• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Pembahasan

Dari hasil penelitian dapat kita ketahui bahwa dalam melakukan proses negoisasi dipilih seorang komunikator yang mewakili kedua belah pihak yaitu dari pihak BPLS dan pihak Warga. Komunikator dari pihak BPLS dipilih sesuai dengan bidang kerjanya yaitu pemberdaya masyarakat serta mampu bersosialisasi dan menyamakan pemahaman dengan warga. Hal ini diakui oleh informan IV selaku pejabat Pemberdaya Masyarakat di BPLS:

“Jadi selama ini karena pemberdayaan adalah salah satu tugas pokok dan fungsi saya, jadi kami selalu mengajak, mengkomunikasikan semua permasalahan baik itu dari awal sampai nanti terjadinya proses jual beli dan sebagainya. Jadi, kata-kata pemberdayaan itu sebetulnya kita sendiri akan memberikan wawasan kepada masyarakat itu supaya tahu. Jadi masyarakat itu jangan seakan akan hanya menerima aja, tapi juga masyarakat harus mempunyai wawasan. Jadi timbal balik lah”.

(Interview, Jumat 4 Oktober 2013, pukul 12:21)

Komunikator dari pihak BPLS ini dipilih dari Dewan Pengarah untuk melakukan kegiatan negoisasi dengan warga supaya proses ganti rugi berjalan lancar dan tepat waktu. Selama melakukan proses negoisasi dengan warga, informan IV membangun wawasan kepada warga agar terjadi hubungan timbal balik. Sedangkan komunikator dari pihak warga yaitu informan V dipilih oleh warganya berdasarkan jabatan yang dia miliki yaitu ketua RT dan menurut warganya mampu melakukan negoisasi dengan pihak BPLS, hal ini seperti dilansir oleh informan V

“Hasil musyawarah warga mbak. Berdasarkan hasil kesepakatan disitu memang warga memberikan suatu usulan yang akhirnya kesepakatan dibentuk TIM yang dipercayakan kepada ketua RT.”

Pesan komunikasi juga terdapat dalam penelitian ini. Pesan komunikasi adalah hal-hal apa saja yang dibicarakan selama proses negoisasi berlangsung antara BPLS dengan TIM. Selama melakukan proses negoisasi, pihak BPLS sebelumnya memberikan informasi mengenai kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Dewan Pengarah sehubungan dengan nilai ganti rugi. Ketika informasi sudah diberikan kepada warga, BPLS membuka sesi diskusi apakah dari hasil kebijakan Dewan Pengarah tersebut warga setuju atau tidak setuju. Warga yang tidak setuju melakukan negoisasi dengan pihak BPLS. Dari informan IV diketahui bahwa selama melakukan proses negoisasi pesan yang disampaikan tidak jauh-jauh dari nilai ganti rugi.

“yang dibahas sesuai tema. Kalau yang dibahas ganti rugi itu mencakup semua urusan yang berkaitan dengan ganti rugi. Misal tema jual beli, jadi setelah perpres itu keluar, kita bilang ke mereka bahwa mereka masuk wilaya peta area terdampak, nah kalau sampeyan (anda) masuk, terus sampeyan (anda) cocok dengan harga yang ditetapkan oleh dewan pengarah, sampeyan (anda) onok (ada) seng(yang) ngenyang (menawar)”

(Interview, Jumat 4 Oktober 2013, pukul 12:21)

Selain negoisasi mengenai ganti rugi, para warga juga menegoisasikan mengenai sistem pembayaran yang dilakukan oleh BPLS dan meminta waktu pembayaran untuk dilakukan secepatnya. Berikut pernyataan informan III yang meminta pembayaran secepatnya :

“jadi setiap pertemuan kita secepatnya minta diganti, karena kita pada waktu itu nggak mungkin hidup ditempat penampungan”

(Interview, Senin 30 September 2013, pukul 19:42)

Berikut pernyataan informan V sebagai ketua dari warga atau TIM yang terlibat langsung selama pertemuan dalam hal proses negoisasi dan

menyampaikan aspirasi warga untuk meminta sistem pembayaran langsung 100% :

