• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Transplantasi sel testikular ikan nila putih ke larva ikan nila hitam triploid berhasil dilakukan. Sel testikular ikan nila putih sebagai donor berhasil terkolonisasi, dan terproliferasi di dalam gonad ikan nila hitam sebagai resipien. Okutsu et al. (2006a) menyebutkan bahwa keberhasilan transplantasi sel dapat dilihat dari kolonisasi, proliferasi, dan diferensiasi sel donor di dalam gonad resipien. Pada penelitian ini, analisis keberhasilan transplantasi hanya sampai pada tahap proliferasi sel donor. Transplantasi ikan nila putih ke ikan nila hitam ini termasuk transplantasi intra-spesies (spesies sama). Berdasarkan penelitian Okutsu et al (2006a) yang mentransplantasikan sel testikular ikan rainbow trout

ke ikan salmon masu, salmon masu berhasil memproduksi sperma dan sel telur ikan rainbow trout. Transplantasi yang dilakukan Okutsu et al. (2006a) ini termasuk ke dalam transplantasi inter-spesies (spesies beda). Oleh karena itu, transplantasi ikan nila putih ke ikan nila hitam adalah berhasil, dan sel testikular ikan nila putih sangat besar potensinya untuk terdiferensiasi di dalam gonad ikan nila hitam.

Pada penelitian ini kolonisasi, dan proliferasi dideteksi dengan menggunakan pewarna sel (26) dan marka molekuler ikan nila putih.

PKH-26 merupakan pewarna sel yang dapat berpendar sehingga dapat dijadikan sebagai marka dalam proses transplantasi. Akan tetapi, aktivitas dari PKH-26 menurun setelah 33 hari (Yazawa et al., 2010) sehingga penggunaan marka molekuler dikatakan lebih aplikatif. Pada penelitian ini, marka molekuler ikan nila putih berhasil didesain, dan digunakan sebagai marka dalam deteksi keberhasilan transplantasi. Penggunaan marka molekuler ini sudah dikembangkan oleh Okutsu et al. (2008). Sel germinal donor ikan rainbow trout dapat diidentifikasi menggunakan primer spesifik berdasarkan sekuen gen vasa yang diamplifikasi dengan metode PCR, sehingga hanya DNA dari sel germinal ikan rainbow trout

saja yang dideteksi oleh primer tersebut. Selain itu, Achmad et al. (2009) juga berhasil menemukan marka molekuler untuk mendeteksi keberadaan sel germinal ikan gurami di dalam gonad ikan nila.

Dalam pembuatan marka molekuler ikan nila putih digunakan metode SNPs (single nucleotide polymorphisms). Salah satu fungsi dari SNPs adalah dapat dijadikan sebagai marka molekuler untuk mengidentifikasi karakter tertentu dari organisme (Brutlag, 2010). Mitokondria dapat dijadikan sebagai salah satu target gen yang bisa dijadikan alternatif marka dengan metode SNPs ini. PCR menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan metode ini (Saiki et al., 1985) karena data sekuen dari organisme diperlukan untuk membuat sekuen primer spesifik untuk lokus gen tertentu (Kwok & Chen, 2003). Pada penelitian ini produk PCR dari mitokondria ikan nila putih dan hitam (Gambar 10) disekuensing untuk mendapatkan sekuen nukleotida yang berbeda. Dari hasil penyejajaran sekuens ikan nila putih dan hitam (Gambar 11) dengan program GENETYX versi 7.0 diperoleh beberapa daerah yang berbeda untuk dijadikan primer spesifik.

Penentuan pembuatan primer spesifik dilihat dari perbedaan basa nukleotida di ujung 3. Sekuen nukleotida di ujung 3’ sangat penting saat

annealingdan ekstensi primer dengan DNA polimerase pada awal PCR (Onodera, 2007). Basa nukleotida G dan C merupakan basa yang memiliki tiga ikatan hidrogen, sehingga lebih stabil dibandingkan dengan basa adenin (A) dan timin (T) dengan dua ikatan hidrogen (Griffiths et al., 2005). Berdasarkan hal tersebut maka telah didapatkan 2 set kandidat primer spesifik sebagai marka molekuler

