• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Hasil Analisis dan Interpretasi Data

4.3.7 Pembahasan 7

Gambar 4.7

Angle: Close Up

Tabel 4.7

Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 7 1. Penanda

Dalam potongan scene ini terlihat anak kecil di sebuah restoran yang sedang memainkan sedotan dalam minumannya dengan ekspresinya yang jengkel.

2. Petanda

Secara bersamaan, dialog iklan dimana anak kecil mengatakan yaitu “jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani”.

3. Tanda Denotatif

Scene ini menceritakan seorang anak kecil yang mengkritik kehidupan orang dewasa yang menyenangkan tapi juga sulit dijalani.

4. Penanda Konotasi

Scene ini memvisualisasikan realita masyarakat perkotaan

5. Petanda Konotasi

Gaya hidup masyarakat perkotaan memiliki dua sisi,

95

99 yang terbelenggu dalam gaya

hidup modern.

menyenangkan namun sulit dijalani.

6. Tanda Konotasi

Di sisi lain, gaya hidup modern menjadi dilema kehidupan masyarakat perkotaan itu sendiri.

7. Mitos

Scene ini berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa ia akan mendapat sanksi sosial berupa pengucilan jika tidak mengikuti apa yang dilakukan masyarakat komoditas.

Scene ini diambil berdasarkan teknik pengambilan gambar close up. Dalam pengambilan gambar secara close up, tampilan background menjadi hal kedua yang diperhatikan. Yang terpenting adalah profil, bahasa tubuh dan emosi tokoh utama dalam bingkai gambar ini dapat terlihat dengan jelas.96 Dalam hal ini ekspresi adalah bagian dari makna sebuah pesan yang disampaikan.

Secara denotasi, scene ini memiliki makna tentang kehidupan orang dewasa yang menyenangkan, tapi susah dijalani. Ekspresi dilema anak kecil serta dialog “jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani mengkonotasikan gaya hidup kaum urban yang beserta dilemanya.

Disadari atau tidak disadari, selain dapat membuat masyarakat menjadi masyarakat modern seutuhnya, gaya hidup kaum urban memiliki sisi dilema yang melanda kelas sosial tertentu maksudnya disini adalah kelas menengah bawah masyarkat perkotaan. Seperti yang kita ketahui, tidak hanya kaum elit saja yang menjadi bagian dari gaya

96

100 hidup kaum urban, sebab gaya hidup kini bukanlah lintas kelas, melainkan kebebasan yang menjadi hak golongan atau kelas manapun sekalipun golongan menengah ke bawah.

Seperti menurut sosiolog UI, Himawan Wijanarko dalam artikel yang dimuat dalam majalah Trust:

“Masyarakat Urban menurut peneliti dari Sosiologi UI, dapat distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan menengah, lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah. Lapisan Elite Kota adalah lapisan teratas yang mempunyai penghasilan tinggi, generasi mudanya memiliki gaya hidup kosmopolit, mempunyai akses informasi dan politik yang sangat besar, serta mobilitas lintas negara yang tinggi. Di bawahnya terdapat lapisan menengah yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi walaupun secara finansial lebih rendah dari lapisan elit.”97 Lapisan terendah yang di maksud Himawan itulah yang mengalami dilema dalam mengekspresikan gaya hidupnya. Kaum alay

misalnya, yang memaksakan diri untuk memperoleh eksistensisme diri. Kalangan menengah atas biasanya “pamer” mobil mahal, sedangkan kaum alay pamer dengan “motor-motoran”. Jika kaum menengah atas suka nongkrong di ke kafe, kaum alay juga melakukan hal serupa, namun bedanya di di tempat yang kelasnya berbeda, serta tidak dalam lingkungan elit seperti mall, real-estate, dan sebagainya.

Bagi kelas menengah atas gaya hidup modern tidak akan menimbulkan sisi dilema, karena mereka memiliki modal materi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka baik kebutuhan materi ataupun kebutuhan non materi. Namun bagi masyarakat yang

97

Himawan Wijanarko, Gaya Hidup dalam (dimuat dalam Majalah Trust)

101 berpenghasilan terbatas, gaya hidup perkotaan akan menjadi sebuah dilema sebab gaya hidup perkotaan identik dengan pemenuhan kepuasan materi yang tak ada habisnya yang berujung pada tekanan sosial.

“Situasi serupa itulah yang kini dihadapi seorang Magdalena. Dia belum genap dua tahun bekerja di ibu kota. Namun rupanya itu sudah cukup bagi karyawan di sebuah stasiun televisi swasta ini untuk merasakan tekanan sosial hidup di kota besar. Tekanan kerja tinggi dengan jadwal yang padat membuat dia tak punya cukup waktu untuk bersantai.

Karakter orang yang umumnya cenderung individualis juga membuat dia kesulitan menjalin interaksi. Sementara berdiam di kos malah membuat suasana hatinya tambah galau. Untuk mengusir stress, nongkrong di kafe dan bergawai ria menjadi pilihan dara yang dibesarkan di Tasikmalaya ini. “Kalau nongkrong di kafe, asalkan ada uang, membuat perasaan saya lebih rileks,” ungkap dia.

Hanya saja, Magdalena cukup sadar untuk tidak larut ikut arus gaya hidup kota besar. Karena itu, dia berusaha untuk tak berganti-ganti gawai, betapa pun hal ini bakal membuatnya disebut ketinggalan zaman. Kalau terus menuruti tuntutan gaya hidup modern tak akan ada habisnya, begitu pikir perempuan bernama lengkap Magdalena Windiana Siahaan ini. Walau begitu, dia beranggapan jika bisa check in di sebuah tempat yang dianggap keren di Facebook membuat dirinya bangga.”98

Tulisan di atas dikutip dari salah satu situs berita di internet yaitu

(www.intisari-online.com) yang melibatkan pendapat langsung dari salah satu masyarakat yang mengalami dilema gaya hidup.

Paparan narasumber di atas membuktikan bahwa gaya hidup urban tidak selalu menimbulkan kepuasan hidup, namun juga menciptakan self-pressure atau kegelisahan. Menurut Kierkegaard,

98

Rusman Nurjaman. 2013. Dalam artikel “Gaya Hidup: Diikuti Salah, Ditinggal Juga Salah” dari

102 salah seorang filsuf humanisme, kegelisahan adalah pusat dari kehidupan manusia modern.

“Menurut Kierkegaard, kehidupan ini sama sekali tidak memiliki sisi nyaman dan menyenangkan. Kalaupun ada, kenyamanan dan kesenangan tersebut hanyalah kepura-puraan yang dibuat manusia untuk menutupi penderitaannya. Pada akhirnya, manusia tetap akan kembali ke dalam keputusasaan akibat realitas yang tidak bisa terelakkan. Dalam perspektifnya, kegelisahan dan keputusasaan merupakan kondisi universal manusia. Kita menderita baik ketika kita menghadapi sebuah masalah maupun ketika kita tidak memiliki objek kegelisahan. Kierkegaard mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh kegelisahan yang sama sekali tidak objektif. Di dalam hati kecil kita, kegelisahan itu bersifat subjektif.”99

Akar persoalannya terletak pada penafsiran yang keliru tentang gaya hidup modern. Disini mindset gaya hidup yang hanya diidentikkan dengan kesenangan hidup, status sosial, prestise, dan sejenisnya telah mengakar pada kehidupan masyarakat perkotaan. Tidak peduli akan sisi lain yang justru menimbulkan tekanan, gaya hidup modern telah menjadi ideologi mayoritas masyarakat urban itu sendiri.

4.4 Kecerdikan Produk dalam Memanfaatkan Realitas Sosial Sebagai

Dokumen terkait