“ya menyangkut diantaranya langkah-langkah soal tanggap darurat tunjangan, terus menyangkut soal ganti rugi pembayaran supaya antara hak dan kewajiban warga bisa memahami gak ada permasalahan dan juga nanti apabila ada permasalahan, warga diberikan prioritas meminta keterangan informasi secara langsung kepada bpls. Jadi tidak harus melalui ketua RT”

“terutama soal pembayaran ya mbak, mereka para warga itu harapannya pembayaran langsung lunas 100% tapi itukan ada tahapan berdasarkan perpres untuk tahap pertama 20% tahap kedua 80%”

(Interview, Kamis 10 Oktober 2013, pukul 11:17)

Selain mengetahui pesan yang disampaikan, peneliti juga mengetahui bagaimana konteks komunikasi yang terjadi antara pihak BPLS dengan para warga terdampak. Konteks komunikasi yang dimaksud adalah situasi yang mencakup tempat dan waktu yang dilakukan para warga terdampak dengan BPLS untuk mengadakan pertemuan. Dari keterangan para informan dapat diketahui bahwa tempat diadakannya pertemuan atau forum untuk melakukan proses negoisasi adalah di Balai Desa untuk waktu pertemuan para warga (informan I dan Informan III) lebih sering mengikuti pertemuan pada waktu sore menjelang malam hari dan jarang mengikuti pertemuan di pagi atau siang hari. Sedangkan keterangan dari pihak BPLS mengatakan bahwa pertemuan berlangsung di balai desa dengan tiga sesi pertemuan yaitu pagi, siang, dan sore sampai selesai. Namun tidak semua warga yang mendatangi pertemuan atau forum yang dilakukan BPLS. Seperti informan II yang tidak mengikuti pertemuan tersebut dan mewakilkan kepada TIM. Konteks komunikasi antara warga dengan TIM lebih sering

dilakukan di Balai Desa pada sore hari. TIM dan warga lebih memilih hari libur untuk membicarakan atau menyampaikan apa saja hasil dari pertemuan tersebut.

Hasil akhir dari proses negoisasi adalah adanya respon dari kedua belah pihak yang terlibat. Respon komunikasi dari masing-masing informan berbeda-beda. Respon komunikasi ini dinilai dari puas atau tidaknya para informan (korban) dalam menerima nilai ganti rugi tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, dapat diketahui bahwa ada dua informan dari empat informan (warga) yang merasa kurang puas dengan ganti rugi yang diberikan yaitu informan II dan informan III. Informan II menyatakan :

“Rumah itu saja terus bangunan baru yang didepan sudah ditinggikan setengah meter, sudah dipagar mubeng (keliling), tapi karena gak ada atap ya gak dihitung ganti rugi. Tapi kalau dihitung karena itu (ganti rugi) diangsur untuk mendapatkan rumah kembali senilai itu ya gak match (cocok)”

(Interview, Sabtu, 28 September 2013, pukul 14:19)

Berikut pernyataan Informan III juga kurang puas dengan ganti rugi yang didapat :

“Sebenernya sih kurang sekali, kita dapat ganti rugi 20% itu tidak bisa buat beli rumah, ya sampai sekarang. Kebanyakan kan itu diangsur to, jadi uang yang diganti rugi itu dipotong bank.”

(Interview, Senin 30 September 2013, pukul 19:42)

Sedangkan dua informan lainnya merasa sudah puas dan telah sesuai dengan harapan dari hasil ganti rugi yang mereka dapat. Informan yang merasa puas ini adalah informan I dan informan V. Informan I menyatakan :

“Kalau pembayaran itu ya sudah sesuai harapan . Kalau dihitung-hitung ya melebihi lah mbak.. hehehe”

Berikut pernyataan informan V yang merasakan bahwa ganti rugi yang ia terima telah sesuai harapan dan merasa puas dengan ganti rugi yang ia terima : Saya kira sudah sesuai dengan harapan saya mbak. Uang ganti rugi yang saya dapat saya gunakan untuk membangun rumah lagi untuk tempat tinggal”

(Interview, Kamis 10 Oktober 2013, pukul 11:17)