pembeda DNA ikan nila putih dan ikan nila hitam. Dari 2 set kandidat primer dilakukan optimasi PCR dengan mengubah suhu annealing dan waktu ekstensi (pemanjangan). Annealingmerupakan tahapan penempelan primer dalam tahapan PCR. Kesesuaian suhu annealing menjadi kunci dalam spesifitas penempelan primer terhadap cetakan/template (Rasmussen, 1992). Suhu annealing diperoleh dari persentase jumlah nukleotida G dan C dalam primer. Semakin banyak G dan C dalam primer, primer tersebut akan berikatan lebih kuat dengan komplemennya. Oleh karena itu, suhuannealingyang digunakan menjadi lebih tinggi bila jumlah GC lebih banyak (Dale & Schantz, 2002). Suhu annealing yang didapatkan setelah melihat persentase G dan C adalah 47°C, 54°C dan 69°C. Kisaran suhu

annealing ini masih termasuk dalam kisaran suhu annealing yang direkomendasikan oleh Walker and Rapley (2002). yaitu 40-60°C.

Ekstensi merupakan tahapan pemanjangan sekuen nukleotida. Lama waktu ekstensi ditentukan dari panjang target DNA hasil amplifikasi. Secara umum, untuk setiap 1 kilo basa (kb) panjang produk PCR dibutuhkan lama waktu ekstensi 1 menit (Erlich, 1989). Dari rancangan primer dapat diprediksi panjang target DNA yaitu sekitar 400 – 600 bp. Dari suhu annealing dan lama waktu ekstensi dirancang program PCR sesuai dengan kombinasi primer masing-masingnya (Tabel 1). Dari hasil PCR, kombinasi primer MtTi-F2 dan MtTi-R1 dapat dijadikan marka molekuler pembeda DNA ikan nila putih dan ikan nila hitam (Gambar 12) sedangkan hasil PCR dari kombinasi pasangan primer yang lain tidak menunjukkan spesifitas produk ikan nila hitam dan ikan nila putih (Lampiran 7).

Pengujian sensitivitas PCR dilakukan untuk mengetahui kemampuan primer spesifik yang dijadikan sebagai marka molekuler, dalam mendeteksi konsentrasi terendah DNA ikan nila putih di dalam DNA ikan nila hitam. Hasil pengujian sensitivitas PCR ini menunjukkan konsentrasi DNA ikan nila putih terendah yang masih dapat diamplifikasi oleh PCR yaitu sebesar 10 ng/µL di dalam 200 ng/µL DNA ikan nila hitam (Gambar 13). Kemampuan deteksi ini relatif lebih rendah dari pada yang dilaporkan oleh Karanis et al. (2007) dalam pendeteksian oosit Cryptosporidium, yaitu 4 ng/μ L. Hasil ini juga lebih rendah dari pada yang dilaporkan oleh Achmad et al. (2009) yaitu 1 ng/ μ L dalam

membedakan DNA ikan gurami di dalam DNA ikan nila. Homologi sekuen DNA ikan nila putih dan ikan nila hitam relatif tinggi sehingga cukup sulit dalam menentukan primer spesifik. Jika dibandingkan dengan marka ikan gurami yang dilaporkan Achmad et al. (2009) bahwa homologi sekuen gen GH (growth hormone) yang dijadikan target marka, relatif rendah sehingga primer yang didesain dapat lebih spesifik. Rasmussen (1992) menambahkan bahwa sensitivitas PCR dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni sekuen dan konsentrasi primer, konsentrasi DNA cetakan, dan suhuannealing. Selanjutnya marka molekuler ikan nila putih ini dijadikan sebagai pendeteksi keberhasilan transplantasi sel testikular ikan nila putih ke ikan nila hitam.

