu penjual itu yang

mempengaruhi saya.” (W2.R1/b.268-270/h.16)

“Karena kalau yang 12 itu sudah dipikir matang-matang. Tapi sama aja yang

udah matang pun gitulah. Karena sebelumnya udah ada persiapan merasa

salah beli juga.” (W3.R1/b.107-116/h.30)

Selain adanya bujukan dari agen penjual, Responden I juga dihadapkan informasi di luar dirinya seperti tampilan-tampilan produk yang belum pernah diliat sebelumnya dan banyaknya pilihan alternatif produk yang tersedia dimana kualitasnya, menurut Responden I, lebih bagus daripada produk yang direncanakan. Adanya informasi-informasi baru tentang produk sejenis yang dicari Responden I membuat Responden I mudah merubah rencana pembeliannya. Sehingga walaupun sematang apapun rencana pembelian yang telah dibuat Responden I terhadap suatu produk, keputusan pembelian biasanya dipengaruhi oleh faktor situasional ketika berada di toko tersebut.

“Sering, ya berubahlah, tidak seperti yang saya rencanakan sebelumnya. Jadi kalo saya ingat yang sebelumnya, lebih banyak pilihan saya ditentukan ketika saya berada di toko tersebut dengan faktor-faktor harga, kemampuan dan merknya.” (W1.R1/b.338-350/h.8)

“Kalau mereka ya biasa lah, memberikan barang yang lebih bagus, lebih baru supaya pembelinya ngga kecewa. Gitunya penjual semua. Ini sedikitlah beda harga katanya, tapi lebih bagus dan terbaru ini, jauh ini tertinggal ini udah sistem ini. Kan, pasti diberikannya keunggulan-keunggulan seperti itu.” (W3.R1/b.212-221/h.33)

“Setelah ke toko, ya itu tadi ada memang waktu itu Toshiba yang lebih tinggi, jadi yang lebih tinggi itu, saya pikir pun bagus juga, karena dia lebih tinggi sedikit kinerjanya diaripada yang saya pilih itu yang saya pilih itu pun saya anggap udah hebat kan. Ternyata setelah di toko ada yang lebih hebat. Saya ambil itu.” (W2.R1/b.182-192/h.14)

“Yah sekali-sekali lah, mengapalah kawan itu ngomong. Ada juga

hahaha(tertawa) kenapa lah kudengar dia ngomong, walaupun aku ga menyalahkan dia. Merasa ada pengaruh dari penjual tadi. Kenapa pula ngomong anak ini. Bukannya kusalahkan. Merasa dipengaruhin lah.” (W3.R1/b.225-233/h.33)

Munculnya perasaan salah beli yang dirasakan Responden I ternyata dipicu oleh faktor harga, dimana Responden I pada pembelian produk laptop tersebut merasa overbudget. Perbedaan jumlah uang yang akhirnya dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut dirasa signifikan dengan yang direncanakan membuat Responden I merasakan ada yang salah dengan pembeliannya.

“Ehh..Itu ada, memang lebih tinggi dia harganya. Cuma pengaruh harga itu dalam arti kata lebih mahal ini, jangan-jangan yang tadi saya rencanakan dari rumah udah bagusnya itu, kenapalah saya ambil ini, lebih mahal lagi. Kalau

kamera tidak ada, tidak ada masalah.” (W2.R1/b.339-346/h.18)

“Sebenarnya ngga, karena rencana memang ambil produk yang 12 juta itu, udah jelas dari rumah tekad itu karena sudah dipelajari dari rumah, diliat speknya ini mantap ini. Ternyata di toko itu ada yang lebih. Kan gitu, ada yang lebih dengan harga yang lebih mahal. Dan sekejap saya lihat itu mantap dan uang pun lagi ada. Ya udahlah ambil saja. Keluar dari toko menyesal,

aduh kenapa lah ini tadi dibeli.” (W3.R1/b.91-103/h.30)

Namun perasaan salah beli ini berangsur-angsur hilang setelah penggunaan produk. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa puas yang dirasakan Responden I

setelah menggunakan laptop ini. Rasa puas setelah penggunaan produk yang baru dibeli biasanya dirasakan pada produk laptop. Hal ini didukung oleh pernyataan Responden I seperti berikut:

“Kalau laptop pada umumnya tidak ada masalah. memang pas dia. Walau ragu karena harga, tetapi setelah pakai saya bersyukur saya bisa pakai itu. Yang banyak sekali masalah di handphone dan kamera” (W5.R1/b.190- 197/h.55)

“Laptop aman, ga pernah setelah memakai saya kecewa, biasanya sampai laptop ga sanggup lagi. Lama saya pakai dan jarang saya beli laptop.” (W5.R1/b.217-222/h.56)

“Ga lama lah, setelah saya pakai langsung enak dia, woaaa saya ga ada

keraguan lagi. Sampai sekarang satu laptop pun ga ada salah beli saya kira tapi kalau kamera dan hp saya sendiri merasa saya salah beli. Karena setelah

saya pakai ternyata ga pas seperti yang saya butuhkan.” (W5.R1/b.311-

321/h.58)

“Ya ada..ya setelah meninggalkan toko, waktu kita menego tidak ada masalah apa-apa. Semacam ada rasa ragu, ya ada rasa menyesal. Menyesal lah kenapa diambil ini tadi..tapi itu setelah sampai dirumah, ketika dipakai, ngga ada lagi masalah itu, udah hilang. Karena uda kita pakai barang itu, bagus juganya

kan.” (W2.R1/b.298-307/h.17)

A.3.2. Dinamika postpurchase dissonance pada responden dengan faktor harga sebagai pemicu.

Munculnya kondisi postpurchase dissonance pada responden pada pembelian produk laptop Toshiba dipicu oleh faktor harga laptop seharga 16 juta. Sebelum terjadinya pembelian, responden sudah terlebih dahulu melewati tahap-tahap untuk mencapai keputusan pembelian, dimulai dari pengenalan kebutuhan,

pencarian informasi, evaluasi alternatif pilihan sehingga keputusan akhir jatuh pada produk laptop Toshiba seharga 12 juta. Namun ketika sudah sampai di toko, banyaknya produk sejenis yang ditawarkan serta kelebihan-kelebihan dibanding produk yang sudah direncanakan membuat responden mengubah keputusan pembelian dengan membeli produk seharga 16 juta.

“Harganya karena saya rasa dari 12 ke 16 cukup besar.tapi waktu dijelaskan itu, saya pikir wajar, wajarnya harga lebih, speknya lebih tinggi, kemampuan yang lebih tinggi, vga nya lebih tinggi. Nah..jadi sekitar sebelum membeli saya sudah yakin, kalau memang ini sudah pas. Tapi setelah dibayar keluar dari toko, timbul rasa perasaan salah beli saya ini. Mengapalah dibeli yang ini

ya. Yang 12 pun sudah bagus ya.” (W3.R1/b.51-63/h.29)

Timbulnya postpurchase dissonance yang dirasakan responden adalah hasil dari analisis harga yang timbul setelah pembelian produk laptop Toshiba.. Pada pembelian produk Laptop Toshiba seharga 16 juta, terdapat beberapa analisis harga yang muncul. Analisis harga yang pertama adalah perbedaan sejumlah uang yang direncanakan untuk membeli dengan jumlah uang yang akhirnya digunakan untuk membeli produk/overbudget. Hal ini, menurut penuturan responden, sangat berpengaruh signifikan dalam membentuk keraguan yang dialaminya setelah pembelian.

“Tidak, sesudah membeli kan ragu. Kenapalah kubeli ini, kenapa ngga yang

tadi aja, harganya lebih murah lagi. Jadi berarti kan penambahan harga 4 juta

terlalu signifikan saya rasa.” (W2.R1/b.378-384/h.19)

“Ngga, Cuma kemahalan jadinya. Kenapa lah kubeli jadi lebih mahal 4 juta,

Besarnya perbedaan jumlah uang yang dibayar membuat responden merasa usaha pencarian informasi yang selama ini dilakukan menjadi sia-sia.

“Yah saya rasa sia-sia aja toh tadi yang 12 ini saya sudah pelajari. Udah

cukupnya tadi ngapainlah ambil yang mahal ini orang saya udah pelajari sebelumnya bahwa itu udah sesuai dengan kebutuhan dan kinerja nya sudah

dipelari dan canggihnya tapi kan gitu.” (W2.R1/b.497-504/h.22)

“Nah setelah membeli timbul aja dia perasaan itu, kenapa ngga barang yang

sudah saya cari, inilah yang terbaik inilah kebutuhan saya. Kenapalah saya

ambil yang satu ini, lebih mahal lagi.” (W2.R1/b.519-524/h.22)

“Karena kalau saya pikirkan kalau tadi misalnya saya beli sesuai dengan saya rencanakan, sudah memenuhi sebenarnya. Ngapain saya harus buang-buang lagi biaya itu seperti perasaan mubazir. Karena sebelumnya sudah memenuhi tapi saya ambil yang lebih tinggi karena ada faktor penjual. Jadinya saya ambil sehingga ada perasaan penyesalan soal harga tadi. Karena toh sebelumnya yang direncanakan sudah cukup ngapain lah dibuang lagi uang lebihnya itu. Padahal belum tentu mutunya..kan ada keraguan seperti itu.tapi toh sudah terjadi pembelian.. mau apalagi hahaha. Jadi yang ada penyesalan..salah beli, tapi akhirnya begitu tadi setelah saya pakai hilang

sendirinya perasaan itu tadi.” (W4.R1/b.335-341/h.46)

“Yah besarlah karena yang 12 itu pun sudah besar pada waktu itu sudah mahal sekali, tambah lagi empat kan sudah harga itu sudah besar bagi saya. Untuk

harga laptop sudah mahal itu.” (W4.R1/b.375-380/h.47)

Tingginya harga yang dibayar juga membuat responden merasa telah membayar melebihi dari kemampuan produk yang sudah dibayar (overpriced). Walaupun sebelum membayar, responden telah diberitahu oleh penjual kelebihan-kelebihan produk dibanding produk awal yang sudah direncanakan, setelah pembelian responden tetap merasa perbedaan harga tersebut tidak diimbangi kualitas produk yang sudah dibeli.

“Yah, waktu itu ada produk baru Toshiba ini, yang kinerja lebih bagus. Jadi sebenarnya hampir sama ini, tapi ini ada kecepatannya yang lebih

tinggi,waktu itu masalah memori lebih besar, vga nya lebih besar itu yang membuat saya berpikir ini berarti lebih bagus ya ya padahal yang sebelumnya saya udah cukupnya sebenarnya kebutuhan yang Toshiba yang dibawahnya

itu.” (W2.R1/b.273-384/h.16)

“Ada perasaan seperti itu. Walaupun tokonya saya yakin harganya ini ga mungkin salah karena toko ini saya sangat tahu, toko yang saya masukin ini sudah saya kenal jadi harga produknya wajar. Jadi tetap saja saya memikirkan

apakah tidak terlalu mahal setelah pembelian.” (W4.R1/b.200-209/h.41)

Munculnya perasaan overpriced pada responden karena disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah responden menilai, besarnya jumlah uang yang dikeluarkan tidak sepadan dengan kualitas yang didapat dari produk tersebut. Kualitas yang dimaksud oleh responden dilihat dari fasilitas- fasilitas produk, seperti kinerja dan kemampuan.

“Kalau harga ini maksudnya, mungkin artinya ga sepadan saya rasa harganya ini dengan yang saya ambil ini.” (W2/R1/b.204-207/h.15)

Hal ini disebabkan oleh kualitas produk dirasa responden (perceived quality) tidak seimbang dengan pengorbanan yang dikeluarkan dalam bentuk uang. Sehingga menyebabkan perasaan salah mengambil keputusan pada saat pembelian.

“Itu makanya saya bilang tadi, mungkin ga berdiri sendiri uang itu, terkait dengan kinerja itu. Karena saya pikir toh, sikitnya bedanya mungkin ini. Ngapainlah saya ganti, padaha udah saya pilih yang itu.” (W2.R1/b.378- 384h.19)

Alasan selanjutnya adalah adanya pengalaman responden dengan pembelian produk yang melibatkan pembelian produk dengan harga yang tinggi. Responden pernah melakukan pembelian produk laptop dimana setelah di kemudian hari,

responden mengetahui dari temannya bahwa barang tersebut dapat dibeli dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini menyebabkan rasa trauma responden terhadap harga produk. Pengalaman tentang harga ini berpengaruh secara signifikan pada responden dalam membentuk keraguan yang dirasakan responden setelah pembelian.

“Setelah saya menggunakan, tanya sama kawan, dia beli ngga segitu. Mungkin itu menjadi semacam trauma dalam hati. Tapi itu kejadiannya setelah uda dipakai, berhari-hari ketemu sama kawan, berapa belinya.kok gitu, dimana belinya..nah ternyata tokonya itu barang mahal. Menyesal kemudian

lah.” (W2/R1/b.428-437/h.20)

“Mungkin saya rasa ada pengaruh pengalaman masa lalu itu. Jadi pernah ada

rasa salah beli, terlalu mahal yang saya beli itu.” (W4.R1/b.211-215/h.43)

“Ada itu ya membentuk sekali keraguan karena takut salah. Seperti

pengalaman sebelumnya dan itu membekas dalam hati saya.” (W4.R1/b.135-

139/h.41)

Kedua alasan ini menjadi latar belakang mengapa responden merasakan pembelian yang overpriced pada pembelian produk laptop tersebut. Analisis harga selanjutnya yang muncul pada diri responden adalah adanya resiko yang dirasakan atas pembelian produk/perceived risk. Besarnya jumlah uang yang dibayarkan ditambah minimnya informasi yang dipunyai responden terhadap produk yang dibeli membuat responden merasakan resiko-resiko atas keputusan pembelian, dimana kemudian resiko-resiko ini menyebabkan tergganggunya aspek emosional responden setelah pembelian.

“Rasanya seperti, saya merasa kok, bagaimana ini nanti kalo ga sesuai dengan yang saya harapkan.” (W1.R1/b.72-77/h.2)

“Ya karena itu tadi, mungkin disitu perasaan saya itukan belum saya tau pasti, padahal yang 12 tadi sudah saya pelajari, kawan-kawan pun bilang bagus, saya takut nanti ga sesuai dengan harapan. Mungkin nanti ga sesuai, rugi

nanti.” (W3.R1/b.173-179/h.32)

”Harga…Yah mungkin ada, tapi sebenarnya ga pasti saya itu. Cuma saya merasa mengapa yang ini saya ambil. Karena saya dirumah saya sudah ada persiapan, udah tau yang 12 ini pun uda mantap saya rasa. Cuma setelah diambil 16 itu mengapalah ini diambil ya padahal yang dari rumah uda mantap, kalau yang ini belum jelas, tapi itulah perasaan semacam itu, ada

perasaan kecewa..salah beli lah istilahnya.” (W3.R1/b.33-41/h.29)

Terdapat dua jenis resiko yang dirasakan responden pasca pembelian produk laptop Toshiba tersebut. Resiko pertama menurut responden adalah situasi ketika produk yang sudah dibeli tidak mampu memenuhi harapan responden dari segi kemampuan dan ketahanan. Minimnya informasi yang dipunyai responden dibanding informasi produk laptop sebelumnya (yang direncanakan) membuat responden meragukan kemampuan produk tersebut.

“Kalau ngga mengapa menyesal pasti ada penyebabnya kan? Kan ga mungkin menyesal itu ga ada dasarnya. Pasti ada. Ada ekspektasi kita lebih tapi kita menyesal takut sesuai ga harapan. Padahal dirumah sudah dipersiapkan.”

Dokumen terkait