Berbagai tindakan yang dilakukan dari informan yang puas dan tidak puas setelah negoisasi yaitu informan yang puas dengan harga yang diterima mereka akan langsung menyiapkan berkas-berkas untuk segera diproses pembayaran ganti ruginya. Sedangkan bagi informan yang tidak puas dengan nilai ganti rugi mereka pasrah dengan kebijakan yang telah ditetapkan dan mau tidak mau menerima harga ganti rugi dari Dewan Pengarah. Bagi informan yang merasa kurang nilai ganti ruginya mereka mengalokasikan pembayaran ganti rugi yang sudah mereka terima sebagai modal usaha.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, model komunikasi yang digunakan oleh BPLS dengan warga dalam proses negoisasi adalah Model Pertukaran Sosial Alir Banyak tahap karena komunikasi yang dibangun oleh BPLS dengan warga terdampak menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak yang didalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Model Pertukaran Sosial ini di adopsi dari Teori Pertukaran Sosial yang memandang bahwa hubungan antara BPLS dengan warga terdampak dalam konteks ekonomi maupun sosial dan mereka menghitung kerugian yang dialami dan membandingkannya dengan ganti rugi yang didapatkan dengan melakukan proses negoisasi. Melalui model ini

antara BPLS dan Warga korban lumpur Sidoarjo mempunyai ruang yang cukup luas untuk melaksanakan hubungan interpersonal. Warga korban lumpur dapat menyampaikan segala aspirasi, keluhan, ataupun keinginan mereka akibat dampak yang ditimbulkan dari luapan lumpur Sidoarjo. Misalnya, mendapatkan tempat pendidikan yang baru.

Dari hasil penelitian mengenai negoisasi yang dilakukan oleh para warga terdampak dengan pihak BPLS, dapat disimpulkan bahwa tipe penyelesaian konflik mengacu pada konsep negoisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah tipe penyelesaian Win Lose Solution dimana salah satu pihak mencapai hasil dari rencana yang diharapkan, sementara pihak lainnya mencapai hasil yang kecil. Dalam penelitian ini BPLS adalah pihak yang telah mencapai hasil dari rencana yang diharapkan yaitu melaksanakan proses pembayaran ganti rugi kepada warga terdampak sesiau dengan peraturan dan kebijakan dari Dewan Pengarah. Sedangkan pihak yang mencapai hasil yang kecil adalah para warga terdampak yang kalah dalam bernegoisasi dan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan kebijakan.

Dari kelima informan yang telah memberikan data kepada peneliti, dapat diketahui bahwa pada saat proses negoisasi berlangsung, BPLS sangat terbuka untuk menerima permintaan warga yang menginginkan nilai ganti rugi lebih besar dari yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengarah. Pro dan kontra yang terjadi selama proses negoisasi berlangsung berasal dari wagra terdampak yang tidak menyetujui hasil kebijakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengarah. Warga

merasa harga ganti rugi yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kerugian yang mereka alami.

Informan 4 yang merupakan ketua pelaksana kebijakan dari Dewan Pengarah membenarkan bahwa selama proses negoisasi berlangsung, terdapat beberapa warga yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut dan meminta nilai ganti rugi yang lebih tinggi.

“jadi setelah perpres itu keluar, kita bilang ke mereka bahwa mereka masuk wilaya peta area terdampak, nah kalau sampeyan (anda) masuk, terus sampeyan (anda) cocok dengan harga yang ditetapkan oleh dewan pengarah, sampeyan (anda) onok (ada) seng(yang) ngenyang (menawar). Tapi dari peraturan yang sudah dibuat itu harga bangunan tidak boleh melebihi satujuta setengah, harga bangunan tidak boleh melebihi satujuta, dan harga sawah tidak boleh melebihi seratus duapuluh lima ribu, itu sudah ada patokannya. Dan disitu ada pro dan kontra dari warga pasti terjadi. Bagi masyarakat yang tidak mau ya sudah kita tinggal, kita melayani dulu masyarakat yang bersedia. Dan itu surat-surat harus jelas dan resmi. Jadi ada sertifikatnya, petok D, letter c.”

(Interview, Jumat 4 Oktober 2013, pukul 12:21)

Wilayah terdampak korban lumpur Sidoarjo dibagi menjadi dua area yaitu korban yang didalam Peta Area Terdampak (PAT) dan diluar Peta Area Terdampak. Untuk wilayah didalam peta area terdampak, pemberian ganti rugi sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo Jaya, sedangkan untuk wilayah diluar peta area terdampak pemberian ganti rugi menjadi tanggung jawab pemerintah yang kemudian membentuk BPLS untuk mengatasi ganti rugi dengan warga terdampak. Dari hasil negoisasi yang telah dilakukan oleh BPLS dengan warga korban lumpur Sidoarjo, maka dewan pengarah mengambil kebijakan dengan menetapkan harga ganti rugi yang sama dengan

yang diberikan oleh PT Minarak Lapindo Brantas. Harga ganti rugi yang diberikan kepada warga korban lumpur Sidoarjo sebesar satu juta rupiah untuk tanah dan satu koma lima juta rupiah untuk bangunan. Apabila warga yang tidak setuju dengan penetapan harga yang diberikan, maka pihak BPLS tidak dapat mengganti kebijakan tersebut karena BPLS tidak mempunyai wewewang untuk mengubah kebijakan tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan informan 4 yang mengatakan :

“kebijakan adalah dari Dewan Pengarah BPLS. Jadi BPLS itu mempunyai atasan lagi yaitu Dewan Pengarah. Itu terdiri dari Lima Menteri ditambah Gubernur, Pangdam, Kapolda sama Bupati Sidoarjo itu adalah Dewan Pengarah BPLS. Jadi kebijakan ada diatasnya BPLS yaitu Dewan Pengarah. Jadi BPLS itugak boleh mengambil kebijakan. sekali lagi BPLS itu tidak mempunyai kebijakan, hanya melaksanakan apa yang sudah dituangkan dalam Perpres seperti itu. Iyaa jadi gak boleh BPLS itu mengambil kebijakan. Nah makanya kami selalu mengajak namanya sosialisasi mbak. Sosialisasi, musyawarah itu adalah salah satu alat komunikasi kita.”

(Interview, Jumat 4 Oktober 2013, pukul 12:21)

Kebijakan harga yang telah ditetapkan oleh dewan pengarah sudah tidak bisa diganggu gugat atau merupakan harga mati bagi warga korban lumpur Sidoarjo. Dalam kebijakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengarah bahwa sistem pembayaran yang dilakukan Pihak BPLS adalah dengan sistem pembayaran 20% dibayar diawal secara langsung, setahun kemudian disusul dengan pembayaran 80% secara langsung. Pembayaran sistem ganti rugi ini telah disosialisasikan kepada warga supaya warga mengerti dan telah disepakati oleh warga.

Informan I mengatakan “ iya pembayarannya dibayar 20% terus baru dikasi 80%, yang 20% waktu itu langsung dibayar 20% langsung lunas.” Informan 3 juga menambahkan “Yang 20% sama 80%. Awalnya yang 20% itu cash langsung, kalau yang 80% itu 3 kali pembayaran.”

Setelah Peraturan Presiden yang didalamnya terdapat penetapan kebijakan harga untuk ganti rugi warga terdampak turun, maka pihak BPLS akan mengadakan sosialisasi kepada warga yang nantinya akan menyampaikan isi dari Peraturan Presiden tersebut. Apabila sosialisai sudah dilaksanakan dengan warga terdampak beserta TIM, selanjutnya BPLS melakukan negoisasi harga dengan warga yang tidak setuju dengan harga yang sudah ditetapkan. Selama melakukan proses negoisasi tidak sedikit warga yang mau melepas tananhnya karena mereka menganggap nilai ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan mereka. Dengan adanya sikap warga yang tidak mau melepas tanahnya BPLS hanya menampung permintaan warga yang kemudian di berikan kepada Dewan Pengarah selaku pengambil kebijakan. Tetapi pihak BPLS tetap melakukan negoisasi dengan warga yang belum mau melepaskan tanahnya.

Dengan adanya penetapan kebijakan nilai ganti rugi atau jual beli yang sudah diputuskan oleh Dewan Pengarah, yang kemudian disosialisasikan dan dimusyawarahkan oleh BPLS dengan warga, akhirnya warga mau dan menerima kebijakan tersebut. Kondisi seperti ini dialami juga oleh warga terdampak yang menjadi tanggung jawab PT Minarak. Sebelum BPLS melakukan pembayaran ganti rugi, PT Minarak Lapindo Jaya telah melakukan pembayaran ganti rugi

akhirnya PT Minarak Lapindo Jaya mengalami kesulitan untuk membayar ganti rugi kepada warga terdampak bisa dikatakan PT Minarak Lapindo Jaya mengalami kepailitan. Bermula dari kepailitan yang dialami oleh PT Minarak ini proses pembayaran ganti rugi pun mulai tersendat dan tidak sesuai dengan jadwal. Hal ini membuat warga kecewa dan akhirnya melakukan demo kepada BPLS atas menunggaknya pembayaran oleh PT Minarak.

Selain bertanggung jawab dalam hal ganti rugi, pihak BPLS juga bertanggung jawab dalam hal kesehatan dan memberikan pelatihan bagi warga yang kehilangan pekerjaan serta memberikan Bantuan Sosial kepada warga terdampak Lumpur Sidoarjo.

Informan I mengatakan, “ ada bantuan kesehatan di puskesmas mbak, waktu itu saya pernah berobat di puskesmas porong itu terus ya nggak (tidak) bayar mbak. Gratis. Semua pemeriksaan itu di puskesmas gratis tidak bayar”

Informan II mengatakan, “selain ganti rugi, dikasih uang kontrak untuk kontrak rumah dua juta setengah. Dua juta setengah itu satu tahun, kita dikasih dua tahun jadi lima juta. Plus satu juta setengah untuk uang makan selama enam bulan”

Informan III mengatakan, “ selain ganti rugi, ada juga bantuan kesehatan dan pendidikan mbak. Kalau kesehatan disitu (penampungan) ada tim kesehatan, selama masih dipenampungan dapat pengobatan gratis. Terus kalau pendidikan saya kurang paham.”

Informan IV mengatakan, “oh banyak mbak. Jadi BPLS itu kan ada deputi infrastruktur itu melayani infrastruktur yang diporak porandakan oleh lumpur, dan deputi sosial. Deputi sosial seperti saya ini banyak tugasnya mbak. Menangani demo, itukan harus melakukan komunikasi dua arah itu tugas kami, terus pelatihan, bansos, kalau bansos itu bagi mereka yang yang memenuhi syarat akan mendapatkan uang kontrak dua setengah juta setahun, uang evakuasi lima ratus ribu, uang jaminan hidup kita bantu selama enam bula, per jiwanya mendapat tiga ratus ribu. Itu semua bagi orang yang memenuhi syarat dalam artian orang tinggal di situ, mempunyai KTP dan KK asli warga terdampak. Selain itu ada Bansos Kesehatan, jadi kami selalu menyediakan kesehatan bagi warga terdampak. Jadi misalnya orang itu sakit karena menghirup gas beracun lumpur tapi itu dibuktikan dulu dari Rumah sakit itu biaya sepenuhnya ditanggung oleh BPLS, ada orang yang tau-tau kejebur ke lumpur dan meninggal ya kita memberi santunan mbak, dan kami juga kerja sama dengan puskesmas untuk mengecek kesehatan para warga terdampak, dan apabila ada rujukan semua biaya ditanggung BPLS, apabila dari puskesmas harus dirujuk ke rumah sakit ya biaya kitatanggung juga sampai sembuh. Dan kita juga sampai sekarang mendatangkan air untuk kebutuhan minum bukan untuk mandi karena air disana kan tercemar.”

Informan V mengatakan “iya, bpls tetap menjalankan program-program yang dilakukan oleh bpls salah satu contoh pelatihan tenaga kerja tetap berjalan dan juga kesehatan tetap berjalan, kalau untuk tenaga kerja masih berjalan tapi kalau untuk kesehatan saya belum paham terus untuk bantuan seperti air minum sekarang sudah gak ada mbak. Sudah di stop.”

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa warga menunjuk tim untuk melakukan komunikasi dengan BPLS. Komunikasi yang terjadi antara kedua belah pihak melalui model komunikasi alir banyak tahap. Model alir banyak tahap ini dimulai dari Dewan Pengarah yang memberikan kebijakan kepada BPLS untuk dikomunikasikan lagi kepada warga. BPLS menyampaikan informasi mengenai kebijakan jual beli kepada TIM yang ditunjuk oleh warga yang kemudian dari TIM tersebut disampaikan kepada warga korban lumpur Sidoarjo. Pembentukan TIM ini dilakukan dengan muasyawarah oleh warga dalam satu desa. Warga berkumpul untuk menunjuk salah seorang ketua yang akhirnya dipercayakan kepada ketua RT mereka masing-masing. Tugas dari TIM ini adalah sebagai perwakilan dari warga untuk melakukan komunikasi dengan pihak BPLS dan bertanggung jawab mengcover seluruh berkas warganya hingga terselesaikan semua. Dengan dibentuknya TIM ini warga bisa memberikan seluruh aspirasinya yang nantinya akan disampaikan kepada BPLS oleh TIM. Selain itu tugas lain dari TIM ini adalah mendampingi warga ketika melakukan komunikasi dan negoisasi dengan pihak BPLS dalam suatu pertemuan. Namun apabila ada warga yang ingin mengikuti proses negoisasi dengan BPLS, BPLS mempersilahkan warga untuk mengikuti karena program negoisasi ini memang untuk kepentingan seluruh warga terdampak. Proses komunikasi dari warga yang kemudian disampaikan ke TIM untuk dikomunikasikan lagi dengan BPLS yang nantinya kembali lagi kepada warga melalui model komunikasi pertukaran sosial.

Model Komunikasi Pertukaran Sosial Alir Banyak Tahap

Model Komunikasi Pertukaran Sosial yang terjadi bukan alir dua tahap tetapi alir banyak tahap. Komunikasi alir banyak tahap yaitu dimulai dari Dewan Pengarah yang memberikan pesan berupa peraturan menganai kebijakan-kebijakan dalam hal ganti rugi kepada BPLS untuk di informasikan kepada para warga terdampak. Pesan tersebut dilanjutkan oleh BPLS untuk dikomunikasikan kepada TIM (Ketua RT) kemudian TIM memberikan informasi kepada warga. Dari hasil sosialisasi antara TIM dengan warga, apabila ada beberapa warga yang kurang puas dengan hasil kebijakan tersebut, warga menyampaikan aspirasinya kepada TIM kemudian TIM melakukan komunikasi lagi dengan warga. Tetapi TIM juga mempersilahkan warga datang dan melakukan komunikasi secara langsung dengan BPLS. Jadi apabila informasi yang didapat dari TIM dirasa kurang dan kurang setuju dengan kebijakan yang telah ditetapkan warga bisa KONTEKS

yang ingin memperoleh informasi lebih lengkap dan menerima permintaan warga yang menginginkan harga ganti rugi lebih. Ketika warga tidak setuju dengan nilai ganti rugi yang diberikan, pihak BPLS melakukan negoisasi dengan warga.

Dari usaha komunikasi yang dilakukan oleh pihak BPLS mengenai penetapan kebijakan ganti rugi yang telah disosialisasikan kepada TIM, tidak sedikit warga yang menolak kebijakan tersebut. Namun ada sebagian warga yang menerima dan setuju dengan penetapan harga ganti rugi tersebut. Untuk warga yang menolak kebijakan dan mempertahan kan berkasnya maka yang dilakukan oleh BPLS adalah dengan bernegoisasi dengan warga tersebut sampai pada akhirnya warga tersebut setuju dan menerima kebijakan yang ada. Proses negoisasi dengan warga ini dilakukan dalam suatu pertemuan yang dilakukan oleh Pihak BPLS dengan warga terdampak yang didampingi oleh TIM. Melalui forum atau pertemuan ini warga bisa berkomunikasi secara langsung dan menyampaikan segala aspirasinya kepada BPLS dan melalui forum ini juga proses negoiasasi ganti rugi terjadi antara warga terdampak dengan pihak BPLS. Hasil dari pertemuan atau forum yang dilakukan oleh BPLS dengan warga terdampak kemudian dilaporkan kembali kepada Dewan Pengarah.

Informasi atau pesan yang dikemukakan oleh BPLS kepada warga melalui opinion leader atau TIM sebelum sampai pada warga. Arah panah dua tahap dalam hubungan BPLS dengan TIM yaitu BPLS mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan kepada TIM karena TIM ini dinilai mampu menyerap informasi yang disampaikan oleh BPLS dengan cepat dan baik. Kemudian arah dua panah yang ditunjukkan dalam hubungan TIM dengan Warga

Dokumen terkait