Dari hasil penelitian ini diperoleh persentase keberhasilan kolonisasi sebesar 80%. Dari 5 ekor gonad resipien yang diperiksa pendaran PKH-26nya terdapat 4 ekor yang positif berpendar (Gambar 16). Pendaran PKH-26 pada gonad resipien pada umur 30 hari (Gambar 16) menunjukkan sel testikular ikan nila putih berhasil terkolonisasi di dalam gonad resipien. Hasil yang sama juga dilaporkan pada transplantasi intra-spesies rainbow trout yaitu kolonisasi terjadi pada 20 hari setelah transplantasi (Okutsu et al., 2006; Yano et al., 2008). Hasil kolonisasi ini menunjukkan bahwa sel testikular yang ditransplantasikan ke larva resipien tidak ditolak oleh sistem imun dari resipien dan selanjutnya berhasil terinkorporasi ke dalam genital ridge. Larva yang baru menetas belum memiliki sistem imun dan sel T (Manning & Nakanishi, 1996) dan dari fenomena ini transplantasi sel testikular lebih efektif jika dilakukan pada stadia larva karena tidak terjadi penolakan sel eksogenus dari dalam tubuh larva (Yoshizaki et al., 2011). Selanjutnya sel testikular yang mengandungspermatogonial stem cellyang disuntikkan pada rongga peritoneal larva ini akan bermigrasi ke genital ridge

dengan gerakan kemotaksis oleh pseudopia (Raz, 2004).

Proliferasi sel testikular ikan hasil transplantasi ditunjukkan oleh hasil elektroforesis produk PCR pada umur 90 hari (Gambar 18). Pada umur 30 hari pita positif DNA ikan nila putih tidak terlihat (Gambar 17) dan mulai terlihat pada umur 90 hari. Secara visualisasi pendaran GFP yang ditunjukkan oleh Yoshizaki et al. (2011) terlihat pada saat kolonisasi (inkorporasi) hanya satu sel yang ada di genital ridge selanjutnya spermatogonial stem cell akan

memperbanyak diri (proliferasi) dan selanjutnya berdiferensiasi. Oleh karena itu pada hasil transplantasi pada penelitian ini, marka molekuler belum bisa mendeteksi sel ikan nila putih karena jumlahnya masih sedikit, selanjutnya pada umur 90 hari sel testikular ikan nila putih berhasil terproliferasi sehingga dapat terdeteksi pada PCR. Keberhasilan proliferasi ini juga ditunjukkan pada peningkatan nilai GSI ikan nila triploid transplan dari umur 60, 90 dan 120 hari (Gambar 18). Peningkatan nilai GSI ikan nila triploid transplan relatif hampir sama dengan nilai GSI ikan nila diploid. Sehingga dapat dikatakan gonad ikan nila triploid transplan dapat berkembang secara normal dengan membawa sel testikular dari ikan donor.

Dari nilai GSI juga dapat dilihat perbedaan perkembangan gonad ikan nila triploid transplan dengan non transplan. Hussainet al. (1996) melaporkan bahwa perkembangan gonad ikan nila triploid tidak sama dengan ikan nila diploid. Sperma yang dihasilkan ikan nila triploid tidak fungsional sehingga tidak bisa digunakan untuk pembuahan. Oleh karena itu ikan hasil triploidisasi dikatakan sebagai ikan steril. Dari hasil penelitian ini, nilai GSI ikan nila triploid non transplan paling rendah dibandingkan dengan ikan nila triploid transplan dan diploid transplan. Hal ini menunjukkan ikan nila triploid non-transplan tidak mengalami perkembangan gonad. Selanjutnya, untuk ikan nila triploid transplan dapat dikatakan perkembangan gonadnya hampir sama dengan ikan diploid. Hasil ini juga didukung oleh visualisasi ukuran gonad (Gambar 20). Ukuran gonad ikan nila triploid transplan relatif sama dengan ukuran gonad diploid. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Okutsu et al. (2007) bahwa terdapat perbedaan perkembangan gonad antara resipien triploid dengan triploid non-transplan (Gambar 6).

Selanjutnya dari hasil penelitian ini, maka transplantasi ikan nila untuk dijadikan sebagai salah satu metode seks reversal dalam rangka pembuatan ikan nila supermale(YY) menjadi mungkin. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai model dalam perkembangan transplanstasi sel testikular di Indonesia sesuai dengan tujuan-tujuan dari transplantasi seperti pembuatan ikan transgenik, konservasi informasi genetik ikan-ikan terancam punah dan rekayasa produksi benih (surrogate broodstock) (Okutsuet al., 2006b).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait